“Landy.”
Sepertinya, Henry akan menyerahkan penjelasan untuk Max pada sang kepala pelayan.
Landy membungkuk hormat sebelum mendekat. “Perkenankan saya, Tuan muda.”
Max mengangguk saja. Ia tidak paham gestur para orang berada. Terlebih orang-orang dengan kekuatan old money seperti keluarga Lou.
Landy mengambil benda pertama. 2 kartu hitam. “Kartu dengan satu bingkai emas ini adalah kartu berisi tabungan Anda, Tuan muda. Dan yang memiliki dua bingkai emas berfungsi seperti kartu kredit. Tanpa limit.”
Max ternganga.
Mengabaikan keterkejutan Max, Landy kembali meletakkan kartu-kartu itu dan beralih ke benda kedua. Sebuah cap.
“Seperti yang Anda lihat. Ini adalah cap khusus yang hanya dikuasakan kepada Anda, Tuan muda.”
Landy meletakkan cap tersebut dan mengambil tumpukan dokumen sambil melanjutkan, “Cap ini mengacu pada kepemilikan harta, baik uang, rumah, tanah dan perusahaan.”
4 amplop yang ia letakkan satu per satu mengacu pada harta yang baru saja disebut Landy.
Tak sadar Max menelan ludah. Otaknya masih belum bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam kehidupannya.
Dengan tenang, Landy melanjutkan penjelasannya mengenai kunci yang terlihat seperti benda prasejarah. “Kunci ini adalah kunci gerbang utama kediaman Anda di Kawasan Buluh Indah.”
‘Kediaman?’ Max bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa rumah yang dimaksud dengan ‘kediaman’ itu.
Landy meletakkan lagi kunci itu di tempatnya, seraya menambahkan, “Akan butuh waktu sekitar 2 minggu untuk mempersiapkan kediaman Anda, Tuan muda. Jadi, untuk sementara, Anda akan tinggal di kediaman utama keluarga Lou.”
Max mengangguk.
Senyum Landy merekah. Ia segera menepi dan membiarkan kakek-cucu itu melanjutkan percakapan mereka.
“Apa ada yang tidak kau mengerti, Max?” tanya Henry, membuka kesempatan Max untuk mengutarakan opininya.
Max menggeleng.
“Ini tidak nyata.” Max bergumam pelan, tetapi cukup keras untuk didengar Henry yang duduk berhadapan dengannya.
“Ingat, Max. Siapa yang memiliki mahkota, harus siap menanggung beban mahkota itu.”
Tubuh Max menegang mendengar ucapan sang kakek.
Namun, belum sempat Max berkomentar, pintu ruangan diketuk pelan. Menghentikan percakapan mereka.
“Tuan besar, Tuan Mozart dan Nyonya Arienna sudah tiba.”
Netra Max membesar, seperti akan keluar dari rongga matanya. Nama yang tak pernah meninggalkan pikirannya itu kembali ia dengar dengan telinga sendiri.
“Mozart …? Arienna?!” gumam Max penuh tekanan.
Max berbalik dan benar-benar terkejut melihat sepasang suami istri yang hilang tanpa jejak, meninggalkannya 3 tahun lalu.
“Max!” seru Arienna Filia Lou, ibunda Max.
Kedua orang itu segera berlari dan memeluk Max erat.
Max ingin marah dan mempertanyakan alasan mereka meninggalkannya 3 tahun lalu, tetapi tangis sang ibu membuat hatinya tak tega. Bahkan netra sang ayah tak lepas dari kepedihan.
“Maafkan kami, Nak!” Adalah kalimat pertama yang diutarakan Mozart, ayahnya.
Henry tersenyum lega melihat Max kembali berkumpul dengan orang tuanya. Ia beranjak dari kursi, memutuskan untuk memberi ruang pada keluarga kecil Tandjaya. “Kita bisa lanjutkan percakapan tadi nanti, Max. Kau pasti punya banyak pertanyaan.”
Max menganggukkan kepalanya, setuju.
Sepeninggalan Henry, Max pun menerima cerita di luar prasangkanya. Bagaimana sang kakek bersikeras mengikutsertakan Max dalam tes sebagai salah satu pewaris perusahaan besar milik keluarga Lou.
“Karena kami sudah menolak, maka kami tidak pernah membekalimu dengan pengetahuan tentang keluarga Lou.” Mozart menjelaskan.
