Istri Bayangan Tuan Arogan

Istri Bayangan Tuan Arogan

last updateLast Updated : 2025-05-05
By:  Miss hanOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
45Chapters
253views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

"Jangan berharap aku akan mencintaimu, Rania." Ucapan Aidan menghancurkan mimpi Rania akan pernikahan mereka. Memang keduanya dijodohkan. Namun, pria yang dulu pernah Rania kagumi secara diam-diam selama lima tahun itu, ternyata masih terikat dengan mantan kekasihnya. Rania perelahan menyerah dalam bayangan pernikahan ini. Namun, mengapa Aidan justru menunjukkan sisi yang berbeda—sangat posesif dan tak mau melepasnya?

View More

Chapter 1

Bab 1 Pernikahan Hitam

Bibir Rania terasa kering. Tangannya menggenggam erat kain gaun putih yang menjuntai di pangkuannya. Di ruangan itu, suara lantang penghulu menggema, diikuti dengan desiran pelan dari para tamu yang menahan napas.

Di sampingnya, Aidan duduk tegak, mengenakan jas hitam dengan wajah tanpa ekspresi.

"Ijab qabul akan segera dilaksanakan," kata penghulu.

Rania menunduk. Ini benar-benar terjadi.

Ia mengeraskan hatinya. Tidak boleh ada keraguan. Tidak boleh ada penyesalan.

"Aidan Ramadhani bin Fadhlurrahman," suara penghulu terdengar lagi, mantap dan jelas. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Rania Amara binti Firdaus dengan mahar seperangkat alat salat dan emas 500 gram, dibayar tunai."

Hening sejenak.

Lalu, suara berat itu terdengar.

"Saya terima nikahnya Rania Amara binti Firdaus dengan mahar tersebut, tunai."

Gema sah dari para saksi menggetarkan ruangan. Rania mengangkat wajah, mencoba menangkap perubahan sekecil apa pun di raut wajah Aidan. Namun, pria itu tetap dingin, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah sebuah transaksi biasa.

Sebagian tamu tersenyum haru. Beberapa sanak keluarga menyeka air mata. Akan tetapi, Aidan bahkan tidak menoleh ke arahnya. Pernikahan itu resmi, tetapi mengapa rasanya seperti ia baru saja kehilangan sesuatu?

Resepsi berlangsung meriah. Lampu kristal berkilauan, bunga-bunga putih menghiasi seluruh aula, dan hidangan mewah tersaji di meja panjang. Semua orang tampak bahagia. Kecuali kedua mempelai.

"Selamat, Aidan," suara lembut seorang wanita menyusup di antara keramaian.

Rania menoleh. Wanita cantik tersenyum manis pada Aidan dan senyum itu dibalas tidak kalah hangat, tetapi hanya sekejap.

Gaun merah yang dikenakannya begitu mencolok, seakan sengaja dipilih untuk menarik perhatian. Matanya berbinar, tetapi ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang membuat perut Rania terasa tidak nyaman.

"Aku hampir tidak percaya ini benar-benar terjadi." Wanita itu tersenyum kecil. "Pernikahanmu."

Aidan mengepalkan tangan di samping tubuhnya, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya mendengkus kesal.

Wanita itu mengalihkan pandangannya ke Rania. "Kau sangat beruntung, Rania."

Rania hanya tersenyum tipis. Ia tidak bodoh. Kalimat itu bukanlah sebuah pujian.

Aidan menghela napas panjang, lalu berbisik pelan, "Larissa, ini bukan tempat yang tepat. Aku akan menjelaskannya segera."

Larissa mengedikkan bahu sebelum melangkah pergi. Rania ingin bertanya. Tentang hubungan mereka. Tentang ia merasa seperti ada bayangan asing yang begitu kuat di antara dirinya dan Aidan. Namun, ia menahan diri. Mungkin ia tidak ingin tahu jawabannya.

***

Rania duduk di sisi tempat tidur, jemarinya menggenggam ujung selimut. Kamar ini terlalu luas, terlalu asing, terlalu sunyi.

Aidan masuk. Ia melepas dasinya, berjalan melewati Rania tanpa menatapnya.

"Aidanb…." Rania mencoba bicara, tetapi suara itu nyaris seperti bisikan.

Pria itu berhenti sejenak. "Tidurlah. Aku akan di luar."

Rania menoleh cepat. "Di luar?"

"Aku ada urusan," jawabnya singkat.

Tidak ada kehangatan di matanya. Tidak ada keraguan. Aidan tidak merasa perlu memberikan penjelasan lebih panjang. Ia mengambil kunci mobilnya dan keluar tanpa menoleh lagi. Pintu tertutup pelan.

Sepi.

Rania menghela napas dalam. Lalu ia tersadar. Ini bahkan belum benar-benar dimulai dan Aidan sudah memilih pergi. Ia semakin tahu gambaran pernikahan paksaannya. Ternyata bukan hanya dia yang terpaksa.

Rania tetap duduk di tempatnya, menatap pintu kamar yang tertutup. Kepergian Aidan menyisakan kehampaan yang aneh.

Dadanya terasa sesak, tetapi ia tidak tahu pasti karena apa. Mungkin karena fakta bahwa suaminya pergi begitu saja tanpa sedikit pun rasa bersalah. Atau mungkin karena sejak awal, ia sudah tahu ini akan terjadi. Ia pikir Aidan bisa bersikap baik padanya meski mereka tidak saling mencintai.

Rania menunduk, jemarinya meremas gaun tidur yang baru sempat diganti. Rasa dingin merayap di kulitnya, tetapi bukan karena udara malam, melainkan kesadaran bahwa ia benar-benar sendirian dalam pernikahan ini.

Rania bangkit. Langkahnya pelan saat ia berjalan menuju cermin besar di sudut ruangan. Bayangannya terpantul di sana, seorang wanita dalam balutan pakaian tidur sutra putih, rambut panjangnya tergerai berantakan. Matanya sembab. Ia tertawa kecil, getir. Baru saja menikah, tetapi malam pertamanya sudah dihabiskan sendiri.

Di luar, rintik hujan mulai turun. Rania melangkah menuju jendela besar, menyingkap tirai tipis, dan menatap jalanan gelap di bawah sana. Lampu-lampu kota masih menyala, gemerlap seperti bintang yang jatuh ke bumi dan di antara mereka, ada Aidan. Entah di mana.

Apakah dia bersama wanita itu? Larissa?

Pikiran itu menyusup begitu saja ke benaknya, menusuk tanpa ampun.

Larissa.

Nama itu terasa seperti duri dalam daging. Ia tak tahu hubungan pasti apa yang terjalin di antara Aidan dan wanita itu, tapi ia bukan orang bodoh. Cara Larissa berbicara tadi, tatapan Aidan yang mendadak hidup, tetapi penuh sesuatu yang tak terkatakan, semua itu cukup untuk memberi tahu bahwa ada sesuatu di sana. Rania hanyalah orang asing yang kebetulan terjebak di dalamnya.

Sementara itu, di dalam mobil yang melaju di jalanan basah, Aidan mengeratkan jemarinya di kemudi. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Yang ia tahu hanyalah ia tidak bisa berada di rumah itu. Tidak malam ini.

Hujan semakin deras, menampar kaca mobil, menciptakan suara samar yang mengisi keheningan di dalam kabin.

Pernikahan. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan ide itu. Sejak berbulan-bulan lalu, keluarganya sudah membicarakan ini, menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain. Namun tetap saja, saat mendengar penghulu mengucapkan ijab, saat suaranya sendiri menyatakan penerimaan, semuanya terasa seperti mimpi buruk.

Aidan menekan pedal gas lebih dalam. Ia tahu Rania tidak pantas menerima ini. Ia tahu bahwa perempuan itu tidak bersalah. Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa berpura-pura. Tidak bisa pura-pura mencintai. Tidak bisa pura-pura menerima.

Ia menghela napas berat, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berkecamuk. Akan tetapi bayangan mata Rania tadi, mata yang berusaha tetap tegar meskipun dipenuhi pertanyaan, terus menghantuinya. Ia memejamkan mata sejenak sebelum kembali fokus pada jalan. Hanya satu yang ia yakini malam ini. Ia tidak bisa pulang. Tidak sekarang.

Hujan turun semakin deras. Wiper mobil Aidan bergerak cepat, berusaha menghalau butiran air yang jatuh tanpa ampun. Tangannya masih mencengkeram kemudi, tetapi pikirannya melayang jauh. Rania dan tatapan perempuan itu sebelum ia pergi sangan mengganggu.

Aidan meremas setir lebih erat. Tidak. Ia tidak boleh memikirkannya. Ini bukan kesalahannya. Ia sudah memberi tahu keluarganya bahwa ia tidak ingin pernikahan ini. Tapi mereka tetap memaksanya. Dan sekarang, Rania harus menanggung akibatnya.

Mobilnya terus melaju, meninggalkan gemerlap lampu kota, memasuki kawasan perumahan elit dengan deretan rumah mewah yang sunyi.

Lalu ia berhenti. Rumah megah di hadapannya berdiri kokoh di tengah kegelapan, diterangi hanya oleh lampu teras dan bias cahaya dari jendela lantai dua. Jemarinya mengepal di atas paha, seakan ragu.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia membuka pintu mobil dan keluar. Hujan langsung menyambutnya, membasahi rambut dan bahunya, tetapi ia tidak peduli.

Dengan langkah panjang, ia berjalan menuju pintu besar yang telah begitu familiar. Ia mengangkat tangannya, memencet bel. Hening.

Lalu, suara kunci diputar dari dalam terdengar. Pintu terbuka sedikit, dan seseorang berdiri di sana, bayangannya samar tertelan cahaya dari dalam rumah.

“Wah, pengantin baru kabur?” Suara seseorang menyentaknya. Suara yang beberapa tahun ini berhasil menawan hatinya. Mata Aidan terangkat, menatap sosok itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. 

Ia tersenyum menatap Aidan. Sosok itu tahu maksud dari pria yang sering menyambanginya setiap hari. Lalu pintu terbuka lebih lebar, memberi ruang Aidan untuk masuk. Tanpa ragu, Aidan melangkah ke dalam dan pintu tertutup kembali di belakangnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
45 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status