Share

Balasan Untuk Suami Pelit
Balasan Untuk Suami Pelit
Penulis: Jingga Rinjani

Bab 1

"Mas hari ini kayaknya bakal pulang telat, Dek. Ada meeting. Kamu tidur aja duluan."

"Iya, Mas."

"Ini uang lembur Mas bulan ini. Dapat sejuta, kita bagi dua, ya?" ucapnya sambil menyodorkan lima lembar berwarna merah.

"Alhamdulillah, makasih, Mas," ucapku.

"Sama-sama. Jangan boros-boros, ya."

Aku mengangguk, kata-kata itu memang sudah menjadi andalannya setiap kali memberi uang yang tak seberapa ini. Namun, aku tetap bersyukur.

Aku mengantar Mas Arga, setelah mobilnya tak kelihatan lagi, aku berbalik masuk ke dalam rumah.

 

"Raina!" teriak Ibu mertuaku.

"Huh, ini masih pagi, Bu. Kenapa harus teriak, sih?" gumamku sambil berjalan menghampirinya.

"Kenapa, Bu?" tanyaku.

"Raina, kamu mau bikin ibu diabetes? Ini manis sekali!" 

 

"Maaf, Bu. Raina lupa memasukkan gula kebanyakan," jawabku.

"Berapa sendok yang kamu masukkan?" tanyanya.

"Dua sendok, Bu," jawabku lagi.

"Apa? Pantas saja teh ini terasa begitu manis!"

Aku memutar bola mata. Malas rasanya. Sudah dua tahun menjadi menantu di keluarga ini, namun tak pernah dihargai.

Mas Arga, suamiku, menikahiku dulu karena amanat dari bapaknya. Entah, apa yang dulu almarhum bapaknya bicarakan sehingga ia mau menerimaku.

Beruntungnya, sifat Mas Arga tak menurun dari ibu mertuaku. Dia, merupakan sosok lelaki yang selalu memperhatikanku.

"Raina minta maaf, Bu."

"Sudahlah. Sana, kerjain lagi semua kerjaan rumah. Sudah jelek, malas pula."

Aku menghembuskan napas pelan. Memang beliau selalu begitu. Di matanya, aku bagai si buruk rupa. Padahal, ini karena aku tak memakai make up.

Dulu, berdandan sudah menjadi rutinitaaku. Namun, sejak menikah, tak pernah sekalipun aku memakai barang-barang itu lagi.

Bukan malas ataupun bosan, tapi Mas Arga selalu mengeluarkan kalimat gombal sejumat umat.

"Aku suka kamu yang natural, Sayang."

Dulu, aku memang bahagia kala ia mengucapkan itu, namun semenjak keuangan diambil alih oleh Ibu mertua, aku jadi tahu kalau itu hanya kebohongan semata.

Meskipun baik, Mas Arga sama pelitnya dengan ibunya. Seperti tadi, masalah teh manis saja sudah berlebihan.

Sebenarnya bukan karena masalah manisnya, tapi ibu merasa sayang menggunakan gula banyak-banyak. Pernah sekali aku membuat kolak, beliau langsung memarahiku dan mengungkitnya hingga kini.

"Kamu itu mau bikin kita semua diabetes, Rania? Kolaknya manis sekali!" ucapnya kala itu yang langsung kujawab dengan kata maaf.

Kuambil sapu, lalu mulai menyapu kamarku.

"Raina!"

"Hadeh, mulai lagi," gumamku sambil berjalan menuju sumber suara.

"Iya, Bu?"

"Kamu lagi ngapain, sih? Dipanggil-panggil lama banget!"

"Maaf, Bu. Tadi Raina lagi nyapu."

"Yaudah, habis itu masak gulai ayam, bikin perkedel, ikan mas goreng, sama sambal terasi. Nih, uangnya," ucap Ibu sambil menyodorkan satu lembar uang berwarna biru.

Mataku melebar. Bagaimana bisa, uang segitu cukup untuk belanja bahan-bahan makanan yang beliau sebutkan tadi?

"Tapi, Bu, ini sepertinya kurang."

"Pakai uangmu dulu."

Aku menghembuskan napas. Uang dari mana? Lemburan yang cuma 500.000 itu?

Semenjak ibu tahu jika aku dijatah menggunakan uang lemburan itu, beliau selalu saja membahasnya.

Aku segera berjalan menuju pasar yang dekat dengan rumah.

"Gulai ayam, ikan goreng, perkedel, sambel. Gimana caranya aku bisa membuat hidangan itu tanpa mengurangi uangku? Ah, iya!"

Aku segera menuju tukang ayam. "Mang, beli cekernya setengah kilo, sama kepalanya setengah kilo juga, ya!"

"Siap, Neng!"

Setelah mendapatkan ayam tadi, aku segera menuju tukang ikan, kulihat ada kepala ikan mas yang masih berjejer rapi.

