Aku tersenyum miring saat Ibu menyadari hal apa yang barusan beliau ucapkan. Pun demikian dengan Mas Arga, wajahnya sudah sepucat mayat. "Ma, Arga bisa jelaskan." "Apa? Apa yang kamu mau jelaskan? Sudah jelas kalau ibumu ini bilang kalian sudah halal, jadi nggak ada yang perlu dijelaskan lagi. Sekarang, Mama minta, kamu ceraikan Rain!" Jedder! Mama memang selalu to the point. Mas Arga menatapku sendu, kenapa? Bukankah kami menikah memang karena dijodohkan? Bahkan tak ada cinta di antara kami. "Nggak bisa gitu, dong, Ma. Arga, mencintai Rain. Nggak mungkin menceraikannya." Aku terdiam, membeku. Apa aku tak salah mendengarnya? Dia, mencintaiku? "Mas!" Shelina memukul lengan Mas Arga, sedangkan Ibu hanya menatap tak percaya pada anak bungsunya itu. "Halah! Memangnya kamu pikir Mama tak tahu? Kalian selama ini memperlakukan anak Mama satu-satunya ini, selayaknya pembantu. Pembantu mah enak, dapet duit. Lah, Rain dapet apa? Dapet dikhianatin doang!" Kutatap wajah Ibu yang s
"Ayo, Ma, kita pergi!" ajakku pada Mama. "Eh, kamu mau ke mana, Dek?" tanya Mas Arga seraya memegangi tanganku."Ke mana lagi? Ya pulang ke rumahku, lah. Di sini kan aku nggak dibutuhin lagi. Sudah ada Shelina. Benar kan, Lin?" Shelina menatapku gugup. Ia sedari tadi memang lebih banyak diam. "Eh, kenapa?" "Selama aku menjadi menantu di rumah ini, semua pekerjaan rumah aku yang handle. Begitu juga kamu harus siap tak diberi nafkah." Lina tersenyum sinis padaku. "Itu tidak mungkin terjadi. Mas Arga sangat mencintaiku, begitupun dengan Ibu yang menyayangiku. Jangan samakan nasibmu denganku, karena kita tak sepadan. Uang gaji Mas Arga, akan tetap aku yang pegang."Aku tertawa keras. Siapa yang bisa menjamin? Bahkan kini kulihat wajah Ibu berubah menjadi khawatir ketika mendengar ucapan Shelina. "Dek, coba pikirkan lagi.""Untuk? Oh iya, jangan lupa untuk mendaftarkan gugatan cerai kita ke pengadilan. Kalau kamu tak mau, biar aku yang mengajukannya.""Dasar wanita sombong! Lihat sa
Aku terdiam saat dia mengatakan hal demikian. Tapi, itu tak berlang lama. Karena setelahnya..."Hahahaha!" "Kok ketawa?""Aduh, udah deh, Mas. Nggak usah sok akting gitu. Pake segala bilang cinta. Kamu pikir aku bahkan luluh dan dengan mudahnya kamu membawaku kembali ke rumah ... Maksudku, rumah yang mirip neraka itu?" "Untuk apa aku bercanda?" "Ya siapa tau, kan.""Aku serius, Dek.""Pulanglah, Mas. Aku sedang tak ingin bertemu denganmu. Lagian ini sudah malam. Tak baik." "Orang masih berpikiran bahwa aku ini suamimu. Jadi, apanya yang tak baik?" "Tak baik untuk kita, Mas. Semakin lama kamu di sini, semakin aku ingin segera bercerai denganmu!" Raut wajah Mas Arga terlihat terkejut. Biarlah. Toh aku memang ingin berpisah dengannya. "Dek, coba pikirkan lagi. Semua ini masih bisa diperbaiki.""Apanya yang diperbaiki? Bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau? Shelina sudah menjadi istrimu." "Mungkin awalnya aku memang menginginkan dia. Tapi, makin ke sini, entah kenapa h
Pov Arga "Kamu bener mencintai Mbak Rain, Mas?" tanya Shelina, seusai kepergian Rain dari rumah. "Emm ... Itu ..." Aku bingung harus menjawab apa? Karena sejujurnya, jauh di dalam hatiku memang tersemat namanya. Meskipun belum bisa menggantikan Shelina. Entah itu bermula sejak kapan? Yang pasti, saat aku mulai memperhatikan ia yang tengah menyiapkan makanan untukku, juga ketika ia menyambutku dengan pakaian rapi, sore itu. Ada yang berbeda. Jelas. Biasanya ia akan mengenakan daster berbau bawang ketika menyambutku pulang kerja. Sejak saat itu, bayang-bayang Raina mulai menghantuiku. Hingga akhirnya, aku menikah dengan Shelina. Entah, ada yang terasa kosong. Aku, tak sebahagia yang kubayangkan. Tadinya kupikir, menikahi Shelina merupakan keinginan terkuatku. Namun sepertinya, sosok Raina telah berhasil merebut perhatianku. "Mas? Ditanya kok malah diem?" Suara Lina membuatku tersadar dari bayang masa lalu. "Mas nggak tahu. Spontan aja tadi jawabnya," ucapku sambil masuk ke dala
Kukejar perempuan yang sudah menemaniku selama dua tahun itu. Entah kenapa, rasa takut mulai menyergap. Kuambil kunci mobil, lalu mengikuti taksi yang telah distop oleh Raina. "Jangan. Jangan begini, aku takut kehilanganmu." Dengan kecepatan penuh, kulajukan mobil hingga akhirnya... Brak! Kurasakan hantaman pada mobil bagian depan dan belakang. Masih dapat kudengar riuh suara orang-orang menghampiri, hingga akhirnya aku mulai kehilangan kesadaranku. --Pov Raina Aku begitu kagum pada Mas Arga. Mau sampai kapan dia akan membuktikan yang katanya mencintaiku itu? Bukankah semua itu palsu? Kita lihat, apakah dia benar-benar mau menceraikan Shelina? Aku dan Mama pergi bersama ke rumah Mas Arga, lalu mendapati hal yang kuinginkan. Mas Arga, mentalak langsung Shelina. Hatiku langsung berbunga-bunga. Apakah kalian pikir aku memintanya untuk menceraikan Shelina agar kami dapat bersama? No-no! Kalian salah besar. Setelah mendengar ucapan talak Mas Arga pada wanita tak tahu diri itu,
"Halo. Assalamu-""Mbak ... Tolong aku, hiks." Dahiku berkerut mendengar suara Megan di seberang sana. Kenapa dengannya?"Ada apa?" "Mbak, sepertinya, aku hamil." Deg! Dia hamil? "Lalu?""Bantu aku, Mbak.""Bagaimana caranya?" "Aku mau menggugurkannya." "Astaghfirullah. Sadar, Megan!" "Aku bingung, Mbak. Hiks." Aku pun semakin bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan adik iparku itu? "Kamu di mana sekarang?" Setelah mendengar nama tempat yang diucapkan oleh Megan, aku segera meluncur ke sana. "Ke mana?" tanya Mama saat aku menyambar kunci mobil yang tepat berada di sampingnya. "Rain ada perlu, Ma. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam." Kupacu mobil dengan kecepatan penuh. Tak kupedulikan umpatan bahkan cacian pengguna lain. Yang ada di pikiranku sekarang adalah, bagaimana untuk cepat sampai di sana. Kuparkirkan mobil di depan sebuah hotel bintang tiga tersebut. "Mau cari siapa?" tanya satpam. "Mau cari adik saya." "Kamar nomor?" Duh, aku lupa menanyakannya. Lagi
Sampai di rumah sakit, segera kucari suster dan menanyakan ruang Mas Arga dirawat. "Keluarganya?" Aku mengangguk. Lalu beranjak pergi setelah menemukan nomor kamarnya. "Pasien mengalami pendarahan hebat. Untungnya, dokter yang berjaga sangat siaga. Pendarahan dapat diberhentikan, sekarang pasien sudah di ruang rawat inap," kata suster tadi. Sampai di ruangannya, sepi. Tak kutemukan Ibu di sana. Apakah pihak rumah sakit hanya menghubungiku saja? "Sepertinya, dia belum sadar," ucap Mama sambil meletakan tasnya di sofa. Aku duduk di sebelahnya, tanpa sadar, hatiku sakit melihatnya seperti ini. "Aku telpon Ibu dulu, Mbak." Aku mengangguk mendengar penuturan Megan. Tapi, bukankah ia sedang tak ingin bertemu dengan Ibu? Ah, sudahlah. Tak berapa lama, seorang dokter datang bersama suster. "Keluarga pasien Arga?" Aku mengangguk, lalu berdiri menghampiri dokter muda itu. "Bisa ikut ke ruangan saya?" "Kenapa nggak dijelaskan di sini saja, Dok?" "Ini penting, Bu," kata Dokter itu d
Aku dan Mama berpandangan, sementara Megan segera keluar dari dalam kamar. "Mas Arga sudah tidur, Gan?" "Sudah, Mbak. Sepertinya, itu suara Ibu, ya?" Aku mengangguk. Kenapa Ibu berteriak begitu? Segera kubuka pintu yang memang sengaja kukunci. "Rain! Di mana Arga? Mana anakku?" "Bu, tenang. Kita bicarakan di dalam." Ibu masuk dengan wajah merah padam. Ada apa sebenarnya? "Mana Arga?" "Bu, Mas Arga baru pulang dari rumah sakit. Jika Ibu datang hanya membawa masalah, sebaiknya Ibu simpan dulu," ucapku. "Heh, perempuan mandul! Arga itu anakku. Kenapa dia tak mengirimkan uang begitu kupinta? Biasanya dia akan langsung mengirimkannya. Kamu pastii menghasutnya, kan?" Deg! Perempuan mandul? "Astaghfirullah, Bu! Anak saya tidak mandul, ya!" Papa datang dari kamarnya. Lalu berdiri, berhadapan dengan Ibu mertuaku."Alah, kalau tidak mandul, kenapa tak hamil juga? Sedangkan Shelina saja sudah hamil, kok!" Apa? "Shelina hamil?" tanyaku."Ya, dia sudah hamil empat minggu. Sedangkan