“Kami berpikir, akan lebih baik kalau kamu tidak pernah mengenal keluarga itu sama sekali.”
Dahi Max berkerut. “Kenapa?”
“Walau hidupmu penuh kekayaan, tapi resiko menjadi keluarga Lou tidak sedikit. Mom nggak ingin kamu hidup sesuai dengan pilihan hatimu.” Arienna menepuk punggung tangan Max.
Max terdiam. “Jadi, itu maksudnya Grandpa tadi.”
“Ayah bilang apa?” tanya Arienna sambil mengernyit.
“Siapa yang menerima mahkota, harus menanggung bebannya.” Max menjelaskan, “Jadi, sejauh apapun kita menghindar, bagi Grandpa, nama Lou yang tersemat adalah mahkota yang harus kita tanggung.”
Arienna menundukkan kepalanya. “Kalau boleh menyesal, Mom nggak mau lahir di keluarga seperti ini, Max.”
Ucapan sang ibu membuat Max sadar. Bahwa semua yang terjadi 3 tahun lalu, memang sudah menjadi takdirnya. Dan apa yang sudah dilewati untuk bertahan hidup selama 3 tahun ini, Max yakin adalah bekal untuknya.
“Jadi, kau mau bagaimana, Max?” tanya sang ayah sambil melirik ke arah kotak dan tumpukan amplop di atas meja.
Max tersenyum penuh percaya diri.
“Tentu saja, aku akan memakai mahkotanya dengan benar.”
Cerita dari acara peluncuran produk baru hari itu tersebar di seluruh gedung ElectroLouvz. Ternyata hal ini mengundang kartu ucapan terima kasih dari banyak pegawai. Bahkan para direksi yang Max kira selalu loyal pada Themis, mulai buka suara. Mereka juga tertekan dengan Jenio yang selalu mendapatkan dukungan untuk melakukan hal-hal tak baik di perusahaan.“Katanya, kalau bukan karena Anda, Bos, mereka pasti masih pusing menghadapi Jenio dan Themis dengan tuntutan-tuntutan anehnya.” Lucas melaporkan semua pujian yang membanjiri ruang kerjanya sehari setelah acara. Max terlihat keheranan. Pasalnya, ia tidak melakukan apa-apa, selain memberi panggung agar publik yang menilai.“Memangnya seberapa berkuasanya Jenio?” tanya Max penasaran. Namun, Lucas menggeleng. “Dia kuat di lidah aja, Bos. Pasti terus-terusan jilat Tuan muda Themis.”Mendengar itu MAx tergelak sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu ada manusia penjilat dan disebut kuat lidah. Bayangan Max, sebutan itu hanya un
Max melirik Themis sesaat, lalu manik matanya berpindah ke arah Aloysius. Pria itu terlihat frustasi dan hanya bisa mengepalkan dua tangannya di atas pangkuan. “Ehem!” Max terbatuk. Berpikir untuk menarik perhatian Aloysius, untuk setidaknya maju membantu penjelasan Themis.Namun, Themis yang panik langsung memutuskan. “Ki–kita bisa panggilkan tim yang mengurus programming-nya!”Sayangnya, ucapan itu membuat para tamu mulai meragukan ucapan Themis. “Berarti program ini bukan buatan Anda?”TIba-tiba Aloysius berdiri. “Biar saya jelaskan.”Max tersenyum. Aloysius bisa saja membiarkan Themis dipermalukan di depan umum, tetapi sepertinya ia tidak berniat demikian.Tanpa menyinggung siapa yang sebenarnya memiliki ide, Aloysius menjelaskan dengan lancar dan sepenuh hati.Themis tidak tahu, bahwa robot yang disiapkan adalah tipe Zero, di mana robot tersebut akan disetting sesuai permintaan pemesan. “Ada banyak tipe yang sudah dimasukkan modul lengkap dan Anda bisa menambahkan modul lain ya
“Ada kendala?” tanya Max.Sang CEO baru saja tiba di gedung khusus peluncuran produk baru yang dimiliki oleh ElectroLouvz.Hari ini adalah hari robot rumah tangga akan diperkenalkan ke khalayak umum. Tidak hanya satu jenis robot, tetapi berbagai peralatan berbasis robot pun akan hadir memeriahkan acara.“Tidak ada, Pak.” Salah satu staf tim penyelenggara yang didatangi Max menjawab penuh percaya diri. “Semua berjalan sesuai jadwal.”“Mm! Tolong cek lagi isi cue card buat MC. Apa sudah sesuai dengan revisi terakhir dari saya.”Staf tersebut mengangguk mantap. Ia segera menuju ruang persiapan MC untuk menjalankan misi dari sang atasan.Sementara itu, Max kembali ke ruang tunggu yang khusus disediakan untuk CEO.Tidak bisa dipungkiri, ada rasa was-was dalam hatinya. Walau ia sudah terlalu mahir menyimpan rapat-rapat perasaan negatif seperti itu, sehingga tidak terlihat di wajahnya.“Kau gugup.” Bebby yang sudah sejak tadi menunggu di sana, tersenyum melihat raut wajah tenang yang menutup
Dua minggu berlalu sejak keluarga Max berkumpul lengkap. Termasuk Demitri dan Lian.Bahkan Henry kembali sehat setelah berobat di negara Singgapur.Max kini tengah fokus pada rencana peluncuran produk baru dari perusahaan ElectroLouvz. Mereka sudah 99 persen menyelesaikan proyek tersebut.Robot rumah tangga pertama di Djayakarta.Mereka tengah mengadakan rapat di salah satu ruangan di gedung Louvz Tech. Lucas hadir bersama dengan rekan direksi terkait.“Sisanya tinggal mengecek kesiapan venue dan perintilannya, Bos.” Lucas mengakhiri laporannya. Max mengangguk. Wajahnya terlihat puas. Ia juga tak sabar menantikan acara besar itu.Namun, ada sedikit hal yang mengganjal dalam pikiran Max. Dan mau tak mau, ia melemparkan sebuah pancingan untuk mengetahui apa yang membuatnya merasa tak nyaman.“Apakah ada ide sumbangan dari Themis atau tetua Armyn soal robot ini?” tanya Max berhati-hati.Max menambahkan maksud pertanyaannya itu. “Kalau ada, aku akan memberi mereka tempat di depan dan men
“Sudahlah Arien, My Dear. Lihat, Max serasi sama Lian!”Mozart merangkul erat tubuh istrinya, sementara mereka menyambut kepulangan Max yang berhasil menemukan dan membawa LIan kembali bersama.Bahkan tanpa Arienna perlu memberitahu di mana Lian berada, Max bisa menemukannya. Ia tak punya alasan lagi untuk menyembunyikan keberadaan putra kedua mereka. “Mama!” seru Lian ketika netra bulat itu menangkap keberadaan orang tuanya. “Kakak datang!”Arienna memeluk Lian. Berurai air matanya, ketika ia hanya bisa mengangguk, merespon ucapan bahagia anak bungsunya itu.Max tersenyum puas melihat semua anggota keluarganya lengkap di depan mata. ***Secepat angin bertiup, keberadaan Lian pun terdengar oleh Henry. Pria tua yang baru saja dinyatakan pulih sementara dari anfal-nya, hampir saja kena serangan jantung susulan. Ia terlalu bahagia memiliki cucu lain.Minggu pagi ini, tetua yang terpilih sebagai kepala keluarga Lou—di samping tubuhnya yang lemah, berkunjung ke rumah Max dengan senyum le
“Tuan muda, apa Anda yakin, bisa melindungi adik Anda?”Landy yang menemani Max di mobil, terlihat khawatir. Namun, Max justru bersemangat. “Kalau Grandpa mau memisahkan kami, aku akan mundur dari keluarga Lou. Persetan dengan mereka! Aku sudah pernah menggelandang, aku bisa menggelandang!”Landy memijat pelipisnya yang mulai pening, menghadapi kekerasan hati Max. Ia jadi mengakui kebenaran peribahasa yang mengatakan kalau buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tidak hanya Henry, Arienna dan kini Max. Ketiga orang itu sangat keras hati dan keras kepala kalau sudah menyangkut prinsip hidup.Menimbang ucapan Max, Landy mengakui ada kemungkinan Henry tidak akan terlalu memaksakan budaya keluarga Lou itu lagi, kalau Max sampai berniat keluar. Kehadiran Max sudah mengubah banyak hal di dalam keluarga Lou. Tidak hanya berkemampuan khusus untuk menjadi CEO di usia muda, Max juga sudah berani menelanjangi tindak kejahatan. Baik di dalam keluarga Lou, mau pun di sekitarnya. “Semisal, Grandpa t