Keesokan pagi, Liam terlambat bangun dan Jia sudah menanti di ruang makan. Tidak lama, lelaki itu datang dengan segala keromantisan yang justru membuat Jia muak. Perhatian, cinta, kasih sayang, kecupan dan apa pun yang semula disukai dan berhasil membuat Jia melayang, kini hanya mampu membuatnya ingin muntah.
Leo menyusul tidak lama kemudian, berlari riang dan menyapa kedua orang tuanya. Jia berlaku seperti biasa, menerima pelukan juga kecupan dari bocah beraroma segar tersebut. Namun, semua tidak mampu mengikis fakta yang diterima, bahwa Leo bukanlah anak kandungnya. Hatinya memberontak ingin sekali bertanya mengenai anak kandungnya pada Liam, tapi Jia terpaksa bungkam untuk tidak menimbulkan kecurigaan. “Seminggu lagi aku berulang tahun, aku ingin acaranya diadakan dengan meriah dan mewah,” celoteh Leo sangat antusias dan bersemangat bercerita pada Liam. “Apa kalian melupakan hari istimewa itu?” “Tentu saja, tidak.” Liam tersenyum mengacak ujung rambut putranya. Mendengar hal itu, Jia memaksa senyumnya terpasang. Pikiran Jia berkelana pada putra kandungnya, yang tidak diketahui ada di mana, masih hidup atau sudah tiada. Air mata Jia menetes tanpa isyarat, lekas dia menyeka agar tidak ketahuan. ‘Aku tulus menyayangi Leo, tapi aku juga tidak bisa bertingkah seperti biasa. Bagaimanapun juga, dia bukanlah anakku.’ Jia berbicara sendu dalam hati, entah mengapa kasih sayangnya turut memudar bersama fakta terpampang. ‘Apa yang harus kulakukan, Tuhan? Kenapa Engkau melakukan semua ini padaku? Leo tidak bersalah, tapi ….’ Hati Jia terus saja melakukan peperangan, sampai dia tersadar ada yang menyentuh punggung tangannya. Jia tersentak, menoleh pada Lian yang sudah memajukan wajah dengan gurat bingung terpasang. “Kenapa kamu diam saja, Sayang?” “Jia, Sayang. Kenapa kamu diam?” Berulang kali Liam menggoyangkan lengan istrinya, menatapnya bingung. Jia menarik tangan dari atas meja ke pangkuan. ‘Laki-laki bermuka dua! Bagaimana bisa aku mencintainya selama ini?!’ “Jia?” tegur Liam. “Ah, iya … tidak ada. Aku hanya berpikir, bagaimana kalau acara ulang tahun Leo, kita mengundang anak yatim? Kita bisa mengajarkan Leo untuk berbagi.” “Anak panti? Leo tidak akan setuju!” Tamara yang ada di ruang makan sama menyambar. Jia mengabaikan, tapi Leo berpikir setelah mendengar usul dari wanita yang selama ini dipanggilnya mama. “Tidak mau. Anak panti asuhan pasti nakal,” ungkap Leo, membahagiakan Tamara. “Itu tidak benar, Sayang. Bagaimana bisa kamu menilai seperti itu, kalau kamu tidak pernah mengenal mereka? Mama yakin, kalau orang-orang di panti jauh lebih tulus, daripada orang-orang yang terlihat baik di sekitar kita.” Jia sengaja menyindir, Liam dan Tamara saling lirik. “Mm, baiklah! Kalau begitu aku setuju!” jawab Leo segera. “Papa setuju?” “Tentu, sesuai keinginanmu.” Liam menjawab setengah ragu. Tamara tidak menyukai keputusan yang dibuat Jia, dia tidak terima karena Leo adalah putranya. Tamara menggenggam erat gelas dan siap memecahkan, Liam berusaha menenangkan lewat bahasa isyarat. Tamara menghembuskan nafas kasar, dia menatap murka pada Jia. Ada bendera perang yang turut dikobarkan, demi mendapat kedudukan yang selama ini diharapkan. ‘Lihat saja, aku atau kamu yang akan menang!’ batin Tamara. Pelayan seksi itu kembali menata wajah seperti tidak terjadi apa-apa. Dia melayani Jia seperti biasa, menyediakan makanan tepat di depan majikannya. Tamara menyunggingkan senyum, dia membawa semangkuk panas sup dan melihat tangan Jia yang sudah memegang sendok di atas meja. Tamara berpura-pura tersandung, menumpahkan sup panas ke tangan Jia. Sontak saja, Jia berteriak kesakitan hingga mendorong kursi tengah ditempat, tanpa mengubah pandangan lurus ke depan. “Ah, tanganku!” keluh Jia mengibaskan tangannya. Liam lekas berdiri membantu, Tamara menginjak kakinya agar tidak melakukan apa-apa. “Maaf, aku tidak sengaja.” Tamara berucap tanpa rasa bersalah. Hati Jia memanas, napasnya memburu. Rasa sakit pada tangan melepuh, tidak sebanding dengan hati yang terus ditikam oleh Tamara juga Liam. ‘Kalian akan merasakan sakit lebih dari apa yang kurasakan, ketika Leo jauh lebih memilihku!’ batin Jia. *** Selepas sarapan, Liam sengaja mengajak Leo, Jia dan Tamara pergi ke panti asuhan yang akan dijadikan tempat acara. Jia lebih sering melamun, meletakkan siku di pintu selama perjalanan. Apalagi yang dipikirkan jika bukan tentang anaknya, yang pasti juga berulang tahun di hari sama dengan Leo. Jia tenggelam dalam lamunan dan hati terasa hampa, sampai Liam menegur dan mengatakan bahwa mereka telah tiba. Liam menuntun Jia berjalan, tapi ditolak dengan alasan ingin melakukan sendiri. Tamara tersenyum sengit, berharap Jia akan terjatuh dan mempermalukan diri sendiri. Ibu panti menyambut hangat kehadiran mereka semua, Leo tampak tidak suka dengan lokasi yang dituju. Anak-anak bermain di taman mengusik pemandangan, Leo merasa bahwa mereka sangat kotor dan tidak memiliki aturan. “Papa masuk dulu,” pamit Lian pada putranya. “Ayo, Jia.” “Mm, tidak. Kalian saja, aku ingin menikmati udara di sini.” Jia menolak, itu dijadikan kesempatan oleh Tamara yang langsung menyeret Liam pergi dan bertingkah layaknya istri tanpa tahu malu. Jia mengetahui hal itu, menggerutu dalam hati dan mulai mengayunkan tongkat menyisir halaman panti. Sebuah bola menggelinding mengenai kaki Jia, dia berhenti dan meraba-raba dengan tongkat. Ada anak kecil berlari ke arahnya, mengamati lekat wajah Jia. “Maaf, saya tidak sengaja. Apa Anda terluka?” santun bocah laki-laki tersebut. Jia tersenyum. “Aku baik-baik saja. Apa kamu sedang bermain bola?” “Iya, kami senang melakukannya selama kakak-kakak bersekolah.” Jia menarik ujung-ujung bibirnya, tangan kanan meraba-raba dan sigap bocah di depannya memegang tangan Jia, mengarahkan ke ujung kepala. “Anda ingin melakukan ini?” “Bagaimana kamu tahu?” “Ibu panti selalu melakukannya.” Jia tersenyum, dia berjongkok. Ada sesuatu berbeda dirasakan oleh Jia, tatkala tangannya disentuh oleh bocah yang sanggup membuat hatinya terasa lebih damai. “Siapa namamu?” “Ibu panti memanggilku Kevin.” “Wah, nama yang bagus.” Jia tersenyum. “Mungkin, tapi sepertinya tidak dengan nasibku. Aku ditinggalkan di depan pintu panti saat hujan petir, kakak di sini yang menceritakannya padaku.” Jia membelai lembut wajah Kevin. “Kamu anak yang baik, orang tuamu pasti memiliki alasan tersendiri melakukannya. Mungkin, mereka ingin menyelamatkanmu dari masalah, atau karena mereka tidak ingin membuatmu menderita karena kekurangan.” Kevin diam membiarkan Jia mengusap-usap kepalanya. Itu menyenangkan, terasa seperti kasih sayang yang selalu diharapkan. Tangan Jia berhenti ketika merasakan sentuhan kasar di pelipis Kevin. “Kamu terluka?” “Ah, iya. Pelipis ku terbentur saat bermain!” Kevin langsung menutupi dengan poni rambut. Jia merasa ada yang aneh, diam-diam dia mengabsen teliti wajah Kevin. “Saya permisi.” Bocah bercelana pendek itu mengambil bola dan berlari pergi, langkah kevin yang tergesa-gesa membuatnya tersandung. Jia terpana saat mendengar erangan bocah itu, begitu mendalam hingga mempengaruhi rasa empatinya. Dalam sekejap, ia segera berlari menuju sumber suara tanpa ragu, bahkan mengabaikan teriakan keras Leo yang menyuruhnya berhenti dari kejauhan. Jantung Jia berdebar semakin cepat, detik demi detik, menambah kekhawatirannya akan keselamatan bocah tersebut. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Jia membingkai senyum di wajahnya. Kevin menggeleng seraya membalas senyuman itu. “Tidak apa-apa, terima kasih,” ucapnya tulus. Leo menghentakkan kakinya, raut kekesalan jelas tergambar di wajahnya. Dia merasa cemburu melihat bocah seusianya begitu dekat dengan sang ibu. Tubuhnya terasa terpanggil, ingin segera berlari dan mencegah interaksi itu. Dalam beberapa langkah cepat, ia berhasil mengejar sang ibu dan tanpa basa-basi mendorong Kevin dengan keras, ingin merebut kembali kedudukan yang seharusnya menjadi miliknya. “Dia Mama-ku?!” Leo memeluk tubuh jia, tapi pelukan itu dipaksa lepas. Suara erangan Kevin yang tak terduga menghentikan langkah Jia. Ia berbalik, melihat bocah itu terjatuh karena sengaja didorong oleh Leo. Dengan sigap, Jia berjongkok di samping Kevin, membantu anak itu berdiri sambil menyeka debu yang menempel di bajunya. Leo yang melihat kejadian itu, merasa kesal lantas membentak Jia. "Kenapa Mama malah bantuin anak bandel itu?" ucap Liam dengan nada tinggi, rasa jengkel jelas terpancar di wajahnya. Jia baru saja berdiri, ketika tiba-tiba tubuhnya didorong oleh Liam yang sepertinya menyaksikan kekesalan Leo. Ekspresi wajah Jia terlihat terkejut, kedua tangannya seketika melambai ke udara, mencari pegangan agar tidak jatuh. Namun, di saat yang sama, matanya menunjukkan rasa pasrah akan nasibnya yang terjatuh akibat dorongan kasar dari suaminya sendiri. Jia terkejut karena tidak merasakan sakit, justru merasa ada sesuatu yang kuat menopang tubuhnya. Dengan bingung, dia meraba tubuhnya, mencari tahu bagian mana yang seharusnya sakit. Namun, ternyata tak ada luka sama sekali. "Apa kamu tidak apa-apa?" tanya pria yang telah menolong Jia tadi sambil memandang dengan wajah khawatir. Jia pun mengangguk pelan. "Iya, tidak apa-apa. Terima kasih," gumam Jia, merasa takjub akan keberuntungan yang baru saja menimpanya. Liam menggertakkan gigi dengan erat, mengepalkan tangannya kuat-kuat, dan merasakan kebencian yang mendalam terhadap sosok pria tampan yang baru saja menolong istrinya. Dia menarik tangan Jia dengan keras, berusaha untuk menjauhkan diri dari pria tersebut. Sementara itu, ekspresi di wajah pria itu terlihat mencoba menahan tawa, seakan menganggap Liam sebagai sosok yang tidak pantas menjadi rivalnya, seperti badut yang menghibur saja. “Terima kasih,” ucap Jia sekali lagi tersenyum tulus, dia merasa malu atas tindakan Liam. Pria itu mengangguk lalu berjongkok, tangannya mengecek kedua bahu Kevin dengan hati-hati untuk memastikan bocah itu tak terluka. "Ada yang luka?" tanyanya lembut. Kevin menggeleng. "Tidak." Merasa lega, pria tampan itu segera berdiri dan menggendong Kevin. Matanya melirik ke arah keluarga kecil yang terlihat di hadapannya. Fokusnya beralih pada Liam yang tampak cemburu. Senyum pria itu kian lebar, menyukai ekspresi cemburu pada wajah Liam. Perasaan Jia tersentak, mencurigai sesuatu yang tidak beres. Bagaimana tidak, wajah Kevin tertangkap berubah ketakutan ketika pelipisnya disinggung. “Mungkinkah ….” “Ah, Kevin tidak suka ada yang memegang pelipisnya,” ungkap pria tampan bernama Sean. “Baiklah, aku mengerti.” Liam menarik Jia pergi, membawanya masuk ke dalam panti. Tidak ingin melihat istrinya itu berinteraksi dengan laki-laki lain.Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga
"Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d
Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer