Aku membawa mobil meninggalkan pengadilan agama perlahan. Menyusuri jalanan kota yang padat merayap. Tak berapa lama, ponselku berdering dan nama Delia terpampang di layarnya. Aku mengangkat dengan tangan sedikit gemetar. “Halo?” “Nada...” Suaranya lirih. Aku mengenali suara itu seketika. “Delia?” “Bisa... kamu datang ke rumah sakit hari ini?” “Delia, kamu di mana?” tanyaku cepat. “Ruang rawat inap, lantai dua... rumah sakit onkologi, Surabaya!" Suara itu nyaris tenggelam oleh napasnya yang pendek-pendek. “Nada, aku ingin bicara.” Panggilan itu membuatku terdiam beberapa saat. Tak banyak kata yang bisa kuucap selain, “Aku akan datang.”Aku segera memutar mobilku menuju rumah skait yang Delia maksudkan. Terletak di pusat kota, dengan bangunan yang tenang, penuh pepohonan rindang. Tapi suasananya kadang membuat hati berdetak tak karuan. Sunyi dan menakutkan. Seolah waktu melambat hanya untuk memberi kesempatan orang-orang menghadapi akhir hidupnya dengan lebih pela
Aku berdiri di tepi jalan, bersiap untuk pulang. Baru saja memasuki tempat parkir mobil saat kudengar suara yang memanggil namaku. Aku sedikit menepi karena siang ini, begitu terik menyilaukan mata. Dari kejauhan berlarian sesosok yang begitu kukenal, diikuti oleh dua orang yang mengikuti dengan tergesa-gesa. "Nada!" Aku menunggu. Menunggu kata-kata yang hendak dia sampaikan. Seseorang yang dulu pernah menjadi tempatku pulang. “Nada!” Mas Danar tampak lebih kusut dari tadi saat masih di ruang mediasi. "Kita perlu bicara!" Lanjutnya. Aku mengangguk. "Bicaralah, Mas!" Jawabku. Sasi dan Mertuaku segera mendekat dengan raut gelisah. Aku menghela napas dan menurunkan ponsel dari telinga. Keinginan untuk mengecek kondisi klinik jadi urung kulakukan. “Kau ingin cerai hanya karena satu kesalahan?” Suara Mas Danar meninggi, dan aku bisa merasakan amarah yang ditekan dalam nadanya. “Apa kau tega menghancurkan rumah tangga kita begitu saja?” Aku menatap matanya. Datar. “Satu kes
Sidang mediasi, berakhir dengan jalan buntu. Mas Danar menolak semua poin yang kuajukan. Hakim mediator hanya bisa menghela napas panjang, lalu menutup sidang dengan catatan : tidak tercapai kesepakatan. Hingga saat waktu istirahat siang tiba, aku dan Bimo memutuskan untuk menepi sejenak ke sebuah kafetaria kecil di sisi kanan gedung Pengadilan Agama Surabaya. Udara panas yang bercampur gerah, seakan menambah pikiranku makin penat. Aku hanya ingin duduk, diam, dan menyeruput segelas teh manis. Bimo membelikan kami dua porsi nasi rames dan duduk tepat di depanku. Kami tidak langsung bicara. Masing-masing larut dalam pikiran. Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Langkah kaki tergesa disertai bunyi dari heels tinggi mengisi ruangan. Aroma parfum berharga mahal mendahului sosok yang kemudian berdiri tepat di sisi meja kami. Rambut panjang kecokelatannya tergerai, wajahnya penuh riasan, bibir merah menyala menambah sensual dan mata tajam yang menusuk ke arahku. "Jadi, karena
Aku tak tenang menunggu sore tiba. Setelah Adzan Ashar berkumandang, aku segera berpamitan untuk pulang. Seperti biasa Mbok Nah segera menyapa dan bertanya begitu aku ssmpai. "Capek, Nduk? Mau makan dulu?" "Ntar aja Mbok. Aku mau ke kamar dulu!" Mbok Nah mengangguk lalu menyiapkan keperluan untuk makan di meja makan. Langkahku terasa begitu berat kali ini. Aku sendiri tak paham. Apakah tubuhku memang terasa lelah atau karena beban ysng semakin bertambah. Sesampainya di klamar, aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, setelahnya menggelar sajadah dan bersimpuh melaksanakan kewajiban. Air mataku mengalir tanpa diminta. Bukan karena aku lemah, tapi karena semuanya terlalu menyesakkan. Sasi… Ilham… Apa aku selama ini terlalu polos atau hanya pura-pura tidak tahu? Ternyata semua bukan soal cinta. Tapi soal pengkhianatan yang direncanakan dengan sangat rapi. Soal kerakusan. Soal tipu daya yang membuatku harus jadi pi
Siang mulai menjelang. Tak terasa, perutku mulai melilit karena lapar. Setelah memesan makanan lewat aplikasi online untuk para tukang, aku berniat mencari kopi dan tempat untuk duduk dengan nyaman. Mataku segera menangkap warung kecil yang agak jauh dari lokasi klinik. Tanpa sungkan, aku berjalan kaki untuk menuju ke sana. Sepertinya aku butuh ruang untuk menenangkan pikiran. Terlebih setelah bertemu Sasi dan Mas Danar, kurasa cukup banyak energi yang telah terkuras.Sesampainya di warung, aku memilih tempat dengan sekat, kupikir agar aku lebih leluasa menikmati waktu. hanya memesan kopi hitam dan beberapa roti isi untuk pengganjal. Setelah pesanan datang, aku menikmatinya perlahan.Sesekali, aku melihat sekeliling warung yang memang ramai dengan pengunjung. Sambil menatap layar ponsel dan membaca ulang pesan dari Bimo. Mencoba untuk merenung di antara langkah besar yang akan kuambil minggu depan. "Mediasi pertama dijadwalkan hari Senin, pukul sembilan pagi. Lo
Sudah lima hari sejak pertemuanku dengan Bimo dan Delia belum ada kabar hingga hari ini. Hanya saja, Bimo sudah menyampaikan jika semua berjalan lancar dan Mas Danar tidak mangkir, surat panggilan sidang bisa sampai dalam waktu 10 atau 14 hari kerja. Semua tergantung domisili, beban perkara juga respon pihak tergugat. Aku benar-benar menyerahkan segalanya pada Bimo. Dan selama masa tunggu itu, aku memilih fokus pada mimpiku yang lama tertunda, mengawasi pembangunan klinik gigiku. Papan nama lama bertuliskan “Pramesthi Dental Care – Coming Soon” yang mulai lapuk dan penuh debu itu, akhirnya diturunkan pagi ini. Aku berdiri di bawah scaffolding, mengenakan helm proyek kuning dan rompi reflektif yang diberikan mandor agar lebih aman berkeliling lokasi renovasi. Hari itu, aku ikut mengawasi pemasangan kabel dan pemetaan ruang tunggu. Tak jarang aku harus naik ke lantai dua yang akan digunakan sebagai area administrasi dan mushola kecil. Kali ini aku turun dan m