Share

Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat
Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat
Penulis: Rosshie

BAB 1.

Penulis: Rosshie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-24 14:07:32

PLAAKK!!!

Suara tamparan yang begitu keras menggema di ruang tamu rumahku, menyentak tubuhku hingga terasa bergetar. 

Pipi kiriku terasa panas, seolah terbakar. Rasa sakit itu merambat, namun yang lebih terasa adalah keterkejutanku yang begitu mendalam. 

Wajahku tertoleh dengan cepat, mata aku terpejam sejenak, mencoba menahan air mata. 

Ketika aku membuka mata, wajah pertama yang kulihat adalah wajah ibuku, yang terkejut luar biasa. 

Wajahnya yang penuh kekhawatiran menatapku, seolah tak percaya bahwa anak kesayangannya baru saja ditampar di hadapannya.

Kepala ku terasa pening, tetapi sakit di pipi seakan menghilang seiring dengan rasa sakit yang meresap jauh ke dalam hati. 

Hatiku tercabik-cabik melihat air mata pertama ibuku jatuh begitu saja, meruntuhkan segala pertahanan yang selama ini ku bangun. 

Satu tetes air mata itu, satu isyarat bahwa ia begitu sedih dan terluka melihat aku diperlakukan seperti ini. Aku ingin sekali memeluknya, melindunginya dari kenyataan pahit ini.

"Ibu... Santi, tolong jangan sakiti Zahra! Ini menantumu, Ibu!" 

Ibuku memohon dengan nada yang terdengar sangat lemah.

Mertuaku hanya tertawa sinis, tatapan matanya seolah tajam dan penuh kebencian. 

"Saya malu punya menantu seperti ini. Wanita mandul yang cuma habiskan duit anak saya!" suara ibu mertuaku melengking, sangat menyakitkan.

Sejak awal, ibu mertuaku memang tidak pernah menyukaiku. Bahkan, dia menentang pernikahan kami dengan segala cara. 

Ketika Mas Raffi, suamiku, memutuskan untuk menikahiku tanpa restu mereka, kemarahan ibu mertuaku semakin membara. 

Mertua tidak pernah bisa menerima aku.

"Sekarang, berikan uang yang dikirimkan Raffi bulan ini!" Ibu mertuaku melontarkan perintah tanpa belas kasihan.

Setiap bulan, setelah Mas Raffi mengirimkan uang, ibu mertuaku pasti datang untuk mengambil bagiannya. 

Padahal Mas Raffi selalu memberitahuku bahwa uang itu hanya untuk aku dan ibu. Tetapi aku tidak berani menentang ibu mertuaku. Aku tahu, jika aku menolak, hal ini hanya akan membuatnya semakin marah, dan akan lebih banyak pertengkaran di rumah kami.

"A—apa… tunggu sebentar, Bu. Saya ambilkan uangnya dulu," jawabku, cemas. 

Takut ibu mertuaku semakin membuat keributan. Aku segera pergi ke kamarku, berusaha mengumpulkan pikiranku.

Mas Raffi selalu mengirimkan uang tiga juta setiap bulannya. Namun, dua juta selalu diambil oleh ibu mertuaku, meninggalkan hanya satu juta untuk kami bertiga—aku, ibu, dan hidup kami sehari-hari. 

Untungnya, aku membuka toko kelontong kecil di rumah. Ada sedikit penghasilan tambahan untuk membantu mencukupi kebutuhan kami.

Aku membuka lemari pakaian dan mengambil amplop berisi uang itu. Tanpa pikir panjang, aku segera menyiapkan dua juta yang diminta dan berjalan keluar dari kamar. 

Aku hanya ingin menghindari keributan lebih lanjut. Aku tahu, mertuaku tidak akan berhenti meminta selama uang itu ada di tanganku.

“Ini… Bu,” aku menyerahkan uang itu dengan tangan yang gemetar. Ibu mertuaku langsung mengambilnya dengan tangan yang kasar, seolah-olah uang itu adalah haknya yang sudah lama dirampas.

“Awas kalau sampai kurang!” teriaknya sambil menghitung uang itu dengan ekspresi yang tidak sabar.

Aku hanya diam, menunggu hingga mertuaku selesai menghitung uang itu. 

Setiap detik yang berlalu terasa begitu lama. Tidak ada kata-kata yang bisa kuucapkan untuk mempertahankan harga diri di hadapan mereka. Aku hanya ingin semuanya berakhir.

"Bulan depan saya mau jatah saya ditambah lima ratus ribu," ucap ibu mertuaku tiba-tiba, dengan nada penuh tuntutan.

Tentu saja, aku terkejut. 

“Tapi, Bu… Mas Raffi hanya mengirimkan tiga juta setiap bulan. Kalau Ibu minta lebih, bagaimana saya dan Ibu bisa makan?” aku berusaha menjelaskan, meskipun aku tahu itu akan sia-sia.

"Saya tidak peduli! Ini uang anak saya! Saya berhak atas uang ini!" bentak mertuaku, wajahnya merah padam, seolah ingin menelan habis aku. 

“Awas kalau sampai kamu mengadu sama Raffi! Saya akan buat dia ceraiin kamu! Kamu istri gak guna!”

Cerai? 

Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Mas Raffi. Aku sudah begitu lama bertahan dengan segala hinaan dan perlakuan buruk dari ibu mertuaku, hanya untuk mempertahankan pernikahanku. 

Mas Raffi mencintaiku, dan aku tahu dia rela melawan orang tuanya demi aku. Aku tak akan pernah melepaskannya.

"Apa kamu dengar apa yang saya bilang tadi?" mertuaku berteriak lagi, kali ini jarinya menuding tepat ke wajahku.

“Ba—baik, Bu,” jawabku dengan suara serak. Aku terpaksa mengangguk, meskipun hatiku hampir hancur. Aku tak ingin menyakiti Mas Raffi dengan masalah ini, meskipun aku sendiri merasa terhina.

Ibu mertuaku menatap uang itu dengan senyum puas, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia pergi meninggalkan rumah kami. 

Setelah ia pergi, aku merasa tubuhku seolah lumpuh. Pipiku kembali terasa perih.

“Aww…” Aku merasakan sakit di pipiku lagi. Rasanya tidak hanya fisik, tetapi juga hati yang pedih.

Ibu menatapku dengan wajah yang penuh penyesalan. 

“Ra, maafkan Ibu. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa saat ibu mertuamu menindasmu seperti itu.”

Hatiku semakin teriris melihat ibuku yang selalu berusaha menjadi tempat aku berlindung, tapi tak mampu melindungi aku dari perlakuan kejam ibu mertuaku. 

Aku berjalan mendekati ibu yang duduk di kursi roda, tubuhku terasa lemas, tetapi aku tetap mencoba tersenyum.

Ibu tidak bisa lagi berjalan sejak kecelakaan lima bulan yang lalu. Itu juga alasan kenapa aku tidak ikut suamiku merantau ke Jakarta. 

Kehidupan kami dulu jauh lebih baik. Gaji Mas Raffi cukup untuk mencukupi kebutuhan kami. Namun, semuanya berubah ketika Mas Raffi kehilangan pekerjaannya akibat perusahaan tempatnya bekerja yang bangkrut.

Dua bulan kami hidup pas-pasan, berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari, hingga akhirnya Mas Raffi memutuskan untuk merantau ke Jakarta, berharap bisa mengubah keadaan. 

Aku tahu dia melakukannya untuk kami, tetapi aku merasa kesepian dan cemas. Aku tidak bisa meninggalkan ibu sendirian, meskipun rasa rinduku pada Mas Raffi semakin tak tertahankan.

Ibu menatapku dengan penuh kasih, mengusap pipiku yang masih terasa sakit. 

“Ra, bagaimana kalau kamu menyusul Raffi ke Jakarta? Kamu pasti sangat merindukan suami kamu, kan?”

Aku menatap ibu, dengan hati yang berat. 

“Tapi, Bu… kalau Ara pergi, Ibu tinggal siapa? Ara tidak bisa meninggalkan Ibu sendirian.”

Ibu tersenyum lembut, mengusap kepalaku. 

“Kan masih ada bulek kamu. Ibu bisa tinggal bersama dia. Kamu pergilah, Ra. Raffi pasti merindukanmu. Ibu akan baik-baik saja.”

