Raya berjalan memasuki rumah setelah seorang laki-laki misterius itu pergi, wajahnya terlihat seperti kebingungan dan tengah merencanakan sesuatu.
Dian gegas beranjak pergi agar Raya dan Indira tak melihatnya berada di sana, tetapi saat berdiri hendak meninggalkan tempat itu, seseorang justru mengejutkannya.
"Lagi apa kamu ngumpet di sini?"
Dian yang tengah berjongkok di antara pepohonan itu terkejut dengan pertanyaan Radit yang tiba-tiba."M_mm, a_aku cuma mau ambil dompet yang jatuh, Mas."
Dian melihat dompetnya terjatuh dan mengambil benda berwarna biru yang berada di atas tanah, dengan susah payah wanita itu meraihnya sebab perutnya sudah semakin besar."Ya sudah, aku buru-buru mau mengambil berkas yang tertinggal."
Radit kian dingin dan tak peduli, meski Dian masih berstatus sebagai istri tetapi Radit sama sekali tak menghiraukannya, dia justru meninggalkan Dian begitu saja."Mas, aku mau kita bicara."
Dian dengan cepat membuka suara, ia berharap Radit menghentikan langkah. Benar saja, lelaki itu berhenti dan berbalik ke arah Dian yang tengah berdiri dengan mata berkaca-kaca. Tanpa malu Dian berusaha meraih tangan suaminya, ia ingin menjelaskan bahwa dirinya memang tak bersalah.Namun, dengan tegas Radit melepaskan genggaman Dian di tangannya. Seketika rasa perih menjalari rongga hati Dian. Kini, di mata wanita itu Radit sudah benar-benar berubah, bahkan cintanya sudah hilang sehingga dengan mudah memercayai ucapan Raya dibanding penjelasan darinya.
Padahal, betapa Dian begitu mencintainya, bahkan ketika banyak laki-laki mendekatinya dulu, Dian tak pernah meladeni mereka demi Radit, demi setia padanya dan dia tahu itu.
Namun, Dian heran mengapa justru kini Radit dengan mudah percaya begitu saja pada ucapan Raya yang jelas-jelas hanya fitnah."Mas, tapi semua gak seperti yang kamu bayangkan, aku dijebak dan difitnah."
Dian berusaha terus menjelaskan kebenaran, tetapi Radit sudah terlanjur kecewa mengingat istrinya tidur dengan lelaki lain di rumahnya."Hebat kamu ya Dian, jelas-jelas kamu tidur bersama laki-laki itu dan sudah sering melakukannya, tapi masih bisa mengelak ya."
Tiba-tiba Indira datang dan memperkeruh suasana, membuat Dian yang tak lagi dipercaya semakin tersudutkan. Hati Dian semakin jengkel dan benci pada Tantenya yang sama sekali tak berperasaan."Sudah Dian, aku buru-buru, hubungan kita akan berakhir di pengadilan," kata Radit sembari meninggalkan Dian.
Mendengar kata pengadilan hati Dian serasa hancur, wanita itu menatap nanar kepergian Radit.
"semudah itu kepercayaan hilang darimu, Mas?" bisik Dian pelan sembari menyeka butiran bening yang terus berjatuhan di pelupuk mata."Dian, masih berani kamu datang ke sini dan bertemu dengan menantu saya."
Indira berkata sinis sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Semua yang Tante dan Raya nikmati dari hasil curang gak akan berkah, akan ada saatnya kebohongan kalian terungkap."
Dian menarik napas dalam sembari menatap tajam manik hitam Tantenya.Setelah melakukan perdebatan alot dengan Indira dan Raya, akhirnya Dian diperbolehkan masuk ke dalam kamarnya, tetapi dengan waktu sepuluh menit saja.
Setelah selesai mengambil beberapa barang yang tertinggal, Dian pergi menutup pintu kamarnya, kamar yang penuh dengan kenangan indah bersama Radit. Kamar yang sebelumnya bagai surga yang menaungi cinta suci antara dia dengan suami tercintanya. Kamar yang menjadi saksi gelora asmaranya. Dian mengembuskan napas berat untuk menetralkan rasa perih di hatinya."Bi, ingat pesan aku ya, terus beri kabar apapun yang Bibi tahu tentang Raya."
Dian berbisik untuk memberikan pesan pada Bi Imah lalu dijawab anggukan olehnya."Sudah belum, jangan sampai ada barang-barang yang hilang ya."Indira dan Raya berteriak keras dari lantai bawah. Sambil dituntun perlahan oleh Bi Imah Dian menuruni tangga dengan sangat hati-hati.'Lihat saja Raya, kamu gak akan bisa terus menerus bahagia di atas penderitaan aku, perbuatan curang tidak akan pernah menang.'
Dian bergumam dalam hati saat meninggalkan halaman rumahnya yang diambil dengan cara curang oleh Raya.***
"Eh Dian sudah pulang, makan dulu yuk," ajak Nurul yang sedang menyiapkan makan siang.
Dian begitu terharu dengan perlakuan Damar dan Nurul yang begitu baik, sedangkan Indira dan Raya, keluarga kandungnya sendiri justru memperlakukannya laksana seorang musuh, tega merebut suaminya padahal kondisinya sedang hamil tua.
"Dian."
Nurul melambaikan tangan ke arah wajah Dian sehingga menyadarkannya dari lamunan."Eh, iya Tante, nanti Dian makan," jawabnya sembari memaksakan senyum.
"Kamu kenapa Dian?" tanya Nurul saat melihat wajah wanita itu nampak lesu.
"Tadi Dian ke rumah Mas Radit, terus gak sengaja dengar Raya lagi ngobrol sama laki-laki tentang pembunuhan," jawab Dian.
"Apa pembunuhan?" tanya Nurul kaget, matanya membulat saking terkejutnya.
"Iya, apa sebelumnya Tante Nurul pernah dengar kabar Raya dekat sama siapa, gitu?"
Dian sangat penasaran, ia berharap Nurul tahu informasi tentang Raya selama dirinya sakit atau bahkan mengenai masa lalu sepupunya itu."O ya, Tante pernah dengar kalau Raya pacaran sama bapak-bapak gitu, katanya sih pengusaha pabrik garmen di luar kota," jawab Nurul sembari mengingat-ingat informasi yang ia tahu.
"Bapak-bapak, maksudnya om-om suami orang kah?" tanya Dian memastikan.
"Tante gak tahu persis sih, soalnya cuma dengar gosip dari Bu Mirna yang punya warung di ujung gang sana saja, memang kenapa sih Dian, apakah ada hubungannya?" tanyanya lagi.
"Gak tahu sih, tapi Dian curiga dia membunuh ayah dari anak yang dikandungnya," kata Dian sembari terus berpikir tentang Raya dan ucapan lelaki itu.
"Apa yang membuat kamu begitu yakin?" tanya Nurul kemudian.
"Dulu aku pernah melihat testpack dari kontrakan yang Tante Indira dan Raya tempati sebelum terjadi kecelakaan. Saat aku sehat, Raya bilang sudah menikah dan hamil anak Mas Radit, aku gak yakin anak itu anak Mas Radit karena perutnya sudah membesar untuk ukuran hamil lima bulan."
Dian berpikir tentang kronologi dan kemungkinan yang sebenarnya terjadi, sementara Nurul menyimak perkataan Dian dengan saksama lalu mengangguk tanda mengerti."Berarti Raya ngaku-ngaku hamil anak Radit biar dia bisa menikmati hartanya." Nurul menimpali.
"Bisa jadi iya, bisa jadi juga karena ada alasan lain," jawab Dian.
Suasana kini hening seketika, Dian dan Nurul hanyut dalam pikiran dan persepsi masing-masing."Tante, Dian pergi dulu ya."
Seketika Dian mengejutkan Nurul yang sedang tenggelam dalam pertanyaan demi pertanyaan di benaknya, tanpa menunggu persetujuannya Dian segera mencium punggung tangan Nurul lalu bergegas keluar rumah, membuat istri Damar itu semaki kebingungan."Kamu mau ke mana Dian?" tanya Nurul saat Dian sudah berada di ambang pintu.
"Mencari informasi tentang Raya, Tan."
Dian tersenyum lalu menutup pintu. Meskipun khawatir tetapi Nurul membalas senyuman itu dengan penuh keyakinan.
Tak lupa Nurul juga merapalkan do'a agar Dian baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Tuhan karena ia tahu lawannya adalah sepupu yang kini menjelma menjadi manusia berdarah dingin.**
"Assalamu'alaikum, Bu."
Dian menyapa ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung sembako Mirna."Wa'alaikumsalam Neng, mau beli apa, ya?" tanya Mirna yang sudah lupa dengan Dian.
"Ini Dian Bu, cucunya almarhumah Nenek Khadijah," jawab Dian mengenalkan diri.
"Ya Allah Dian, kamu cantik banget sekarang sampai saya pangling lho," jawab Mirna dan ibu-ibu yang berada di warung berbarengan. Mereka menatap Dian yang memang sudah berubah menjadi wanita cantik dan elegan itu dari atas hingga bawah. Sementara Dian hanya tersenyum mendengar pujian mereka.
"Lagi hamil, suaminya gak ikut pulang?" tanya Mirna saat melihat perut Dian, tiba-tiba hatinya terasa sakit mengingat Radit yang sudah bahagia dengan Raya.
