BAB 56 "Maafkan Riris, ya, dia memang terkenal pendiam. Jadinya begitu," ucap Bu Ina. Pendiam? Dari mananya? Terlihat sekali jika anaknya itu memendam perasaan pada suamiku. "Iya, Bu, nggak papa," jawabku. Mas Uji mengajakku keliling kampung lagi. Kampung suamiku memang sangat asri lingkungannya. Banyak pepohonan yang masih rindang. "Mas, Riris beneran pendiam?" tanyaku. "Iya, memang begitu. Kenapa?" "Nggak papa." Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di rumah. Rupanya, Umi sudah membuatkan kudapan. Aku jadi tak enak, karena tak membantunya. "Maaf ya, Umi, Raina nggak bantuin." "Nggak papa, Nak Rain. Ayo, dimakan." Aku mengangguk, kami lalu lanjut mengobrol tentang masa-masa Mas Uji setelah pindah dulu. Ternyata, Umi tak jauh berbeda. "Sudah, Mi. Uji malu, ah." Umi terkekeh, lalu mengajakku untuk ikut pengajian nanti malam. Sementara Mas Uji berlalu untuk mandi sore. "Di mana, Mi?" tanyaku. "Ada di mushola, tadi Uji ngajak ke sana, nggak? Ke guru ngajinya U
"Eh, Nak Raina. Nggak papa, tadi Bibi salah ngomong. Kalau begitu, aku pulang dulu ya mbak, soalnya bentar lagi mau ada tamu. Maaf gak bisa ngebantu dulu," ucap Bi Waroh. Umi menggelengkan kepalanya, Aku hanya bisa beristighfar dan mencoba sabar untuk menghadapi bibinya Suamiku itu. Aku sadar, jumlah manusia itu banyak dan tak mungkin semuanya itu menyukai kita. Ada saja permasalahan yang terjadi, meski kita hanya diam saja. "Mau masak apa, Mi? Biar Nana bantu." "Nggak usah, Na. Umi bisa melakukannya sendiri, lagi pula kamu di rumah Mama kan nggak pernah ngapa-ngapain, Masa Iya Umi mau menyuruh-nyuruh kamu." Aku terkekeh, memang banyak orang yang mengira jika Mama terlalu memanjakan aku. Padahal sebenarnya tidak, karena aku pun mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya anak pada umumnya ketika di rumah. "Nggak, Mi, Nana juga sering masak di rumah. Enak masakannya, Mi," ucap Mas Uji sambil keluar dari kamar. "Iyakah? Wah Umi nggak tahu, Ayo kalau gitu sini, Na, bantu kupaskan kentan
BAB 58 Aku tak bisa tinggal diam saja ketika melihat suamiku diharapkan oleh perempuan lain. Terlebih ini adalah oleh wanita di masa lalu Mas Uji. "Ayo, Na, kita teruskan jalan-jalan. Misi ya, Nak Riris." Seperti ada kekecewaan di kedua manik hitam perempuan manis itu. Seolah-olah mengharapkan sesuatu yang memang sangat ia inginkan. "Umi duluan, Nana mau ngobrol dulu sama Mbak Riris." Riris membeliakkan matanua seakan bingung dengan keinginanku. Aku meminta Umi untuk menunggu di warung dekat lapangan. "Ada apa, Mbak?" tanya Riris. "Begini ya, Mbak Riris. Aku tak ingin menggunakan cara kasar. Singkatnya saja, tolong jauhi suami saya. Mbak Riris sudah tahu Mas Uji memiliki seodang istri, kenapa masih mengharapkannya?" tanyaku pada Riris yang langsung menunduk. Kupikir, wanita itu mengerti, namun ternyata tidak. Ia justru terkekeh mendengar ucapanku. "Lantas, kalau dia sudah menikah memang kenapa? Banyak kok, pernikahan yang hancur karena orang ketiga." Dadaku berdebar kencang
"Mas hari ini kayaknya bakal pulang telat, Dek. Ada meeting. Kamu tidur aja duluan.""Iya, Mas.""Ini uang lembur Mas bulan ini. Dapat sejuta, kita bagi dua, ya?" ucapnya sambil menyodorkan lima lembar berwarna merah."Alhamdulillah, makasih, Mas," ucapku."Sama-sama. Jangan boros-boros, ya."Aku mengangguk, kata-kata itu memang sudah menjadi andalannya setiap kali memberi uang yang tak seberapa ini. Namun, aku tetap bersyukur.Aku mengantar Mas Arga, setelah mobilnya tak kelihatan lagi, aku berbalik masuk ke dalam rumah."Raina!" teriak Ibu mertuaku."Huh, ini masih pagi, Bu. Kenapa harus teriak, sih?" gumamku sambil berjalan menghampirinya."Kenapa, Bu?" tanyaku."Raina, kamu mau bikin ibu diabetes? Ini manis sekali!" "Maaf, Bu. Raina lupa memasukkan gula kebanyakan," jawabku."Berapa sendok yang kamu masukkan?" tanyanya."Dua sendok, Bu," jawabku lagi."Apa? Pantas saja teh ini terasa begitu manis!"Aku memutar bola mata. Malas rasanya. Sudah dua tahun menjadi menantu di keluarga
Kusunggingkan senyum, atau lebih tepatnya, aku memaksakan senyum palsu pada Ibu meskipun hatiku perih. "Kan mau masak, Bu. Ibu ga mau makan emang?" Ibu melengos lalu pergi tanpa menjawab pertanyaanku.Kulanjutkan masak sambil menikmati perih di hati. Tidak! Jangan sampai ada air mata yang mengalir untuk keluarga licik ini! "Mbak! Bikinkan aku jus jambu, ya!" pinta Megan, adik iparku saat memasuki rumah."Assalamu'alaikum dulu, Gan. Baru ngomong," ucapku sambil menumis bumbu. "Alah, gausah sok ceramahin deh. Urusin aja tuh, kenapa Mbak nggak hamil-hamil padahal udah dua tahun nikah sama kakakku!" Ya Allah!Dia masih SMA, usianya bahkan belum genap tujuh belas tahun, tapi ucapannya sungguh menusuk hati. Kutekan dada yang terasa perih. belum usai sakitku karena kenyataan Ibu yang tak menyetujui pernikahan kami dari awal, ditambah dengan perkataan Megan yang begtu menyinggungku.Meski aku sakit hati pada Megan, tetap kubikinkan juga, Biasanya, Ibu akan marah kalau aku bikin jus jambu
Aku langsung terduduk saat Ibu masuk ke dalam kamarku. "Enak banget sore-sore tiduran. Itu halaman belum disapu!" "Tapi, Bu, Raina juga habis beberes. Baru juga selesai. Ini lagi ngelurusin pinggang." "Pinggangmu dah lurus! Badan kerempeng gitu. Makan yang bener, makanya!" ketusnya. Aku terdiam, lalu membatin, 'Katamu aku kurus? Iya kurus, kalau dibandingkan dengan badan Ibu yang lemaknya di mana-mana itu!' "Astaghfirullah!" Aku beristighfar, supaya hati adem dan gak lagi menggerutu dalam hati. "Apa kamu sampe nyebut gitu?" "Nggak, Bu. Iya, Raina lupa kalau halaman belum disapu. Nanti Raina sapuin, ya, Bu." Ibu melengos pergi tanpa menjawab apapun. Baguslah! Setidaknya itu lebih baik daripada harus nyerocos terus. Sebenarnya, kalau mereka bisa menghargai dan menganggapku ada di sini, aku juga tak mau bersikap seperti ini. Aku juga masih takut dosa. Tapi, jika aku tetap mengalah seperti yang lalu-lalu, bukankah mereka akan semakin senang menindasku? Malam hari. Aku
"Mas Ikbal?" "Lho, Raina?" Aku tersenyum. Dia adalah kakak iparku. Suaminya Mbak Dania, kakak Mas Arga. Selama ini, hanya dialah orang yang mengetahui wajahku yang mengenakan make up.Itu semua berawal dari aku yang keluar rumah, lalu duduk sebentar di bangku depan warung sebelah rumah. Kala itu Mas Ikbal mau beli rokok, tak sengaja melihatku memakai make up. Ibu warung juga sudah kusogok untuk tak membocorkan rahasia ini. Kalau Mas Ikbal, Alhamdulillah dia mau membantuku merahasiakannya. "Kamu ngapain ke sini, Rain?" "Ada perlu, Mas. Iya, ada perlu," jawabku terbata. Ia memang mengetahui wajahku, tapi tak mengetahui jika aku memiliki usaha dan bisa dibilang sukses. "Oh, gitu. Mas habis beli anting untuk Mbakmu." Aku mengangguk, namun termenung seketika saat kulihat Mas Arga keluar dari tokoku sambil menggandeng seseorang. "Ya sudah, Rain, Mas pulang dulu, ya." "Oh, iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya." Kini, jarakku dengan Mas Arga sudah dekat. Apakah dia akan mengenali
Aku menatap tak percaya pada pemandangan di hadapanku. Lina, yang katanya tadi memasak, justru memporak-porandakan dapur. Sedangkan ia tengah bergelayut mesra pada Mas Arga, suamiku. "Eh." Ia buru-buru melepaskan tangannya, kemudian menarik diri dari Mas Arga. "Rain, ini bawakan!" perintah Mas Arga tepat setelah Shelina menjauh darinya. Kuambil tas itu, lalu kucium takzim tangan Mas Arga. Hal yang biasa kulakukan, namun sekarang Mas Arga terlihat canggung. Biasanya, suamiku itu akan langsung mencium keningku, namun sekarang tidak. Tentu, karena di sini sedang ada calon istri keduanya. Nyess! Mengingat Mas Arga yang akan menikah lagi, hatiku kembali patah. Tak dapat kupungkiri jika di hatiku ini ada nama MAs Arga. Namun, aku tak boleh lemah. Jika lemah, mereka kan menindasku. Hatiku boleh sakit, tapi ragaku harus tetap sehat. "Dia siapa, Ma?" tanya Mas Arga. Mama terlihat terkejut, begitupun dengan Megan. Ah, aku tahu. Jadi mereka belum membicarakan tentang Shelina ini akan men