Kusunggingkan senyum, atau lebih tepatnya, aku memaksakan senyum palsu pada Ibu meskipun hatiku perih.
"Kan mau masak, Bu. Ibu ga mau makan emang?"
Ibu melengos lalu pergi tanpa menjawab pertanyaanku.
Kulanjutkan masak sambil menikmati perih di hati. Tidak! Jangan sampai ada air mata yang mengalir untuk keluarga licik ini!
"Mbak! Bikinkan aku jus jambu, ya!" pinta Megan, adik iparku saat memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum dulu, Gan. Baru ngomong," ucapku sambil menumis bumbu.
"Alah, gausah sok ceramahin deh. Urusin aja tuh, kenapa Mbak nggak hamil-hamil padahal udah dua tahun nikah sama kakakku!"
Ya Allah!
Dia masih SMA, usianya bahkan belum genap tujuh belas tahun, tapi ucapannya sungguh menusuk hati. Kutekan dada yang terasa perih. belum usai sakitku karena kenyataan Ibu yang tak menyetujui pernikahan kami dari awal, ditambah dengan perkataan Megan yang begtu menyinggungku.
Meski aku sakit hati pada Megan, tetap kubikinkan juga, Biasanya, Ibu akan marah kalau aku bikin jus jambu tanpa ada anak atau dirinya yang meminta. Sungguh, pelitnya melebihi Qorun!
"Jus untuk siapa?" tanya Ibu sambil melewatiku, lalu membuka kulkas.
"Untuk Megan, Bu."
"Kok banyak banget?"
"Nggak, kok. Seperti biasa. Ini airnya aja Raina lebihin."
"Bagus. Jangan boros-boros. Jambu mahal soalnya."
Kini, gantian aku yang melengos saat mendengar ucapannya.
Makan siang tiba.
Mereka makan, sedangkan aku membersihkan panci bekas masak tadi. Ya, mereka selalu makan tanpa mengajakku. Meskipun bisa saja aku masuk dan ikut makan, tapi alangkah indahnya jika diajak makan oleh mertua.
"Raina ini kebiasaan. Masaknya selalu aja keasinan. Bisa darah tinggi Ibu."
Aku hanya diam mendengar Ibu menggerutu. Toh meskipun ia menggerutu, tapi tetap saja makannya banyak.
"Raina! Apa-apaan ini!"
Aku terkejut mendengar suara Mas Arga berteriak. Dengan tergesa aku berlari ke depan.
"Kenapa, Mas?" tanyaku.
"Kamu, kasih makan aku sama Ibu kepala ikan sama gulai ceker dan kepala?"
Aku mengangguk.
"Kamu kemanakan uang belanja tadi, Raina?" tanya Ibu.
Kukeluarkan nota pembelian tadi. Sengaja, untuk menghadapi situasi seperti ini.
"Nih, ya, Bu. Ceker dan kepala ayam, 15.000. kepala ikan Mas, 20.000. Bahan sambel, 5.000. Beli kentang, 7.000."
"Itu masih ada sisa 3.000. Mana?"
Astaghfirullah, Ibu!
"Raina belikan es cendol tadi. Haus, Bu. Mana panas."
"Lihat sendiri, Arga! Istri kamu ini gak becus dan boros! Masa kita dikasih makan beginian, sedangkan dia enak-enakan minum es cendol?"
"Bu, harga ayam itu 40.000 sekilo, ikan mas juga sama sekarang. Apalagi cabe lagi mahal. Sedangkan Ibu ngasihnya cuma 50.000."
"Ya kamu usahain lah. Kan kamu juga dikasih jatah sama Mas Arga. Kenapa gak kamu pake aja dulu itu, Mbak?" Kali ini, Megan ikut menimpali.
"Besok, kamu aja yang belanja, Gan. Biar tau kenyataan."
"Berani kamu sama Megan?" teriak Ibu.
Aku terdiam. Jika sudah begini, sudah pasti aku yang bersalah.
"Maaf," ucapku pada akhirnya.
Tapi, tetap aja, mereka bahkan menghabiskan semua makanan itu tanpa menyisakan untukku. Untung, tadi aku sudah menyisihkan dua kepala ikan, dan gulai semangkuk. Mulai sekarang, aku harus pandai-pandai menghadapi manusia licik dan pelit itu.
"Mana jus aku, Mbak?" tanya Megan sambil tetap duduk di kursinya, tanpa beranjak sedikitpun.
"Di sini."
