“Sial! Sepertinya aku terlambat cukup lama. Tiara mungkin sudah tiup lilin duluan!”
Karena terlalu memikirkan pembicaraan teman sekamarnya, Max berakhir dengan ocehan dari manajer restoran Wakdomal tadi. Ia membuat kesalahan yang sama saat meracik pesanan burger tanpa sayuran.
Dan ocehan 15 menit itu menahannya untuk datang tepat waktu di acara ulang tahun Tiara. Terlebih, membuatnya kehilangan beberapa lembar uang gajinya.
Turun dari ojek online, Max langsung berlari masuk dan mendapati tuan putrinya tengah berdiri di atas panggung.
Sebuah kue ulang tahun menjulang tinggi di sebelahnya. Ia yakin dekorasi kali ini lebih mahal ketimbang tahun lalu. Seperti bukan pesta ulang tahun.
“Astaga! Itu, si Max!” Seseorang berbisik, menarik perhatian yang lain.
“Siapa Max?”
“Dia pernah pacaran sama Tiara. Katanya sih udah putus.”
Wajah mereka berkerut-kerut. Heran dan tak setuju dengan keberadaan Max di acara itu.
“Terus kenapa dia dateng?”
Max mempercepat langkahnya. Tak peduli dengan tatapan sinis dan bisik-bisik para tamu di sekitarnya. Ia tahu posisinya dan haknya sebagai kekasih Tiara.
Mungkin karena kasak-kusuk itu juga, Tiara melihat sumbernya.
Tiara gelisah. ‘Hah?! Kenapa Max ada di sini?! Aku yakin, sudah titip pesan sama si Paul kalau dia nggak usah datang!’
Bahkan ketiga temannya saja tidak datang.
Max tersenyum lega melihat Tiara tidak bersama pria lain, seperti kata teman sekamarnya.
Namun, senyum itu hilang ketika seorang laki-laki berpakaian serba mewah naik ke atas panggung. Mengambil alih perhatian Tiara darinya.
Bahkan semua yang datang langsung bertepuk tangan riuh karena munculnya pria itu.
Max memutuskan untuk menahan diri dan melihat apa yang akan dilakukan laki-laki yang tak dikenalnya itu.
“Tiara, selamat ulang tahun!” ucap pria itu. “Aku mau menagih jawaban atas pertanyaan yang kusampaikan semalam, Tiara.”
Wajah Tiara terlihat tersipu malu.
Max mulai mengepalkan tangannya. Siap melontarkan tinju kalau benar mereka melakukan sesuatu di belakangnya.
“Tiara Amandani, maukah kamu menemaniku sepanjang hidup?”
Seolah Max tak ada di sana, Tiara menjawab mantap, “Iya, Darren. Aku mau.”
Mata Max membelalak. Tidak hanya pertanyaan lelaki bernama Darren dan apa yang mereka lakukan semalam. Jawaban Tiara pun membuat lemas tubuh Max.
Hadiah yang sudah Max siapkan dengan hati-hati kini terlepas dari genggaman. Padahal ia bergadang beberapa malam, menjadi joki games, demi mendapatkan tas dan dompet seharga Rp 3.5 juta.
Kalau dulu, uang segitu tidak ada artinya bagi Max. Rp 3.5 juta adalah uang sakunya untuk satu kali makan.
Geram, Max maju tanpa peduli pandangan orang di sekitar. “Apa maksudnya, Tiara?!”
Semua orang mulai menyingkir, seolah memberi panggung bagi Max untuk tampil. Padahal mereka sibuk merekam kejadian itu.
Dahi Darren berkerut. “Siapa yang mengizinkan gelandangan ini masuk, Sayang?”
Tiara panik. Ia tak tahu kalau pada akhirnya Paul tidak menyampaikan pesan pada Max.
Selama ini, Tiara bertahan bersama Max hanya karena pria itu masih sanggup setidaknya sesekali membelikan barang-barang yang diinginkannya.
Terlebih lagi, Max cinta mati padanya. Tiara dengan mudahnya memperalat Max yang jenius untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya.
Namun kehadiran Darren, tentu saja tidak akan Tiara sia-siakan.
Gadis mana yang mampu menolak pesona Darren yang sebentar lagi akan mewarisi salah satu perusahaan keluarga Gunawardi?
Tiara menggigit bibir bawahnya. ‘Aduh, padahal aku mau mutusin Max diam-diam. Tapi sekarang, dia malah datang!'
Karena Tiara tak juga menjawab, Darren merangkul pinggang Tiara dan kembali berkata, “Sayang, kalau kamu nggak kenal, kita bisa panggil satpam untuk usir.”
Tiara berbisik, “Darren, maaf. Aku sudah melarangnya datang. Dia mantan pacar yang kuceritakan.”
“Kau pikir, kau siapa bisa mengusirku?!”
Max mengepalkan tangan, siap menghantam wajah angkuh Darren.
"Singkirkan tanganmu dari pinggang Tiara!”
Darren mengerutkan dahi. Alih-alih melepaskan Tiara, ia justru menarik tubuh sang kekasih lebih dekat sambil tersenyum sinis.
Dengan suara sedikit menegur, Darren berseru, “Bung, tahu dirilah sedikit!”
Netra Darren bergulir, menilai Max dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kemudian, memutar bola matanya dengan jengah.
“Tiara sudah nggak menginginkan lelaki … yang nggak bisa tampil elegan.”
Mengabaikan ucapan Darren, Max melangkah dan menarik tangan Tiara. “Tiara, apa kau sedang protes karena aku—”
Ucapan Max menggantung ketika Tiara tiba-tiba menyentak genggaman tangannya. Dengan sadar, Tiara beringsut kembali pada Darren. Kemudian mendeklarasikan keputusannya.
“Max, silakan terusin kesibukanmu! Kita sudah putus!”
“Apa maksudmu dengan ‘sudah putus’?!” tanya Max geram. “Aku baru mendengarnya hari ini.”
Tiara membuang muka. “Kita sudah nggak kontak selama 2 minggu. Seharusnya kamu sadar diri, Max!”
Max tertegun. Tangannya masih mengepal, menahan niatnya untuk mengamuk di tempat. Tatapan Darren yang meremehkan membuat Max semakin sulit berpikir rasional.
Darren terkekeh melihat kondisi Max yang memprihatinkan. “Bung, sebaiknya segera tinggalkan tempat ini. Kau mempermalukan dirimu. Tiara tidak akan kembali padamu.”
Menahan marah, Max bisa mendengar gemeretak giginya sendiri. Tangannya sudah pegal, ingin menghajar sesuatu.
Menahan diri, Max berbalik dan mengambil hadiah yang dijatuhkannya tadi. Ia menatap hasil jerih payahnya demi mendapatkan tas itu dan memutuskan untuk menyerahkannya pada Tiara.
“Baik. Kalau itu maumu.” Max menatap Tiara tajam.
Semua orang menyaksikan siaran langsung itu sambil menahan napas. Tak ada satupun yang jatuh kasihan pada Max. Mereka ingin tampil mendukung Darren yang punya uang dan kekuasaan lebih besar.
Max mendekati panggung dan menyerahkan tas kertas berisi hadiah pada si gadis yang berulang tahun sambil berkata, “Selamat ulang tahun. Semoga kau bahagia.”
“Ha! Hadiah murahan begini?!” ejek Darren yang langsung merobek tas kertas itu. “Aku sudah membelikan semua tas yang Tiara mau. Kau jual lagi saja ini!”
Darren melempar hadiah dari Max, memutus tali kesabaran pria yang baru saja patah hati.
Secepat kilat Max naik ke panggung dan meluncurkan tinjunya, tepat di tengah wajah Darren.
“Uagh!"
“Gila!”Dari 5 calon penerus keluarga Lou lainnya—Lann, Ferran, Armyn, Hoven dan Giorgie, 3 di antara mereka tidak menyetujui kehadiran Demitri.“Kau masih mudah, Henry! Buat apa kau angkat anak laki-laki?!” tanya Giorgie, salah satu yang tidak setuju dengan tindakan sang kakak. “Kau masih bisa menikah!”Henry memutuskan untuk mengakui Demitri sebagai anak angkat, dengan alasan memenuhi keinginan terakhir ibunya yang sangat menginginkan cucu laki-laki.Tentu saja, akan ada banyak kebohongan-kebohongan yang terucap di masa depan nanti. Semua itu karena Henry yang sangat ingin berada dekat dengan Demitri, sambil berusaha melindunginya.“Jangan sembarangan, Giorgie! Aku tidak bisa mengkhianati Hilde!” Lagi, sebuah kebohongan terucap.Henry memang sayang pada istri sahnya itu, tetapi hanya seperti keluarga. Karena hatinya hanya terisi penuh oleh satu orang wanita.Hanya Gladys yang ia cintai sebagai seorang pria memandang wanita.“Sudahlah!” Lann sebagai yang tertua dibandingkan mereka se
“Demitri! Kau kenapa lagi kali ini?!” tukas Gerald panik melihat anak lelaki dari Gladys dan Henry babak belur pulang sekolah.Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Demitri mengulangi keluhan yang sama. “Paman, kenapa aku harus sekolah di sana sih?! Mereka itu nggak suka denganku!”“Dem, kalau kau berusaha, mereka pasti melihat hatimu!”“Persetan dengan itu, Paman!” raung Demitri frustrasi. Ia berlari ke kamarnya sambil berteriak lagi, “Aku tidak mau masuk sekolah besok!”Di saat bersamaan, sebuah mobil yang dikenal Gerald, berhenti di depan rumahnya. Ia pun panik. Mobil itu adalah mobil yang dibelikan Henry untuk Gladys dan Demitri.Namun, beberapa bulan lalu Gladys menghilang. Ia hanya menuliskan pesan singkat di secarik kertas agar Gerald mau menampung Demitri sementara waktu.Jadi, kalau mobil itu ada di depan rumahnya sekarang, hanya ada 1 orang yang pegang kunci kedua.Henry Lou.Benar saja. Sahabat karibnya itu turun dengan tergesa dan meneriaki nama Gerald. “Di mana Gladys dan pu
“Bulan depan kau menikah dengan Hilde! Kamu dengan Mama, Henry?!”Henry muda, yang masih berusia 30 tahun itu tak menjawab Verschane—ibunya. Ia berdiri dengan kesal dan pergi begitu saja. Kepalanya penuh dengan dua kalimat yang saling beradu. Ucapan sang ibu dan pemberitahuan dari Gladys—sekretaris sekaligus wanita yang dicintai Henry.“Aku hamil, Hen!” Itu yang dikatakan Gladys 4 bulan lalu. Wajah wanita yang masih menjabat sebagai sekretaris utama Henry itu begitu bahagia. Dan sekarang, Henry harus menelan pil pahit dengan melepaskan Gladys untuk menikahi wanita pilihan ibunya. Demi melindungi Gladys dari sang ibu. Garis keturunan Verschane mengandung darah anggota mafia terkenal di dunia bawah. Dia bisa melenyapkan orang tanpa dunia tahu. “Aku harus berhati-hati,” gumam Henry gugup. "Kalau Mama tahu, dia pasti melenyapkan Gladys."Ia berjalan menuju kamar pribadi lalu menutup pintu dibelakangnya dan segera menghubungi Gladys. Tak sampai 2 detik, suara riang sang pujaan hati te
Hai! Aku kembali! Sambil menunggu ide untuk buku baru, kupikir ada baiknya menambahkan detail cerita ruwet yang terjadi antara Henry Lou dan Demitri Sharone Lou. Anak angkat yang bukan anak angkat. Buat kalian yang penasaran, ditunggu ya beberapa bab selanjutnya ^_^ Salam, Romero Un.
Tak lama setelah mengirim pesan mengenai kelahiran putranya, Max sudah mendapati dua pria tua itu di depan kaca ruang bayi. Max terkekeh geli. “Kalau sudah datang itu, kabari aku, Dad, Grandpa, Papa, Kakek!” Keempat lelaki tua itu menoleh dan tersenyum lebar. “Max! Gemas sekali putramu, Nak!” Netra Mozart sudah berair. Kayleon adalah cucu pertamanya. Pertama kali lagi, setelah kelahiran Lian, ia akan menggendong bayi mungil. Raymond mengangguk setuju. “Aku bisa lihat hidungnya mancung seperti Bebby. Tapi rambutnya sepertimu, Max!” “Sudah jelas! Keturunan keluarga Lou tidak pernah mengecewakan!” tukas Henry dengan bangganya. Kali ini Mozart tak berusaha membantah. Memang semua keluarga Lou tidak ada yang kecantikan dan ketampanannya di bawah rata-rata. Semua keturunannya berwajah sekelas model dunia. Termasuk Max dan Lian. “Ya, ya, ya. Terima kasih untuk gen kalian, Pa!” kekeh Mozart dengan tatapan yang melekat pada bayi mungil di dalam ruang kaca itu. “Lalu kapan aku bisa
“Bos, saya dan Tuan Demitri sudah mengurus media online yang mengunggah berita itu.” Lucas menjelaskan begitu Max tiba di mansion Mediterranean. “Apa perlu konferensi pers?”Sepanjang perjalanan, Max sudah menimbang hal ini. Keputusannya adalah diam. “Abaikan saja. Kalau mereka masih menyebarkan semua itu, biar saja. Jangan diurus lagi.”Dahi Luca berkerut. “Nggak mungkin, Bos. Ini menyangkut posisi Anda sebagai CEO Louvz pusat juga.”“Ini bukan kasus seperti korupsi.” Max menjelaskan. “Jadi, mau menjelaskan bagaimanapun, publik hanya ingin mendengar apa yang mereka dengar. Yang penting buatku, Bebby sudah paham masalahnya dan tidak termakan gosip.”Lucas sedikit tak setuju dengan keputusan Max. Semua ini pasti berdampak pada image perusahaan. “Tapi Bos, apa nggak bisa memberikan pernyataan bahwa Anda tidak berselingkuh?”Max mengangkat dua alis matanya. “Fine. Kalau menurutmu publik akan puas dengan pernyataan seperti itu. Aku akan buat video saja.”Lucas mengangguk. Setidaknya, ada