Share

Bab 20

Napas Anisa terasa sesak, sekujur tubuhnya merinding, kakinya lemas ....

Pemandangan di depan mata terasa berputar-putar, bagaimana mungkin ....

Bagaimana mungkin Theo adalah Tuan Zoe?

Tuan Zoe mengirimkannya 10 miliar dan tertarik menjadi investor Kintara Group. Mana mungkin Theo sebaik itu?

Jika Theo bukan Tuan Zoe, lantas kenapa Theo berada di sini?

Melihat kursi roda, kemeja berwarna gelap, tatapan dingin, serta aura mengintimidasi yang dipancarkan, Anisa yakin kalau sosok di depannya ini adalah Theo. Dia tidak mungkin salah, pria ini adalah Theo.

Tanpa sadar Anisa melangkah mundur, tetapi tiba-tiba pintu ruangan ditutup.

"Mau pergi begitu saja?" Theo menyeringai dingin melihat Anisa yang tampak gugup. "Kenapa kamu ada di sini?"

Anisa berusaha mengontrol rasa gugupnya. Dia menyeka rambutnya, lalu menjawab, "Aku ... aku dan teman-temanku janjian makan di sini."

"Di sini tempat minum-minum," jawab Theo.

"Oh ...." Anisa memandang ruangan yang besar ini. Meskipun dekorasinya mewah, Anisa merasa seperti di neraka. "Aku ... kayaknya aku salah jalan. Aku cari temanku dulu."

"Anisa!" Suara Theo terdengar dingin. "Kamu anggap omong kosong ucapanku tadi pagi?"

"Aku ingat, tapi aku juga tidak ada kewajiban untuk melaporkan setiap kegiatanku," jawab Anisa.

Anisa masih ingat kejadian beberapa waktu lalu, di mana Theo menuduhnya minum-minum dan menemani pria lain.

Jawaban Anisa membuat Theo mengerutkan alis.

Theo tahu bahwa Anisa berbeda dengan wanita lain. Anisa memiliki pemikiran sendiri, dia tidak tergiur dengan kekuasaan, tahu diri, dan pekerja keras.

Namun satu hal yang membuat Theo paling kesal, Anisa selalu meremehkan peringatannya. Tindakan Anisa jelas menunjukkan bahwa dia tidak menghargai Theo.

Anisa menarik napas panjang, lalu bertanya, "Theo, kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu lagi makan malam di rumah ibumu?"

Sebenarnya Anisa ingin bertanya kenapa Theo berada di sini? Ruangan ini sudah dipesan oleh Tuan Zoe. Jangan-jangan Theo memang adalah Tuan Zoe?

Hanya saja Anisa tidak berani bertanya secara frontal, dia tidak tahu bagaimana Theo akan menjawab pertanyaannya.

Seandainya Theo adalah Tuan Zoe, rasanya Anisa tidak sanggup lanjut membahas kerja sama investasi. Namun kalau Theo bukanlah Tuan Zoe, berarti Anisa telah berbohong dan akan dihukum.

"Sini, temani aku minum," kata Theo sambil mengangkat segelas anggur merah.

Anisa mengerutkan alis, apa maksud Theo?

"Aku sudah bilang, aku nggak minum alkohol." Anisa tidak bisa menebak pikiran Theo, dia ingin segera pergi dari tempat ini. "Kamu saja yang minum, aku pergi dulu."

Anisa membalikkan badan dan bergegas membuka pintu, tetapi pintu ruangan tidak terbuka. Seseorang telah menguncinya dari luar.

Tidak peduli seberapa kuat Anisa berusaha, pintunya sama sekali tidak bisa dibuka.

"Theo, apa-apaan ini? Biarkan aku keluar!" Anisa berteriak.

"Temani aku minum, kamu tidak dengar? Atau pura-pura tidak dengar?" Nada bicara Theo terdengar memaksa.

Anisa ketakutan, kedua kakinya terasa lemas ....

Seandainya Anisa boleh minum alkohol, mungkin dia masih bisa memaksakan diri untuk menuruti kemauan Theo. Namun masalah Anisa sedang hamil, dia tidak boleh mengonsumsi minuman keras.