"Iya, di mana?"
"Di dapur, Megan," jawabku sambil buru-buru mencuci gelas bekas minum jus jambu.
"Ih, Mbak! Bawain ke sini, dong! Masa iya aku harus ke dapur?"
"Lah, ya apa salahnya? Kan kakimu itu masih utuh. Ya, kan? Apa kurangnya lagi? Tinggal jalan ke sini," jawabku sambil mengelap kompor.
"Raina! Bawakan saja kenapa? Berisik, aku lagi makan!" teriak Mas Arga.
Mau tak mau, aku membawakannya untuk adik ipar super rese dan ga tau sopan santun itu.
Saat sampai ke depan, aku lebih dibuat melongo. Gulai ceker dan kepala yang katanya gak level itu, dan kepala ikan mas yang katanya gak suka, sudah habis disantap oleh mereka bertiga. Ckckckck! Katanya gak doyan!
"Liat apa kamu?" tanya Ibu yang kini sedang bersandar lemah di kursi. Karena apa? Ya karena kekenyangan, lah!
"Nggak, Bu."
"Bukannya tadi kamu bikin jusnya banyak? Kenapa cuma jadi segelas?" tanya Ibu, mulai mendikteku.
"Tadi tumpah, Bu."
"Aduh, Raina! Padahal itu bisa diminum Ibu. Kenapa kamu tumpah-tumpahin, sih?!"
Akhirnya, aku minta maaf. Tunggulah saatnya kalian yang meminta maaf padaku, Bu, ucap batinku.
"Aku mau berangkat dulu, Dek. Kamu nurut sama Ibu, kalau nggak mau jatahmu di kurangi sama Mas."
Cih!
Aku mendecih, meskipun hanya bisa dalam hati. Entah kenapa, aku tak bisa membantah lelaki ini. Selain karena ia imamku, tapi sepertinya hatiku benar-benar tertaut padanya.
Sore hari.
Aku baru selesai benenah dan masuk ke kamar kami. Kepalaku pusing, perut juga bergejolak ingin mengeluarkan isinya. Tak mungkin maagku kambuh, karena tadi sudah sarapan.
Kurebahkan tubuh di atas ranjang. Rasa nyaman mulai mengambil alih perasaanku.
Tiba-tiba, aku teringat dengan ucapan Ibu. Jadi, Mas Arga menikahiku karena terpaksa? Karena wasiat? Tapi, kenapa? Apa wasiat itu?
Terbayang saat pertama kami bertemu. Dia dengan suara lemah lembut, menyebutkan namanya dan mengatakan untuk melamarku. Ya, kami belum pernah bertemu sebelumnya.
Malam itu, tiba-tiba saja ia dan keluarganya datang. Aku yang sedang tiduran di depan tivi mengenakan baju tidur yang bercelana pendek, langsung lari ke kamar untuk bersembunyi.
Awalnya, kukira mereka saudara jauh yang tak pernah kutemui. Nyatanya, aku sungguh terkejut saat Mama datang ke kamar dan mengatakan akan menjodohkanku.
Aku yang saat itu belum siap, juga karena usahaku baru dirintis, menolak dengan tegas perjodohan itu. Dan lagi, aku belum bisa move on dari kekasihku yang dulu.
"Ma, Raina kan punya Mas Bayu."
"Sampai kapan kamu mau berbohong? Kamu sama Bayu sudah putus, kan? Kemarin Mama liat dia berboncengan dengan wanita lain."
"Tapi, Ma-"
"Tak ada tapi-tapian. Umurmu sudah mau dua puluh tujuh, Raina. Sampai kapan mau jadi jomblowers gini?"
"Mama!" rengekku.
"Mau menikah atau mau Mama coret dari daftar KK?"
Aku terhenyak. Seserius ini keinginan mereka untuk melihatku menikah?
Dengan berat hati, akupun mengangguk. Menyetujui keinginan Mama dan Papa.
"Tapi, Raina ada syarat."
"Apa?"
"Jangan bilang ke calon suami Raina, kalau wanita yang akan dinikahkan dengannya ini adalah seorang pembisnis. Biarkan saja mereka mengira aku tak mempunyai pekerjaan. Setuju?"
Mama mengangguk. Kemudian mengantarkanku ke meja rias untuk mendandaniku.
"Stop, Ma! Aku juga tak ingin mereka melihat wajahku yang bermake up. Biarkan natural seperti ini aja."
"Tapi, itu ada jerawat gede gitu."
"Udah, sih, Ma!"
Akhirnya, Mama menurut dan membawaku keluar. Aku diperkenalkan dengan mereka. Ada sedikit keterkejutan dari mimik wajah Ibu dan Megan, serta lelaki yang katanya akan dinikahkan denganku itu. Kenapa? Pasti, berharap dapet yang secantik bidadari, ya?
Aku duduk di dekat Mama. Karena kami sama-sama orang jawa, maka mulailah orang yang 'dituakan' oleh kami itu menghitung hari dan tanggal yang pas untuk menikah.
Awalnya, sikap Ibu dan Megan juga baik. Tapi itu tak berlangsung lama. Setelah kematian Bapak, sifat dan sikap mereka berubah. Begitupun dengan Mas Arga. Sedikit demi sedikit, sifat aslinya muncul. Bahkan pelitnya itu, baru keketahui beberapa bulan belakangan setelah mertua laki-lakiku itu meninggal.
"Enak, ya, sore-sore gini malah tiduran!"
Aku dikejutkan oleh sebuah suara...
BAB 58 Aku tak bisa tinggal diam saja ketika melihat suamiku diharapkan oleh perempuan lain. Terlebih ini adalah oleh wanita di masa lalu Mas Uji. "Ayo, Na, kita teruskan jalan-jalan. Misi ya, Nak Riris." Seperti ada kekecewaan di kedua manik hitam perempuan manis itu. Seolah-olah mengharapkan sesuatu yang memang sangat ia inginkan. "Umi duluan, Nana mau ngobrol dulu sama Mbak Riris." Riris membeliakkan matanua seakan bingung dengan keinginanku. Aku meminta Umi untuk menunggu di warung dekat lapangan. "Ada apa, Mbak?" tanya Riris. "Begini ya, Mbak Riris. Aku tak ingin menggunakan cara kasar. Singkatnya saja, tolong jauhi suami saya. Mbak Riris sudah tahu Mas Uji memiliki seodang istri, kenapa masih mengharapkannya?" tanyaku pada Riris yang langsung menunduk. Kupikir, wanita itu mengerti, namun ternyata tidak. Ia justru terkekeh mendengar ucapanku. "Lantas, kalau dia sudah menikah memang kenapa? Banyak kok, pernikahan yang hancur karena orang ketiga." Dadaku berdebar kencang
"Eh, Nak Raina. Nggak papa, tadi Bibi salah ngomong. Kalau begitu, aku pulang dulu ya mbak, soalnya bentar lagi mau ada tamu. Maaf gak bisa ngebantu dulu," ucap Bi Waroh. Umi menggelengkan kepalanya, Aku hanya bisa beristighfar dan mencoba sabar untuk menghadapi bibinya Suamiku itu. Aku sadar, jumlah manusia itu banyak dan tak mungkin semuanya itu menyukai kita. Ada saja permasalahan yang terjadi, meski kita hanya diam saja. "Mau masak apa, Mi? Biar Nana bantu." "Nggak usah, Na. Umi bisa melakukannya sendiri, lagi pula kamu di rumah Mama kan nggak pernah ngapa-ngapain, Masa Iya Umi mau menyuruh-nyuruh kamu." Aku terkekeh, memang banyak orang yang mengira jika Mama terlalu memanjakan aku. Padahal sebenarnya tidak, karena aku pun mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya anak pada umumnya ketika di rumah. "Nggak, Mi, Nana juga sering masak di rumah. Enak masakannya, Mi," ucap Mas Uji sambil keluar dari kamar. "Iyakah? Wah Umi nggak tahu, Ayo kalau gitu sini, Na, bantu kupaskan kentan
BAB 56 "Maafkan Riris, ya, dia memang terkenal pendiam. Jadinya begitu," ucap Bu Ina. Pendiam? Dari mananya? Terlihat sekali jika anaknya itu memendam perasaan pada suamiku. "Iya, Bu, nggak papa," jawabku. Mas Uji mengajakku keliling kampung lagi. Kampung suamiku memang sangat asri lingkungannya. Banyak pepohonan yang masih rindang. "Mas, Riris beneran pendiam?" tanyaku. "Iya, memang begitu. Kenapa?" "Nggak papa." Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di rumah. Rupanya, Umi sudah membuatkan kudapan. Aku jadi tak enak, karena tak membantunya. "Maaf ya, Umi, Raina nggak bantuin." "Nggak papa, Nak Rain. Ayo, dimakan." Aku mengangguk, kami lalu lanjut mengobrol tentang masa-masa Mas Uji setelah pindah dulu. Ternyata, Umi tak jauh berbeda. "Sudah, Mi. Uji malu, ah." Umi terkekeh, lalu mengajakku untuk ikut pengajian nanti malam. Sementara Mas Uji berlalu untuk mandi sore. "Di mana, Mi?" tanyaku. "Ada di mushola, tadi Uji ngajak ke sana, nggak? Ke guru ngajinya U
BAB 55Aku kembali ke kamar. Perasaan senang yang tercipta dari rumah tadi mendadak menguap begitu saja. Hatiku sakit saat lagi-lagi mendapat hinaan semacam itu. Meski tak diucapkan secara langsung, tapi itu bisa membuatnya lebih sakit hati. "Kenapa balik lagi?" tanya Mas Uji. "Oh, nggak papa. Ada Bik Waroh di belakang," jawabku. "Apa Bik Waroh ngomong yang nyakitin hati?" tanya Mas Uji sambil memegang pundakku. "Nggak, Mas. Cuma aku memang agak capek aja." "Oh, ya sudah, istirahat. Kamu kan akhir-akhir ini sering bolak-balik ke toko. Belum ke toko cabang. Jadi, selama di sini, kamu bisa istirahat." Aku mengangguk. Kantor Mas Uji dengan rumah Umi jauh lebih dekat daripada dari rumahku. Itu sebabnya, aku menyetujui ketika kami akan tinggal di sini selama seminggu. Aku keluar kamar, lalu melihat foto keluarga yang sepertinya sudah lama diambilnya. Di sana ada almarhum bapak mertua. "Sayang sekali, Raina nggak bisa bertemu dengan Bapak," ucapku sambil mengelus bingkai fotonya. "
Aku menghela napas, ragu akan menjelaskan semuanya. Bukan tidak mungkin, Mas Uji malah akan menuduhku melakukan alibi untuk menutupi semua kesalahanku. "Laki-laki emang begitu kalau sudah cemburu, Na. Dulu saja Papamu begitu." "Iyakah? Mama kan nggak punya mantan suami," ucapku sambil cemberut. "Kata siapa? Mama punya." "Hah? Serius? Lalu, apa Raina bukan anak Papa?" tanyaku dengan sendu. "Hust! Ngawur. Kamu ya anak Mama dan Papa. Dulu, Mama dijodohkan. Nggak lama pernikahan, cuma bertahan satu bulan aja. Mama kabur dan nggak mau kembali ke rumah itu. "Wah, Rain baru tahu soal ini, Ma." "Memang sengaja dirahasiakan. Buat apa? Mama jadi kepikiran sama kamu. Kenapa nasib kita sama? Apa ini karma dari perbuatan kami di masa lalu?" "Tidak, Ma. Ini sudah takdirnya. Dulu, pas Raina menikah dengan Mas Arga, itu sebuah kesalahan sehingga pernikahan pun gagal. Semoga dengan Mas Uji ini, kami bisa akur." "Aamiin. Ya sudah, Mama masuk dulu. Sudah adzan magrib." Aku mengangguk, lalu ik
"Mas?'" ulangku. Aneh, Mas Uji bahkan tak melirik sekalipun. Aku menghela napas, lalu segera mandi. Sebaiknya aku memang membersihkan diri terlebih dahulu, sebelum aku bertanya padanya. Usai mandi, masih kulihat Mas Uji di depan layar laptopnya. Ia bahkan tak bersuara sama sekali. "Mas, kamu kenapa sih?" tanyaku. "Kamu nanya aku kenapa? Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa? Apa kamu mau kembali ke mantan suamimu?" Aku mengerutkan kening saat mendengar ucapan Mas Uji. Apa maksudnya? Kapan aku bilang akan kembali ke mantan suamiku? Jika pun iya, aku pasti sudah gila. Atau jangan-jangan.... "Mas apa kamu tadi-" "Ya, aku melihatmu masuk ke rumahnya Arga, mantan suamimu." Aku tersentak mendengar teriakan Mas Uji. Apakah ia cemburu? Seandainya iya, bukankah harusnya bicara pelan-pelan?"Dari mana kamu tahu, Mas?" "Jelas aku tahu, karena aku mengikutimu dari belakang," jawab Mas Uji. "Apa?" "Kenapa? Aku mau turun di toko, tapi ngeliat mobilmu pergi. Kupikir kamu mau pulang, terny