"Iya, suami Dian sibuk, Bu," jawabnya sembari tersenyum.
"Dengar-dengar suami Dian pengusaha sukses ya, Ibu bangga sama kamu, jangan kayak si Raya tuh mau aja jadi simpanan suami orang."
Mirna terkenal tukang gosip, terlebih hubungannya sejak dulu dengan ibunya Raya tak baik, sehingga senang sekali membicarakan aib keluarga Indira.'Ini dia yang aku tunggu.'
Dian bergumam dalam hati, memang tujuan utamanya adalah menguak informasi tentang Raya dari Mirna tanpa dicurigai kalau sedang mencari bukti kejahatan Raya dan ibunya."Ah masa sih Raya jadi wanita simpanan Bu?" tanya Dian memastikan.
"Iya Dian, anak ibu yang kerja di hotel bilang kalau dia sering ketemu Raya, tidur bareng di hotel sama om-om itu," kata Mirna dengan gaya khasnya saat ghibah.
Dian hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasan Mirna yang menggebu-gebu dan penuh kebencian.
"Tapi kata anak ibu beberapa bulan ini Raya gak pernah datang lagi, katanya sih pacarnya meninggal dibunuh selingkuhannya, terus parahnya lagi istri dari si laki-laki itu sekarang gila," jelas Mirna lagi.
"Hah? Kok begitu amat ya kelakuan Raya."
Dian terkejut kemudian tersenyum sinis, ia tak menyangka jika sepupunya memang sudah tak bermoral sejak lama."Ibu juga gak habis pikir Dian," balasnya lagi.
"Aku boleh minta nomor handphone anak ibu, gak?" tanya Dian kemudian.
"Boleh," jawabnya lalu mencatat nomor anaknya di ponsel Dian.
Dian membeli sekarung beras, minyak, telur dan beberapa camilan agar tak terlalu kentara bahwa kedatangannya hanya untuk menggali informasi, suami Mirna yang akan mengantarkan ke rumah Damar nanti.
"Totalnya tiga ratus lima puluh ribu, Dian," kata Mirna sembari meletakkan kalkulatornya.
Dian memberinya lima lembar pecahan seratus ribuan pada Mirna.
"Kembaliannya buat ibu saja ya," jawab Dian sembari meninggalkan warung sembakonya, Mirna menatap Dian tak percaya, Dian yang dulu sering ia hina kini sudah menjadi wanita yang tidak lagi kekurangan uang.
Meski Radit mengusirnya dari rumah, tetapi Dian sama sekali tidak kekurangan uang. Wanita itu masih memiliki tabungan di bank dan juga kontrakan yang ia bangun dengan hasil kerja kerasnya saat masih gadis.
Dian selalu menyisihkan sedikit demi sedikit gaji dari kantor untuk diinvestasikan, selain itu ia juga pernah berbisnis skincare dan sukses sebelum akhirnya berhenti untuk mengabdi pada suami, karena ia tahu betul hidup kekurangan selalu dipandang sebelah mata.***
Malam sudah semakin larut, tetapi mata Dian masih belum bisa terpejam, otaknya masih terus berkelana mencari cara untuk membalas semua perbuatan Raya dan Indira.
"Nak, maafkan Mama kalau nanti kamu lahir tanpa ada Papa di samping kamu ya, Tante Raya jahat karena telah memfitnah dan menjauhkan kamu dari Papa."
Dian mengelus perut yang berdenyut lantaran ditendang begitu kuat oleh janin dalam rahimnya.Dian tak mengapa jika Radit sudah tak peduli lagi padanya dan anaknya. Meski berat tetapi ia yakin akan mampu melewati semua ujian ini, ia juga bertekad untuk bisa hidup tanpanya, kesulitan hidup sedari kecil sudah membuat mentalnya matang.
Tuduhan Radit yang keji dan sikapnya yang acuh membuat cinta dalam hati Dian mati, harusnya lelaki itu mendengar penjelasan darinya jika memang masih mencintainya, seharusnya lelaki itu menjaganya saat ia sakit dan tak berdaya bukan malah selingkuh lalu menikah diam-diam dengan sepupunya.Dian ingin membalas dendam pada Raya bukan semata-mata ingin Radit kembali. Namun, karena sudah banyak luka yang Raya dan ibunya torehkan dalam hati. Setidaknya Dian ingin memberikan pelajaran dan membuka kedok jahat mereka agar tak selalu mengusik hidupnya.
"Raya, saat ini kamu boleh tertawa bahagia, tapi aku akan mengatur strategi untuk menyibak semua kebusukan kamu. Aku bukan Dian yang dulu, bukan Dian yang selalu diam saat kau injak-injak," gumam Dian saat melihat foto mesra Raya bersama Radit yang diupload di sosial media.
Bersambung"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d