Share

Bab 2

Kusunggingkan senyum, atau lebih tepatnya, aku memaksakan senyum palsu pada Ibu meskipun hatiku perih. 

"Kan mau masak, Bu. Ibu ga mau makan emang?" 

Ibu melengos lalu pergi tanpa menjawab pertanyaanku.

Kulanjutkan masak sambil menikmati perih di hati. Tidak! Jangan sampai ada air mata yang mengalir untuk keluarga licik ini! 

"Mbak! Bikinkan aku jus jambu, ya!" pinta Megan, adik iparku saat memasuki rumah.

"Assalamu'alaikum dulu, Gan. Baru ngomong," ucapku sambil menumis bumbu. 

"Alah, gausah sok ceramahin deh. Urusin aja tuh, kenapa Mbak nggak hamil-hamil padahal udah dua tahun nikah sama kakakku!" 

Ya Allah!

Dia masih SMA, usianya bahkan belum genap tujuh belas tahun, tapi ucapannya sungguh menusuk hati. Kutekan dada yang terasa perih. belum usai sakitku karena kenyataan Ibu yang tak menyetujui pernikahan kami dari awal, ditambah dengan perkataan Megan yang begtu menyinggungku.

Meski aku sakit hati pada Megan, tetap kubikinkan juga, Biasanya, Ibu akan marah kalau aku bikin jus jambu tanpa ada anak atau dirinya yang meminta. Sungguh, pelitnya melebihi Qorun! 

"Jus untuk siapa?" tanya Ibu sambil melewatiku, lalu membuka kulkas.

"Untuk Megan, Bu." 

"Kok banyak banget?" 

"Nggak, kok. Seperti biasa. Ini airnya aja Raina lebihin." 

"Bagus. Jangan boros-boros. Jambu mahal soalnya." 

Kini, gantian aku yang melengos saat mendengar ucapannya. 

Makan siang tiba. 

Mereka makan, sedangkan aku membersihkan panci bekas masak tadi. Ya, mereka selalu makan tanpa mengajakku. Meskipun bisa saja aku masuk dan ikut makan, tapi alangkah indahnya jika diajak makan oleh mertua. 

"Raina ini kebiasaan. Masaknya selalu aja keasinan. Bisa darah tinggi Ibu." 

Aku hanya diam mendengar Ibu menggerutu. Toh meskipun ia menggerutu, tapi tetap saja makannya banyak. 

"Raina! Apa-apaan ini!" 

Aku terkejut mendengar suara Mas Arga berteriak. Dengan tergesa aku berlari ke depan. 

"Kenapa, Mas?" tanyaku. 

"Kamu, kasih makan aku sama Ibu kepala ikan sama gulai ceker dan kepala?" 

Aku mengangguk. 

"Kamu kemanakan uang belanja tadi, Raina?" tanya Ibu. 

Kukeluarkan nota pembelian tadi. Sengaja, untuk menghadapi situasi seperti ini. 

"Nih, ya, Bu. Ceker dan kepala ayam, 15.000. kepala ikan Mas, 20.000. Bahan sambel, 5.000. Beli kentang, 7.000." 

"Itu masih ada sisa 3.000. Mana?"

Astaghfirullah, Ibu! 

"Raina belikan es cendol tadi. Haus, Bu. Mana panas." 

"Lihat sendiri, Arga! Istri kamu ini gak becus dan boros! Masa kita dikasih makan beginian, sedangkan dia enak-enakan minum es cendol?" 

"Bu, harga ayam itu 40.000 sekilo, ikan mas juga sama sekarang. Apalagi cabe lagi mahal. Sedangkan Ibu ngasihnya cuma 50.000." 

"Ya kamu usahain lah. Kan kamu juga dikasih jatah sama Mas Arga. Kenapa gak kamu pake aja dulu itu, Mbak?" Kali ini, Megan ikut menimpali. 

"Besok, kamu aja yang belanja, Gan. Biar  tau kenyataan." 

"Berani kamu sama Megan?" teriak Ibu. 

Aku terdiam. Jika sudah begini, sudah pasti aku yang bersalah. 

"Maaf," ucapku pada akhirnya. 

Tapi, tetap aja, mereka bahkan menghabiskan semua makanan itu tanpa menyisakan untukku. Untung, tadi aku sudah menyisihkan dua kepala ikan, dan gulai semangkuk. Mulai sekarang, aku harus pandai-pandai menghadapi manusia licik dan pelit itu. 

"Mana jus aku, Mbak?" tanya Megan sambil tetap duduk di kursinya, tanpa beranjak sedikitpun. 

"Di sini." 

"Iya, di mana?" 

"Di dapur, Megan," jawabku sambil buru-buru mencuci gelas bekas minum jus jambu. 

"Ih, Mbak! Bawain ke sini, dong! Masa iya aku harus ke dapur?" 

"Lah, ya apa salahnya? Kan kakimu itu masih utuh. Ya, kan? Apa kurangnya lagi? Tinggal jalan ke sini," jawabku sambil mengelap kompor.

"Raina! Bawakan saja kenapa? Berisik, aku lagi makan!" teriak Mas Arga. 

Mau tak mau, aku membawakannya untuk adik ipar super rese dan ga tau sopan santun itu. 

Saat sampai ke depan, aku lebih dibuat melongo. Gulai ceker dan kepala yang katanya gak level itu, dan kepala ikan mas yang katanya gak suka, sudah habis disantap oleh mereka bertiga. Ckckckck! Katanya gak doyan! 

"Liat apa kamu?" tanya Ibu yang kini sedang bersandar lemah di kursi. Karena apa? Ya karena kekenyangan, lah! 

"Nggak, Bu." 

"Bukannya tadi kamu bikin jusnya banyak? Kenapa cuma jadi segelas?" tanya Ibu, mulai mendikteku. 

"Tadi tumpah, Bu." 

"Aduh, Raina! Padahal itu bisa diminum Ibu. Kenapa kamu tumpah-tumpahin, sih?!" 

Akhirnya, aku minta maaf. Tunggulah saatnya kalian yang meminta maaf padaku, Bu, ucap batinku.

"Aku mau berangkat dulu, Dek. Kamu nurut sama Ibu, kalau nggak mau jatahmu di kurangi sama Mas." 

Cih! 

Aku mendecih, meskipun hanya bisa dalam hati. Entah kenapa, aku tak bisa membantah lelaki ini. Selain karena ia imamku, tapi sepertinya hatiku benar-benar tertaut padanya. 

Sore hari.

Aku baru selesai benenah dan masuk ke kamar kami. Kepalaku pusing, perut juga bergejolak ingin mengeluarkan isinya. Tak mungkin maagku kambuh, karena tadi sudah sarapan. 

Kurebahkan tubuh di atas ranjang. Rasa nyaman mulai mengambil alih perasaanku. 

Tiba-tiba, aku teringat dengan ucapan Ibu. Jadi, Mas Arga menikahiku karena terpaksa? Karena wasiat? Tapi, kenapa? Apa wasiat itu? 

Terbayang saat pertama kami bertemu. Dia dengan suara lemah lembut, menyebutkan namanya dan mengatakan untuk melamarku. Ya, kami belum pernah bertemu sebelumnya. 

Malam itu, tiba-tiba saja ia dan keluarganya datang. Aku yang sedang tiduran di depan tivi mengenakan baju tidur yang bercelana pendek, langsung lari ke kamar untuk bersembunyi. 

Awalnya, kukira mereka saudara jauh yang tak pernah kutemui. Nyatanya, aku sungguh terkejut saat Mama datang ke kamar dan mengatakan akan menjodohkanku. 

Aku yang saat itu belum siap, juga karena usahaku baru dirintis, menolak dengan tegas perjodohan itu. Dan lagi, aku belum bisa move on dari kekasihku yang dulu. 

"Ma, Raina kan punya Mas Bayu." 

"Sampai kapan kamu mau berbohong? Kamu sama Bayu sudah putus, kan? Kemarin Mama liat dia berboncengan dengan wanita lain." 

"Tapi, Ma-" 

"Tak ada tapi-tapian. Umurmu sudah mau dua puluh tujuh, Raina. Sampai kapan mau jadi jomblowers gini?" 

"Mama!" rengekku. 

"Mau menikah atau mau Mama coret dari daftar KK?" 

Aku terhenyak. Seserius ini keinginan mereka untuk melihatku menikah? 

Dengan berat hati, akupun mengangguk. Menyetujui keinginan Mama dan Papa. 

"Tapi, Raina ada syarat." 

"Apa?" 

"Jangan bilang ke calon suami Raina, kalau wanita yang akan dinikahkan dengannya ini adalah seorang pembisnis. Biarkan saja mereka mengira aku tak mempunyai pekerjaan. Setuju?" 

Mama mengangguk. Kemudian mengantarkanku ke meja rias untuk mendandaniku. 

"Stop, Ma! Aku juga tak ingin mereka melihat wajahku yang bermake up. Biarkan natural seperti ini aja." 

"Tapi, itu ada jerawat gede gitu." 

"Udah, sih, Ma!" 

Akhirnya, Mama menurut dan membawaku keluar. Aku diperkenalkan dengan mereka. Ada sedikit keterkejutan dari mimik wajah Ibu dan Megan, serta lelaki yang katanya akan dinikahkan denganku itu. Kenapa? Pasti, berharap dapet yang secantik bidadari, ya? 

Aku duduk di dekat Mama. Karena kami sama-sama orang jawa, maka mulailah orang yang 'dituakan' oleh kami itu menghitung hari dan tanggal yang pas untuk menikah. 

Awalnya, sikap Ibu dan Megan juga baik. Tapi itu tak berlangsung lama. Setelah kematian Bapak, sifat dan sikap mereka berubah. Begitupun dengan Mas Arga. Sedikit demi sedikit, sifat aslinya muncul. Bahkan pelitnya itu, baru keketahui beberapa bulan belakangan setelah mertua laki-lakiku itu meninggal. 

"Enak, ya, sore-sore gini malah tiduran!" 

Aku dikejutkan oleh sebuah suara... 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
putra siagian
seru sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status