Share

Menyelidiki Kasus Raya

Penulis: Yulistriani
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-21 20:45:43

Pagi ini Dian berniat mengunjungi alamat yang diberikan oleh Mia kemarin. Wanita itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan karena taksiran kelahiran bayinya tinggal beberapa Minggu lagi.

"Dian jadi pergi?" tanya Nurul saat mereka sedang sarapan.

"Iya insyaallah jadi Tante," jawabnya.

"Maaf Tante gak bisa temani ya, hari ini ada acara di rumah Bu lurah," balas Nurul dengan wajah tertunduk, wanita itu merasa bersalah.

"Gak apa-apa, kok Tante. Insyaallah Dian bisa pergi sendiri kok," jawab Dian dengan lengkungan senyum dibibir.

"Kamu jangan pergi sendiri, biar Om saja yang temani," timpal Damar yang sedang menikmati kopi dan kudapan di luar rumah.

Dian menatap Nurul, sementara wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui usul suaminya.

"Kamu lagi hamil besar, Om khawatir kamu kenapa-kenapa kalau pergi sendiri," lanjut Damar seraya masuk untuk mengambil jaket dan kunci mobilnya.

Lagi-lagi hati Dian menghangat lantaran haru melihat kebaikan Damar dan Nurul, Dian janji tak akan pernah melupakan kebaikan mereka seumur hidupnya.

Setelah selesai sarapan, Nurul pergi duluan ke rumah Bu Lurah, sementara Damar sudah menunggu di parkiran.

"Ayo, kamu gak apa-apa kan naik mobil tua begini?" tanya Damar seraya membukakan pintu mobil saat melihat Dian berjalan ke arahnya.

"Gak apa-apa Om, mobil antik ini kalau dijual pasti harganya mahal."

Dian memasuki mobil keluaran tahun 90'an milik Damar.

"Jelas, banyak yang mau nih mobil, tapi Om gak akan mau jual, karena mobil ini banyak sekali kenangannya, mobil ini menemani perjuangan Om waktu muda."

Damar melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jalanan cukup ramai, ia mengendarai mobil dengan sangat hati-hati.

Mobil berwarna abu-abu itu berhenti tepat di depan rumah bercat putih, rumah bernuansa klasik yang berdiri di sana begitu bersih, mewah dan terawat.

"Om, Dian masuk dulu ya."

Dian mencium tangan Damar takzim lalu keluar dari mobil, sebagaimana pada Nurul, Dian juga menganggap Damar sebagai ayahnya.

"Iya, kamu hati-hati ya, Om tunggu di sini, kalau ada apa-apa segera kabari Om,ya," pinta Damar dengan menyembulkan kepala ke jendela mobil.

"Siap, komandan."

Dian memberikan hormat lalu keduanya tertawa. Sementara Damar hanya tersenyum melihat tingkah Dian lalu mengusap kepalanya, kehangatan terpancar dari sorot matanya.

"Ya Allah, seperti inikah rasanya memiliki seorang ayah? Seperti inikah hangatnya perhatian seorang ayah?"

Dian kembali bergumam dalam hati, matanya telah penuh dengan kaca-kaca yang akan luruh jika berkedip sebentar saja.

Meski Dian tak pernah tahu siapa ayah kandungnya, tetapi kebaikan Damar selama ini telah menggantikan rasa kehilangan itu. Dian bersyukur karena dipertemukan orang sebaik Damar dan Nurul.

"Kenapa Dian? sudah buru sana!"

Perintah Damar menyadarkan lamunan Dian, wanita itu kemudian tersenyum.

"Iya Om, Dian pergi dulu," balasnya seraya melangkahkan kaki ke rumah laki-laki yang diduga pernah berhubungan dengan Raya. Dian berharap menemukan bukti dan petunjuk tentang kejahatan sepupu jahatnya.

Setelah menekan bel, tak lama kemudian seorang wanita mengenakan rok panjang dan baju berwarna hijau keluar, usianya sekitar lima puluh tahun, dia adalah asisten rumah tangga di rumah mewah itu.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapa Dian sopan saat keduanya bertatapan.

"Wa'alaikumsalam, cari siapa?" tanyanya sembari melirik Dian dari bawah ke atas.

"M_mm, apa betul ini rumahnya pak Adrian?" tanya Dian.

"Iya betul Mbak, tapi Bapak sudah meninggal beberapa bulan yang lalu," jawabnya sambil terus memerhatikan Dian.

"Oh begitu, kalau begitu bolehkah saya masuk dan bertemu dengan istrinya?" tanya Dian lagi.

