Beranda / Rumah Tangga / Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka / 25. Hati yang Tak Pernah Pulang

Share

25. Hati yang Tak Pernah Pulang

Penulis: Banyu Biru
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-08 10:32:01

Aku berdiri di tepi jalan, bersiap untuk pulang. Baru saja memasuki tempat parkir mobil saat kudengar suara yang memanggil namaku.

Aku sedikit menepi karena siang ini, begitu terik menyilaukan mata. Dari kejauhan berlarian sesosok yang begitu kukenal, diikuti oleh dua orang yang mengikuti dengan tergesa-gesa.

"Nada!" Aku menunggu. Menunggu kata-kata yang hendak dia sampaikan. Seseorang yang dulu pernah menjadi tempatku pulang.

“Nada!” Mas Danar tampak lebih kusut dari tadi saat masih di ruang mediasi.

"Kita perlu bicara!" Lanjutnya. Aku mengangguk.

"Bicaralah, Mas!" Jawabku. Sasi dan Mertuaku segera mendekat dengan raut gelisah.

Aku menghela napas dan menurunkan ponsel dari telinga. Keinginan untuk mengecek kondisi klinik jadi urung kulakukan.

“Kau ingin cerai hanya karena satu kesalahan?” Suara Mas Danar meninggi, dan aku bisa merasakan amarah yang ditekan dalam nadanya. “Apa kau tega menghancurkan rumah tangga kita begitu saja?”

Aku menatap matanya. Datar. “Satu kes
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   35. Mendekat pada Ibu

    Mobil kuarahkan pada perumahan elit sesuai dengan alamat yang kubaca. Rumah yang jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan Surabaya. Sebuah kawasan perumahan yang asri, dengan pagar kayu tinggi dan pepohonan trembesi yang menaungi jalan setapaknya. Di tengah gemuruh pikiranku, tempat ini terasa seperti oasis yang diam-diam memberiku warna lain. Aku memarkir mobil di halaman luas dan merapikan jilbabku di kaca spion. Lalu, dengan napas yang kuatur perlahan, aku melangkah ke teras rumah. Pintu sudah terbuka sebelum sempat aku mengetuk. “Ibu senang akhirnya kamu mau datang!" Suara Ibu lembut tapi berwibawa, seperti biasanya. Rahmawati—perempuan yang awalnya kupikir egois karena meninggalkanku dan ayah. Tapi apapun itu, dia pasti punya alasan lain yang aku tak tahu. Yah, meskipun penjelasan telah diberikan tapi aku masih belum bisa menerima sepenuhnya. Aku tersenyum kecil dan mengangguk. Bukankah aku sudah bertekad untuk memberi semua kesempatan? Ia merengkuhku ke dalam pelukan, e

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   34. Delia Menangis di depan Saka

    Langit Surabaya masih menyisakan panas dengan polusi kendaraan meskipun sore telah menjelang. Setelah selesai praktek, aku segera meluncur ke rumah sakit. Hari ini sepertinya jadwal Delia, jadi aku invin menemaninya seperti yang sudah-sudah. Aku baru saja turun dari mobil setelah perjalanan hampir tiga puluh menit karena jalanan padat merayap. Langkahku tergesa menuju ruang rawat Delia. Sayangnya. aku harus terhenti di depan pintu ruang tunggu VIP. Tanganku sempat ingin mengetuk, tapi suara dari dalam membuatku urung. Aku mengenali suara itu. Saka. Dan... Delia. “Kenapa kamu selalu bersikap seperti ini, Saka? Aku tahu... sejak dulu hatimu bukan untukku.” Nafasku tercekat. Hatiku mendadak berat. Suara Delia terdengar pecah, seperti menahan tangis yang terlalu lama disimpan. “Aku tahu. Sejak dulu aku tahu, Saka. Aku tahu kamu mencintai Nada bahkan sejak kita masih sama-sama mahasiswa di fakultas. Kamu pikir aku nggak lihat caramu memandang dia? Caramu memperlakukan dia? Membant

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   33. Rahasia Sasi

    Sontak ruangan seolah membeku. Sasi tampak menegang sejenak, matanya membelalak saat menyadari kehadiran kami di ruang yang sama. Wajahnya seketika pias. “Selamat malam, Bu Rahmawati,” sapa Pak Hasan dengan senyum canggung, lalu menoleh pada kami satu per satu. “Maaf, saya tidak tahu ada acara keluarga di sini.” Ibu berdiri sepenuhnya sekarang, anggun dan tegas. “Kau tidak menjawab pertanyaanku, Pak Hasan. Selamat malam!" Sapa Ibu. "Dan, siapa ini? Putrinya?" Mata ibu menyelidik. Pak Hasan menarik napas panjang. Ia tampak gugup, tapi mencoba menguasai keadaan. “Ini... istri saya, Bu. Istri kedua saya. Kami baru menikah satu tahun lalu!" Suara teredam terdengar dari meja kami. Bimo menegakkan badan. Delia membeku. Saka tampak mengerutkan kening. Aku? Aku hanya diam. Membatu. Sasi menunduk, seakan sadar betapa kacaunya situasi ini. Ia berusaha menarik lengan Pak Hasan, mungkin ingin kabur, tapi pria itu menahan erat dan tetap berdiri dengan senyum paksa. Ibu tertawa ringan,

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   33. Bimo Menyatakan Cinta

    Hari mulai beranjak siang. Tamu-tamu mulai berpamitan satu per satu. Suasana klinik perlahan menurun intensitasnya, menyisakan sisa-sisa gelas kertas, bunga tangan, dan aroma manis dari kenangan pagi tadi. Aku duduk di bangku taman kecil yang kami desain untuk pengunjung anak-anak. Kaki kuangkat sedikit, melepas high heels yang mulai membuat kakiku pegal. Angin mengusap wajahku dengan lembut. Hari ini… hari yang tak akan pernah kulupakan. “Kamu nggak masuk ke dalam?” suara itu Aku menoleh. Bimo berdiri di dekatku, mengenakan batik abu gelap dengan celana bahan. Rambutnya agak berantakan, seperti biasa. “Aku butuh istirahat sebentar,” jawabku pelan. “Kakiku rasanya udah teriak minta ampun.” Gurauku. Ia tertawa ringan dan duduk di sampingku. “Tapi wajahmu nggak kelihatan lelah. Justru… bahagia.” Aku mengangguk. “Iya. Bahagia. Tapi juga sedikit... campur aduk.” Bimo menghela napas panjang. Ia menatap taman kecil itu sejenak, lalu menoleh padaku. “Nada,” katanya serius. “Hmm?”

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   32. Ada yang Terbakar

    Pagi itu, Surabaya disiram cahaya matahari yang hangat. Langit tampak bersih, seakan semesta ikut merayakan sesuatu yang penting. Hatiku berdetak cepat saat berdiri di depan bangunan yang berdiri gagah, bersih, dan penuh nuansa putih lembut yang menenangkan. Pramesthi Dental Care Tulisan itu terpampang sederhana di papan nama yang baru dipasang. Nama itu kupilih bukan karena narsis, tapi karena... ayahku. Dan kini, karena ibuku. Pak Bambang berdiri di sampingku, tampak sibuk menyambut beberapa tamu undangan. Beberapa dari dinas kesehatan, tokoh masyarakat, bahkan beberapa kepala sekolah yang selama ini menjadi teman bicara dalam beberapa seminar yang kuikuti. “Selamat, Nada,” ujar salah satu ibu kepala puskesmas sambil menyalami. “Akhirnya, mimpimu jadi kenyataan!" Aku membungkuk hormat. “Terima kasih, Bu. Saya cuma ingin sedikit berkontribusi.” Tiba-tiba, dari kejauhan aku melihat Delia datang. Wanita itu berjalan pelan, mengenakan kerudung warna krem dan gamis panjang. W

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   31. Antara Maaf dan Peluang Baru

    Sudah lewat satu jam sejak kami berpelukan di ruang tunggu pengadilan agama, tapi rasanya pelukan itu masih menempel erat di tubuhku—di hatiku. Bukan pelukan yang sempurna. Bukan pula yang nyaman sepenuhnya. Tapi hangat... dan penuh rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Aku, Nada Pramesthi, akhirnya tahu siapa ibuku. Bukan perempuan yang fotonya hanya kulihat di album usang, atau sosok samar yang kukira sudah lama pergi dari dunia ini. Ia nyata. Ia hidup. Dan kini... di hadapanku. Kami akhirnya pindah ke sebuah kafe kecil tak jauh dari pengadilan setelah Bimo memutuskan untuk oamit lebih dulu. "Aku tahu... sulit untuk langsung percaya. Apalagi setelah sekian lama. Tapi aku bersumpah, aku selalu ingin bertemu denganmu, Nada," ucap Ibu—Rahmawati—pelan. Aku mendengar tanpa menyela. Pandanganku masih terarah ke jendela, tapi telingaku tetap mendengar. "Aku nggak tahu harus marah atau berterima kasih, Bu," jawabku jujur. "Hidupku selama ini... sudah cukup s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status