Mendengar kata-kata itu, hati aku terasa lebih ringan. Aku harus pergi menemui Mas Raffi. 

Aku ingin sekali bertemu dengannya. Rasa rinduku sudah tak terbendung. Aku memutuskan untuk mengikuti saran ibu dan menyusul suamiku ke Jakarta.

Keesokan harinya, aku membeli tiket bus menuju Jakarta, karena aku tidak mampu membeli tiket pesawat. 

Perjalanan itu memakan waktu hampir delapan jam, dan aku merasa lelah. Namun, ketegangan dan rasa rindu padaku menguatkan langkahku.

Namun, sesampainya di Jakarta, ada satu masalah besar yang aku lupakan—aku tidak tahu di mana Mas Raffi tinggal. Tempat kerjanya pun aku tidak tahu. Dia hanya bilang bekerja di sebuah pabrik.

Aku berkeliling mencari, tetapi Jakarta begitu besar. Aku merasa seperti tersesat. Aku mencoba menghubungi Mas Raffi, tetapi nomor ponselnya tidak aktif.

Aku merasa cemas, bingung, dan terombang-ambing. Aku berdoa agar Mas Raffi baik-baik saja, tetapi aku tidak tahu harus mencari kemana lagi.

Karena lelah terus berjalan, aku memutuskan untuk beristirahat. Hari sudah mulai malam, tapi aku belum tau mau pergi kemana.

Aku melihat ada seorang nenek-nenek yang terlihat kesusahan membawa barang belanjaannya. Aku hampiri nenek itu.

“Saya bantu ya, Nek,” tawarku.

Nenek itu langsung menatapku. “Terima kasih, Nak,” ucapnya dengan tersenyum kepadaku.

Aku langsung mengambil alih tas belanjaan nenek itu.

“Nenek mau pergi kemana? Biar saya antar,” tawarku.

“Nenek mau pulang, rumah Nenek sudah dekat dari sini,” ucap nenek itu dan aku mengangguk.

Aku antar nenek itu, karena aku tak mungkin membiarkan nenek itu membawa barang belanjaan sebanyak ini.

Dalam perjalanan menuju rumah nenek, aku memperkenalkan diri dan memberitahu perihal kedatanganku ke Jakarta serta kendala yang aku alami saat ini. Sekarang aku tau, nenek itu namanya nenek Halimah.

“Sudah sampai, Nak Ara. Ini rumah Nenek,” ucap nenek itu setelah sampai di depan sebuah rumah sederhana, tapi terlihat begitu nyaman dan asri.

“Ayo masuk.”

Aku mengangguk, lalu melangkahkan kakiku mengikuti nenek Halimah menuju pintu rumahnya.

“Nenek tinggal sendirian, cucu Nenek jarang datang kesini. Kamu boleh tinggal disini sampai kamu menemukan suami kamu,” ucap nenek Halimah, membuatku terkejut.

Aku tak menyangka, disaat aku sedang kesusahan, Tuhan mengirimkan malaikat penolong.

“Terima kasih untuk tawaran Nenek, saya tidak tau harus bagaimana membalas kebaikan Nenek,” ucapku dengan kedua mata berkaca-kaca. Padahal tadi aku sudah kebingungan mau tinggal dimana, tapi sekarang aku sudah punya tempat untuk tinggal sementara.

Aku tak mau numpang secara geratis, jadi aku membantu nenek untuk memasak makan malam dan membersihkan rumah.

Besok paginya, aku melanjutkan untuk mencari Mas Raffi, karena semalam aku kembali menghubungi Mas Raffi, tapi nomornya masih tidak aktif. Aku merasa aneh, karena sejak kemarin nomor Mas Raffi terus saja tidak aktif. Aku takut terjadi apa-apa dengan Mas Raffi.

Aku bak orang berjalan di kegelapan. Aku tak tau siapa teman-temannya, tak tau juga harus mencari kemana lagi.

Kenapa ini terjadi padaku?

Apakah dia tidak peduli kalau aku khawatir?

Demi Tuhan, aku hanya ingin tau, apakah dia baik-baik saja atau tidak.

Apalagi banyak pemberitaan di media sosial yang membuatku takut akan keselamatan suamiku di luar sana.

