“Max, memangnya kau mau ke mana?”
Paul terlihat memperhatikan Max dari layar ponsel. “Dengan wajah babak belur begitu?”
Karena liburan semester genap cukup panjang, ketiga temannya pulang ke rumah. Tak banyak mahasiswa yang tetap berada di asrama selama libur. Mungkin, hanya ada 3-4 orang, termasuk Max.
Tara lanjut mengomentari luka lebam di wajahnya. “Kau sudah gila sih! Ngapain juga kau urusi si Darren!”
Paul menambahkan, “Aku sudah benar, melarangmu pergi kemarin, Max.”
Max hanya diam sambil memasang dasi hitam, berpadanan dengan kemeja polos putih yang sudah mulai kekuningan.
Kemarin, Max sudah menyatakan tekadnya untuk datang memenuhi undangan yang diberikan Landy. Dan saat ini, ia tengah mencari pakaian, sesuai dengan dress code yang tertera dalam undangan.
Ia masih mengira bahwa acara itu adalah rekayasa Darren dan teman-temannya.
‘Kurasa benar, Darren itu anggota keluarga Lou. Mungkin hari ini keluarganya minta pertanggungjawaban karena sudah meninjunya. Aku nggak mau melibatkan anak-anak ini.’
“Jas hitam, siapa punya? Kau punya, Paul?” tanya Max mencoba mencari-cari di lemari pakaian milik Paul.
Namun, Paul menggeleng. “Yerhan yang punya.”
Saat ini, mereka tengah mengadakan konferensi video berempat. Karena Max mencari baju untuk pergi ke acara tersebut.
“Cuma jasku mungkin kegedean di badanmu, Max.” Yerhan mengedikkan kepala, memberi izin Max untuk membuka lemari bajunya.
Max mengangkat bahu, cuek. “Biar lah. Yang penting sesuai dress code.”
Setelah menemukan jas yang dimaksud, Max segera memakainya. Membuat ketiga teman lain terkekeh lewat sambungan panggilan video itu.
“Nggak bagus!” seru mereka.
“Diam lah! Celananya sekalian, Han!” Max meminta izin sambil meraih celana hitam milik Yerhan.
“Max, percayalah!” Tara menutup mata, seolah pemandangan di hadapannya sangat menyakiti netranya. “Lepas semua baju itu! Kau seperti anak kampung!”
Dengan jas dan celana yang ukurannya hampir 2 kali lebih besar, Max terlihat seperti balon.
Namun, ia tak peduli. “Tinggal pakai sabuk!”
“Max, kau yakin pergi dengan penampilan begitu?”
Max menganggukkan kepala. “Pinjem dulu! Bye, Guys!”
Tanpa menunggu mereka merespon, Max mematikan sambungan panggilan video. Ia mengantongi ponselnya dan pergi ke hotel yang disebutkan dalam undangan.
Meminjam motor Paul, Max tiba di hotel mewah bernama Cwicc’otel. Setelah memarkir motor di basement, Max naik ke lobi dan terkejut karena Landy seolah tahu dirinya akan muncul di mana.
Pria itu lagi-lagi membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat. “Selamat datang, Tuan muda.”
Max yang tak biasa dengan perlakuan Landy hanya bisa menggaruk kepala belakang dan membalas, “Ah … ya. Thanks!”
Landy tersenyum sambil meluruskan lagi tubuhnya. Senyum di matanya berubah menjadi pandangan prihatin melihat penampilan Max.
“Apa Anda sudah siap, Tuan muda?” tanya Landy. Berharap mungkin Max akan meminta waktu untuk berganti pakaian.
Namun, yang ditanya malah mengangguk mantap. “Tentu.”
“Ah ….”
‘Apa memang seperti ini gaya berpakaian Tuan muda?’ batin Landy penuh tanya. ‘Apa aku yang ketinggalan zaman?’
Landy cukup tahu diri dengan posisinya. Ia pun tak mempertanyakan kenapa tuan mudanya datang dengan pakaian yang ukurannya lebih besar dari tubuh.
“Kalau begitu, lewat sini, Tuan muda.”
Landy menekan tombol di dinding yang langsung membuka pintu lift paling ujung. “Silakan, Tuan muda.”
Max melangkah masuk, dengan dua tangan di dalam kantong celananya. Menyembunyikan rasa takut dan khawatir dengan mengepalkan tangan.
Ia memang berniat menghadapi mereka semua yang berniat merundungnya. Ia juga sudah memantapkan diri untuk menerima semua makian dan cercaan mereka yang sepertinya sangat membenci keberadaan Max si miskin.
Namun, tetap saja, rasa takut menggerogoti hatinya.
Bisa jadi, ini adalah hari terakhir ia melihat matahari. Mungkin besok ia sudah ditahan di dalam sel tanpa bisa melihat cahaya.
‘Kuharap nggak seburuk itu,’ doa Max dalam hati.
Bersamaan dengan itu, suara denting lift terdengar. Pintu terbuka dan Landy berjalan keluar. Satu tangannya menahan pintu lift agar tidak menutup kembali. “Mari, Tuan muda.”
Max mengekor di belakang Landy dengan was-was. Tingkat kewaspadaannya meningkat, seiring dengan jarak yang pasti semakin berkurang.
Landy berhenti di depan pintu, di tengah lorong.
Max baru menyadari bahwa lorong itu hanya punya 2 pintu yang letaknya berhadapan. Berarti lorong tersebut hanya punya 2 ruangan super besar yang mungkin bisa menampung 100 orang.
Pria tua dengan rambut klimis ditata ke belakang itu mengetuk dua kali. Jantung Max semakin kencang berdegup, seolah akan keluar dari rongganya.
“Tuan Muda Maxmillian Tandjaya sudah hadir!”
Landy membuka pintu tersebut, walau tidak ada jawaban yang terdengar dari dalam. “Silakan masuk, Tuan muda. Selamat menikmati acara.”
Melihat pintu sudah terbuka, Max terdiam sesaat. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Mengatur irama jantungnya, agar ia lebih tenang.
Landy mengerutkan dahinya, heran dengan apa yang dilakukan Max. “Tuan muda?”
“Oh! Uhm … oke.”
Max melangkah masuk dan terkejut melihat sejumlah orang yang tak pernah ditemuinya selama hidup. Mereka semua menatap tajam ke arahnya.
Sampai suara seperti tembakan ramai terdengar. Membuat Max terkejut dan spontan menutupi wajahnya dengan satu lengan.
‘Tembakan?! Apa aku sudah mati?!’
“Paman, tempatkan dia di ruangan lain dulu.” Max memutuskan di tengah jalan. “Aku sendiri saja ketemu Grandpa.”Landy mengangguk. Mematuhi keinginan sang majikan. Sementara Landy berbelok menuju lorong yang merupakan area kamar tamu, Max kembali mengekor di belakang Albert. “Apa ada tanggapan dari Grandpa, Albert?” Max perlu mencari tahu, agar ia bisa memutuskan dari mana laporannya akan dimulai. “Setelah tahu masalah ini, sepertinya Tuan besar tidak terlalu kaget.” Jawaban Albert membuat Max bertanya-tanya. Ia jadi curiga kalau kejadian ini adalah ujian dari sang kakek. Namun, pikiran itu segera sirna ketika Albert menambahkan, “Antara tetua Lann dan Tuan besar, memang ada kondisi perebutan kekuasaan tak kasat mata, Tuan muda.”Max semakin bingung dibuatnya. “Apa maksudmu, tetua Lann menginginkan posisi Grandpa?”Albert tersenyum tipis. Sang kepala pelayan itu tidak menjawab. Ia mendorong pintu ruang kerja Henry dan berkata pelan, “Silakan pastikan dengan Tuan besar, jawaban a
Hal pertama yang Max lakukan keesokan paginya adalah melakukan inspeksi di ruangan manajer Melky. Sejak pukul 7 Max datang. Keenan bahkan ikut membantunya mencari dokumen yang dimaksud, setelah Max memberitahu semalam.“Ini, Max!” seru Keenan geram. Ia bahkan lupa menyebut Max dengan panggilan sopan yang seharusnya. Namun, Max tak terlalu peduli dengan itu. Segera, Max menggunakan senter khususnya dan mencari cap transparan yang menjadi bukti bahwa dokumen itu adalah dokumen asli yang disembunyikan oleh Melky. “Ada!” seru Keenan ketika sinar senter Max menunjukkan cap tersebut. Bersamaan dengan itu, Melky masuk ke ruangannya dan terkejut melihat Max dan Keenan di sana. Sadar kalau kejahatannya terungkap, Melky segera berbalik. Untungnya, Lucas ada di luar dan menahan pria berkumis tebal itu di sana. “Mau kabur ke mana, Mel?” ledek Lucas sambil berkacak pinggang. Karena masih sangat pagi, belum ada karyawan yang datang, Max dan Keenan pun keluar dan mengadili Melky di tempat.
Tok! Tok!Max sedikit terkejut mendengar pintu ruang kerjanya diketuk. Ia tengah larut dalam pemikiran bagaimana mencari tahu kejanggalan yang tersembunyi pada kasus Microhard Gaming.“Masuk, Al.” Max sudah hapal. Hanya sekretarisnya yang mengetuk pintu 2x setiap izin untuk masuk ke ruangannya. Bahkan ketika di ruangan itu tidak ada siapapun, ia akan mengetuk sebelum masuk. Kalau Lucas langsung saja masuk tanpa aba-aba.“Pak Max, saya sudah tahan OB marketing yang biasa ambil dokumen.” Aletha berkata dengan suara pelan. Ia tak menyampaikan hal itu lewat interkom atau telepon meja Max, karena takut akan didengar yang bersangkutan.Max langsung berdiri, mengikuti Aletha keluar untuk ‘pura-pura berpapasan’ dengan OB yang dimaksud. “Siapa namanya, Al?” tanya Max berbisik.Aletha menjawab–juga dengan berbisik, “Pak Janur, Pak.”Max mengangguk, menerima informasi itu. Ia melihat sang OB tengah menunggu dokumen di depan meja Aletha.Dengan natural Aletha kembali duduk dan mengembalikan d
“Bos, perintah dari Tuan besar sudah turun.”Setelah acara wisuda dan kelulusan, hari-hari Max semakin padat dengan pekerjaan. Kini ia sudah sepenuhnya fokus pada perusahaan Louvz Tech. Lucas melanjutkan ucapannya, “Rapat pemegang saham luar biasa harus segera digelar. Tuan Henry minta minimal satu bulan dari sekarang.”Max cukup frustasi dibuat Henry. Ia bahkan tidak punya hari libur untuk menikmati waktu menyeberang dari mahasiswa menjadi pekerja kantoran.“Ya, ya. Lakukan saja seperti yang dia mau, Cas. Aku tidak tahu lagi.”Lucas tergelak. Ia tahu ketakutan Max yang terbesar adalah setelah resmi menjadi CEO di sana. Karena saat itulah semua tanggung jawab berada di pundaknya penuh.“Tenang, Bos. Saya masih akan mendampingi sampai Bos bisa jalan sendiri.”Max tersenyum lega. Lucas benar. Setidaknya ia masih punya Lucas. “Thanks, Lucas!”Setelah perintah itu turun, persiapan rapat pun dimulai. Max memang tidak terlalu terlibat dengan persiapannya, karena ia masih harus membiasakan
“Hahaha! Kau lihat muka mereka pas tahu Max mau jadi CEO?!” pekik Paul penuh semangat.Mereka tengah makan di restoran langganan, setelah berhasil memalak Max tadi. Sedangkan para orang tua memutuskan untuk membiarkan Max menikmati masa mudanya.Tara ikut menambahkan, “Kalau ada si Darren pasti sudah keki banget dia!” Mereka tengah tertawa-tawa seperti orang gila ketika Bebby dan dua temannya bergabung. “Happy graduation!” seru Giana dan Alicia berbarengan.“Hey! Girls! Happy graduation!” seru Paul dengan penuh semangat. “Sini, sini! Kalian harus lihat ini!”Paul menyerahkan ponselnya pada Giana sehingga Alicia dan Bebby bisa ikut melihat apa yang ingin ditunjukkan Paul. Bahkan Tara dan Yerhan pun terlihat mengantisipasi reaksi mereka.“Ha?! Max kau akan naik jadi CEO?!” seru Alicia dan Giana. Bebby sendiri tidak terlalu kaget, karena ia bekerja di Louvz Tech. Mungkin, karena sudah tahu Max adalah cucu keluarga Lou, Bebby lebih sensitif melihat Lucas memperlakukan Max di kantor.“
“Astaga ….” Max menepuk wajahnya pelan. Frustrasi dengan rencana sang kakek yang tiba-tiba. Ia memang sudah mendapat informasi dari Landy bahwa Henry memutuskan untuk menahan diri. Menunggu saat yang tepat untuk memamerkan Max pada dunia, tapi tidak menyangka akan seperti ini jadinya.Di saat seluruh wartawan berkumpul, Henry malah mengeluarkan kartu AS-nya. Sekarang, pria tua itu sedang tertawa puas di ruang VIP restoran dekat gedung pengadilan. Jelas sekali ia tidak merasa bersalah sudah melakukan hal mendadak tadi.“Grandpa … aku masih harus wisuda besok. Sekarang semua orang tahu kalau aku adalah cucumu.”“Hahaha! Bagus itu! Bagus!” seru Henry sambil mengangkat gelasnya. “Timingnya tepat sekali! Grandpa tak menyangka akan ada momen bagus seperti ini!”Landy hanya bisa meringis melihat Max pusing membayangkan hari wisudanya nanti. Sekarang saja ponselnya sudah bergetar berkali-kali.Mozart tak banyak berkomentar soal langkah yang diambil Henry, walau itu berkaitan dengan putrany