“Sial kau, Darren!” raung Max mencoba memukuli Darren yang terjatuh cukup keras di atas panggung.
Tiara terkesiap sambil menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. “Max! Hentikan!” Tak tinggal diam, Darren pun menendang perut Max kuat-kuat. “Brengsek!” “Argh!” Max terpental sampai jatuh dari panggung. Tak memberi kesempatan Max untuk bangun, Darren segera menyuruh dua satpam memegangi Max. “Dasar orang miskin sialan!” Darren memaki sambil memukuli wajah dan tubuh Max. “Beraninya kau melukai wajahku!” Darren berhenti ketika Max sudah tak berdaya di atas lantai. Semua orang terkesiap melihat perkelahian itu. Kedua orang tua Tiara yang keluar karena mendengar ribut-ribut pun panik menyaksikan suasana ulang tahun putri mereka yang sudah kacau balau. “Astaga! Darren!” seru Tiara sambil memeluk pacar barunya. Dengan kondisinya yang lebih buruk dari Darren, Max berusaha berdiri lagi. Ia berharap orang tua Tiara yang dulu selalu menyanjung, setidaknya membela dia kali ini. Namun, betapa kaget Max ketika yang didapat adalah tudingan dan tuntutan. “Max! Beraninya kamu mengacaukan acara ulang tahun Tiara!” Ayah Tiara–Imam Drajat membentak murka. Sang ibu pun turut menuntut. “Kami minta kamu ganti rugi semua kekacauan ini! Darren sudah habiskan Rp 50 juta demi acara Tiara!” Seolah menjadi penyelamat, Darren maju. “Om, Rp 50 juta terlalu berat buat orang seperti dia. Kudengar dulu Tiara saja cuma sebulan sekali makan enak. Itu juga cuma Rp 500 ribu.” “Tapi semua ini uang kamu, Darren.” Tiara merengek manja. Darren tersenyum dengan angkuh. “Justru itulah, Sayang. Aku yang berhak melepaskan laki-laki miskin ini.” Tubuh Max gemetar menahan amarah, tetapi ia sudah tak punya tenaga, setelah Darren menyerangnya secara sepihak tadi. Dengan senyum licik, Darren mendekati Max. “Jadi, Maxmillian Tandjaya. Pilihlah! Dipenjara dan menodai nama keluargamu, atau berlutut di depanku?” “Benar itu! Seharusnya kau ganti rugi!” seru beberapa orang yang masih di sana, mengabadikan momen itu. Yang lain mulai menyuarakan protesnya. “Aku membeli hadiah untuk Tiara mahal-mahal dan kau menendangnya dari atas panggung!” “Lagian, bisa-bisanya masih punya muka macarin Tiara! Kau nggak punya kaca?!” Max mulai tak fokus dengan pandangannya. Keringat dingin karena menahan amarah dan juga rasa malu mempengaruhi penglihatan. “Penjarakan saja, Om! Dia bikin rusuh!” Hatinya berat. Setelah orang tuanya bangkrut, hal yang Max pegang kuat-kuat adalah nama keluarganya. Ia yakin, orang tuanya masih hidup, entah di mana. Dengan keyakinan itu, Max berjanji akan membangkitkan lagi nama keluarganya. Membersihkan semua tuduhan yang dialamatkan pada perusahaan keluarga Tandjaya. Kalau sekarang malah dirinya yang menodai nama keluarga, bukankah berarti ia gagal memenuhi janjinya? “Guys, walau miskin, dia juga butuh masa depan.” Darren menambahkan, bukan berarti hatinya baik. Ia hanya membuat publik berpihak padanya. “Orang seperti dia sudah nggak akan punya masa dep—” Duk! Lutut Max menghantam tanah pekarangan sedikit keras. Ia tak melihat bagaimana wajah Darren berubah menyeringai melihatnya berlutut di sana. “Kurang turun! Sampai ke tanah, Bro!” seru yang lain membuat keadaan semakin panas. Darren mengetukkan sepatunya di dekat Max, memberi isyarat kalau ia harus melakukan apa yang diminta para tamu tadi. Namun, Max hanya menundukkan kepala dan berkata, “Maaf sudah merusak acaramu, Tiara.” Tiara membelalak. Antara tak tega dan kesal. “Suruh dia pergi, Darren,” pintanya