LOGINTerus dibaca sampai ending ya kakak-kakak❤️
Skala mengikuti navigasi, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil yang dikelilingi kebun teh dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan. Suasananya sepi dan tenang, jauh dari keramaian vila. Mereka memilih tempat duduk di teras dengan pemandangan terbaik. Skala segera memesankan Luina teh hangat madu dan semangkuk sup krim. “Teh hangat, nggak kopi dingin. Aku nggak mau kamu sakit lagi,” ucap Skala. Luina mendengus. “Iya deh, Mas. My personal doctor,” candanya. Setelah beberapa saat menikmati keindahan alam dan kehangatan sup, Skala menatap Luina lekat-lekat. “Sayang, kamu masih kepikirin siapa yang neror kamu nggak?” tanya Skala, nadanya serius. Wajah Luina yang baru saja membaik seketika meredup. Ia menggenggam tangan Skala lebih erat. “Mas… jangan bahas itu lagi, aku udah nggak mau ingat kejadian itu, aku mohon…” lirih Luina. Skala segera menyadari kesalahannya. Ia seharusnya tidak mengungkit hal itu saat Luina sedang dalam masa pemulihan. “Maa
Axel tampak santai, ia bercanda tawa dengan Reno dan Desi seolah tidak ada beban. Tante Ida dan Tante Sari sibuk menyiapkan bekal piknik yang berlimpah di pinggir sungai, mengatur tikar dan makanan. Sementara yang lain menikmati keindahan alam, Sarah duduk sedikit menjauh di dekat sebuah batu besar. Wajahnya terlihat pucat. Ia memegangi perutnya yang terasa tidak nyaman. Axel yang melihat Sarah sedikit terasing, menghampirinya. “Kamu kenapa? Nggak ikut gabung?” Sarah meringis. “Nggak tahu, Xel. Perut aku kembung banget, terus mual. Kayaknya aku masuk angin,” keluhnya. Axel hanya mengangguk, tanpa menunjukkan kepedulian yang mendalam. “Yaudah, kamu jangan minum es. Cari tempat yang hangat,” jawab Axel, lalu kembali ke Reno dan Desi untuk melanjutkan obrolan mereka, meninggalkan Sarah yang masih mual. Sarah mendesah. Mualnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba memijat pelipisnya. Dalam benaknya, ia mulai mengingat kembali hal-hal aneh yang ia rasakan belakangan ini. “Mual beg
Axel membuang tubuhnya di atas tempat tidurnya. Ia takut kalau Luina kenapa-kenapa, karena ia bisa melihat wajah Luina yang tadi sangat memerah. “Apa gue tadi keterlaluan ke Luina?” ucap Axel, napasnya masih terengah. Bayangan saat ia mengecup bibir Luina dan tangannya mengelus paha Luina kini berubah menjadi ketakutan yang dingin. Bukan karena Skala, tapi karena kemungkinan terburuk yang bisa menimpa Luina. “Kalau Luina mati gimana? Dia tadi demam tinggi banget,” ucap Axel, matanya memandang kosong ke langit-langit, menyadari bahwa obsesinya hampir membahayakan nyawa Luina. Ketakutan akan konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekadar ketahuan, kini mencekiknya. “Nggak boleh sampai ada yang tahu kalau gue tadi masuk kamar Luina. Kalau sampai Luina kenapa-kenapa, gue nggak mau disalahin, gue tadi cuma cium dan meluk dia sebentar. Gue nggak ngapa-ngapain,” ucap Axel, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak bersalah. ***** Skala melihat jam menunjukkan pukul sa
Skala mengemudi dengan kecepatan penuh menuju apotek terdekat. Jantungnya berdebar kencang memikirkan Luina yang sendirian di kamar dalam kondisi demam tinggi. Rasa bersalah karena meninggalkan Luina sendirian saat istrinya sedang sakit bercampur dengan rasa panik. Begitu sampai di sebuah apotek kecil yang masih buka, Skala mematikan mesin dan melepaskan sabuk pengamannya. Ia bergegas turun dari mobil, dan masuk ke apotek. Ia langsung menghampiri pelayan apotek yang berada di balik konter. “Selamat malam, Pak. Ada yang bisa dibantu? Mau cari obat apa?” tanyanya ramah. “Saya butuh obat penurun demam yang paling efektif untuk wanita dewasa. Suhu badannya tinggi banget,” jawab Skala, nadanya terdengar tergesa-gesa. Pelayan apotek itu segera mengangguk. Ia mengeluarkan beberapa kotak obat dari rak. “Untuk demam tinggi, Bapak bisa coba ini. Ini mengandung Paracetamol dosis tinggi dan sering direkomendasikan dokter. Atau, Bapak bisa juga coba yang ini, ini bekerja cepat dan bisa
Sarah melihat Axel duduk sendirian, sedikit menjauh dari kerumunan, hanya mengamati api unggun dengan tatapan kosong. Sarah melihat ini sebagai peluang. Ia langsung menghampiri Axel, dan tanpa ragu, memeluknya dari belakang, merapatkan tubuhnya. “Kenapa sendirian, Sayang? Dingin lho di sini,” bisik Sarah, mencoba merayu Axel. Axel tersentak, tapi tidak melepaskan pelukan Sarah. “Nggak ada. Lagi mikir aja,” jawab Axel datar, namun tangannya meraih tangan Sarah yang melingkari perutnya. “Mikirin apa? Mikirin Skala yang tadi marah-marah? Atau mikirin aku yang baru aja kamu kasarain di kamar tadi?” bisik Sarah lagi, nada suaranya menggoda. “Aku suka kalau kamu kasar. Itu berarti kamu masih tergila-gila sama aku,” lanjutnya. Axel memejamkan mata sejenak, menikmati sensasi tubuh Sarah di punggungnya. “Shut up, Sarah. Jangan bahas itu di sini.” “Kenapa? Kita kan tunangan, Axel. Kita harusnya kelihatan lengket di depan semua orang. Biar mereka tahu kalau kita adalah pasanga
Luina melepaskan dress longgarnya. Ia melangkah masuk dan berendam di dalam bathtub marmer yang sudah terisi air hangat. Skala berdiri di samping bathtub, ia baru saja selesai melepaskan pakaiannya, hanya menyisakan handuk yang melilit pinggangnya. Matanya terpaku pada tubuh Luina yang tersembunyi sebagian oleh air berbusa. Ia memandang tubuh istrinya, yang berbentuk indah dan proporsional, hampir membuat dirinya lupa berkedip. Senyum mengembang di wajahnya. “Sayang, kamu tuh sebelum nikah suka olahraga nggak sih?” tanya Skala seraya memainkan air di dalam bathtub dengan jemarinya, matanya masih mengagumi. Luina terkekeh, “Hah? Kenapa tiba-tiba nanya gitu, Mas? Iya, aku suka pilates dan jogging ringan. Kenapa?” Skala tidak langsung menjawab. Ia justru memajukan langkah, menjejakkan satu kakinya masuk ke bathtub, berniat bergabung dengan istrinya. “Soalnya, badan kamu ini... terlalu sempurna untuk dilihat orang lain. Mas harus pastiin dress kamu nanti malam cukup tertutup,” j







