Jia kembali mendapatkan penglihatannya, kabar gembira yang ingin dibagi bersama suami untuk dijadikan sebuah kejutan. Namun siapa sangka, dia sendiri yang malah terkejut melihat perselingkuhan suami bersama pelayan pribadi, dan ternyata putra yang di besarkan selama ini bukanlah putra kandungnya. Jia bertekad untuk membalas Pengkhianatan sang suami dan mencari keberadaan putra kandungnya yang di sengaja di buang.
View MoreSeorang wanita berjalan pelan menuju bathub sambil meraba sekitarnya, ingin sekali dia menikmati waktu berendam menyenangkan.
Lantai kamar mandi terlalu licin, perempuan sudah membalut tubuhnya dengan handuk itu pun tergelincir, mengakibatkan benturan kepala di bibir bathtub. Dia mengerang kesakitan sambil memegangi sisi kepala. Akan tetapi, rintihan itu terhenti begitu saja, ketika dia merasakan adanya cahaya masuk dalam penglihatan. “A—astaga, mataku … mataku sudah bisa melihat?” ujarnya tak percaya, mengedipkan mata berulang. “I—ini sebuah keajaiban!” Jia menatap langit, matanya menerawang ke masa lalu yang kelam. Perlahan, ia menggenggam erat tangan kanannya, seolah mencoba meraih ingatan itu kembali. Bayangan kejadian naas 7 tahun silam mulai menghantui pikirannya, rasa sakit dan kehilangan bercampur menjadi satu. Bibirnya menggigil, mencoba menahan getir yang muncul dari dalam hatinya. Di saat mobilnya melaju kencang membelah jalanan sepi, Jia tak menyadari bahaya yang mengintai. Tiba-tiba, mobil lain muncul dari arah berlawanan, membuat matanya terbelalak dan jantung berdegup kencang. Sinar lampu sorot mobil yang datang itu menusuk matanya, menyilaukan pandangannya. Dengan refleks cepat, Jia mengelak, menghindari tabrakan yang hampir saja merenggut nyawanya. Detik itu juga, rasa terkejut dan takut bercampur jadi satu dalam dadanya. Jia menarik nafas lega setelah berhasil menghindari kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawanya. Namun, rasa lega itu seketika buyar saat dia menyadari bahwa rem mobilnya blong. Berulang kali kakinya menginjak pedal rem, tapi sama sekali tak berfungsi. Rasa panik mulai mengepung pikirannya, membuat Jia benar-benar merasa terancam. "Apa-apaan ini? Kenapa rem mobil blong?!" jerit Jia ketakutan sambil berusaha mengontrol kendaraannya yang semakin mempercepat. Dia mengingat dengan jelas, mobil yang baru saja dikemudikannya telah diservis beberapa hari lalu. Namun, tiba-tiba rem blong, sebuah kejadian yang membuatnya merasa sangat terganjal. Kekhawatiran yang mendalam mulai mendominasi pikirannya, memunculkan perasaan panik yang meluap-luap. Takut akan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, perasaan itu merayap begitu cepat dalam dirinya. “Apa yang harus aku lakukan?” monolognya mencari jalan keluar, hingga menemukan ponselnya yang tergeletak di kursi sebelah dan menyambar. Menghubungi Liam berulang kali, namun panggilannya di abaikan. Seakan Jia mendapatkan jalan buntu, memaki Liam karena tidak ada di saat dia membutuhkan. Dia kehilangan kontrol mengemudi mobil dan banting setir saat keluar jalur, menyebabkan mobilnya menabrak pohon besar di pinggir jalan. Tabrakan itu terjadi begitu cepat. Kepala Jia terhempas ke setir mobil, lalu alarm keras mendadak menyayat telinga. Sedikit demi sedikit, darah segar mulai mengalir dari keningnya. Dalam keadaan pusing dan cemas, dia berusaha melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Namun semakin lama, pernapasannya terengah-engah dan indera terasa kabur. Tak lama kemudian, Jia kehilangan kesadaran dan tidak mengingat apapun yang terjadi sesaat setelah insiden itu. Jia berhasil selamat, tapi kehilangan penglihatan. Dia merasa tidak berguna, frustasi, sampai berteriak dan menyalahkan takdir. Namun, suara familiar yang khas itu berhasil menenangkan, sahabat kakeknya datang memberikan dukungan serta meminta kekasihnya, Liam, untuk tetap melanjutkan pernikahan mereka. “Tenanglah, Liam pasti bersedia menikahimu.” Pria tua itu menyambar tangan lembut Jia menggenggamnya memberikan janji. Sekilas, kemudian beralih mengusap rambut Jia. Jia hampir kehilangan rasa percaya diri, tadinya dia ingin membatalkan pernikahan tapi mendengar ucapan