"Mohon maaf Mbak, ibu sakit semenjak bapak meninggal, beliau depresi berat dan harus dirawat di rumah sakit jiwa, di sini cuma ada anaknya saja, tapi jam segini belum pulang, masih praktik di rumah sakit, oh ya silakan masuk Mbak," titahnya ramah.

Dian memasuki rumah Adrian, terpampang beberapa foto yang dipajang di dinding, hanya ada foto Adrian dan istrinya yang terpampang jelas, ada foto anaknya juga dengan menggunakan jas putih, namun tak terlihat jelas karena ditaruh agak jauh dari tempat Dian duduk, tak elok rasanya jika harus melihat-lihatnya.

Namun, yang paling menarik perhatian Dian adalah foto istri almarhum Adrian, wajahnya tak asing, seperti pernah bertemu sebelumnya, tetapi Dian lupa pernah bertemu di mana.

"Silakan diminum dulu mbak," titah asisten rumah tangga dengan ramah.

"Oh iya Bu, terima kasih," jawab Dian lalu menyesap teh manis hangat yang dijamu untuknya.

Dian berkenalan dan berbasa-basi pada Bi Siti. Setelah akrab, wanita itu langsung mengutarakan tujuannya. 

"Oh ya Bu, sebenarnya saya ingin menanyakan kasus kematian pak Adrian, kalau boleh tahu pak Adrian meninggal karena apa, ya?" tanyanya tanpa basa-basi.

Wanita yang ternyata bernama Bu Siti itu terdiam sejenak, matanya memandang halaman yang terpampang jelas dibalik jendela.

"Bapak dibunuh selingkuhannya Mbak, itu yang membuat Ibu depresi, ibu tak menyangka bapak punya wanita simpanan di belakangnya," jawabnya, wanita itu menyesali yang sudah terjadi, matanya sekilas penuh kaca-kaca.

"Terus pelakunya apa sudah ...?" tanya Dian menggantung, wanita itu segera mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaannya.

****

"Bagaimana Dian, sudah ada titik temu?" tanya Damar setelah Dian kembali dan memasuki mobil.

"Belum Om, aku jadi hilang semangat, mungkin benar Raya bukan hamil anak pak Adrian dan enggak terlibat dalam kasus itu," jawab Dian lesu.

"Kenapa kamu berubah pikiran?" tanya Damar sembari mengerutkan kening.

"Pelakunya sudah ditahan Om, mungkin aku terlalu su'uzon sama Raya, hanya karena dia sudah dzalim padaku, aku menganggapnya dia jahat sama orang lain juga," jawab Dian lemah, dia bimbang harus melanjutkan penyelidikan ini atau menyudahinya.

"Dian, kamu sudah dengar sendiri kan obrolan Raya dengan laki-laki itu? bukannya itu sudah menjadi sebuah petunjuk?"

Damar meyakinkan, dia berusaha mengembalikan semangat Dian untuk mencari kebenaran. Sebab, jauh dalam hatinya Damar pun tak rela melihat Dian diperlukan sebegitu hina. 

"kamu jangan menyerah," tambahnya lagi. 

"Oh iya Om, bisa antar aku ke kantor Mas Radit?" tanya Dian dengan wajah berbinar karena mendapat dukungan dari Damar.

"Untuk apa lagi bertemu Radit?"

Damar langsung kesal mendengar nama lelaki tak bertanggung jawab itu.

"Jangan salah paham Om, aku bukan mau bertemu Mas Radit, kok," jawab Dian seraya tersenyum penuh misteri.

**

"Ada perlu apa kamu datang ke kantor saya?" 

Radit tak sengaja bertemu Dian di kantin. Usaha lelaki itu memang menjual aneka bahan bangunan, tetapi tokonya sudah besar dan ada kantor khusus untuk beberapa staf. 

"Jangan kepedean, aku bukan mau ketemu kamu kok," jawab Dian santai, kini hatinya sudah tak terlalu bergetar jika bertemu dengan Radit, perlakuan buruknya sudah mematikan rasa dalam hati Dian.

"Terus mau ketemu siapa?" tanyanya dengan mata memerah.

"Sudah nunggu lama?"

Mawar tiba-tiba datang dan duduk di kursi yang satu meja dengan Dian. .

"Pak ...."

Mawar menyapa Radit dengan senyum ramah dan anggukkan kepala. Radit pun pergi meninggalkan Dian tanpa permisi, sebuah hubungan yang sebelumnya tak pernah dibayangkan oleh Radit dan Dian di masa lalu. Mereka pikir akan selalu bersama hingga ajal, nyatanya orang ketiga membuat cinta dan rumah tangga yang dibangunnya itu hancur tak bersisa. 