"Mang, kepala ikan mas sekilo berapa?"

"Dua puluh ribu, Neng!"

"Yaudah, sekilo, ya, Mang!"

Setelahnya, aku menuju tukang sayuran. Masih ada sisa 15 ribu lagi. Santan di rumah masih ada, meskipun instan.

"Mang, beli cabe bawang tomat 5.000 sama kentangnya seperempat."

Setelah mendapat semua, aku segera berjalan pulang.

Kuambil gawai yang sedari tadi nangkring di sakuku. Ada sebuah pesan dari Indah, asistenku di toko emas punyaku.

Ya, aku memiliki beberapa toko emas yang tak diketahui oleh keluarga suamiku. Sengaja aku tak bilang, karena ingin melihat sifat asli mereka dulu. Dan ternyata? Ibu dan adik iparku pelit, tapi mereka serakah.

[Bu, ada pesanan atas nama Pak Arga. Dia mau cincin berlian edisi limited edition kita, tapi semua sudah sold out. Tinggal sisa punya ibu saja.]

Deg!

Arga? Apakah yang dimaksudnya itu, Arga suamiku?

Gegas aku menuju rumah, lalu masuk ke dalam kamar setelah menaruh barang belanjaan di dapur.

Kubuka video rekaman cctv. Benar! Itu Mas Arga. Untuk apa dia ke sana? Bukankah jaraknya lumayan jauh dari kantornya?

"Mbak, saya mau pesan cincin keluaran terbaru yang limited edition itu, masih ada?" tanya Mas Arga.

"Atas nama siapa?"

"Shelina."

Deg! 

Shelina?

"Nama bapak, Shelina?" tanya karyawanku.

"Bukan. Tapi itu nama istri saya, biar nanti dia yang ambil."

Istri? Namaku Raina Ambarwati. Dari mana ada Shelinanya? Apakah, Mas Arga mempunyai wanita lain?

"Awas aja kalau kamu terbukti melakukan pengkhianatan, Mas," ucapku bermonolog.

Aku segera menghubungi Indah dan memberi tahu untuk menyerahkan cincin berlian itu, tapi yang kw-nya.

Cincin yang asli berharga 25 juta. Tak apa, toh itu yang suamiku sendiri.

[Tapi, Bu, apa nanti tak ketahuan?] tanya Indah.

[Tak apa Indah. Dia, suamiku.]

[Suami Ibu? Tapi, nama Ibu kan bukan Shelina. Tadi kata Ratna, bapak itu pesan untuk istrinya bernama Shelina.]

[Sudah, kasih saja yang KW nya. Yang asli, tetap punyaku.]

[Baik, Bu.]

Jika orang harus bersusah payah ke toko emas lain untuk menukar cincin itu, aku tak perlu lagi karena aku memiliki toko emas sendiri.

Aku kembali ke dapur untuk memasak. Rumah besar ini tak memiliki pembantu. Dulu ada, lalu setelah aku menikah, pembantu itu dipecat. Yah, mungkin mereka berpikir daripada aku nganggur di rumah, aku dijadikan pembantu gratisan saja.

Ketika melewati pintu belakang, aku mendengar Ibu mertua tengah berbincang dengan seseorang.

Yang membuatku terkejut adalah, alasan utama Mas Arga menikahiku.

Jadi, itu kenyatannya? 

"Iya, Jeng. Aku juga maunya Arga itu sama Lina. Mereka itu udah cocok banget dan pacaran juga udah lama. Gara-gara wasiat bapaknya itu, jadi deh mereka gak menikah. Tapi gak papa, sekarang kan bapaknya udah ga ada, apa perlu kita buat mereka menikah, Jeng? Tentu tanpa sepengetahuan Raina." 

Aku berdiri di balik pintu dengan tubuh bergetar. Jadi, begitu kenyataannya? Mas Arga menikahiku karena wasiat Bapak? Tapi, apa itu? 

Terlepas dari sifat mereka yang pelit, aku sebenarnya telah jatuh hati pada Mas Arga. Bodoh! Tak seharusnya aku gampang jatuh cinta seperti ini. 

"Iyakah, Jeng? Kapan Lina mau ke sini? Aku kangen banget lho, sama Shelinamu." 

Deg! 

Shelina? Jadi, anak dari teman Ibu itu bernama Shelina? 

Mas Arga, kamu rela membeli cincin berlian untuk kekasihmu itu seharga 25 juta, sedangkan nafkah untukku? Kamu hanya memberi 500.000 itupun kadang kupakai untuk menutupi kebutuhan rumah. 

Tega kamu, Mas! 

Terdengar bunyi derap langkah menuju ke arahku. Aku segera berjalan menuju kulkas dan membukanya. 

"Ra-raina, sedang apa kamu di situ?" tanya Ibu terbata. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status