“Selamat datang, Maxmillian!”
Terdengar seruan ramai memanggil namanya. Max langsung menurunkan lengan yang ia gunakan sebagai tameng.
Ia membeku di tempat, menyadari perhatian semua orang tertuju padanya. Semua orang berpakaian sangat rapi dan terlihat elegan. Baik pria maupun wanita.
“Wow!” seru salah seorang, mengamati Max dari atas sampai bawah. “Kau … berantakan sekali.”
Sementara yang lain terlihat ragu dan heran, satu orang pria meliriknya dan berdecak sinis.
Siapa yang tidak heran, melihat penampilan Max dengan pakaian tak sesuai ukuran tubuhnya.
Ingin segera menyudahi kehadirannya, Max pun menundukkan kepala dan berkata dengan suara sedikit keras.
“Maaf karena saya meninju salah satu anggota keluarga kalian! Tapi saya rasa kami impas, karena dia juga memukuli saya secara sepihak!”
Mendengar seruan Max, mereka semua semakin menatap dengan heran.
“Siapa yang kau maksud?” tanya mereka lagi.
Max menjawab, “Darren Gunawardi Lou.”
Nama yang disebutkan oleh Max membuat mereka semua saling pandang. Tak lama kemudian mereka malah tergelak seperti orang gila.
“Gunawardi Lou?! Hahaha!”
“Apa nggak ada nama yang lebih bagus?”
“Dan lagi, sejak kapan keluarga itu jadi bagian dari Lou family?”
Max semakin bingung dengan reaksi mereka yang di luar dugaan.
Belum sempat memahami kondisi seisi ruangan, tiba-tiba seorang pria tua berdiri dari kursinya. Gerakannya langsung membuat setiap yang hadir ikut berdiri.
“Selamat datang, Grandpa Henry!”
Max mulai panik.
Ia mungkin takkan bisa lolos dengan mudah kalau sampai tetua keluarga Lou ikut andil dalam penentuan hukumannya. Itu lah isi pikiran Max.
Pria tua itu melambai. Memberi izin untuk melanjutkan apapun yang sedang mereka lakukan sebelum kedatangannya.
Tidak ada lagi yang memperhatikan Max terang-terangan. Membuat Max semakin tegang dengan kesunyian yang tiba-tiba itu.
Sekejap, langkah pria tua yang dipanggil Grandpa Henry itu berhenti dekat di hadapan Max. Tidak tahu apa yang akan dilakukan sang tetua, Max menutup matanya. Bersiap menerima serangan.
“Selamat datang, Max! Maximilian Tandjaya Lou!”
Alih-alih mendapat serangan, Max menerima tepukan lembut di bahunya. Bahkan suara pria tua itu terdengar penuh kebanggaan.
Semua orang bertepuk tangan riuh. Merespon sambutan dari Henry Lou.
“Aku tak menyangka kau punya selera yang unik dalam berpakaian.” Henry terkekeh geli.
Max tertegun. Netranya kemudian mengerjap. “Saya? Maxmillian Tandjaya Lou?!”
Dahi Henry tua pun berkerut. “Ya! Itu namamu, Nak.”
“Sepertinya Anda salah orang. Memang nama saya punya inisial L—”
“Apa tidak pernah terpikir olehmu, kalau L itu adalah nama keluarga besar ini?” kekeh Henry heran.
Ia menggunakan kesempatan itu juga untuk mengumumkan, “Max, kau adalah penerus terakhir yang terpilih untuk memimpin salah satu perusahaan milik Louvz Corporate Group.”
Max membuka mulutnya, mencoba berargumen. Namun, tak satu kata pun bisa ia hasilkan.
Semua kenyataan yang dibuka di depannya, meninggalkan Max tertegun tak percaya. Ia bisa merasakan degup jantungnya seolah sewaktu-waktu akan meledak.
“Ikutlah denganku!” Henry berbalik menuju pintu di samping kanan ruang VIP.
Tak punya pilihan, Max pun mengikuti di belakangnya. Sedikit tak nyaman dengan pandangan semua orang yang masih saja mengikutinya.
Sampai di sana, ia terkejut melihat siapa yang membukakan pintu ruangan itu. Landy tersenyum ke arahnya dengan hangat.
“Sekali lagi, selamat datang Tuan Muda Maxmillian. Saya Landy, kepala pelayan keluarga utama Lou.” Landy membungkuk hormat, mempersilakan Max masuk.
Henry duduk di salah satu kursi dan Max mengikuti sesuai perintah. Duduk di hadapan pria tua yang ia yakini memiliki posisi paling tinggi di keluarga Lou.
“Landy!” Henry menyebut nama sang kepala pelayan, memberi isyarat rahasia.
Landy pun segera datang dengan sebuah kotak besar dan beberapa amplop hitam di tangannya. Ia meletakkan benda yang dibawanya itu di pinggir meja dengan sangat hati-hati.
“Silakan, Tuan besar.”
“Max,” panggil Henry membuka percakapan mereka.
“Ya, Tuan Henry?”
Henry terdiam, kemudian tersenyum tipis. “Kau bisa panggil aku dengan sebutan grandpa, seperti semua keluargamu, Max.”
“Ah … maaf. Grandpa.” Max menurut, walau tak terasa nyaman.
Setelah 3 tahun dinyatakan tak punya orang tua lagi, tiba-tiba memiliki keluarga besar membuat Max canggung.
“Ini.” Henry mendorong kotak besar yang tadi dibawa Landy ke hadapan Max. “Semua yang ada di dalamnya, adalah milikmu.”
Max terkejut mendengarnya. Entah apapun isi kotak itu, ia yakin bukan hal yang biasa saja, kalau ia menerimanya dari seorang tetua Lou.
“Dan ini,” lanjut Henry sambil menggeser tumpukan amplop hitam ke arah Max. “Ini semua milikmu. Jaga dan kembangkan, Max.”
Kini pandangan Max terpusat pada dua jenis benda yang ada di depan matanya. Kotak besar dan tumpukan amplop hitam.
Tanpa bicara, Max mencoba membuka kotak besar itu dan terkejut melihat isinya. Dua buah kartu hitam, benda seperti cap berlogo yang tak dikenal Max dan kunci berbentuk aneh.
“Apa ini, Grandpa Henry?”
“Gila!”Dari 5 calon penerus keluarga Lou lainnya—Lann, Ferran, Armyn, Hoven dan Giorgie, 3 di antara mereka tidak menyetujui kehadiran Demitri.“Kau masih mudah, Henry! Buat apa kau angkat anak laki-laki?!” tanya Giorgie, salah satu yang tidak setuju dengan tindakan sang kakak. “Kau masih bisa menikah!”Henry memutuskan untuk mengakui Demitri sebagai anak angkat, dengan alasan memenuhi keinginan terakhir ibunya yang sangat menginginkan cucu laki-laki.Tentu saja, akan ada banyak kebohongan-kebohongan yang terucap di masa depan nanti. Semua itu karena Henry yang sangat ingin berada dekat dengan Demitri, sambil berusaha melindunginya.“Jangan sembarangan, Giorgie! Aku tidak bisa mengkhianati Hilde!” Lagi, sebuah kebohongan terucap.Henry memang sayang pada istri sahnya itu, tetapi hanya seperti keluarga. Karena hatinya hanya terisi penuh oleh satu orang wanita.Hanya Gladys yang ia cintai sebagai seorang pria memandang wanita.“Sudahlah!” Lann sebagai yang tertua dibandingkan mereka se
“Demitri! Kau kenapa lagi kali ini?!” tukas Gerald panik melihat anak lelaki dari Gladys dan Henry babak belur pulang sekolah.Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Demitri mengulangi keluhan yang sama. “Paman, kenapa aku harus sekolah di sana sih?! Mereka itu nggak suka denganku!”“Dem, kalau kau berusaha, mereka pasti melihat hatimu!”“Persetan dengan itu, Paman!” raung Demitri frustrasi. Ia berlari ke kamarnya sambil berteriak lagi, “Aku tidak mau masuk sekolah besok!”Di saat bersamaan, sebuah mobil yang dikenal Gerald, berhenti di depan rumahnya. Ia pun panik. Mobil itu adalah mobil yang dibelikan Henry untuk Gladys dan Demitri.Namun, beberapa bulan lalu Gladys menghilang. Ia hanya menuliskan pesan singkat di secarik kertas agar Gerald mau menampung Demitri sementara waktu.Jadi, kalau mobil itu ada di depan rumahnya sekarang, hanya ada 1 orang yang pegang kunci kedua.Henry Lou.Benar saja. Sahabat karibnya itu turun dengan tergesa dan meneriaki nama Gerald. “Di mana Gladys dan pu
“Bulan depan kau menikah dengan Hilde! Kamu dengan Mama, Henry?!”Henry muda, yang masih berusia 30 tahun itu tak menjawab Verschane—ibunya. Ia berdiri dengan kesal dan pergi begitu saja. Kepalanya penuh dengan dua kalimat yang saling beradu. Ucapan sang ibu dan pemberitahuan dari Gladys—sekretaris sekaligus wanita yang dicintai Henry.“Aku hamil, Hen!” Itu yang dikatakan Gladys 4 bulan lalu. Wajah wanita yang masih menjabat sebagai sekretaris utama Henry itu begitu bahagia. Dan sekarang, Henry harus menelan pil pahit dengan melepaskan Gladys untuk menikahi wanita pilihan ibunya. Demi melindungi Gladys dari sang ibu. Garis keturunan Verschane mengandung darah anggota mafia terkenal di dunia bawah. Dia bisa melenyapkan orang tanpa dunia tahu. “Aku harus berhati-hati,” gumam Henry gugup. "Kalau Mama tahu, dia pasti melenyapkan Gladys."Ia berjalan menuju kamar pribadi lalu menutup pintu dibelakangnya dan segera menghubungi Gladys. Tak sampai 2 detik, suara riang sang pujaan hati te
Hai! Aku kembali! Sambil menunggu ide untuk buku baru, kupikir ada baiknya menambahkan detail cerita ruwet yang terjadi antara Henry Lou dan Demitri Sharone Lou. Anak angkat yang bukan anak angkat. Buat kalian yang penasaran, ditunggu ya beberapa bab selanjutnya ^_^ Salam, Romero Un.
Tak lama setelah mengirim pesan mengenai kelahiran putranya, Max sudah mendapati dua pria tua itu di depan kaca ruang bayi. Max terkekeh geli. “Kalau sudah datang itu, kabari aku, Dad, Grandpa, Papa, Kakek!” Keempat lelaki tua itu menoleh dan tersenyum lebar. “Max! Gemas sekali putramu, Nak!” Netra Mozart sudah berair. Kayleon adalah cucu pertamanya. Pertama kali lagi, setelah kelahiran Lian, ia akan menggendong bayi mungil. Raymond mengangguk setuju. “Aku bisa lihat hidungnya mancung seperti Bebby. Tapi rambutnya sepertimu, Max!” “Sudah jelas! Keturunan keluarga Lou tidak pernah mengecewakan!” tukas Henry dengan bangganya. Kali ini Mozart tak berusaha membantah. Memang semua keluarga Lou tidak ada yang kecantikan dan ketampanannya di bawah rata-rata. Semua keturunannya berwajah sekelas model dunia. Termasuk Max dan Lian. “Ya, ya, ya. Terima kasih untuk gen kalian, Pa!” kekeh Mozart dengan tatapan yang melekat pada bayi mungil di dalam ruang kaca itu. “Lalu kapan aku bisa
“Bos, saya dan Tuan Demitri sudah mengurus media online yang mengunggah berita itu.” Lucas menjelaskan begitu Max tiba di mansion Mediterranean. “Apa perlu konferensi pers?”Sepanjang perjalanan, Max sudah menimbang hal ini. Keputusannya adalah diam. “Abaikan saja. Kalau mereka masih menyebarkan semua itu, biar saja. Jangan diurus lagi.”Dahi Luca berkerut. “Nggak mungkin, Bos. Ini menyangkut posisi Anda sebagai CEO Louvz pusat juga.”“Ini bukan kasus seperti korupsi.” Max menjelaskan. “Jadi, mau menjelaskan bagaimanapun, publik hanya ingin mendengar apa yang mereka dengar. Yang penting buatku, Bebby sudah paham masalahnya dan tidak termakan gosip.”Lucas sedikit tak setuju dengan keputusan Max. Semua ini pasti berdampak pada image perusahaan. “Tapi Bos, apa nggak bisa memberikan pernyataan bahwa Anda tidak berselingkuh?”Max mengangkat dua alis matanya. “Fine. Kalau menurutmu publik akan puas dengan pernyataan seperti itu. Aku akan buat video saja.”Lucas mengangguk. Setidaknya, ada