"Gila, pak Radit berubah banget semenjak married sama Nenek lampir itu,  gue sebel banget kalau si Raya udah datang ke sini, bikin mood jadi ambyar." Mawar langsung menceritakan ketidaksukaannya pada Raya.

Mawar adalah sahabat Dian yang bekerja sebagai staf di perusahaan milik Radit. Kebetulan dia staf personalia, setidaknya dia tahu tentang karyawan di perusahan itu.

"Raya suka datang ke sini?" tanya Dian sembari mengernyitkan dahi.

"Hu'um, bahkan sebelum married sama pak Radit, waktu lo sakit dia sering banget datang ke sini, tadinya gue pengen kasih tahu lo tapi gue gak tega, jujur gue nyesel banget karena merahasiakan ini semua. Ternyata tetap saja endingnya lo yang tersakiti."

"Sudahlah, mau lo bilang atau gak juga tetap sama, yang namanya menutupi bangkai lama-lama tercium juga, mau lo cerita atau enggak gue tetap sakit karena memang gue dikhianati," jawab Dian  dengan mata berkaca-kaca.

"Lo sabar ya Dian, gue yakin suatu saat nanti lo bakal nemuin kebahagiaan sendiri," ujar Mawar seraya mengelus jemari Dian.

"Oh ya, lo kenal sama orang ini?"

Dian merogoh tas kemudian memperlihatkan foto seorang wanita.

"Kenal, namanya Nengsih, dia office girl di sini, tapi dia ditahan karena kasus pembunuhan," jawab Mawar sembari menatap foto bawahannya.

"Office girl?" Dian mengernyitkan dahi.

"Memang kenapa sih?" tanyanya lagi.

Dian berpikir sejenak, rasanya tak mungkin laki-laki seperti Adrian selingkuh dengan office girl, apalagi kelihatannya wanita itu tidak terlalu cantik.

Dian merasa ada yang janggal. Setelah menanyakan di mana Nengsih ditahan, Dian kemudian berpamitan pada Mawar.

**

"Om, kita ke polres ya," pinta Dian saat kembali memasuki mobil Damar. Lelaki itu tetap setia menunggu Dian.

"Apa kamu gak capek?" tanya Damar kemudian. Sejenak Dian menatap lekat mata yang sudah ada beberapa kerutan itu.

"Om capek ya?"

Dian tak tega jika Damar harus mengantarnya kesana-kemari.

"Enggak, Om kan tanya kamu," balasnya.

"Aku gak capek dan gak akan capek sampai kedok Raya terbongkar."

"Kalau begitu, let's go," ucap Damar sembari melajukan kendaraannya dengan penuh semangat.

***

Sesampainya di kantor polisi, Dian bertemu dengan Nengsih, wajahnya pucat, nampaknya wanita itu sedang sakit.

"Kalau boleh tahu Mbak siapa, ya?" tanyanya setelah berhadapan dengan Dian.

"Kamu kenal dengan orang ini?" tanya Dian sembari memperlihatkan foto Raya.

"Bu Raya," gumamnya.

"Ya, Raya. Kamu kenal?" tanya Dian lagi. 

Tiba-tiba saja ekspresi wajahnya berubah, namun tanpa diduga Nengsih justru mengeluarkan air mata, secepat kilat ia segera menyekanya kembali.

"Kenapa?"

Dian mengerutkan kening, ia merasa ada sesuatu yang tak beres di sana.

"Mbak siapanya Bu Raya?" tanya Nengsih ketakutan. 

"Gak penting saya siapanya Raya, saya hanya ingin tahu apa keberadaan kamu di sini ada hubungannya dengan Raya?"

Dian setengah berbisik lalu mencondongkan wajahnya ke arah Nengsih.

Wanita itu tak menjawab pertanyaan Dian, ia justru memperhatikan penampilan Dian dengan saksama dari atas hingga bawah, seolah-olah Nengsih sangat waspada padanya.

"Kenapa? Aku minta kamu jujur, apa yang terjadi sebenarnya?"

Dian menunggu jawabannya dengan perasaan dag-dig-dug. Wanita itu ingin Nengsih memberikannya petunjuk atas dugaan-dugaan selama ini pada Raya. Dian berharap semoga ini bukan hanya prasangka yang dituntun oleh kebencian semata.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bangkitnya Istri yang Terbuang   Ending

    "Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa

  • Bangkitnya Istri yang Terbuang   Sahabat Jadi Cinta

    "Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba

  • Bangkitnya Istri yang Terbuang   Kekecewaan Seorang Anak

    Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug

  • Bangkitnya Istri yang Terbuang   Batas Kesabaran

    Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be

  • Bangkitnya Istri yang Terbuang   Akibat Keserakahan

    Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci

  • Bangkitnya Istri yang Terbuang   Istri Seutuhnya

    "Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status