"Katakan padaku, siapa yang menghamilimu? Jawab!"
Kania terperangah mendengar teriakan dari Sean di hadapannya. Tuduhan tak berdasar yang suaminya itu lemparkan padanya setelah ia memberikan kabar bahagia ini tidak pernah Kania perkirakan. Padahal ia pikir Sean akan bahagia, Sean akan mencintainya setelah ia mengandung puteranya. Meski pernikahan mereka hanyalah pernikahan perjanjian ayah mereka berdua, tapi Kania mencoba menerima takdirnya. Ia mencintai Sean dan akan melakukan apapun untuk membuat pria itu membalas cintanya. Namun, apa yang ia khayalkan sungguh berbeda dari apa yang ia terima. Sean malah menuduhnya bermain api saat ia menjalani perjalanan bisnis selama dua bulan."Ini anakmu, Mas! Tidak pernah ada yang menyentuhku selain dirimu!""Lalu ini apa?"Kertas-kertas bertebaran ke atas kepala Kania. Dengan cepat Kania memunguti kertas-kertas itu satu per satu. Sudut matanya terbelalak lebar saat melihat kertas apa yang di lemparkan padanya. Itu adalah sebuah foto. Foto dirinya yang tengah tertidur lelap di dekapan seorang pria. Sungguh, Kania sama sekali tidak tahu siapa pria itu. Ia bahkan baru melihat pria itu pertama kali. Namun, bagaimana bisa? Bagaimana bisa dirinya berada di dekapan pria itu di sana?Sebenarnya kapan ini terjadi? Kania sendiri bahkan tidak yakin potret itu diambil dimana. Seingatnya ia tidak pernah pergi kemanapun. Ah, terakhir ia ke luar rumah adalah saat ia ditemukan pingsan oleh ibu mertuanya di kamar lalu dibawa ke rumah sakit.Tunggu sebentar... Saat itu ia bahkan tidak yakin kenapa ia sampai tidak sadarkan diri. Ibu mertuanya hanya bilang bahwa ia sepertinya kelelahan karena kondisinya yang tengah hamil, tapi apa benar begitu?Apa sebenarnya foto-foto ini adalah ulah Catherine, ibu mertuanya? Catherine memang tidak pernah menyukai dirinya semenjak ia menikah dengan Sean, namun dalam dua bulan ini Catherine selalu berbuat baik padanya. Ia pikir Chaterine juga merasa senang karena sebentar lagi akan memiliki cucu, tapi apa yang terjadi kini sungguh membuatnya teramat bingung."Mas ini salah paham! Sepertinya... Sepertinya ada yang menjebakku! Aku tidak mengenal pria ini!" ucap Kania dengan gemetar. Tatapan tajam Sean begitu menusuk membuat Kania merasa sangat gugup melihatnya."Menjebak?" Sean mendengus kasar, "Jangan becanda Kania, kamu kira aku bodoh?""Jangan dengarkan dia, Sean. Dia ini penipu! Mama sudah mengira saat Ayahmu mengajak wanita kampung itu kemari, dia bukan wanita baik-baik, dia hanya wanita murahan. Kamu tahu apa yang dilakukan dirinya saat kamu tidak ada? Dia terus menerus ke luar rumah bersama pria-pria yang berbeda."Kania semakin terperangah. Ia menatap Catherine dengan tatapan tidak percaya. Rupanya sikap Catherine dalam dua bulan ini hanyalah sebuah kepalsuan. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Catherine malah memojokkannya dan memfitnahnya seperti ini?"Kenapa ibu berkata seperti itu? Aku tidak pernah melakukan hal yang seperti ibu tuduhkan!""Kamu bilang ibu mengada-ngada? Ibu akan bawa buktinya!"Catherine tiba-tiba menarik Bi Surti, asisten rumah tangga di rumahnya."Katakan pada mereka Bi, bagaimana perlakuan Kania di rumah ini saat Sean pergi!" ujar Catherine dengan menggebu-gebu."Benar apa kata Ibu, Bi?"Bi Surti menatap ke arah Kania dengan bingung. Namun sejenak kemudian ia mengangguk kecil saat melihat tatapan Catherine yang mengancam."Be-be-nar Den,"Jantung Kania serasa diremat saat mendengar ucapan Bi Surti."BIBI!! KENAPA BIBI BERBOHONG?" Kania menjerit merasakan ketidakadilan yang menimpanya saat ini. Ia tidak menyangka bahwa Catherine dan juga Bi Surti akan bersekongkol memfitnahnya di depan Sean. Air matanya mulai menggenang memenuhi kelopak matanya."Sa- saya tidak berbohong. Non Kania memang sering pergi, dia juga mengancam saya untuk tidak mengatakan hal ini pada Tuan Sean.""Halah! Kamu ini terus saja mengelak. Jelas-jelas semua buktinya ada di depan mata!" ujar Catherine semakin memprovokasi."Tapi aku sama sekali tidak bersalah. Tolong... Tolong percaya padaku, Mas." Kania mulai merintih, meminta pertolongan kepada Sean untuk mempercayainya. Ia segera menghampiri Sean menarik tangannya dengan penuh harapan, "Aku mohon Mas, percaya padaku. Ini anakmu, ini darah dagingmu."Namun, kejadian selanjutnya malah semakin membuat hatinya patah. Sean menepis tangannya dengan kasar, tatapan matanya menyiratkan rasa jijik yang teramat terhadap Kania."Singkirkan tanganmu dariku, wanita jalang!"Kania tertegun mendengar umpatan dari Sean di hadapannya. Meski pernikahan mereka bukan atas dasar cinta, tapi Sean tidak pernah bertindak kasar padanya. Sean selalu bersikap baik padanya, tidak pernah ada umpatan atau kata-kata yang teramat kasar yang ia dengar kali ini."Aku pikir kau adalah wanita yang teramat polos yang bisa menjaga harga dirimu Kania, namun ternyata aku dan ayah salah selama ini."Kania seolah kehilangan pijakan saat ini. Tidak ada yang membelanya lagi. Ayah mertuanya, Handriawan Sagara telah berpulang beberapa bulan yang lalu. Jika saja Handriawan masih ada, Kania yakin beliau tidak akan membiarkan Kania diperlakukan seperti ini."Angkat kaki dari rumah ini segera. Aku muak melihat wajah pura-pura polosmu itu, Kania!"Kania hanya bisa terhenyak mendengar ucapan Sean. Setelah mengumpatnya dengan nada yang teramat kasar, sekarang Sean bahkan mengusirnya?"Mas, kamu mengusirku? Kamu mengusirku saat aku tengah mengandung?" Kania bertanya dengan nada tidak percaya. Tubuhnya terasa lemah mendengar seluruh keputusan Sean saat ini."Keluar dari rumah ini, aku tidak mau memelihara jalang di rumahku!"Jalang.Kania menelan ludahnya dengan teramat pahit. Sekarang Sean bahkan menyebut dirinya jalang berkali-kali. Air mata Kania meluncur turun dengan teramat deras. Hatinya sakit, sangat sakit."Ya, pergi dari rumahku sekarang juga! Bereskan seluruh barang-barangmu dari rumah ini."Setelah berkata seperti itu, Sean terlihat melangkahkan kakinya dengan langkah lebar meninggalkan tubuh Kania yang melorot ke arah lantai. Ia tidak percaya, seluruh kebahagiaan yang ia pikir akan ia terima malah menjadi mimpi buruk yang teramat pahit baginya."Kenapa kamu malah diam saja? Kamu tidak dengar apa yang Sean katakan? Pergi dari sini!"Kania tidak bergeming mendengar ucapan Catherine. Semua kejadian ini masih sulit ia cerna.Melihat Kania yang seolah menutup telinga, Catherine segera bergerak dengan geram. Ia melangkah menuju kamar Kania dan juga Sean. Ia memasukkan asal seluruh barang-barang Kania yang memang tidak terlalu banyak. Lagipula perempuan kampung itu hanya memiliki barang-barang murahan yang tidak cocok berada disini. Ia hanya akan mengemas barang-barang jelek menantu bodohnya itu. Pemberian Sean ataupun Handriawan harus ia tinggalkan disini, Kania tidak pantas menerima barang-barang mewah seperti itu.Setelah selesai mengemas asal barang Kania, Catherine kembali ke arah Kania yang masih terduduk di lantai. Dengan kasar ia melemparkan tas lusuh itu ke pangkuan Kania.Bruugh!"Tunggu apa lagi? Pergi dari sini, kamu tidak pantas berada disini!"Mendengar teriakan Catherine, Kania kembali memfokuskan pikirannya. Dengan lemah ia mengangkat tas itu lalu berdiri. Ia sudah diusir, jadi untuk apa lagi ia bertahan di rumah ini?Sebelum pergi, Kania memberikan tatapan tajamnya ke arah Catherine. Kesabaran yang selalu terlihat dari pribadinya seketika lenyap. Ia menatap Catherine penuh benci lalu berkata, "Saya pamit. Semoga Anda selalu sehat setelah memperlakukan manusia dengan semena-mena seperti ini."Kania berjalan dengan langkah gontai setelah keluar dari rumah Sean Sagara. Setelah diusir dari rumah Sean, ia tidak tahu lagi harus kemana ia melangkahkan kakinya.Kania mengusap air matanya berkali-kali merasakan kepahitan yang baru saja menimpanya. Ia harus bagaimana setelah ini?Kania mengusap perutnya. Ia lapar dan haus. Padahal ia sengaja mengosongkan perutnya untuk menunggu Sean datang. Ia jadi menyesal karena tidak mengganjal perutnya terlebih dulu."Kamu pasti lapar ya Nak," gumam Kania sedih.Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang putih. Namun, Kania menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu menghapus air mata itu. Tidak ada gunanya ia kembali menangis, ia harus mencari cara untuk mendapatkan makanan untuk dirinya dan juga anak yang tengah dikandungnya.Kania segera mengambil ponselnya lalu menempelkan benda mungil itu ke arah telinga. Tidak ada pilihan lain, untuk sementara ia hanya bisa meminta bantuan kepada keluarganya. Satu-satunya keluarga yang ia punya se
"Bu Devina nanti inginnya desain seperti ini. Detailnya memang tidak terlalu banyak, tapi cukup rumit. Hati-hati saat kalian menjahitnya. Ini untuk seragam geng arisannya, jangan sampai ada kesalahan karena Bu Devina sangat teliti. Kalian paham kan?""Baik Bu,"Kania berjalan berkeliling mengawasi tiga karyawannya yang tengah menjahit pesanan yang ia sudah jelaskan. Sesekali ia akan menegur lalu memberitahu mereka jika ada sesuatu yang salah di jahitannya. Sudah tujuh tahun semenjak ia menjalani bisnis ini dan sekarang bisnisnya sudah cukup berkembang. Dari seorang penjahit kecil-kecilan kini Kania sudah memiliki tiga orang karyawan yang membantunya dalam menyelesaikan pesanan para pelanggannya. Dari satu pelanggan tetap kini pelanggannya bertambah hingga puluhan orang. Banyak yang menyukai hasil jahitannya karena dinilai rapi dan selesai dengan cepat.Kania berjalan ke arah meja kerjanya setelah dirasa para karyawannya telah mengerti apa yang ia maksudkan. Para karyawan hanya bertuga
Kania tidak mampu berkata-kata saat melihat Sean di hadapannya. Tenggorokannya mengering seketika dan tubuhnya terasa lemas. Setelah bertahun-tahun berlalu ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sean kembali. Seperti dirinya, Sean juga sepertinya ikut terkejut. Ya, pertemuan ini memang bukan pertemuan yang menyenangkan bagi keduanya."Bu Kania, ayo beri salam."Kania seketika tergeragap mendengar ucapan Bu Astuti untuk ke sekian kalinya. Ia segera bangkit berdiri lalu mengulurkan tangannya kepada dua sejoli di depannya. Wanita yang bernama Sheline ini seakan tidak asing di telinga, namun Kania tidak yakin pernah melihat paras Sheline selama ini. Ia tidak menyangka Sean akan bersanding dengan wanita secantik ini setelah bercerai dengannya."Saya sering mendengar nama Anda, senang bertemu dengan Anda, Kania. Apa boleh saya memanggil Anda dengan nama saja? Sepertinya kita seumuran."Kania mengulas senyuman canggungnya mendengar perkataan Sheline, "Ya, panggil nama saja.""Ini tunangan sa
Kania segera bergegas ke ruang guru. Ia menghela nafasnya panjang saat melihat sosok Devan yang tertunduk bersama dengan Bi Minah. Di sampingnya terlihat seorang ibu paruh baya dan seorang anak yang memandang Devan tidak senang."Anda ibu dari anak yang bernama Devan itu, bukan? Akhirnya Anda datang juga. Lihat apa yang dilakukan putera Anda kepada putera saya."Wanita paruh baya itu seketika berdiri sambil menunjuk ke arah luka anak yang berada di sampingnya. Kania tersentak melihat luka yang ia lihat sekarang, ada luka robek yang terlihat di sudut pipi bocah lelaki itu. Kenapa Devan sampai melukai temannya seperti ini?Devan terlihat hanya menunduk tanpa sedikitpun menatap ke arah Kania. Devan selalu bertindak seperti itu jika merasa dirinya bersalah.Kania menghela nafasnya panjang, ia menundukkan kepalanya sebagai permintaan maaf atas perlakuan puteranya."Saya minta maaf atas apa yang dilakukan oleh putera saya. Pasti ada alasan kenapa Devan bertindak seperti ini. Saya akan berbi
Devan akhirnya membuka pintu, Kania menghela nafasnya dengan lega. Ia menarik tangan Devan lalu membawanya ke ruang keluarga. Kania mengulurkan potret Sean yang sudah ia bawa lalu berkata, "Ini Papa,"Devan menelusuri potret itu dengan alisnya yang terangkat, "Tapi kenapa fotonya begini, Ma?" Tanya Devan bingung.Kania segera mengambil foto dari Devan, "Mama takut merindukannya jika fotonya terlalu jelas. Sudahlah, kamu sudah melihatnya, bukan? Sekarang kita makan." Kilah Kania dengan cepat.Namun, bukannya beranjak dari duduknya, Devan kembali menarik tangan Kania, "Papa itu orang seperti apa, Ma?"Kania tertegun. Ia menatap manik mata Devan. Manik mata itu terlihat berbinar, sepertinya Devan sangat ingin tahu tentang ayahnya. Kania menghela nafasnya, apa yang harus kita ia katakan? Tidak mungkin ia mengatakan pada Devan bahwa ayahnya mengusir mereka."Papa orang yang baik, ya sangat baik, dia sangat perhatian. Dia selalu membuat Mama merasa sangat dicintai. Meski sedang sibuk, Papa
"Kita akan mengikuti kontes ini."Dewi, Isa, dan juga Lana terlihat berpandangan mendengar ucapan Kania. Raut wajah mereka terlihat bingung melihat pamflet yang ditunjukkan oleh Kania ke hadapan mereka. Dewi yang lebih berani dan banyak bicara dari ketiga pegawainya terlihat mengangkat tangan, "Kita ikut lomba, Bu? Tapi bukankah selama ini kita tidak pernah ikut lomba? Apa Ibu yakin kita bisa ikut lomba ini tanpa mengganggu pesanan yang lain?" Tanya Dewi merasa sangsi.Kania menghela nafasnya dengan kasar. Ya selama mereka bekerja pada Kania, tidak pernah sekalipun ada kabar berita butiknya akan mengikuti kegiatan lomba atau kontes apapun. Ditambah lagi pekerjaan mereka yang saat ini sedang menumpuk, mungkin mereka menganggap Kania sudah gila karena mengambil keputusan ini. Kania sepertinya memang sudah gila. Ia merasa otaknya sebentar lagi akan meledak karena sering bertemu dengan Sean."Justru karena kita belum pernah mencobanya. Kita usahakan untuk tidak mengganggu pesanan yang lai
"Ada apa Ma?" Tanya Sheline saat melihat wajah Catherine menegang di sampingnya.Catherine segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Ah tidak, Mama hanya ingin tahu bagaimana rupa orang yang mendesain gaunmu.""Ah begitu."Catherine mengangguk dengan cepat, ia kembali ke arah kursinya, "Sudahlah, sebaiknya kita kembali makan. Setelah ini kita ke tempat lain,"Sheline balas mengangguk, "Baik Ma,"****Sepulangnya Catherine dari berbelanja, Catherine terlihat gelisah. Ia bergerak kesana kemari di rumahnya. Ia tidak menyangka Kania akan kembali bertemu dengan Sean. Padahal sudah tujuh tahun mereka tidak pernah bertemu kembali, tapi kenapa wanita rendahan itu harus muncul disaat yang penting? Ia tidak bisa membiarkan hal ini, bagaimana jika Sean kembali goyah karena kehadiran wanita itu? Ia sudah merasa senang karena Sean akan menikah dengan Sheline, wanita yang sederajat dengan mereka. Ia tidak akan membiarkan Sean kembali pada wanita itu.Catherine segera mengambil ponsel yang berad
"Aku memang masih hidup, kenapa? Apa kau kecewa?""Tidak, saya malah merasa bersyukur Anda masih hidup, jadi Anda bisa melihat bagaimana kerja keras saya setelah pengusiran yang Anda dan putera Anda lakukan."Catherine terlihat bertepuk tangan, "Wah wah wah hanya sampai di tahap ini, kau sudah besar kepala Kania. Kau masih bukan apa-apa, di mataku kau hanya seorang wanita kampungan."Amarah Kania seketika menggelegak, kepalan tangannya semakin menguat di samping tubuhnya. Tidak, ia tidak boleh terpancing emosi dengan hinaan kecil ini."Jika Anda kemari hanya untuk menghina saya, silahkan keluar."Dengan penuh amarah, Catherine mendekat ke arah Kania, ia menjambak rambut Kania dengan kasar, "Tundukkan pandanganmu di depanku, wanita rendahan. Aku tidak suka cara melihatmu itu."Kania meringis menerima jambakan yang dilakukan oleh Catherine, namun dengan cepat Kania menarik tangan Catherine lalu memelintir tangan mantan mertuanya. Memangnya ia pikir, Kania akan diam saja setelah dianiaya