Share

Bab 7 Alasan

Dengan cepat aku segera berjalan menjauh hingga suara langkah kakiku terdengar nyaring. Karena kamar tamu ada tepat di sebelah dapur, seharusnya aku masih bisa mendengar aktivitas pasangan pengantin baru itu. Tapi, hanya suara air dari dispenser yang mengisi keheningan rumah ini.

Tidak ingin larut dalam kesedihan seorang diri, aku segera berjalan menuju kamar. Suara bisikan Raya yang cukup keras membuatku seketika menghentikan langkah. “Apa Mbak Wulan sudah masuk ke dalam kamarnya Mas?”

“Sepertinya belum. Aku tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka dan tertutup.”

Dasar bodoh. Tanpa harus menguping di depan pintu kamar kalian aku bisa tahu apa yang terjadi. Aku segera melanjutkan langkah menuju kamar lalu mengunci pintu kembali. Kini aku sudah duduk di depan komputer untuk memantau kamar tamu menggunakan kamera CCTV. Kamera yang aku pasang dua minggu lalu. Sehari setelah mengetahui perselingkuhan Mas Harun dengan Raya.

“Sudah aman Mas?” Tanya Raya yang menutupi tubuhnya dengan selimut. Sedangkan Mas Harun sudah memakai semua pakaiannya.

“Aku intip keluar dulu.” Di layar komputerku, Mas Harun terlihat turun dari tempat tidur lalu membuka pintu kamar untuk mengintip. Untung saja aku sudah memasang kamera CCTV yang kecil. Sehingga aku tidak perlu menguping mereka lalu tertangkap basah oleh Mas Harun.

Tidak puas dengan hanya mengintip, Mas Harun berjalan ke kamar utama. Dia berusaha membuka pintu kamar ini. Tentu saja tidak bisa karena sudah aku kunci lagi. Setelah memastikan jika aku sudah kembali ke kamar ini, Mas Harun kembali ke kamar tamu.

“Sudah aman. Ayo kita bicara lagi.”

“Bicara tentang apa sih Mas?” Pandangan Raya beralih ke sudut kamar.

“Dengan kita tidur bersama, bukankah sudah tidak ada masalah di antara kita.” Kata Raya yang nampak sekali berusaha menghindari pandangan Mas Harun yang terus tertuju padanya.

“Kita berhubungan badan bukan karena sudah berbaikan tentang masalah yang tadi. Tapi, karena kamu menggodaku lebih dulu dengan memakai pakaian seksi.”

Jadi, begitu sifat Mas Harun yang sebenarnya. Dia sama sekali tidak tahan dengan godaan yang di berikan Raya selama ini. Tanganku mengusap wajah kesal.Sepuluh tahun menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Harun, nyatanya tidak membuatku mengenali sifat suamiku sepenuhnya.

“Aku hanya ingin kamu jujur padaku. Berapa kali kamu menggunggah foto atau video saat kita berhubungan badan?” Tanya Mas Harun langsung pada intinya. Raya terlihat menundukan kepalanya. Tidak berani menjawab pertanyaan suami kami.

“Bukankah aku sudah mengatakannya padamu. Jangan menyimpan foto dan video itu karena Wulan pasti bisa menemukannya. Mau kamu pakai akun rahasia lalu di buka di hp Ibumu, itu tidak akan berguna. Wulan adalah mantan programmer yang sangat paham untuk meretas akun sosial media atau hanya membajak hp kita.”

“Maaf Mas. Aku juga ingin mengabadikan momen indah itu. Karena kamu tidak mengijinkannya menyimpan di hpku."

Huek

Rasanya aku ingin muntah sekarang juga. Momen indah? Apa Raya tidak salah bicara? Yang mereka lakukan adalah zina. Bukan momen indah untuk di kenang.

“Karena aku takut Wulan akan tahu tahu hubungan kita dan itu memang terjadi bukan?” Balas Mas Harun tajam. Raya tidak menjawab lagi seperti tadi.

“Kamu juga pernah meminjamkan hpmu pada Wulan?” Raya kembali menganggukan kepalanya untuk menjawab pertanyaan suami kami.

“Kapan?” Tanya Mas Harun pendek. Tapi, nada suaranya terdengar sangat menyeramkan.

“Dua minggu lalu saat hpnya Mbak Wulan rusak karena di jatuhan Syifa ke dalam bak air.” Jawab Raya gugup. Mas Harun seketika berdiri lalu memukul dinding dengan kepalan tangannya.

Tubuh Raya sudah terlonjak kaget. Begitu juga denganku. Satu lagi sifat Mas Harun yang baru aku ketahui sekarang. Kenapa dia jadi emosional seperti itu pada Raya? Selama ini Mas Harun tidak pernah mengepalkan tangannya padaku dan anak-anak. Bahkan bicara dengan nada tinggi saja sangat jarang sekali.

“Ini semua gara-gara kamu terlalu ceroboh Raya.” Hardik Mas Harun dengan suara pelan. Mungkin agar tidak terdengar olehku dan Ibu mertua yang sedang tidur.

“Aku benar-benar minta maaf Mas. Padahal aku sudah menyembunyikan semua foto kita di kalkulator palsu.”

“Percuma Ray. Wulan pasti bisa menemukannya.” Mas Harun menghela nafasnya berulang kali untuk menenangkan diri.

“Kalau sudah begini semua rencana kita jadi kacau.”

“Tenang saja Mas. Toh kita tidak membicarakan rencana itu lewat pesan. Kalau Mbak Wulan bisa menyadap hpku, percuma saja.”

Rencana apa yang sedang mereka maksud? Dadaku berdegup kencang. Setahuku Raya menikah dengan Mas Harun untuk merebut rumah dan tokoku. Apa Mas Harun juga punya rencana lain dengan Raya?

“Baguslah kalau begitu. Karena aku tidak ingin Wulan membawa anak-anak pergi jika dia tahu aku ingin menguasai hartanya. Bukannya aku sudah tidak cinta lagi pada Wulan. Hanya saja terlalu melelahkan berada di bawah istri sendiri dalam hal ekonomi.”

Deg

Tanganku meremas baju di dada. Ya Allah rasanya sakit sekali. Ternyata Mas Harun merasa insecure padaku. Tapi, kenapa dia harus merebut semua hartaku sendiri jika ingin lebih kaya?

“Aku juga tidak bisa lagi meminta pada Wulan agar kau bisa tinggal di rumah ini. Padahal aku ingin kau bisa dekat dengan Alana dan Syifa.”

“Tenang saja Mas. Kita bisa membawa anak-anak pergi agar mereka jadi lebih dekat denganku.”

“Tunggu dulu.” Mas Harun segera turun dari tempat tidur lalu memeriksa sekeliling kamar.

“Apa yang sedang kamu lakukan Mas?”

“Memeriksa jika ada kamera CCTV kecil yang terpasang di kamar ini.” Wajah Raya seketika berubah menjadi pucat. Mungkin karena sejak tadi mereka sudah membicarakan banyak hal hingga lupa jika mungkin aku sudah memasang kamera CCTV untuk mengintai mereka.

Wajah Mas Harun terpampang jelas di layar komputer. Membuat dadaku berdetak kencang. Berharap semoga Mas Harun tidak menyadari keberadaan kamera CCTV yang sudah aku pasang di kamar tamu. Semenit kemudian dia sudah kembali ke atas tempat tidur.

“Untuk saat ini kita masih aman karena Wulan belum memasang kamera CCTV yang kecil. Aku sudah memeriksa hingga ke tempat tersembunyi.” Raya menghela nafas lega.

Mereka saja yang tidak tahu jika aku sudah memasang kamera CCTV di dalam lampu tidur dan foto keluarga kami. Tadi, Mas Harun sempat berdiri di depan foto keluarga. Karena di atasnya ada rak tempat menyimpan kotak-kotak yang tidak terpakai.

“Sekarang kita tidur saja Mas. Aku sudah lelah.” Mas Harun menganggukan kepalanya lalu berbaring di atas tempat tidur. Aku langsung mengalihkan pandangan karena mereka tidur sambil berpelukan.

***

Pagi harinya kami tetap sarapan bersama. Aku memasak untuk sarapan kami. Sedangkan Bude Yah memasukan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Setelah selesai, baru membantuku memasak. Raya dan Mas Harun belum keluar dari kamar mereka.

“Asyik Ibu buat nugget dan sosis untuk bekal sekolah.” Syifa bertepuk tangan senang. Membuatku terkekeh pelan. Menu spesial bagi kedua putriku karena aku jarang memasakan makanan ini untuk mereka. Lebih sering membawakan makanan sehat.

“Iya dong. Yuk kita duduk. Sarapannya sudah siap.”

Syifa sudah duduk lebih dulu di kursinya. Sedangkan Alana melihat ke sekeliling. “Ayah dimana Bu?” Tanya si sulung mencari keberadaan Ayahnya yang memang tidak pernah terlambat jika jadwalnya kami makan bersama.

“Ayah disini sayang.” Alana tersenyum senang begitu melihat keberadaan Ayahnya yang baru masuk ke ruang makan di ikuti dengan Raya. Baru Alana duduk di kursinya.

Mas Harun sudah duduk lebih dulu. Raya duduk di sebelahnya. Membuat pandangan Alana tidak bisa lepas dari mereka. Aku sendiri belum duduk karena menyiapkan gelas berisi air putih untuk di siapkan di meja. ”Itukan tempat duduknya Ibu.” Tunjuk Alana ke kursi yang di tempati oleh Raya.

“Ibukan bisa duduk di sebelah kirinya Ayah sayang.” Sahut Raya dengan senyuman yang membuatku muak.

“Di sebelah kirinya Ayah itu kursinya Bude Yah. Biar Bude bisa lebih dekat dengan wastafel saat membereskan piring di meja.” Mas Harun dan Raya menggaruk kepala mereka salah tingkah. Kompak sekali suami dan adik maduku ini.

“Kamu pindah saja ke kursi di samping Alana.” Perintah Mas Harun tidak mau membuat putri kami curiga.

Dengan gerakan patah-patah Raya pindah kursi. Syifa juga sejak tadi masih memperhatikan Mas Harun dan Raya. “Makan sarapannya sayang. Biar nggak terlambat ke sekolah.” Tegurku tidak ingin membuat mood mereka di pagi hari buruk.

“Iya Bu. Tapi, aku boleh tanya sesuatu nggak?” Ijin Syifa dengan suaranya yang lucu.

“Boleh sayang.”

“Kenapa Tante Raya menginap di rumah kita? Terus kenapa Ayah tadi keluar dari kamar tamu tempat Tante Raya tidur?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status