dari kakek Wijaya merubah keputusannya. “Apa itu mungkin?” Jia tersenyum mendapatkan pelukan hangat dari kekasihnya, memberikannya janji manis hingga sekarang masih di pegang. Jia sangat beruntung memiliki Liam disisinya dan kakek Wijaya, menjadi penyemangat untuk bangkit dari keterpurukan dan melangsungkan pernikahan dengan meriah dan megah. Perempuan bernama Jia itu terlihat senang, dia lekas menuntaskan acara mandinya sebelum sang suami kembali bekerja. Jia ingin cepat-cepat menyampaikan kabar bahagia yang menyapa hidupnya. Jia bergegas mengganti pakaian dan menyambut suami tercinta. Dia memilih untuk berpura-pura buta, agar bisa mengejutkan belahan jiwanya. Suara langkah kaki mengisi telinga Jia, senyum segera di pahat olehnya. Namun, itu tidak berlangsung lama. Senyum Jia memudar, tatkala dia menemukan kebersamaan sang suami bersama asisten rumah tangga mereka. ‘A—ada apa ini? Kenapa mereka bisa bersama?’ batin Jia gagu, jantungnya berdetak sangat cepat. Jia berusaha tetap tenang, walau isi kepala sudah dipenuhi banyak tanya. Hati terasa sesak pun, coba dikendalikan oleh perempuan yang masih ingin menyaksikan kebersamaan dua orang di depannya. Alangkah terkejutnya Jia, saat suami juga pelayannya bermesraan. Sekujur tubuh Jia bergetar, air mata rasanya ingin ditumpahkan bersama urutan sumpah serapah. ‘Mereka mengkhianatiku?’ batin Jia, menahan sekuat tenaga agar air mata tidak tumpah. Jia mengayun-ayunkan tongkat, menghancurkan kemesraan yang semakin memanas. “Sayang, kamu sudah pulang?” tegurnya sengaja. Kedua insan tengah sama-sama berhasrat itu menoleh, kemudian saling tatap. Asisten rumah tangga bernama Tamara itu merapikan kancing bajunya, sebelum dia mendekati Jia dan melambai-lambaikan tangan. Tamara memastikan bahwa Jia benar-benar buta, hingga tidak menyaksikan perbuatannya. Kehadiran Jia selalu saja menjadi ancaman baginya juga Liam, meski selama ini mereka selalu berhasil memanfaatkan situasi. “Ah, aku sudah pulang.” Liam memeluk Jia erat. “Bagaimana bisa kamu tahu hal itu?” Hati Jia mendidih mendengar suara lembut suaminya, bahkan pelukan pun ingin dilepaskan paksa olehnya, kemudian menampar dan memaki pria tidak memiliki nurani tersebut. “Aku memang buta, tapi indera pendengaran lebih tajam.” Jia terpaksa membalas pelukan, menahan sumpah serapahnya dalam tenggorokan tercekat. “Baiklah. Kalau begitu, ayo kita ke kamar.” Lian membimbing langkah istrinya. Lian tersenyum menatap wajah Jia yang memang sangat cantik. Namun, dia juga tidak bisa menyingkirkan kekurangan yang dimiliki oleh perempuan yang sudah dijodohkan dengan dirinya. ‘Kenapa aku harus dijodohkan dengan wanita tidak berguna sepertinya?’ batin Lian mengutuk. Kutukan itu selalu saja diurai oleh Lian setiap waktu. Jika bukan karena warisan serta ancaman dicoret dari ahli waris, mungkin dia tidak akan pernah mau menikah dengan perempuan tunanetra layaknya Jia. *** Malam hari, Jia merasa tenggorokan kering kerontang. Dia melihat teko di atas nakas sudah kosong, Jia memutuskan pergi ke dapur. Jia berjalan seorang diri, karena suaminya tidak ditemukan di atas ranjang bersamanya. Perlahan dia menyisir lantai, melalui kamar-kamar di dalam rumah. Langkah terhenti sesaat mendengar suara dari salah satu kamar, Jia melebarkan telinga untuk mendengarkan saksama. Mata Jia melebar, tatkala suara yang menari dalam telinganya begitu familier. Jia mendekati kamar telah tercipta kegaduhan, pintu itu tidak tertutup sempurna dan Jia mampu menyajikan apa yang terjadi di dalam. Jia menutup mulut dengan telapak tangan, menyaksikan jelas suaminya bermadu kasih dengan Tamara. Suara-suara mereka pun seolah berubah menjadi pisau paling tajam, menusuk telinga Jia tanpa perasaan. “Kamu memang nakal, sangat pintar merayuku.” Lian terengah, menyaksikan ulah perempuan di atasnya sungguh membuat gairahnya memuncak. “Benarkah? Lebih hebat mana, aku atau si buta itu?” Tamara mendekatkan wajah Liam, memasang paras menggoda. “Tentu saja, kamu yang terbaik. Aku sama sekali tidak berselera dengannya, dia tidak pernah membuatku tertarik.” Liam menjawab. “Aku hanya terpaksa menikahinya demi kekayaan keluarga.” Tamara