muak. Darren ingin menikmati kemenangannya sedikit lagi, tetapi ia tak mau dianggap buruk oleh Tiara. “Hei, kekasihku bilang, kau segera pergi!” sentak Darren, menendang pelan kerikil di tanah itu ke arah Max. “Dia sudah muak melihatmu bersikap menyedihkan begini.” Setelah itu, Max dilepaskan. Max segera memesan ojek online, tetapi pembayarannya ditolak. Uang di rekening bahkan tak cukup untuk membayar Rp 150 ribu. Pemilik sprei yang janji membayarnya Rp 500 ribu sepertinya masih sibuk dan belum mentransfer sesuai janji. Terpaksa Max berjalan kaki. Setidaknya ia bisa meredakan emosi yang masih tertahan dalam hatinya. Max tidak menangis. Seorang Tandjaya tidak pernah menangis, kecuali acara perkabungan. Air mata bukan untuk laki-laki. Begitu kata sang Ayah. Belum juga ia berjalan sampai 100 meter, beberapa mobil berjalan lambat mendekatinya. Max mengerutkan dahi, tak tahu apa yang ingin dilakukan si pemilik mobil-mobil itu. Sampai mereka membuka kaca dan mengguyur Max dengan air botolan. “Mampus! Bikin ancur acara orang!” seru mereka sambil tertawa puas. “Woi! Jauh-jauh dari pacarku juga!” “Ngaca!” Rombongan mobil itu akhirnya lewat seperti tak terjadi apa-apa. Meninggalkan Max yang sudah basah kuyup. Ia masih bisa bersyukur, karena bukan telur busuk yang dilemparkan padanya. Max mengingat wajah orang-orang itu. Amarahnya kini sudah sampai di puncak. Ia bertekad untuk bangkit dan membalas semua perbuatan mereka. Di saat bersamaan, sebuah mobil mewah berlogo huruf RR merapat dekat trotoar tempat Max berdiri. Max yang mengira itu adalah salah satu mobil milik tamu undangan Tiara dan Darren, memutuskan untuk segera menyingkir. Namun, ia tertegun ketika namanya dipanggil. “Tuan Muda Maxmillian Tandjaya!”“Gila!”Dari 5 calon penerus keluarga Lou lainnya—Lann, Ferran, Armyn, Hoven dan Giorgie, 3 di antara mereka tidak menyetujui kehadiran Demitri.“Kau masih mudah, Henry! Buat apa kau angkat anak laki-laki?!” tanya Giorgie, salah satu yang tidak setuju dengan tindakan sang kakak. “Kau masih bisa menikah!”Henry memutuskan untuk mengakui Demitri sebagai anak angkat, dengan alasan memenuhi keinginan terakhir ibunya yang sangat menginginkan cucu laki-laki.Tentu saja, akan ada banyak kebohongan-kebohongan yang terucap di masa depan nanti. Semua itu karena Henry yang sangat ingin berada dekat dengan Demitri, sambil berusaha melindunginya.“Jangan sembarangan, Giorgie! Aku tidak bisa mengkhianati Hilde!” Lagi, sebuah kebohongan terucap.Henry memang sayang pada istri sahnya itu, tetapi hanya seperti keluarga. Karena hatinya hanya terisi penuh oleh satu orang wanita.Hanya Gladys yang ia cintai sebagai seorang pria memandang wanita.“Sudahlah!” Lann sebagai yang tertua dibandingkan mereka se
“Demitri! Kau kenapa lagi kali ini?!” tukas Gerald panik melihat anak lelaki dari Gladys dan Henry babak belur pulang sekolah.Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Demitri mengulangi keluhan yang sama. “Paman, kenapa aku harus sekolah di sana sih?! Mereka itu nggak suka denganku!”“Dem, kalau kau berusaha, mereka pasti melihat hatimu!”“Persetan dengan itu, Paman!” raung Demitri frustrasi. Ia berlari ke kamarnya sambil berteriak lagi, “Aku tidak mau masuk sekolah besok!”Di saat bersamaan, sebuah mobil yang dikenal Gerald, berhenti di depan rumahnya. Ia pun panik. Mobil itu adalah mobil yang dibelikan Henry untuk Gladys dan Demitri.Namun, beberapa bulan lalu Gladys menghilang. Ia hanya menuliskan pesan singkat di secarik kertas agar Gerald mau menampung Demitri sementara waktu.Jadi, kalau mobil itu ada di depan rumahnya sekarang, hanya ada 1 orang yang pegang kunci kedua.Henry Lou.Benar saja. Sahabat karibnya itu turun dengan tergesa dan meneriaki nama Gerald. “Di mana Gladys dan pu
