Share

Maling Teriak Maling

"Hari ini jadi cek kandungan, Dian?" tanya Damar saat mereka sedang sarapan. Dian yang tengah hendak menyuap nasi goreng ke mulutnya menaruh sendok seketika.

"Iya jadi Om, aku jarang cek kandungan semenjak sakit, belum pernah malah," jawab Dian lalu melanjutkan makan kemudian minum air hangat.

"Tante temani ya," timpal Nurul antusias.

"Apa gak merepotkan?" tanya Dian lagi, ia merasa tak enak hati karena sering menyusahkan keluarga Nurul dan Damar.

"Dian, Tante itu sudah anggap kamu seperti anak sendiri, jadi mana mungkin Tante merasa direpotkan, malahan Tante senang," jawab Nurul dengan tatapan hangat.

"Terima kasih ya Tan, sudah baik sekali," ucap Dian sambil menggenggam tangan Nurul.

Seketika mata Nurul berkaca-kaca. Begitupun Dian, hatinya begitu terharu menyaksikan kebaikan demi kebaikan dari kerabat almarhumah Neneknya itu.

"Dian, andai Hasna tahu anaknya sudah dewasa dan tumbuh menjadi anak yang baik, dia pasti saaaangat menyesal karena telah meninggalkan kamu," ujar Nurul, air mata lolos begitu saja dari kedua netra.

"Sudahlah Tante, aku juga sudah ikhlas kalau ibu memang gak pernah mengharapkan aku lahir. Aku sudah tak berharap bertemu sama ibu lagi," jawab Dian sembari menatap langit-langit, ada rasa kecewa yang menusuk sanubarinya.

"Tapi pesan Tante, bagaimanapun ibu kamu, jangan pernah membencinya, ya," pinta Nurul kemudian mengelus lembut jemari Dian.

Dian hanya menjawab ucapan Nurul dengan senyuman, tepatnya senyum getir yang dipaksakan. Entahlah, sejak ibunya tak pernah pulang dan lebih memilih laki-laki itu, rasa benci dalam hati Dian sudah tumbuh dan semakin subur, apalagi saat harus menjalani kehidupan yang sulit seorang diri. 

Dian selalu berpikir, jika memang sang ibu menyayanginya, wanita itu pasti datang dan menjemput. Bukan justru membiarkan dirinya terombang-ambing dalam kerasnya badai kehidupan. Membiarkannya hidup dengan penuh hinaan, juga perihnya menanggung malu atas dosa yang telah ibunya lakukan.

Setelah membereskan meja makan, Dian dan Nurul bersiap-siap hendak ke rumah sakit, ia sudah lebih dulu rapi dan memesan taksi online, sedangkan Nurul masih berdandan di kamar.

"Ayo Tante kita berangkat, taksi online sudah datang," ajak Dian pada Nurul yang masih merapikan hijabnya di depan cermin.

Sebenarnya Dian pun mampu membeli rumah sederhana bahkan mobil dari uang bulanan hasil kontrakan dan beberapa ruko, tetapi Nurul menyarankan agar ia tetap menabungnya demi masa depan sang anak kelak. Lagipula Nurul hanya tinggal berdua dengan Damar, mereka sangat kesepian jika Dian pergi dari rumahnya.

***

Poli kandungan hari ini sangat ramai, terlihat beberapa pasangan suami dan istri sedang menunggu kedatangan dr. Rian, dokter kandungan yang terkenal ramah di rumah sakit pelita ini. 

Bersyukur Dian sudah melakukan perjanjian sebelumnya, jadi nomor antriannya tak terlalu jauh dan tak perlu menunggu lama.

Saat Dian sedang berbincang dengan Nurul mengenai kehamilan, tiba-tiba saja Raya dan Radit duduk di sebelahnya.

Sekilas Dian melihat raut khawatir di wajah Raya ketika duduk dan melihat pintu praktik dokter. Hawa panas menyelimuti jiwa Dian, ingin rasanya perempuan itu menampar wajah sepupunya yang sangat jumawa, tetapi semua tak mungkin karena jika Dian melakukannya, itu hanya akan mempermalukan diri sendiri.

"Eh ada kamu Dian, periksa juga? Mana ayah dari anakmu? Oh, atau jangan-jangan dia lagi selingkuh?" ejek Raya dengan sombongnya.

"Jaga mulut kamu Ray."

Dian tersulut emosi, darahnya terasa naik ke ubun-ubun. 

"Sudah, jangan diladeni," bujuk Nurul lalu keduanya berpindah tempat duduk.

Sementara Radit hanya menatap Dian sekilas lalu melengos,  membuat wanita itu semakin jijik melihat laki-laki yang sebenarnya masih bergelar suami.

Mereka sepakat akan bercerai ketika Dian sudah melahirkan. Dian muak karena mudah sekali lelaki itu disetir oleh Raya, cinta yang dulu begitu besar untuknya kini sudah hilang tak bersisa.

"Ibu Raya Puspitasari," panggil suster di depan pintu ruang praktik dr. Rian..

"Duluan ya."

Raya yang berjalan diikuti Radit itu mengejek Dian menggunakan ekspresi wajahnya, kemudian memasuki ruangan praktik dengan sombong. 

Sementara itu Dian hanya tersenyum kecut melihat tingkah Raya. Tak dipungkiri, hatinya begitu sakit dan marah.

"Suatu saat nanti Mas Radit pasti akan menyesal karena telah menyia-nyiakan aku, Tan," ujar Dian pada Nurul sembari menahan hati yang kian perih.

"Iya, pasti, kamu yang sabar ya," balas Nurul lalu mengelus lembut pundak Dian.

**

Syukurlah, setelah di-cek kandungan Dian baik-baik saja, wanita itu sudah tak sabar ingin bertemu dengan anaknya, ingin menggendong, memeluk dan menciumnya.

"Bu, apakah ibu sebahagia ini saat aku masih di perut ibu?"

Dian tiba-tiba saja teringat sang ibu yang sudah meninggalkannya. Bahkan saking lamanya tak bersua, kini wanita itu sudah hampir lupa dengan wajah Hasna karena di rumah nenek tak ada foto. 

"Enggak ... ibu pasti gak bahagia waktu aku di perutnya, bahkan Tante Indira bilang ibu berkali-kali mencoba menggugurkan kandungannya tapi gak pernah berhasil."

Dian bergumam lirih, hatinya tersayat nyeri jika membayangkan tentang asal-usul kehidupannya.

"Mama akan tetap menyayangi kamu meski Papa tak pernah menyayangimu, Nak."

Dian kembali menatap perut yang sudah semakin menonjol, kemudian mengelusnya dengan sangat lembut, kini kedua netranya telah basah dibanjiri air mata.

"Maaf ya lama nunggunya," ujar Nurul yang baru saja keluar dari toilet. 

"Iya gak apa-apa, Tante. Oh ya, kita ketemuan sama Mia anaknya Bu Mirna dulu yuk," ajak Dian saat keduanya melangkah keluar dari rumah sakit.

"Mau ngapain, Dian?"

Nurul menautkan kedua alisnya, Dian memang tak banyak bercerita tentang penyelidikannya.

"Nanti Tante juga pasti tahu," jawab Dian sambil tersenyum, tak sabar menunggu hari dua iblis itu akan menangis.

**

Sesampainya di sebuah cafe yang dijanjikan untuk Dian dan Mia bertemu, tiba-tiba saja wanita itu melihat seorang laki-laki sedang duduk dan berbincang dengan temannya tak jauh dari tempat duduk Dian.

"Laki-laki itu?" lirih Dian sambil terus mengamatinya. Ia memicingkan mata agar objeknya terlihat jelas. 

"Kenapa Dian?" tanya Nurul penasaran dengan raut wajah Dian yang berubah fokus seketika.

"Gak apa-apa, Tan," jawab Dian sambil terus memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu, Nurul pun refleks mengikuti arah gerak mata Dian.

"Wanita itu akan dipenjara seumur hidup, malang sekali nasibnya." ucap teman si laki-laki yang berkepala pelontos .

Dian berusaha untuk mendengarkan pembicaraan mereka, tetapi kedatangan Mia membuatnya tak bisa fokus pada kedua laki-laki tak asing itu.

"Hai Mia, apa kabar?" tanya Dian saat gadis itu duduk di samping Nurul.

"Alhamdulillah sehat Mba."

Mia tersenyum kemudian menyalami tangan Nurul dan tangan Dian. Usia Dian dan Mia terpaut tiga tahun, dia lebih muda dari Dian dan belum menikah.

"Ada apa, Mbak, kok ngajak ketemuan di sini?" tanya Mia memulai obrolan.

"Mi, apa benar kamu sering lihat Raya dengan laki-laki di hotel tempatmu bekerja?" tanya Dian tanpa basa-basi.

"Iya Mbak, tapi sudah lama Raya gak pernah datang lagi," jawabnya.

"Apa laki-laki itu sudah meninggal karena dibunuh?" tanya Dian dengan tatapan penuh selidik.

"Mia dengar sih gitu," jawabnya sambil menganggukkan kepala, perasaanya sudah tak karuan jika membahas tentang pembunuhan yang pernah menghebohkan hotel tempatnya bekerja.

"Apa kamu tahu alamat laki-laki itu?" tanya Dian lagi.

"M_mm, ada sih datanya, tapi Mia gak berani kasih tahu Mbak Dian, soalnya ini privasi dan prosedur dari perusahaan," jawab Mia sedikit gugup.

"Aku mohon Mi, please bantu aku ya, aku butuh banget sama alamat itu," pinta Dian dengan wajah memelas.

Dengan terpaksa dan penuh drama akhirnya Mia memberikan data laki-laki yang pernah dekat dengan Raya itu melalui temannya yang sedang bekerja menjadi resepsionis, dengan perjanjian jika mereka ketahuan oleh atasan maka Dian akan bertanggung jawab.

"Terima kasih ya Mia, oh ya ini ada sedikit uang untuk bayar kost-an."

Dian memberikan sepuluh lembar uang pecahan seratus ribuan itu di meja.

"Terima kasih ya, Mbak," ucap Mia seraya menggenggam tangan Dian.

"Aku yang berterimakasih karena kamu sudah menyempatkan bertemu dan memberikan informasi, kamu tenang saja, InsyaAllah semua aman."

Mia pulang lebih dulu karena harus kerja. Sementara Dian dan Nurul saling tatap dan keduanya tersenyum.

"Perlahan kedok Raya akan terbongkar, Tante," ujar Dian lalu dibalas anggukan Nurul.

"Lihat saja Ray, perlahan tapi pasti kejahatan kamu akan terbongkar," gumam Dian dengan penuh kepuasan.

Setelah Mia pulang, keduanya makan terlebih dahulu karena hari sudah hampir sore, Dian meminta izin pada Nurul untuk ke toilet sebentar, karena hamil tua ia sering sekali buang air kecil.

Saat Dian keluar dari toilet tiba-tiba saja tubuhnya tak sengaja bertabrakan dengan seorang laki-laki yang ternyata adalah Radit, hampir saja wanita itu terjatuh jika tak disanggah dan dipeluk olehnya.

"Lain kali hati-hati, Dian."

Radit melepaskan pelukannya dari tubuh Dian, meski saat ini status keduanya masih suami istri, tetapi mereka sangat canggung jika berhadapan kembali. Radit sudah ingin bercerai saat anak dalam kandungan Dian lahir.

"Dasar wanita jalang."

Tiba-tiba saja terdengar suara hardikan Raya. Wanita itu murka melihat suaminya memeluk Dian.

"Raya, aku tadi cuma tolong Dian yang hampir jatuh, gak ada apa-apa."

Radit berusaha agar istri keduanya tak salah faham. Melihat itu hati Dian berdenyut nyeri, posisinya di hati Radit sudah benar-benar tergeser oleh ulat bulu itu.

"Bilang saja kalau kamu masih cinta sama Mas Radit, kan? Mau merebut suami saya kan? Dasar wanita tak tahu malu!"

Raya bersuara keras pada Dian sehingga semua mata tertuju padanya.

"Maling teriak maling, apa sekarang di rumah yang kamu rampok gak tersedia kaca?" tanya Dian sambil tersenyum sinis, wanita itu tetap tenang meski hatinya telah panas.

Tak ingin semakin kacau, Dian meninggalkan Raya agar kemarahannya tidak membuncah.

Tanpa diduga, Raya justru menjambak rambut Dian dan hendak menampar pipinya. Wanita itu benar-benar tak tahu malu. Namun, seketika tangannya ditangkis oleh seorang laki-laki berkemeja biru.

"Jangan membuat keributan, ibu hamil harus menjaga emosi," ucapnya dengan tenang.

"Pak, dijaga istrinya," lanjutnya lagi seraya menatap Radit, seketika wajah suami istri itu memerah lantaran malu.

"Dokter Rian?" lirih Dian pelan.

Setelah menolong Dian, dr. Rian bergegas pergi tanpa bicara sepatah katapun pada mereka.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status