tersenyum puas, bibir bawah digigitnya genit dan membelai tengah dada Liam. Keduanya melanjutkan kegilaan yang semakin memanas, tanpa peduli apakah dinding rumah itu memiliki telinga atau tidak. Jia terpukul, hatinya terluka parah. Air mata tidak mampu dibendung lagi olehnya, setelah melihat pengkhianatan terang-terangan yang dilakukan suami juga asisten rumah tangganya. Lemas kaki Jia beralih dari depan kamar, tidak sanggup lagi dia melihat serta mendengar kenikmatan suaminya bersama perempuan lain. Tenggorokan kering diabaikan oleh Jia, dia kembali ke kamarnya, menangisi nasib hidupnya yang tak berbeda dari badut bagi Liam juga Tamara. “Cinta, kasih sayang, perhatian yang dia berikan, semuanya palsu. Liam mengkhianatiku, dia sudah membohongiku selama ini.” Jia mengurai air mata, duduk tertunduk di sudut kamar. Rasanya, Jia sudah putus asa dan hampir gila. Bagaimana mungkin, lelaki yang dianggapnya baik dan menerima dirinya tanpa menatap kekurangan, justru memiliki sisi lain yang mengerikan. “Tidak. Aku tidak akan pernah menangisi lelaki brengsek sepertinya!” ujar Jia menyeka air mata. Hati terluka, berubah memanas seketika mata terbayang aksi menjijikan suaminya. “Aku tidak boleh seperti ini, atau mereka akan bahagia melihatku hancur. Aku harus bangkit, dan membalas semua rasa sakit hatiku!” *** Pagi hari, seperti biasa Jia akan menikmati teh yang dibuatkan oleh Tamara. Jia duduk memasang tatapan lurus ke depan, Tamara hadir membawakan secangkir teh untuknya. ‘Dasar perempuan buta tidak berguna! Aku sangat membencimu!’ batin Tamara, menyodorkan secangkir teh. “Silahkan diminum, Nyonya. Mumpung masih hangat,” imbuhnya memaksa santun. Jia meraba cangkir, itu terasa sangat panas. Jelas, teh dibuatkan oleh pelayan pribadinya itu menggunakan air mendidih, bukan campuran seperti biasa. Jia bertingkah biasa, memegang gagang cangkir dan bersiap meminum. Tamara tersenyum licik, namun tak lama di menjerit kesakitan akibat teh mengguyur pergelangan tangannya. “Aduh, apa yang kamu lakukan?!” erang Tamara memegangi pergelangan tangan memanas. ‘Dasar perempuan bodoh!’ makinya dalam hati, ingin sekali menampar wajah majikannya. “Ma—maaf, aku tidak sengaja menumpahkannya.” Jia mengurai gurat bersalah dan penyesalan. “Tapi, tenang saja. Tanganmu tidak akan melepuh dengan teh hangat, kecuali yang kamu berikan adalah teh dengan air mendidih.” Jantung Tamara berhenti berdetak, dia menelisik biji mata Jia yang terarah lurus ke depan. ‘Dia bisa melihat?’ batin Tamara, melambaikan tangan tepat di depan wajah Jia dan tidak menemukan reaksi berkedip atau apapun. Tamara bingung, karena peristiwa barusan terasa seperti disengaja. Jia bangkit dari sofa, mengentak tongkatnya di lantai. “Buatkan aku jus buah naga,” titah Jia. Tamara bersungut-sungut, melihat kepergian Jia. “Aku akan membuatkanmu jus terenak di dunia!” ucapnya tersenyum jahat. Tamara pergi ke dapur sembari memegangi pergelangan terasa panas. Dia membuat jus seperti diminta, dan sengaja mempercepat waktu agar bisa membalas Jia. “Liam hanya akan menikahiku, bukan perempuan buta jelek sepertinya!” bengis Tamara, mengangkat segelas jus dan menemui Jia. Tamara menyerahkan segelas tinggi jus buah naga, penciuman Jia menangkap aroma tidak sedap. Busuk. Itulah yang menusuk hidung mancung Jia. “Minumlah, Nyonya. Ini pasti sangat enak saat masih segar,” ungkap Tamara mengusung senyum tipis. Jia meraba-raba untuk menemukan gelas, sengaja dia menyenggol agar jus itu jatuh. Lagi-lagi, Tamara berhasil dibuat menjerit karena ketumpahan, dan kali ini pakaiannya yang kotor. “Ada apa ini?!” seru Liam, berlari menuju sumber suara setelah mendengar gelas pecah. Jia tidak menggubris, dia berlalu dan sengaja menabrak dada bidang suaminya. Liam menoleh mengamati, lalu berpusat perhatian pada Tamara serta pergelangannya. “Kenapa dengan tanganmu? Siapa yang melakukan ini?” cemas Liam melihat kulit melepuh kekasihnya. “Siapa lagi? Istrimu yang tidak benar-benar buta!” tekan Tamara.Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga
"Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d
Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments