Share

Bab 3

Aku langsung terduduk saat Ibu masuk ke dalam kamarku.

"Enak banget sore-sore tiduran. Itu halaman belum disapu!"

"Tapi, Bu, Raina juga habis beberes. Baru juga selesai. Ini lagi ngelurusin pinggang."

"Pinggangmu dah lurus! Badan kerempeng gitu. Makan yang bener, makanya!" ketusnya.

Aku terdiam, lalu membatin, 'Katamu aku kurus? Iya kurus, kalau dibandingkan dengan badan Ibu yang lemaknya di mana-mana itu!'

"Astaghfirullah!" Aku beristighfar, supaya hati adem dan gak lagi menggerutu dalam hati.

"Apa kamu sampe nyebut gitu?"

"Nggak, Bu. Iya, Raina lupa kalau halaman belum disapu. Nanti Raina sapuin, ya, Bu."

Ibu melengos pergi tanpa menjawab apapun. Baguslah! Setidaknya itu lebih baik daripada harus nyerocos terus.

Sebenarnya, kalau mereka bisa menghargai dan menganggapku ada di sini, aku juga tak mau bersikap seperti ini. Aku juga masih takut dosa. Tapi, jika aku tetap mengalah seperti yang lalu-lalu, bukankah mereka akan semakin senang menindasku?

Malam hari.

Aku baru selesai sholat maghrib saat pintu kamarku digedor dari luar. Ya, digedor, bukan diketuk.

"Raina! Kenapa belum masak?"

Lagi, aku mendesah. Tak bisakah mereka membiarkanku istirahat sebentar saja?

"Iya, Bu. Raina abis sholat dulu."

"Sholat itu kalo abis masak. Gimana sih kamu ini?!"

"Astaghfirullah hal'adzim, Bu. Nggak boleh gitu. Sholat itu hukumnya wajib. Jangan sampai kita menunda-nundanya, karena-"

"Kamu menceramahi ibu?"

"Eh? Enggak, Bu. Bukan begitu. Raina cuma-"

"Sudah-sudah! Sana masak!"

Aku segera turun setelah merapikan mukena dan mengeluarkan baju ganti untuk Mas Arga sehabis mandi nanti.

Sekarang sudah setengah tujuh, sebentar lagi Mas Arga pulang dan pasti aku masih sibuk di dapur.

Kupandangi Ibu mertua yang sudah duduk rapi di meja makan. Heran, makin hari, nafsu makan mertuaku itu semakin bertambah. Selalu mencela, tapi tetap dihabiskan. Aneh, bukan?

"Mau makan apa, Bu?"

"Apa aja. Yang penting enak!"

Aku segera ke belakang, lalu membuka kulkas. Hanya ada kol, wortel, serta daun bawang. Kubuka tempat penyimpanan bahan kering, tersisa mie keriting dua keping. Baiklah, akan kubuatkan mie goreng sayur. Ya, karena hanya menggunakan sayur, tanpa telur dan juga bakso.

"Yah, minyaknya habis."

Aku segera menghampiri Ibu di meja makan.

"Sudah matang?"

"Minyak gorengnya habis, Bu."

"Nih, beli sana!" seru Ibu sambil melemparkan uang lima ribu.

"Tapi, Bu. Minyak satu liternya tiga belas ribu. Mana cukup?"

"Ya kamu cukup-cukupin, lah. Gimanapun caranya. Harus jadi makanan sekarang juga!"

Aku bergegas keluar rumah menuju warung. Mungkin, tak apa jika aku menggunakan minyak curah. Kata Ibu tadi, yang penting ada makanan.

Saat masih di jalan menuju warung, kulihat seperti Megan tengah bersama seorang pria di tempat yang gelap. Kuhampiri mereka.

"Megan! Apa yang kamu lakukan?"

"M-mbak!"

"Itu kenapa baju kamu berantakan? Heh! Kamu apain adik saya, hah? Berani kamu?" bentakku pada bocah laki-laki yang usianya mungkin sama dengan Megan.

"Ti-tidak, Mbak. Kami nggak ngapa-ngapain."

"Iya, Mbak! Mbak itu ganggu aja! Ngapain ke sini?"

"Mbak mau ke warung. Kamu sebaiknya pulang, Megan. Ini sudah malam, kamu juga sebaiknya pulang!" perintahku pada bocah laki-laki itu yang segera melesat pergi.

"Megan, jaga dirimu. Jangan sampai kamu melewati batas dan akan menyesal di kemudian hari."

"Nggak usah ikut campur!"

Aku menghela napas, lalu berjalan kembali ke warung. Memang benar, sepertinya aku tak usah ikut campur urusannya.

-

Dua hari kemudian.

Aku tengah beberes ketika ponselku bergetar. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dulu, jangan sampai duo lampir itu melihatku memiliki ponsel mahal.

Kumasuk ke kamar, lalu mengangkat telpon dari Indah.

"Halo, Ndah."

"Halo, Bu."

"Ada apa? Kan sudah kubilang untuk WA aja. Jangan kamu telpon."

"Maaf, tapi suami Ibu ada di sini. Dia sama wanita," ucap Indah seperti berbisik.

Mataku melebar. Jadi benar, dia akan mengambil cincin itu untuk wanita bernama Shelina.

"Lalu, cincin kw nya sudah selesai?"

"Sudah, Bu. Sama persis, hanya beda di timbangan saja. Itupun tak terlalu banyak sehingga mereka pasti takkan curiga."

Aku tersenyum, meskipun Indah takkan bisa melihatnya.

"Ya sudah. Oh iya, tolong fotoin kedekatan mereka sekarang. Aku tunggu!"

"Baik, Bu!"

Kumatikan ponsel. Ternyata benar, kamu bermain api di belakangku. Seharusnya jika memang dia tak menginginkanku, usahakan jangan sampai dia menyentuhku. Dasar lelaki!

Tapi, apalah benar mereka akan menikah? Seperti yang dikatakan oleh Ibu mertua tadi pagi?

-

Setelah menyimpan ponsel di tempat yang aman, aku segera keluar dan melanjutkan pekerjaan yang tadi sempat terbengkalai.

Capek? Sudah tentu iya. Tapi bagaimana lagi? Untuk sekarang, aku belum bisa terang-terangan menolak dan membantah ucapan mereka, meskipun aku punya hak untuk hidup bebas di rumah ini tanpa beban.

Bukan aku tak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini. Mau, kok. Tapi, seharusnya dibagi-bagi. Tidak semuanya dibebankan kepadaku.

Rumah dengan dua lantai ini, sangat besar. Pantas, jika aku langsung encok kala selesai menyapu dan mengepel.

"Bu, Raina mau izin sebentar, ya," ucapku ketika sudah berdiri di samping Ibu mertua yang tengah asyik menonton televisi sambil kakinya diletakkan di atas meja.

"Mau ke mana?"

"Ke rumah teman."

"Jangan lama-lama. Sebelum jam makan siang, harus sudah kembali. Mau di kasih makan apa suamimu?"

"Iya, Bu. Ini baru jam sepuluh. Satu jam doang sudah cukup, kok," jawabku.

"Bawain pecak ikan mas, ya."

"Uangnya mana, Bu?" tanyaku. Enak saja mau pake uangku.

"Ya pake uangmu dulu, lah! Kamu kan dijatah sama Arga. Masa beliin pecak aja harus pake uang Ibu?" Aku menghela napas, lalu masuk ke dalam kamar.

Setelah rapi, aku buru-buru keluar karena diberi waktu hanya satu jam saja.

"Oh, iya, Bu. Kalau nggak kasih uang, Raina ga bisa beliin. Jatah Mas Arga yang dikasih sama Raina itu cuma 500.000, nggak ada setengahnya dari gaji yang dikasihnya semuanya ke Ibu. Jadi, mana uangnya?"

"Dasar menantu pelit! Yang kamu pegang kan duit anakku juga. Jangan ngelawan kamu! Surganya Arga itu di bawah kaki Ibu, bukan di bawah kaki kamu!"

"Jangan suka bawa-bawa surga kalau hanya untuk membuat menantu menderita, Bu. Raina sudah muak dengan kata-kata itu. Ibu boleh mengatakannya, kalau Raina sudah berbuat sesuatu yang diluar batas. Tolong, hargai Raina."

Setelah mengatakan itu, aku segera keluar. Tak peduli dengan Ibu yang mencak-mencak dan beberapa kali memanggil namaku.

"Kalau sudah seperti ini, sebaiknya aku tak usah pulang sekalian," gumamku sambil menyetop taksi yang lewat.

Sepanjang perjalanan, aku melamun. Kenapa hidupku jadi semenderita ini sekarang? Sudah menikah karena dijodohkan, sekarang harus menerima kalau suamiku ternyata pura-pura selama ini.

"Pak, mampir di atm dulu sebentar, ya," ucapku.

Hari ini adalah hari gajian para karyawanku. Aku memang punya orang kepercayaan di setiap cabang, tapi untuk masalah gaji, aku belum bisa mempercayakannya pada siapapun.

Setelah mengambil uang, aku berjalan menuju tukang fotocopy untuk memberi amplop coklat.

"Maaf lama, ya, Pak," ucapku.

"Nggak papa, Bu," jawabnya.

Tinggal setengah jam lagi waktuku untuk sampai di toko. Kubuka tas dan merias wajah. Tak mungkin jika aku melakukannya sedari di rumah tadi. Bisa-bisa, Ibu akan curiga.

Selama ini beliau mengira bahwa aku hanyalah gadis kampung yang bahkan tak tahu cara membuat alis. Ibu salah. Beliau hanya terlalu gegabah dalam menilai seseorang, sehingga ia tak mengetahui sisi lain dari orang tersebut.

"Sudah sampai, Bu," ucap sopir tadi.

"Oh, iya. Makasih, ya, Pak. Ini uangnya," kataku sambil menyodorkan uang.

"Lho, kebanyakan ini, Bu."

"Nggak papa. Untuk beli makan siang Bapak nanti."

"Alhamdulillah. Terima kasih, ya, Bu. Semoga rezekinya dilancarkan oleh Allah."

Aku mengangguk, kemudian keluar dari mobil. Toko cukup ramai, Alhamdulillah. Aku berjalan memasuki toko, namun sebelum sampai, tiba-tiba seseorang menabrakku.

"Eh, maaf. Saya tidak sengaja."

Lho?

Bukankah ini...

-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status