Sudah seperti terombang-ambing di lautan lepas, pikiranku buntu. Entah kemana lagi aku harus mencari, Tuhan?

Matahari mulai meninggi, aku lelah terus berjalan, tenggorokan terasa kering. Ku lihat ada swalayan di tepi jalan, aku pergi kesana untuk membeli minum.

Namun langkah kakiku perlahan terhenti, saat ku lihat sosok pria yang sangat mirip dengan suamiku. Tapi ada yang berbeda dari pria itu dengan suamiku.

Pria itu berpakaian rapi, memakai setelan jas yang pastinya harganya mahal. Pria itu juga sedang membuka pintu mobil mewah. Tapi yang membuatku semakin penasaran, wanita yang berdiri di sebelah pria itu.

Siapa wanita itu?

Mas Raffi bilang dia bekerja sebagai buruh pabrik, jadi tidak mungkin memakai setelan jas mahal dan mengendarai mobil mewah.

Aku sangat penasaran, jadi aku putuskan untuk memanggil pria yang wajahnya sangat mirip dengan suamiku, sebelum pria itu masuk ke dalam mobil mewah itu.

“Mas Raffi!” panggilku dengan suara keras.

Pria itu menatap ke arahku.

Ternyata pria itu ….

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 58. ENDING

    Suara tangis bayi menggema di ruang operasi, menandai kehadiran seorang malaikat kecil di dunia.Zahra baru saja melahirkan secara caesar, seperti saat melahirkan anak pertamanya, Ramadhan.Proses yang penuh perjuangan itu kini tergantikan oleh perasaan lega dan bahagia yang meliputi seluruh ruangan.Elang berdiri di sisi Zahra. Dia tak henti-hentinya mengecup kening istrinya yang masih terbaring lemah di atas ranjang operasi. Air matanya mengalir, membasahi wajahnya yang penuh kebahagiaan.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih untuk hadiah terindah yang kamu berikan padaku,” ucap Elang dengan nada bergetar. Tangannya menggenggam erat tangan Zahra, seolah ingin memastikan bahwa kebahagiaan ini nyata.Zahra tersenyum lembut meski tubuhnya masih lemah. “Semua ini juga karena kamu, Mas. Terima kasih sudah selalu ada di sisiku,” balasnya dengan suara pelan namun penuh cinta.Tak lama, seorang perawat menghampiri mereka sambil menggendong bayi mungil yang masih merah. “Pak, ini putri Anda,”

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 57.

    Di koridor yang sunyi, suara langkah kaki Zahra dan Elang menggema. Mereka baru saja selesai mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Raffi.Dokter itu, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan wajah penuh empati, menjelaskan bahwa tidak ada perubahan berarti pada Raffi sejak pertama kali dirawat di rumah sakit jiwa itu.“Dia sering menjerit ketakutan saat malam hari,” kata dokter dengan nada berat. “Dia terus mengulang bahwa dia bukan pembunuh, seolah dihantui rasa bersalah kepada Sarah dan Nessa. Namun, saat siang hari, dia terlihat berbeda. Raffi tersenyum, bicara sendiri, dan selalu menyebut nama Anda, Bu Zahra. Dia sering menceritakan bahwa istrinya, Zahra, adalah wanita yang cantik, baik, dan sangat mencintainya.”Kata-kata itu bergema di kepala Zahra, meskipun dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan emosi.Kini, Zahra dan Elang berdiri di taman rumah sakit, mengamati Raffi dari kejauhan. Pria itu duduk di kursi roda, wajahnya yang dulu tampan kini terlihat le

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 56.

    Empat tahun sudah berlalu. Zahra dan Elang, yang selama ini tinggal di Kanada setelah menikah, akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta.Selama pernikahan mereka, Elang sering bolak-balik Jakarta–Kanada karena pekerjaannya. Namun, demi kebersamaan, mereka akhirnya sepakat untuk kembali ke Jakarta setelah Zahra menyelesaikan studinya.Di Bandara Soekarno-Hatta, suasana hangat menyambut kedatangan mereka. Seorang bocah kecil bermata bulat berlari dengan semangat ke arah sepasang paruh baya yang sudah menunggu.“Kakek! Nenek!” seru bocah itu dengan suara riang, membuat suasana bandara terasa lebih hidup.“Cucu Kakek yang ganteng,” ucap Burhan dengan penuh kasih, sambil berjongkok untuk menyambut pelukan cucunya.Ramadhan Luthfi Bagaskara, atau yang akrab dipanggil Rama, langsung memeluk erat kakeknya. “Kakek!”Burhan menggendong Rama sambil tersenyum lebar.“Rama kangen sama Kakek,” ujar Rama sambil mengecup pipi kakeknya.Reina, nenek Rama, tertawa kecil. “Sama Nenek nggak kangen ni

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 55.

    Pemakaman Sarah dan Nessa baru saja usai. Suasana penuh duka menyelimuti keluarga yang ditinggalkan.Tangis Alina pecah di tengah pelayat yang mulai membubarkan diri. Dia tak menyangka nasib anak tirinya dan cucunya akan berakhir dengan begitu tragis. Rasa kehilangan begitu besar, seakan mengguncang dunia kecilnya.“Kenapa semua ini harus terjadi?” ucapnya lirih sambil menatap nisan Sarah dan Nessa.Tak hanya Alina yang terguncang. Seluruh keluarga Zahra ikut terkejut ketika mengetahui pelaku pembunuhan Sarah dan Nessa adalah Raffi dan ibunya.Raffi, yang dulu dikenal sebagai pria yang baik dan penuh kasih, kini berubah menjadi pelaku kejahatan keji.Zahra sendiri tak bisa menyembunyikan rasa prihatinnya. Dia menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dalam dadanya.Setelah pemakaman selesai, mereka kembali ke rumah nenek Halimah. Suasana di rumah terasa berat, seolah bayang-bayang tragedi tadi masih membekap mereka.Alina memilih mengurung diri di kamar, ditemani oleh putrany

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 54.

    Elang yang tengah bersiap menemui kliennya di sebuah hotel berbintang dikejutkan oleh berita mendadak dari seorang staf hotel.Seorang wanita ditemukan tewas di salah satu kamar hotel. Rasa ingin tahunya langsung membuncah, dan tanpa berpikir panjang, Elang memutuskan untuk memeriksa ke lokasi yang disebutkan.“Maaf, Pak Elang, saya harus memastikan Anda tahu apa yang terjadi,” ujar resepsionis hotel dengan nada gemetar. “Itu terjadi di kamar 304, lantai tiga.”Elang, yang sebelumnya fokus pada pertemuan bisnisnya, bahkan sampai melupakan Raffi, yang sudah menghilang entah ke mana.Bersama beberapa staf hotel, dia segera menuju lantai tiga. Di depan kamar 304, dia mendapati suasana tegang.Beberapa orang terlihat berdiri dengan wajah cemas, termasuk seorang pria yang sangat dia kenal.“Pak Derik? Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Elang dengan nada terkejut.Derik, klien yang sudah berjanji untuk bertemu dengannya, tampak pucat pasi. Wajahnya menggambarkan keterkejutan dan kesediha

  • Balasan Manis Untuk Suami Pengkhianat   BAB 53.

    Raffi terlihat panik, begitu juga dengan Sonia yang matanya langsung membelalak saat melihat Sarah yang tak sadarkan diri dengan kepala yang ber-lumu-ran da-rah.“Raf, apa yang sudah kamu lakukan!” teriak Sonia, suaranya melengking penuh kepanikan.Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Pemandangan itu terlalu mengerikan.Raffi berdiri terpaku. Dia memegang botol wine yang pecah di ujungnya, da-rah Sarah menetes dari pecahan kaca tersebut.Seketika, dia melempar botol itu jauh, seolah benda itu panas membakar tangannya.“Aku gak sengaja melakukannya. Aku hanya ingin membela diri dan kamu tahu itu!” teriak Raffi, suaranya bergetar, matanya memandang Sarah yang tergeletak tak bergerak di lantai.Da-rah terus mengalir dari kepala Sarah, membasahi lantai marmer yang mengkilap. Pemandangan itu membuat Sonia semakin panik.Sonia menoleh ke arah Raffi dengan tatapan tajam. “Raf, kita harus bawa Sarah ke rumah sakit. Dia bisa mening

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status