Bab 5
Liam merasa jantungnya berdebar kencang, tanda ketakutan. Matanya melotot ke arah Jia dan pria asing yang sedang membantunya. Ia tahu tatapan pria itu sebenarnya menggoda istrinya. Namun, di sudut hati ia memikirkan bahwa Jia hanyalah wanita buta dan tidak akan ada pria lain yang mau menerima kekurangannya. Dengan nada marah yang tersembunyi, Liam berbicara sambil memelotot. "Lain kali, perhatikan anakmu!" ucapnya dengan intonasi tinggi, ingin memberi peringatan pada Jia agar lebih berhati-hati di kemudian hari. Jia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menenangkan perasaannya. Seharusnya dialah yang marah karena terdorong, namun suaminya terus bersikeras bahwa tidak ada kesalahan di pihaknya. Wajah suaminya tetap terlihat tenang, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah atau penyesalan. "Padahal dia yang mendorong duluan," gumam Jia kesal. Matanya berkaca-kaca, menahan emosi yang ingin meledak. Tapi dia tahu, teriakan dan tangisan tak akan membuat suaminya mengaku bahwa ia salah. Liam menghela napas panjang, berusaha menenangkan perasaan yang bergejolak. Dengan suara yang lebih tenang, dia bertanya. "Aku mau cek dekorasinya dulu, kamu mau tinggal di sini atau ikut?" Perempuan itu menjawab sambil menundukkan kepala. "Aku di sini saja." Dari sorot matanya, Liam tahu betapa ia merasa bersalah telah membuatnya kesal. Jia melamun untuk beberapa saat, pikiran tertuju pada bocah yang ditemuinya di panti. Seperti ada magnet yang terus menariknya, pada bocah lelaki bernama Kevin tersebut. Jia melamun membayangkan tentang Kevin, sampai Leo menyadarkan dirinya. Tangan Jia ditarik oleh Leo, membawa pergi ke tempat terselenggaranya pesta ulang tahun. Senyum dilukiskan cantik oleh Jia, menutup rapat perasaan dalam hati. “Acaranya mau dimulai, Ma.” Leo sangat bersemangat dan antusias, ternyata dugaannya perihal anak panti tidaklah buruk. “Putraku beradaptasi dengan sangat baik,” puji Jia sengaja di depan Tamara, berharap jika wanita itu akan kepanasan melihat kedekatannya dengan Leo. Senyum tipis terpahat dari bibir Jia, meski tidak ada satu pun menyadari hal itu. ‘Kamu harus membayar semua ini Tamara, aku pastikan kalau Leo akan mendukungku di masa depan nanti!’ batinnya. MC bersuara susunan acara, meminta orang tua Leo berdiri di samping jovah yang terus memancarkan binar keceriaan. Tamara penuh kepercayaan diri bersanding dengan Liam, berpikir bahwa memang seharusnya seperti itu. Akan tetapi, Jia lekas hadir dan menggeser posisi Tamara, berhasil menghancurkan senyum kebanggan dari perempuan yang turut didorong hingga hampir terjatuh. “Kenapa kamu mendorongku?!” Tamara bengis menatap Jia, namun sang rival hanya diam dan mulai meraba-raba. Layaknya wanita buta, Jia mencari keberadaan Tamara dan memasang tatapan kosong. “Aku tidak tahu kalau kamu di sebelah Lian,” ucapnya. “Mm, tapi kenapa kamu harus berada di sebelah suamiku? Kamu ingin mengambil tempatku?” imbuhnya tenang. Tamara diam dalam berang, tidak ada jawaban yang hendak diberikan pada majikannya. Akan tetapi, mata menelisik semua orang terlihat sangat penasaran, otak Tamara bekerja lebih cepat untuk memberikan alasan. “Maaf, Nyonya. Saya hanya ingjn membantu tuan Lian tadi." Tamara berlaku selayaknya asisten pribadi, walau giginya merapat menahan amarah. Tamara mengepalkan kedua tangan, sungguh kemarahannya telah memuncak sampai ubun-ubun sekarang. Lihai perempuan itu bermain peran, memahat senyum dan menutupi kobaran api dalam binar mata. Acara pun dimulai sesuai desakan Kian yang tidak menginginkan adanya keributan. Tiap-tiap orang yang hadir menyanyikan lagu ulang tahun, begitu pula dengan Jia—wanita yang pada akhirnya terpaku pada plester menempel pada kening Kevin dan beralih menelisik tiap pahatan wajah mungil tersebut. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat sangat murung?’ Jia sangat penasaran, terus saja dia menyimak gurat wajah Kevin. Leo menarik kesadaran Jia, mengajaknya untuk meniup lilin bersama. Permintaan dipanjatkan lebih dulu oleh bocah tengah mengenakan dasi kupu-kupu merah tersebut. Leo melanjutkan untuk memotong kue, di mana hal itu sangat dinantikan oleh Tamara dan berharap bahwa dia yang akan menjadi orang pertama. Leo membawa sepotong kue yang siap diberikan pada orang paling dicintai, namun Tamara malah merebut paksa dan mengulas senyum bahagia. “Terima kasih banyak,” ucap Tamara bahagia. “Maaf, Bibi. Kue pertama khusus diberikan pada mama, dan bibi bukanlah ibuku.” Leo merampas lagi kue yang sudah dipotong tadi dari tangan Tamara. Leo memberikan potongan kue pertama pada Jia, hal itu membuat Tamara bersedih. Dia menatap Lian, namun hanya tatapan datar diterima, seakan lelaki yang selalu menikmati tubuhnya itu tidak peduli. ‘Aku ibu kandungmu, bukan dia.’ Tamara berucap dalam hati, matanya sendu. Lian memberikan ancaman padanya dari kejauhan, memperingatkan agar Tamara tidak berbuat onar. Tamara kecewa, dia terluka. Terlebih, saat Leo justru meminta fotografer mengabadikan momen ketika dirinya menyuapi Jia, perasaan Tamara pun hancur seketika. Dia diminta oleh Leo untuk membagikan kue pada anak panti, yang semakin membuatnya tidak dianggap berarti. Bagaimana mungkin, pengorbanan selama ini dilakukan dengan merawat Leo, tidak dianggap sama sekali oleh bocah yang justru memberinya luka lewat kata-kata. *** Acara ulang tahun dilangsungkan penuh kegembiraan, meninggalkan ingatan paling indah pada setiap anak panti yang turut memeriahkan hingga larut malam. Jia dan lainnya terpaksa menginap di panti, karena cuaca buruk melanda tiba-tiba. Jia berada satu kamar dengan Liam dan Leo, namun perempuan itu sama sekali tidak bisa terpejam. Jia menoleh pada suami juga anaknya, melambaikan tangan tetap di depan wajah demi memastikan apakah keduanya sudah tidur atau belum. “Baguslah, mereka sudah tidur.” Jia bergumam, turun perlahan dari ranjang. Jia mengendap keluar ke kamar anak-anak panti, mencari keberadaan Kevin yang terus saja mengusik pemikirannya. Jia tidak memperdulikan rasa takut menyelimuti dirinya, suara petir menyambar pun diabaikan, demi memuaskan rasa penasaran terhadap Kevin. Sebuah kamar dimasuki oleh Jia, setelah telinga mendengar kebisingan. Jia melihat ada seseorang meringkuk ketakutan, duduk di lantai membelakangi ranjang. Jia menghampiri dengan cepat, merengkuh tubuh dan memeluknya. “Tenanglah, aku ada di sini. Jangan takut lagi,” ucap Jia memberikan ketenangan. Petir menyambar sangat kencang setelah kilatan luar biasa, bocah itu berteriak ketakutan dan memeluk erat tubuh Jia. “Ibu!” serunya. “Aku takut, Ibu.” Jia tersentak mendengar seruan itu, detak jantungnya pun berhenti sesaat. Ada perasaan aneh dirasakan, seperti kerinduan yang pada akhirnya terbayarkan. ‘Mungkinkah dia putraku? Kenapa aku merasakan hal semacam ini, Tuhan?’ batin Jia, membelai lembut wajah Kevin. ‘Dia bahkan takut petir, sama sepertiku.’ Jia menatap pilu pada Kevin, memeluknya kembali dan mengusap lembut kepala. Ada helaian rambut sengaja dicabut olehnya, demi menemukan jawaban atas kecurigaan semakin dalam. Kevin merasa gatal pada kepala, dia mengusap setelah pelukan dikendurkan. “Kenapa, Nak?” “Tidak ada. Sepertinya, rambutku ada yang menarik.” Jia menatap bersalah. ‘Maafkan aku, harus melakukan ini.’ Kevin menelisik wajah, cukup lama seakan dia tengah mengoreksi pori-pori wajah. “Kenapa bibi ada disini? Bukankah mata bibi tidak ….” Kevin tidak kuasa melanjutkan, namun dia berpikir panjang akan mengapa perempuan buta bisa sampai pada kamarnya dalam situasi listrik padam. Jia bingung mencari jawaban, dia tidak ingin segalanya terbongkar. “Mm, aku tidak bisa tidur dan ciba berkeliling, lalu mendengar ada benda jatuh di sini. Untuk itulah, aku masuk.” “Cuaca di luar sangat buruk, bibi malah berkeliling? Di sini juga sangat gelap, apa bibi tidak takut jatuh?” “Aku sudah terbiasa hidup dalam gelap, jadi aku tidak takut terjatuh.” Jia tersenyum. “Tidurlah, ini sudah larut. Aku akan menemanimu sampai tertidur.” Kevin mengangguk, membantu Jia sampai pada ranjangnya. Mereka berbaring bersama, hangat Jia memeluk tubuh Kevin, menepuk-nepuk punggung sembari menyanyikan lagu tidur. Itu mendamaikan bagi bocah yang belum pernah merasakan hal serupa, hati Kevin pun berubah hangat tanpa ada kehampaan seperti sebelumnya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Kevin terlelap, Jia mengusap-usap rambutnya dan mengecup kening. Sejenak dia memuaskan mata untuk menatap, sebelum akhirnya perlahan turun dari ranjang. Jia harus segera kembali ke kamar, atau Leo akan terbangun dan mencari-cari dirinya. Jia berjalan sangat pelan, berusaha sebaik mungkin agar pergerakannya tidak mengusik tidur penghuni kamar. Pintu dibuka perlahan, Jia keluar dan tanpa sengaja menabrak dada bidang. Aroma parfum sangat dikenal, itu adalah Liam. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” tegur Liam segera. Jia menelan saliva, dia takut sang suami bertambah curiga terhadap penglihatannya. “Aku bertanya padamu, apa yang kamu lakukan di sini!” “A—aku haus, aku berusaha mencari dapur tapi tersesat. Aku sudah berusaha membangunkan mu tadi, tadi kamu merespons sama sekali. Untuk itulah, aku nekat berjalan sendiri.” Jia beralasan sangat cepat, memasang wajah serta suara menyedihkan. Liam menarik napas dalam, memeluk sang istri. “Baiklah, aku antar kamu ke kamar lebih dulu, lalu aku ambilkan minum. Kasihan kalau Leo ditinggal sendirian.” Liam membimbing tiap langkah istrinya dengan perlahan, tanpa.menyadari bahwa ada sepasang mata menyaksikan dengan berang di ujung ruangan. Itu adalah Tamara, wanita yang sengaja mengekori kepergian Jia sedari tadi. “Ternyata aku benar, dia memang bisa melihat. Tunggu saja, aku akan mengumpulkan semua bukti dan menunjukkan pada Liam. Dengan begitu, dia akan sangat marah, dan posisi Jia bisa kugantikan dengan mudah!”Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga
"Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d
Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer