Hari ini aku dan Lidia akan pergi ke rumah Ria. Seperti yang kita katakan kemarin pada Ria, kita akan membawa dia pergi dari rumah itu. "Aku langsung ke sana aja ya, Lis. Kamu naik taksi nggak papa kan? Kita ketemu di sana," ujar Lidia melalui sambungan telepon."Iya oke. Aku lagi siap-siap nih," jawabku."Ya sudah. Sampai ketemu di sana ya," kata Lidia sebelum kemudian mengakhiri panggilannya.Aku memesan taksi online setelah itu. Memang lebih baik kita berangkat sendiri-sendiri dulu mengingat rumah kita yang berbeda arah dari rumah Ria.Taksi online pesananku langsung datang beberapa menit kemudian. Aku segera berangkat menuju rumah Ria.Setengah jam kemudian aku sampai di depan gang rumah Ria. Kulihat mobil Lidia sudah terparkir di luar gang sempit rumah Ria."Terimakasih, Pak. Ini uangnya," ucapku seraya memberikan uang lembar seratus ribuan pada pak sopir."Kembaliaannya, Mbak?""Buat bapak saja," jawabku seraya turun dari taksi.Aku segera berjalan menuju rumah Ria. Namun dari
Mendengar jika Ria disekap oleh mas Riko membuatku semakin membenci laki-laki yang secara hukum dan agama masih sah menjadi suamiku. Dia benar-benar sudah bukan mas Riko suami yang kukenal selama ini melainkan monster."Mau kemana, Lis?" tanya Lidia saat melihatku hendak turun dari mobilnya."Aku mau menemui mas Riko. Aku akan bertanya langsung padanya tentang keberadaan Ria," ucapku."Jangan gegabah. Riko tidak akan mau memberitahumu soal keberadaan Ria. Apalagi kamu berkata jujur jika kamu mengetahui bahwa Ria di sekap oleh Riko," tutur Lidia. "Aku sangat emosi, Lid. Aku benar-benar sangat marah pada mas Riko sekarang," sambungku."Sabar. Jangan buat situasi semakin sulit. Jika Riko sampai tahu kita sudah mengetahui soal kejahatannya kali ini, dia pasti akan memindahkan Ria ke tempat lain. Aku tahu betul jalan pikiran orang seperti Riko," tambah Lidia.Aku dan Lidia pun akhirnya memutuskan untuk tetap menunggu mas Riko keluar dari rumah Ibu."Kita harus menyusun rencana agar Riko t
"Siapa yang pingsan, Lisa?" tanya mama saat melihatku dan Lidia datang."Nanti Lisa ceritakan, Ma. Lisa bawa dia ke kamar dulu ya," jawabku sambil terus membawa Ria ke kamar.Mama lalu meminta tolong bik Inah untuk membantuku dan Lidia membawa Ria menuju kamar."Tolong ambilkan minyak kayu putih, Bik," suruh Lidia."Baik, Non," jawab bik Inah yang kemudian langsung beranjak.Mama juga ikut masuk dam melihat keadaan Ria. Mama tidak banyak bertanya soal Ria. Dia pasti menungguku menjelaskannya.Setelah di olesi minyak kayu di putih di bagian bawah hidungnya, Ria pun akhirnya sadarkan diri."Di mana saya sekarang?" tanya Ria yang terlihat kebingungan."Tenang, Ria. Kamu di tempat yang aman," jawab Lidia."Tolong buatkan teh manis, Bik," pintaku pada bik Inah. "Baik, Non," jawab bik Inah. Dia lalu pergi ke dapur dan membuatkan teh manis untuk Ria.Setelah teh manis di minum oleh Ria, mama lalu memberikan isyarat padaku untuk keluar dari kamar. Dia pasti ingin bertanya soal Ria. Siapa dia
Hari ini aku akan pergi ke pangadilan agama untuk mengajukan gugatan perceraian. Papa yang awalnya ragu denganku dan masih sedikit mempercayai mas Riko pun akhirnya mau percaya denganku setelah kubawa Ria ke rumah. Dia mendukungku sepenuhnya. Dia juga akan memecat mertuaku dari pekerjaan secepatnya.Aku menghubungi Kinan pagi ini. Kali ini aku akan pergi ke pengadilan bersama dengan Kinan. "Halo, Nan. Sudah siap?" tanyaku "Sudah, Lis. Sebentar lagi aku jemput ya," ujar Kinan.Kinan sengaja mengambil cuti hari ini demi mengantarku. Aku sangat beruntung mempunyai dua sahabat yang selalu ada di saat aku membutuhkan mereka. "Oke. Aku tunggu ya," jawabku.Kinan adalah orang yang paling cerdas di antara kita bertiga. Aku memintanya untuk menemaniku karena dia pasti paham soal hukum dan soal pengadilan. Walaupun dia mengambil jurusan kedokteran saat kuliah, namun bukan berarti dia tidak belajar soal hukum. Setelah panggilan Kinan ku akhiri, sebuah panggilan pun masuk kembali ke ponselku.
"Ada apa, Lis?" tanya Kinan. "Ria pergi dari rumah, Nan," jawabku. "Pergi? Bagaimana bisa, Lis? Bukankah di rumahmu banyak penjaganya?" tanyaku. "Entahlah, Nan. Aku juga tidak mengerti bagaimana bisa dia pergi. Sekarang ke rumah mama saja ya. Aku pengin tahu cerita yang sebenarnya," ujarku. Kinan langsung menghidupkan mesin mobil dan mengantarku ke rumah mama. Mobil melaju dengan cepat, hanya membutuhkan waktu seperempat jam kita pun sampai di rumah mama. Aku langsung turun dan masuk ke dalam rumah. Menemui mama yang sedang berjalan ke sana-kemari di ruang tamu. "Ma," sapaku. "Lisa. Ria menghilang," ujar mama dengan sangat panik. "Bagaimana bisa Ria kabur, Ma? Apa jangan-jangan Riko yang menculiknya?" tanyaku. "Mama juga tidak tahu, Sayang. Namun kata pak Rudi, tadi dia minta ijin keluar. Katanya ada keperluan sebentar," jelas mama. Mendengar penjelasan mama aku langsung menemui pak Rudi. "Kenapa pak Rudi mengijinkan Ria untuk pergi, Pak?" tanyaku. "Maafkan saya, Non. Say
Ria adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya masih duduk di bangku SMP. Sedang Ibunya ternyata sudah meninggal dunia. Melihat kedatangan kami membuat ayah Ria kemudian menyuruh Ria untuk kembali ke rumahku. Dia tidak mau jika mas Riko sampai menemukannya. "Titip anak saya ya, Bu Lidia. Saya tidak mau jika nak Riko menemukannya. Saya tahu jika selama ini Ria menderita. Dia hanya terpaksa menikah dengan Riko demi nama baik saya. Demi nama baik keluarga," ujar ayah Ria. "Tapi, Pak? Bagaimana dengan Bapak? Bapak masih membutuhkan Ria di sini. Ria tidak mau meninggalkan Bapak di saat seperti ini," jawab Ria. "Tidak papa, Nak. Bapak sudah membaik. Lagian ada Rania juga kan di sini. Dia bisa mengurus Bapak. Bapak juga akan aman di rumah sakit ini," ucap ayah Ria. "Bagaimana kalau mas Riko datang lagi dan melukai Bapak?" "Tidak mungkin, Nak. Dia tidak akan bisa melukai Bapak di sini. Banyak dokter dan juga perawat di sini," tambah ayah Ria. Dengan berat hati Ria pun akhirnya
Setelah mengantar Ria ke rumah mama, Lidia pun kemudian mengantarku pulang."Bukankah itu mobil Riko, Lis?" ucap Lidia saat kita hampir sampai di rumahku. Terlihat mobil mas Riko sudah terparkir di depan rumah."Benar, Lid. Mau apa dia ke sini?""Pasti dia sedang mencari Ria. Jangan-jangan dia juga sudah ke rumahku," Lidia melanjutkan. "Apa sebaiknya kita pergi saja dari sini sekarang untuk menghindarinya, Lid?""Jangan, Lis. Kita hadapi saja Riko. Aku juga ingin sekali melihat bagaimana ekspresinya setelah tahu kita berhasil membawa Ria pergi," tambah Lidia."Boleh juga, Lid. Aku juga ingin mengetahuinya," jawabku.Lidia kembali menjalankan mobilnya sampai di depan rumahku. Kita berdua turun dari mobil dan langsung bertemu dengan mas Riko di teras. Dia masih merasa bebas keluar masuk di rumahku, namun hanya sampai di teras saja. "Kamu sembunyikan di mana, Ria?" tanya mas Riko saat melihatku datang. "Kenapa, Mas? Kamu ketakutan ya jika Ria tidak bersamamu? Kamu takut jika dia akan
Surat panggilan dari pengadilan yang kutunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Itu artinya tiga hari lagi aku akan melaksanakan sidang perceraian dengan mas Riko. "Sebentar lagi aku akan resmi berpisah dari mas Riko. Biarlah aku jadi janda yang penting aku sudah tidak terikat dengan laki-laki seperti mas Riko," gumamku.Ponselku berdering saat aku sedang termenung sendirian di depan ruang tv. Ternyata panggilan masuk dari mas Riko. Dia pasti akan memberitahuku soal surat panggilan sidang. "Halo. Ada apa lagi, Mas?" "Aku dapat surat panggilan dari pengadilan. Apa kamu yakin ingin berpisah dariku, Lisa?!" "Kenapa kamu tanya seperti itu, Mas? Aku yang menggugatmu, itu artinya aku sudah sangat yakin dengan keputusanku," jawabku."Kamu siap untuk jadi janda??" "Kenapa mesti takut, Mas? Aku lebih suka jadi janda dari pada tetap menjadi istri monster sepertimu!" jawabku."Aku tanya padamu sekali lagi. Ini untuk yang terakhir, Lisa. Kamu yakin mau berpisah dariku??""Yakin seyakin-yakinn