Mau bagaimana memberontak pun tidak ada jalan lain. Akhirnya Anisa memutuskan untuk berbicara secara baik-baik dengan Theo.

"Tadi pagi aku berbohong." Anisa berjalan ke sofa, lalu duduk dan menjelaskan. "Malam ini aku memang ada urusan, tapi bukan urusan kampus. Minggu lalu aku janjian sama investor yang tertarik untuk berinvestasi di perusahaan ayahku."

"Siapa?" tanya Theo.

"Aku nggak tahu namanya," jawab Anisa.

"Terus kenapa berani datang?" Theo kembali bertanya.

"Aku datang sama wakil presdir perusahaan ayahku."

"Di mana orangnya?" Theo tak melihat siapa pun.

"Belum sampai, jalanan macet." Mata Anisa tampak berkaca-kaca. "Theo, aku bukan anak-anak. Walaupun aku istrimu, kita punya privasi masing-masing."

Theo mengangkat segelas anggur, lalu meneguknya.

Anisa agak terpesona melihat ketampanan Theo yang sedang meneguk anggur. Di saat bersamaan Anisa juga berpikir, bagaimana kalau Theo mabuk? Anisa takut pria ini melakukan hal yang tidak-tidak.

Di saat Anisa melamun, Theo menggenggam pergelangan tangan dan meremasnya sekuat tenaga.

"Aduh ...." Anisa tersadar dari lamunannya dan menjerit kesakitan.

Apa yang Theo lakukan? Pria ini benar-benar tidak punya batasan.

Lantas apakah Anisa tidak boleh punya privasi? Kenapa dia harus melaporkan semuanya kepada Theo?

Di saat Anisa bangkit berdiri, dia terkejut melihat sosok tinggi yang berdiri tegap di hadapannya. Theo ... dia sudah bisa berdiri?

Theo bangun dari kursi roda?

Anisa terkejut, kepalanya terasa berputar-putar .... Dia melupakan emosinya dan apa yang ingin dilakukan.

Bibir Anisa bergetar, tetapi dia tidak sanggup membuka mulut. Semua kata-kata seperti tersumbat di tenggorokan.

Selanjutnya Theo mendorong Anisa ke sofa dan menindih tubuhnya. "Orang-orang datang ke tempat ini untuk minum-minum. Kalau tidak minum, ngapain kamu ke sini?"

Theo berbicara sambil mencubit dagu Anisa. Mau tidak mau mulut Anisa terbuka, lalu Theo mengambil segelas anggur dan menggoyangkannya di depan mata.

Seketika Anisa pun kehilangan seluruh akal sehatnya. Dia ingin memberontak, tetapi tenaga Theo terlalu besar. Dia hanya bisa menangis ....

"Anisa, berani-beraninya kamu datang menemui orang yang tidak dikenal? Kalau tidak dikasih pelajaran, kamu tidak belajar." Theo menuangkan segelas anggur ke mulur Anisa.

Anisa berusaha menahan tangan Theo, tetapi semua usahanya percuma. Tenaga Theo terlalu besar.

Bayangan Theo yang berdiri dari kursi roda terus berputar di kepala Anisa. Pria ini jauh lebih mengerikan daripada yang Anisa bayangkan.

Ketika anggur dituang ke dalam mulutnya, Anisa berusaha memuntahkannya sampai tersedak. "Uhuk, uhuk ...."

Pada saat putus asa, tubuh manusia memancarkan sinyal alami untuk menyelamatkan diri. Dalam kondisi panik, Anisa mencengkeram kerah kemeja Theo hingga kancingnya terlepas.

Ketika melihat ekspresi Anisa yang pasrah dan tersiksa, hati Theo pun melunak. Akhirnya Theo melepaskan cengkeramannya.

"Theo, aku ... sangat ... membencimu!" kata Anisa sambil menangis dan mengepalkan tangan.

"Baru minum satu gelas sudah merasa tersiksa?" Theo mengulurkan tangan, lalu membuka kerah kemeja Anisa hingga menunjukkan tulang selangkanya. "Anisa, kalau hari ini bukan aku yang datang, pria lain yang akan memperlakukanmu seperti ini."

"Anisa, ini adalah harga yang harus kamu bayar karena berbohong ...." Theo menatapnya tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status