"Mas hari ini kayaknya bakal pulang telat, Dek. Ada meeting. Kamu tidur aja duluan."
"Iya, Mas."
"Ini uang lembur Mas bulan ini. Dapat sejuta, kita bagi dua, ya?" ucapnya sambil menyodorkan lima lembar berwarna merah.
"Alhamdulillah, makasih, Mas," ucapku.
"Sama-sama. Jangan boros-boros, ya."
Aku mengangguk, kata-kata itu memang sudah menjadi andalannya setiap kali memberi uang yang tak seberapa ini. Namun, aku tetap bersyukur.
Aku mengantar Mas Arga, setelah mobilnya tak kelihatan lagi, aku berbalik masuk ke dalam rumah."Raina!" teriak Ibu mertuaku.
"Huh, ini masih pagi, Bu. Kenapa harus teriak, sih?" gumamku sambil berjalan menghampirinya.
"Kenapa, Bu?" tanyaku.
"Raina, kamu mau bikin ibu diabetes? Ini manis sekali!"
"Maaf, Bu. Raina lupa memasukkan gula kebanyakan," jawabku.
"Berapa sendok yang kamu masukkan?" tanyanya.
"Dua sendok, Bu," jawabku lagi.
"Apa? Pantas saja teh ini terasa begitu manis!"
Aku memutar bola mata. Malas rasanya. Sudah dua tahun menjadi menantu di keluarga ini, namun tak pernah dihargai.
Mas Arga, suamiku, menikahiku dulu karena amanat dari bapaknya. Entah, apa yang dulu almarhum bapaknya bicarakan sehingga ia mau menerimaku.
Beruntungnya, sifat Mas Arga tak menurun dari ibu mertuaku. Dia, merupakan sosok lelaki yang selalu memperhatikanku.
"Raina minta maaf, Bu."
"Sudahlah. Sana, kerjain lagi semua kerjaan rumah. Sudah jelek, malas pula."
Aku menghembuskan napas pelan. Memang beliau selalu begitu. Di matanya, aku bagai si buruk rupa. Padahal, ini karena aku tak memakai make up.
Dulu, berdandan sudah menjadi rutinitaaku. Namun, sejak menikah, tak pernah sekalipun aku memakai barang-barang itu lagi.
Bukan malas ataupun bosan, tapi Mas Arga selalu mengeluarkan kalimat gombal sejumat umat.
"Aku suka kamu yang natural, Sayang."
Dulu, aku memang bahagia kala ia mengucapkan itu, namun semenjak keuangan diambil alih oleh Ibu mertua, aku jadi tahu kalau itu hanya kebohongan semata.
Meskipun baik, Mas Arga sama pelitnya dengan ibunya. Seperti tadi, masalah teh manis saja sudah berlebihan.
Sebenarnya bukan karena masalah manisnya, tapi ibu merasa sayang menggunakan gula banyak-banyak. Pernah sekali aku membuat kolak, beliau langsung memarahiku dan mengungkitnya hingga kini.
"Kamu itu mau bikin kita semua diabetes, Rania? Kolaknya manis sekali!" ucapnya kala itu yang langsung kujawab dengan kata maaf.
Kuambil sapu, lalu mulai menyapu kamarku.
"Raina!"
"Hadeh, mulai lagi," gumamku sambil berjalan menuju sumber suara.
"Iya, Bu?"
"Kamu lagi ngapain, sih? Dipanggil-panggil lama banget!"
"Maaf, Bu. Tadi Raina lagi nyapu."
"Yaudah, habis itu masak gulai ayam, bikin perkedel, ikan mas goreng, sama sambal terasi. Nih, uangnya," ucap Ibu sambil menyodorkan satu lembar uang berwarna biru.
Mataku melebar. Bagaimana bisa, uang segitu cukup untuk belanja bahan-bahan makanan yang beliau sebutkan tadi?
"Tapi, Bu, ini sepertinya kurang."
"Pakai uangmu dulu."
Aku menghembuskan napas. Uang dari mana? Lemburan yang cuma 500.000 itu?
Semenjak ibu tahu jika aku dijatah menggunakan uang lemburan itu, beliau selalu saja membahasnya.
Aku segera berjalan menuju pasar yang dekat dengan rumah.
"Gulai ayam, ikan goreng, perkedel, sambel. Gimana caranya aku bisa membuat hidangan itu tanpa mengurangi uangku? Ah, iya!"
Aku segera menuju tukang ayam. "Mang, beli cekernya setengah kilo, sama kepalanya setengah kilo juga, ya!"
"Siap, Neng!"
Setelah mendapatkan ayam tadi, aku segera menuju tukang ikan, kulihat ada kepala ikan mas yang masih berjejer rapi.
"Mang, kepala ikan mas sekilo berapa?"
"Dua puluh ribu, Neng!"
"Yaudah, sekilo, ya, Mang!"
Setelahnya, aku menuju tukang sayuran. Masih ada sisa 15 ribu lagi. Santan di rumah masih ada, meskipun instan.
"Mang, beli cabe bawang tomat 5.000 sama kentangnya seperempat."
Setelah mendapat semua, aku segera berjalan pulang.
Kuambil gawai yang sedari tadi nangkring di sakuku. Ada sebuah pesan dari Indah, asistenku di toko emas punyaku.
Ya, aku memiliki beberapa toko emas yang tak diketahui oleh keluarga suamiku. Sengaja aku tak bilang, karena ingin melihat sifat asli mereka dulu. Dan ternyata? Ibu dan adik iparku pelit, tapi mereka serakah.
[Bu, ada pesanan atas nama Pak Arga. Dia mau cincin berlian edisi limited edition kita, tapi semua sudah sold out. Tinggal sisa punya ibu saja.]
Deg!
Arga? Apakah yang dimaksudnya itu, Arga suamiku?
Gegas aku menuju rumah, lalu masuk ke dalam kamar setelah menaruh barang belanjaan di dapur.
Kubuka video rekaman cctv. Benar! Itu Mas Arga. Untuk apa dia ke sana? Bukankah jaraknya lumayan jauh dari kantornya?
"Mbak, saya mau pesan cincin keluaran terbaru yang limited edition itu, masih ada?" tanya Mas Arga.
"Atas nama siapa?"
"Shelina."
Deg!
Shelina?"Nama bapak, Shelina?" tanya karyawanku.
"Bukan. Tapi itu nama istri saya, biar nanti dia yang ambil."
Istri? Namaku Raina Ambarwati. Dari mana ada Shelinanya? Apakah, Mas Arga mempunyai wanita lain?
"Awas aja kalau kamu terbukti melakukan pengkhianatan, Mas," ucapku bermonolog.
Aku segera menghubungi Indah dan memberi tahu untuk menyerahkan cincin berlian itu, tapi yang kw-nya.
Cincin yang asli berharga 25 juta. Tak apa, toh itu yang suamiku sendiri.
[Tapi, Bu, apa nanti tak ketahuan?] tanya Indah.
[Tak apa Indah. Dia, suamiku.]
[Suami Ibu? Tapi, nama Ibu kan bukan Shelina. Tadi kata Ratna, bapak itu pesan untuk istrinya bernama Shelina.]
[Sudah, kasih saja yang KW nya. Yang asli, tetap punyaku.]
[Baik, Bu.]
Jika orang harus bersusah payah ke toko emas lain untuk menukar cincin itu, aku tak perlu lagi karena aku memiliki toko emas sendiri.
Aku kembali ke dapur untuk memasak. Rumah besar ini tak memiliki pembantu. Dulu ada, lalu setelah aku menikah, pembantu itu dipecat. Yah, mungkin mereka berpikir daripada aku nganggur di rumah, aku dijadikan pembantu gratisan saja.
Ketika melewati pintu belakang, aku mendengar Ibu mertua tengah berbincang dengan seseorang.
Yang membuatku terkejut adalah, alasan utama Mas Arga menikahiku.
Jadi, itu kenyatannya?
"Iya, Jeng. Aku juga maunya Arga itu sama Lina. Mereka itu udah cocok banget dan pacaran juga udah lama. Gara-gara wasiat bapaknya itu, jadi deh mereka gak menikah. Tapi gak papa, sekarang kan bapaknya udah ga ada, apa perlu kita buat mereka menikah, Jeng? Tentu tanpa sepengetahuan Raina."
Aku berdiri di balik pintu dengan tubuh bergetar. Jadi, begitu kenyataannya? Mas Arga menikahiku karena wasiat Bapak? Tapi, apa itu?
Terlepas dari sifat mereka yang pelit, aku sebenarnya telah jatuh hati pada Mas Arga. Bodoh! Tak seharusnya aku gampang jatuh cinta seperti ini.
"Iyakah, Jeng? Kapan Lina mau ke sini? Aku kangen banget lho, sama Shelinamu."
Deg!
Shelina? Jadi, anak dari teman Ibu itu bernama Shelina?
Mas Arga, kamu rela membeli cincin berlian untuk kekasihmu itu seharga 25 juta, sedangkan nafkah untukku? Kamu hanya memberi 500.000 itupun kadang kupakai untuk menutupi kebutuhan rumah.
Tega kamu, Mas!
Terdengar bunyi derap langkah menuju ke arahku. Aku segera berjalan menuju kulkas dan membukanya.
"Ra-raina, sedang apa kamu di situ?" tanya Ibu terbata.
Kusunggingkan senyum, atau lebih tepatnya, aku memaksakan senyum palsu pada Ibu meskipun hatiku perih. "Kan mau masak, Bu. Ibu ga mau makan emang?" Ibu melengos lalu pergi tanpa menjawab pertanyaanku.Kulanjutkan masak sambil menikmati perih di hati. Tidak! Jangan sampai ada air mata yang mengalir untuk keluarga licik ini! "Mbak! Bikinkan aku jus jambu, ya!" pinta Megan, adik iparku saat memasuki rumah."Assalamu'alaikum dulu, Gan. Baru ngomong," ucapku sambil menumis bumbu. "Alah, gausah sok ceramahin deh. Urusin aja tuh, kenapa Mbak nggak hamil-hamil padahal udah dua tahun nikah sama kakakku!" Ya Allah!Dia masih SMA, usianya bahkan belum genap tujuh belas tahun, tapi ucapannya sungguh menusuk hati. Kutekan dada yang terasa perih. belum usai sakitku karena kenyataan Ibu yang tak menyetujui pernikahan kami dari awal, ditambah dengan perkataan Megan yang begtu menyinggungku.Meski aku sakit hati pada Megan, tetap kubikinkan juga, Biasanya, Ibu akan marah kalau aku bikin jus jambu
Aku langsung terduduk saat Ibu masuk ke dalam kamarku. "Enak banget sore-sore tiduran. Itu halaman belum disapu!" "Tapi, Bu, Raina juga habis beberes. Baru juga selesai. Ini lagi ngelurusin pinggang." "Pinggangmu dah lurus! Badan kerempeng gitu. Makan yang bener, makanya!" ketusnya. Aku terdiam, lalu membatin, 'Katamu aku kurus? Iya kurus, kalau dibandingkan dengan badan Ibu yang lemaknya di mana-mana itu!' "Astaghfirullah!" Aku beristighfar, supaya hati adem dan gak lagi menggerutu dalam hati. "Apa kamu sampe nyebut gitu?" "Nggak, Bu. Iya, Raina lupa kalau halaman belum disapu. Nanti Raina sapuin, ya, Bu." Ibu melengos pergi tanpa menjawab apapun. Baguslah! Setidaknya itu lebih baik daripada harus nyerocos terus. Sebenarnya, kalau mereka bisa menghargai dan menganggapku ada di sini, aku juga tak mau bersikap seperti ini. Aku juga masih takut dosa. Tapi, jika aku tetap mengalah seperti yang lalu-lalu, bukankah mereka akan semakin senang menindasku? Malam hari. Aku
"Mas Ikbal?" "Lho, Raina?" Aku tersenyum. Dia adalah kakak iparku. Suaminya Mbak Dania, kakak Mas Arga. Selama ini, hanya dialah orang yang mengetahui wajahku yang mengenakan make up.Itu semua berawal dari aku yang keluar rumah, lalu duduk sebentar di bangku depan warung sebelah rumah. Kala itu Mas Ikbal mau beli rokok, tak sengaja melihatku memakai make up. Ibu warung juga sudah kusogok untuk tak membocorkan rahasia ini. Kalau Mas Ikbal, Alhamdulillah dia mau membantuku merahasiakannya. "Kamu ngapain ke sini, Rain?" "Ada perlu, Mas. Iya, ada perlu," jawabku terbata. Ia memang mengetahui wajahku, tapi tak mengetahui jika aku memiliki usaha dan bisa dibilang sukses. "Oh, gitu. Mas habis beli anting untuk Mbakmu." Aku mengangguk, namun termenung seketika saat kulihat Mas Arga keluar dari tokoku sambil menggandeng seseorang. "Ya sudah, Rain, Mas pulang dulu, ya." "Oh, iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya." Kini, jarakku dengan Mas Arga sudah dekat. Apakah dia akan mengenali
Aku menatap tak percaya pada pemandangan di hadapanku. Lina, yang katanya tadi memasak, justru memporak-porandakan dapur. Sedangkan ia tengah bergelayut mesra pada Mas Arga, suamiku. "Eh." Ia buru-buru melepaskan tangannya, kemudian menarik diri dari Mas Arga. "Rain, ini bawakan!" perintah Mas Arga tepat setelah Shelina menjauh darinya. Kuambil tas itu, lalu kucium takzim tangan Mas Arga. Hal yang biasa kulakukan, namun sekarang Mas Arga terlihat canggung. Biasanya, suamiku itu akan langsung mencium keningku, namun sekarang tidak. Tentu, karena di sini sedang ada calon istri keduanya. Nyess! Mengingat Mas Arga yang akan menikah lagi, hatiku kembali patah. Tak dapat kupungkiri jika di hatiku ini ada nama MAs Arga. Namun, aku tak boleh lemah. Jika lemah, mereka kan menindasku. Hatiku boleh sakit, tapi ragaku harus tetap sehat. "Dia siapa, Ma?" tanya Mas Arga. Mama terlihat terkejut, begitupun dengan Megan. Ah, aku tahu. Jadi mereka belum membicarakan tentang Shelina ini akan men
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya, Hendranto ingin memberikan sebuah wasiat bagi anak saya. Jika dia tak bisa menikah dengan anak sahabatku yaitu Raina, maka semua harta ini akan jatuh ke pihak yayasan yang selama ini saya urus. Begitupun dengan anggota keluarga yang lain. Tak ada harta warisan, selama Arga tak menikah dengan Raina.Apabila diketahui sebelum memiliki anak dan keduanya bercerai, maka harta itu mutlak menjadi milik Raina kecuali rumah.Jika diketahui Arga berselingkuh di belakang Raina, dan Raina membawa bukti ke pengacara keluarga saya, maka semua harta itu mutlak menjadi milik Raina, tanpa terkecuali.Demikian, surat wasiat ini saya buat dalam keadaan sadar. Hendranto.-Mataku membulat membaca isi wasiat itu. Jadi, Mas Arga menikahiku hanya karena harta warisan? Jadi, selama ini, aku hanyalah wanita yang terlalu mereka bodohi."Lagi apa kamu?"Suara Mas Arga mengagetkanku yang tengah berjongkok. Buru-buru kutaruh kembali map itu, kemudian berdiri. Untung baju
Pagi hari. Aku bangun dengan semangat empat lima. Sudah lama, aku tak merasakan bangun di atas jam 5 pagi. Biasanya, sebelum jam 4, nenek lampir itu akan membuat seisi rumah heboh dengan menjatuhkan panci dan kawan-kawannya. "Pagi, Ma," ucapku kala melihat malaikatku itu tengah berada di dapur. "Pagi," jawab Mama. Aku membantu Mama mengiris kol dan wortel. Rencananya akan membuat bakwan, makanan kesukaanku. "Ma, kalau misalkan Papa menikah lagi, apa Mama bakal marah?" tanyaku. Mama seketika berbalik menatapku. Keningnya berkerut. "Tentu. Kenapa? Apa si Arga mengkhianatimu dan akan menikah lagi?" Pertanyaan Mama membuatku terdiam, kemudian menggeleng. "Nggak, Ma. Cuma nanya aja. Temen Rain ada yang mengalami nasib kaya gitu. Dia sama kayak Rain. Menikah karena dijodohkan. Tapi, nasibnya tak sebaik aku." Aku menunduk. Ada rasa perih yang menjalar dalam dada. Ya Allah, jika tahu akan begini, aku tak ingin menikah dengannya. "Lho, sejak kapan Raina di sini?" tanya Papa yang bar
"Assalamu'alaikum," ucapku dan Bapak secara bersamaan masuk ke dalam rumah. "Wa'alaikum salam. Lho, sudah pulang?" tanya Mama ramah. Wajah datarnya tadi hilang seketika. Ibu kenapa?"Iya, Bu. Lho, Mas, Shelina, kenapa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Dek, ayo pulang." Dek? Jarang sekali dia memanggilku dengan sebutan itu. Kebanyakan ia memanggil nama panggilanku. Rain. "Ngapain? Aku masih betah di sini.""Dek, jangan begitu. Ibu nanyain kamu terus." 'Apa mereka sudah kelaparan, Mas? Sehingga kamu mencariku?' tanyaku dalam hati. "Apa Ibu merindukanku?" tanyaku padanya. "Iya, tentu. Bukankah kamu menantu yang paling mengertinya?" 'Maksudmu, karena aku mengerti keadaan rumah yang kotor harus selalu dibersihkan dan dibereskan?' tanya batinku."Memangnya, Ibu nanya apa, Mas?" tanyaku lagi. "Iya, katanya sepi nggak ada kamu, Dek," jawabnya dengan wajah menunduk. Khas seperti orang yang bersalah.'Apa karena tak ada yang bisa diteriakinya, Mas?' "Oh, begitu. Ya sudah, nanti aku pul
Aku sudah kembali ke rumah ini, dua hari yang lalu. Seperti biasa, aku melakukan semua pekerjaan rumah ini sendirian, tanpa bantuan siapapun. Semua orang, mungkin kini tengah bersiap untuk menghadiri pernikahan kedua Mas Arga. Aku tersenyum, membayangkan apa yang akan terjadi nanti. "Mbak, mana sarapan!" Gadis itu, ingin kutoyor saja kepalanya! "Kamu gak lihat, Mbak lagi ngapain? Ambil sendiri. Sudah Mbak bikinkan nasi goreng," ucapku sambil mencuci piring bekas semalam mereka berpesta. Ya, mungkin untuk merayakan malam pernikahan Mas Arga dan Shelina, mereka semalam begadang sampai tak tahu waktu. Aku mengurung diri di kamar, tak berminat ikut. Toh seandainya ikutpun, yang ada aku hanya akan dijadikan babu gratisan. Sudah cukup selama ini! Megan menghentakkan kakinya berjalan ke dapur, lalu mengambil piring dengan wajah cemberut dan bibir monyong. Aku terkikik geli. "Ada yang lucu, hah?" tanyanya nyolot. Kusudahi mencuci piring karena memang semuanya sudah beres, lalu mengel