“Bulan depan kau menikah dengan Hilde! Kamu dengan Mama, Henry?!”Henry muda, yang masih berusia 30 tahun itu tak menjawab Verschane—ibunya. Ia berdiri dengan kesal dan pergi begitu saja. Kepalanya penuh dengan dua kalimat yang saling beradu. Ucapan sang ibu dan pemberitahuan dari Gladys—sekretaris sekaligus wanita yang dicintai Henry.“Aku hamil, Hen!” Itu yang dikatakan Gladys 4 bulan lalu. Wajah wanita yang masih menjabat sebagai sekretaris utama Henry itu begitu bahagia. Dan sekarang, Henry harus menelan pil pahit dengan melepaskan Gladys untuk menikahi wanita pilihan ibunya. Demi melindungi Gladys dari sang ibu. Garis keturunan Verschane mengandung darah anggota mafia terkenal di dunia bawah. Dia bisa melenyapkan orang tanpa dunia tahu. “Aku harus berhati-hati,” gumam Henry gugup. "Kalau Mama tahu, dia pasti melenyapkan Gladys."Ia berjalan menuju kamar pribadi lalu menutup pintu dibelakangnya dan segera menghubungi Gladys. Tak sampai 2 detik, suara riang sang pujaan hati te
Hai! Aku kembali! Sambil menunggu ide untuk buku baru, kupikir ada baiknya menambahkan detail cerita ruwet yang terjadi antara Henry Lou dan Demitri Sharone Lou. Anak angkat yang bukan anak angkat. Buat kalian yang penasaran, ditunggu ya beberapa bab selanjutnya ^_^ Salam, Romero Un.
Tak lama setelah mengirim pesan mengenai kelahiran putranya, Max sudah mendapati dua pria tua itu di depan kaca ruang bayi. Max terkekeh geli. “Kalau sudah datang itu, kabari aku, Dad, Grandpa, Papa, Kakek!” Keempat lelaki tua itu menoleh dan tersenyum lebar. “Max! Gemas sekali putramu, Nak!” Netra Mozart sudah berair. Kayleon adalah cucu pertamanya. Pertama kali lagi, setelah kelahiran Lian, ia akan menggendong bayi mungil. Raymond mengangguk setuju. “Aku bisa lihat hidungnya mancung seperti Bebby. Tapi rambutnya sepertimu, Max!” “Sudah jelas! Keturunan keluarga Lou tidak pernah mengecewakan!” tukas Henry dengan bangganya. Kali ini Mozart tak berusaha membantah. Memang semua keluarga Lou tidak ada yang kecantikan dan ketampanannya di bawah rata-rata. Semua keturunannya berwajah sekelas model dunia. Termasuk Max dan Lian. “Ya, ya, ya. Terima kasih untuk gen kalian, Pa!” kekeh Mozart dengan tatapan yang melekat pada bayi mungil di dalam ruang kaca itu. “Lalu kapan aku bisa
“Bos, saya dan Tuan Demitri sudah mengurus media online yang mengunggah berita itu.” Lucas menjelaskan begitu Max tiba di mansion Mediterranean. “Apa perlu konferensi pers?”Sepanjang perjalanan, Max sudah menimbang hal ini. Keputusannya adalah diam. “Abaikan saja. Kalau mereka masih menyebarkan semua itu, biar saja. Jangan diurus lagi.”Dahi Luca berkerut. “Nggak mungkin, Bos. Ini menyangkut posisi Anda sebagai CEO Louvz pusat juga.”“Ini bukan kasus seperti korupsi.” Max menjelaskan. “Jadi, mau menjelaskan bagaimanapun, publik hanya ingin mendengar apa yang mereka dengar. Yang penting buatku, Bebby sudah paham masalahnya dan tidak termakan gosip.”Lucas sedikit tak setuju dengan keputusan Max. Semua ini pasti berdampak pada image perusahaan. “Tapi Bos, apa nggak bisa memberikan pernyataan bahwa Anda tidak berselingkuh?”Max mengangkat dua alis matanya. “Fine. Kalau menurutmu publik akan puas dengan pernyataan seperti itu. Aku akan buat video saja.”Lucas mengangguk. Setidaknya, ada