Spontan Max memutar tubuhnya. “Aku, tuan muda?"
Max mengerutkan dahi kemudian mendengus geli. "Anda salah orang, Pak Tua.”
Lelaki misterius yang mendatanginya itu memang tua. Ia tersenyum hangat. “Tidak, Tuan muda. Kami tidak salah orang.”
Max mencoba keluar dari kejadian yang tak terduga itu. Ia menduga kalau pria tua yang tiba-tiba mendekatinya itu mungkin adalah suruhan Darren.
“Tapi saya juga nggak kenal Anda, Pak.”
Pria berjas hitam itu terlihat panik. “Astaga! Mohon maaf, Tuan muda. Saking senangnya, saya lupa memperkenalkan diri.”
Tiba-tiba ia membungkuk dalam-dalam dan berkata, “Saya Landy. Saya bekerja untuk keluarga Lou.”
“Keluarga Lou?”
Dahi Max berkerut-kerut, mencoba mengingat di mana ia pernah mendengar nama keluarga itu. Setelah mengingat sesuatu, netra Max langsung membulat sempurna.
Keluarga Lou adalah keluarga taipan terpandang. Kaya raya bukan lagi kata yang tepat untuk keluarga tersebut. Karena mereka termasuk golongan mereka yang disebut old money family, yang tidak tahu sejak kapan dan dari mana saja kekayaannya.
Sadar diri mengenai status dan keadaan hidupnya, Max tergelak. “Maaf, sepertinya memang benar Anda salah orang, Pak Landy.”
Setelah reda tawanya, Max melanjutkan, “Saya memang Maxmillian Tandjaya, tapi cuma mahasiswa biasa. Nggak mungkin punya hubungan dengan keluarga Lou.”
Perusahaan utama keluarga Lou berada di Singapura dan berfokus pada bidang finansial. Mereka punya banyak lini bisnis yang berbeda dan tersebar di berbagai negara.
Semuanya mencakup segala sisi kehidupan manusia. Mulai dari kebutuhan primer hingga tersier, atau kebutuhan mewah.
Keluarga Tandjaya memang tergolong kaya, tapi ia sanksi orang tuanya memiliki hubungan dengan keluarga old money itu.
Jadi, lebih tidak mungkin Max yang hanyalah seorang mahasiswa, memiliki hubungan dengan keluarga taipan sekelas Lou.
Menyadari kalau Max tidak kunjung percaya dengan ucapannya, Landy pun langsung mengutarakan tujuan utama ia mencari Max.
“Kalau begitu ….“
Landy mengambil sesuatu dari dalam jasnya seraya berkata, “Undangan makan malam untuk Anda. Langsung dengan tulisan tangan Tuan besar.”
Pria tua berkacamata kecil itu menyodorkan sebuah amplop tebal dengan cap bergambar lambang yang Max tebak sebagai lambang keluarga yang disebut-sebut sejak tadi.
“Saya sudah bilang saya—” Ucapan Max menggantung, ketika ia melihat nama yang tertera di undangan itu.
Tidak ada yang tahu nama Max diakhiri dengan huruf L. Bahkan Max sendiri pun tidak pernah tahu apa arti inisial ketiga dalam namanya. Seolah ada nama lain tersemat di sana.
Namun, undangan yang kini ada di tangannya jelas menuliskan nama lengkap Max.
Maxmillian Tandjaya L.
Pernah, Max mencoba menanyakan namanya, tetapi orang tuanya tidak pernah menjawab pasti. Yang Max tahu hanyalah bahwa nama itu tidak boleh diketahui orang selain ayah dan ibunya.
Max menatap undangan itu, lalu beralih memandang Landy. Beberapa kali ia melakukan itu sebelum akhirnya menerima kenyataan bahwa undangan tersebut ditujukan padanya.
“U–undangan tentang apa ini?”
Landy membungkuk lagi, kemudian menjawab, “Sayangnya, saya juga tidak diberitahu maksud undangan tersebut, Tuan muda.”
Max menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskan dengan sedikit kasar.
Satu-satunya orang yang ada dipikirannya bisa melakukan hal seperti ini adalah Darren. Kemungkinan besar undangan ini ditujukan pada Max untuk mempermalukannya lagi.
Namun, bukan Max namanya kalau mundur dari tantangan. Kalau ada yang masih tidak puas merundung Max, ia akan meladeni sampai mereka muak.
Karena tak kunjung menjawab, Landy menambahkan, “Saya perlu tahu sekarang juga mengenai respon Anda untuk undangan ini, Tuan muda. Apakah Anda bisa hadir besok malam?”
Max terdiam. Ia segera membuka undangan itu dengan penuh kewaspadaan.
“Cuma tertulis undangan makan malam bersama keluarga Lou,” gumam Max mengulur waktu.
Ia masih menimbang, haruskah ia memberi makan ego para perundungnya—kalau memang undangan itu benar dari keluarga Darren.
“Benar Tuan muda.” Landy berkomentar singkat. “Tuan besar sangat mengharapkan keberanian Anda untuk datang.”
Bukan Max namanya, kalau mundur dari tantangan. Bisa jadi suatu kebodohan, Max terjebak dengan undangan mencurigakan itu.
Namun, Max tahu, ia takkan tenang kalau tidak menghadapinya langsung.
Ia menutup undangan itu dan memasukkannya lagi ke dalam amplop.
Dengan tegas Max menjawab, “Sampaikan pada Tuan besarmu. Aku datang!”
Cerita dari acara peluncuran produk baru hari itu tersebar di seluruh gedung ElectroLouvz. Ternyata hal ini mengundang kartu ucapan terima kasih dari banyak pegawai. Bahkan para direksi yang Max kira selalu loyal pada Themis, mulai buka suara. Mereka juga tertekan dengan Jenio yang selalu mendapatkan dukungan untuk melakukan hal-hal tak baik di perusahaan.“Katanya, kalau bukan karena Anda, Bos, mereka pasti masih pusing menghadapi Jenio dan Themis dengan tuntutan-tuntutan anehnya.” Lucas melaporkan semua pujian yang membanjiri ruang kerjanya sehari setelah acara. Max terlihat keheranan. Pasalnya, ia tidak melakukan apa-apa, selain memberi panggung agar publik yang menilai.“Memangnya seberapa berkuasanya Jenio?” tanya Max penasaran. Namun, Lucas menggeleng. “Dia kuat di lidah aja, Bos. Pasti terus-terusan jilat Tuan muda Themis.”Mendengar itu MAx tergelak sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu ada manusia penjilat dan disebut kuat lidah. Bayangan Max, sebutan itu hanya un
Max melirik Themis sesaat, lalu manik matanya berpindah ke arah Aloysius. Pria itu terlihat frustasi dan hanya bisa mengepalkan dua tangannya di atas pangkuan. “Ehem!” Max terbatuk. Berpikir untuk menarik perhatian Aloysius, untuk setidaknya maju membantu penjelasan Themis.Namun, Themis yang panik langsung memutuskan. “Ki–kita bisa panggilkan tim yang mengurus programming-nya!”Sayangnya, ucapan itu membuat para tamu mulai meragukan ucapan Themis. “Berarti program ini bukan buatan Anda?”TIba-tiba Aloysius berdiri. “Biar saya jelaskan.”Max tersenyum. Aloysius bisa saja membiarkan Themis dipermalukan di depan umum, tetapi sepertinya ia tidak berniat demikian.Tanpa menyinggung siapa yang sebenarnya memiliki ide, Aloysius menjelaskan dengan lancar dan sepenuh hati.Themis tidak tahu, bahwa robot yang disiapkan adalah tipe Zero, di mana robot tersebut akan disetting sesuai permintaan pemesan. “Ada banyak tipe yang sudah dimasukkan modul lengkap dan Anda bisa menambahkan modul lain ya
“Ada kendala?” tanya Max.Sang CEO baru saja tiba di gedung khusus peluncuran produk baru yang dimiliki oleh ElectroLouvz.Hari ini adalah hari robot rumah tangga akan diperkenalkan ke khalayak umum. Tidak hanya satu jenis robot, tetapi berbagai peralatan berbasis robot pun akan hadir memeriahkan acara.“Tidak ada, Pak.” Salah satu staf tim penyelenggara yang didatangi Max menjawab penuh percaya diri. “Semua berjalan sesuai jadwal.”“Mm! Tolong cek lagi isi cue card buat MC. Apa sudah sesuai dengan revisi terakhir dari saya.”Staf tersebut mengangguk mantap. Ia segera menuju ruang persiapan MC untuk menjalankan misi dari sang atasan.Sementara itu, Max kembali ke ruang tunggu yang khusus disediakan untuk CEO.Tidak bisa dipungkiri, ada rasa was-was dalam hatinya. Walau ia sudah terlalu mahir menyimpan rapat-rapat perasaan negatif seperti itu, sehingga tidak terlihat di wajahnya.“Kau gugup.” Bebby yang sudah sejak tadi menunggu di sana, tersenyum melihat raut wajah tenang yang menutup
Dua minggu berlalu sejak keluarga Max berkumpul lengkap. Termasuk Demitri dan Lian.Bahkan Henry kembali sehat setelah berobat di negara Singgapur.Max kini tengah fokus pada rencana peluncuran produk baru dari perusahaan ElectroLouvz. Mereka sudah 99 persen menyelesaikan proyek tersebut.Robot rumah tangga pertama di Djayakarta.Mereka tengah mengadakan rapat di salah satu ruangan di gedung Louvz Tech. Lucas hadir bersama dengan rekan direksi terkait.“Sisanya tinggal mengecek kesiapan venue dan perintilannya, Bos.” Lucas mengakhiri laporannya. Max mengangguk. Wajahnya terlihat puas. Ia juga tak sabar menantikan acara besar itu.Namun, ada sedikit hal yang mengganjal dalam pikiran Max. Dan mau tak mau, ia melemparkan sebuah pancingan untuk mengetahui apa yang membuatnya merasa tak nyaman.“Apakah ada ide sumbangan dari Themis atau tetua Armyn soal robot ini?” tanya Max berhati-hati.Max menambahkan maksud pertanyaannya itu. “Kalau ada, aku akan memberi mereka tempat di depan dan men
“Sudahlah Arien, My Dear. Lihat, Max serasi sama Lian!”Mozart merangkul erat tubuh istrinya, sementara mereka menyambut kepulangan Max yang berhasil menemukan dan membawa LIan kembali bersama.Bahkan tanpa Arienna perlu memberitahu di mana Lian berada, Max bisa menemukannya. Ia tak punya alasan lagi untuk menyembunyikan keberadaan putra kedua mereka. “Mama!” seru Lian ketika netra bulat itu menangkap keberadaan orang tuanya. “Kakak datang!”Arienna memeluk Lian. Berurai air matanya, ketika ia hanya bisa mengangguk, merespon ucapan bahagia anak bungsunya itu.Max tersenyum puas melihat semua anggota keluarganya lengkap di depan mata. ***Secepat angin bertiup, keberadaan Lian pun terdengar oleh Henry. Pria tua yang baru saja dinyatakan pulih sementara dari anfal-nya, hampir saja kena serangan jantung susulan. Ia terlalu bahagia memiliki cucu lain.Minggu pagi ini, tetua yang terpilih sebagai kepala keluarga Lou—di samping tubuhnya yang lemah, berkunjung ke rumah Max dengan senyum le
“Tuan muda, apa Anda yakin, bisa melindungi adik Anda?”Landy yang menemani Max di mobil, terlihat khawatir. Namun, Max justru bersemangat. “Kalau Grandpa mau memisahkan kami, aku akan mundur dari keluarga Lou. Persetan dengan mereka! Aku sudah pernah menggelandang, aku bisa menggelandang!”Landy memijat pelipisnya yang mulai pening, menghadapi kekerasan hati Max. Ia jadi mengakui kebenaran peribahasa yang mengatakan kalau buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tidak hanya Henry, Arienna dan kini Max. Ketiga orang itu sangat keras hati dan keras kepala kalau sudah menyangkut prinsip hidup.Menimbang ucapan Max, Landy mengakui ada kemungkinan Henry tidak akan terlalu memaksakan budaya keluarga Lou itu lagi, kalau Max sampai berniat keluar. Kehadiran Max sudah mengubah banyak hal di dalam keluarga Lou. Tidak hanya berkemampuan khusus untuk menjadi CEO di usia muda, Max juga sudah berani menelanjangi tindak kejahatan. Baik di dalam keluarga Lou, mau pun di sekitarnya. “Semisal, Grandpa t