LOGINKabut tipis menyelimuti Hutan Tambangan yang agung, memeluk rapat batang-batang pepohonan raksasa dan menyisir lembah-lembah sunyi di lereng suci Gunung Kawi. Atmosfer pagi yang sejuk nan damai membungkus area itu, menjanjikan ketenangan spiritual bagi siapa pun yang melintasi jalurnya. Di bawah pengawalan ketat, langkah-langkah halus namun penuh tekad terdengar, menembus kerapatan semak belukar dan dedaunan yang basah. Dyah Pramodhawardhani, Putri Mahkota Medang yang jelita, maju dengan penuh kehati-hatian, busana kebesarannya tak mengurangi kelincahannya melangkahi akar-akar kuno yang melintang. Misinya pada hari ini adalah sebuah perjalanan yang melampaui kepentingan duniawi, melainkan sebuah ritual spiritual dan simbolis yang dalam. Ia harus menemukan biji benih dari pohon Mahkota Dewa yang langka, serta bibit-bibit istimewa dari pohon Sri Gading, Dewandaru, dan Dewaretna—tanaman-tanaman suci yang menyimpan daya luhur dan diberkahi oleh para dewata."Kita tidak boleh hanya asal me
Malam di situs pembangunan Bhumi Sambhara Budura biasanya melaju dalam keheningan purba, hanya dipecah oleh konser jengkerik yang mendesau dan hembusan angin bukit yang menelusup celah-celah bebatuan. Namun, pada malam ini, ketenteraman semu itu menyembunyikan ancaman maut. Sebuah kekuatan gelap merayap dari lereng perbukitan, membawa serta niat kehancuran yang tak terbantahkan. Sriti, dengan ketetapan hati baja yang tersirat di garis wajahnya, memimpin lima ratus prajurit wanita elitnya—Pasukan Sanditaraparan Medang—menyusup ke dalam jantung area konstruksi tersebut. Tujuan mereka telah dipahat dalam hati dan benak setiap prajurit: menghancurkan fondasi agung dan ukiran-ukiran sakral yang tengah dikerjakan, demi menggagalkan Sayembara besar yang sedang diupayakan para pembesar Mataram.Gerakan mereka lincah bagai bayangan, tak terdengar kecuali oleh daun-daun kering yang sesekali terinjak. Sriti sendiri, seorang strategist ulung dan komandan tanpa tanding, menghentikan langkah di bal
Udara dingin pegunungan Sadara menyergap rombongan yang baru tiba dari hiruk pikuk kota Medang. Kudah-kuda yang mereka tunggangi terengah, kepulan embun keluar dari lubang hidung mereka yang lelah. Meski telah menjelang tengah malam, Vihara Sadara tidak sepenuhnya sepi. Beberapa pelita temaram menghiasi pelataran batu, melukiskan siluet pepohonan yang bergoyang lembut diterpa angin malam.Di balik gerbang kayu ukiran sederhana, tiga sosok tegap berdiri menyambut. Mereka adalah Jentra Kenanga sang panglima elite yang tersembunyi identitas aslinya, ditemani istrinya yang tak kalah tangguh, Candrakanthi, serta sang penasihat paling jenaka di seluruh Medang, Gagak Rukma. Langkah mereka berbalut rasa lelah namun penuh determinasi, menyusuri bebatuan licin yang mengarah ke bangunan utama vihara.Namun, di antara bayangan temaram, ada yang tidak biasa. Rahastya, sang biksu yang terkenal dengan kekhusyukannya, berdiri tegak menyambut, namun bukan dalam jubah keagamaannya. Matanya membelalak k
Halaman belakang istana Mataram Kuno diselimuti rembulan, membiaskan siluet pohon kemboja yang menjulang ke angkasa. Udara malam yang semestinya membawa ketenangan, kini terasa menghimpit, penuh ketegangan yang pekat. Kemarahan yang meluap dari sosok tegap itu bukanlah sekadar amarah seorang prajurit yang tunduk pada titah, melainkan gemuruh batin seorang pria yang merasa seluruh pengorbanan masa lalunya telah diinjak-injak dengan congkak. Tumenggung Gagak Rukma, komandan terpercaya, mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih pasi, menunjukkan betapa hebatnya badai yang bergejolak dalam sanubarinya. Matanya yang tajam berkilat-kilat, menyimpan kobaran amarah yang tertahan, nyaris membakar kegelapan di sekelilingnya.Bagi Gagak Rukma, rencana Pangeran Balaputeradewa untuk menikahi Dyah Pramodawadhani bukan sekadar manuver politik demi stabilitas kekuasaan Mataram, melainkan sebuah pengkhianatan keji yang menusuk ulu hatinya. Itu adalah sebuah penghinaan terhadap Mayang Salew
Di sebuah bilik di kedalaman kompleks istana, tersembunyi dari hiruk-pikuk persiapan Sayembara, Pangeran Balaputeradewa duduk berhadapan dengan Panglima Besar Kunara Sancaka. Ruangan itu diselubungi tirai tebal dan dinding berukir relief candi kuno, menciptakan suasana formal yang hening, nyaris menakutkan. Aroma dupa hio tipis menguar, berpadu dengan ketegangan yang menyelimuti dua sosok penting Wangsa Syailendra ini. Pangeran Balaputeradewa duduk tegak di singgasana mini, tatapannya setajam elang, memantulkan ambisi yang membara. Di hadapannya, Sancaka berdiri, punggungnya lurus namun kepalanya sedikit menunduk hormat, sorot matanya mengantisipasi perintah sang Pangeran.“Sancaka,” bisik Balaputeradewa, suaranya pelan namun mengandung intonasi perintah mutlak, nyaris menusuk dalam keheningan yang menyesakkan. “Kita telah mencermati jalannya Sayembara ini. Telah terlalu lama aku menunggu kesempatan. Segala cara halus telah kuupayakan, namun Dyah Pramodawadhani seolah selalu luput dar
Cengkeraman tak terlihat namun terasa dari Panglima Besar Kunara Sancaka membalut ruang singgasana. Pangeran Balaputeradewa, duduk di kursi kehormatan yang sejatinya melambangkan otoritasnya, justru merasa dikepung oleh ambisi militer Sancaka yang menyala-nyala. Desakan sang panglima agar segera melancarkan serangan terhadap kelompok Walaing di Gunung Sadara bukanlah sekadar laporan taktis; itu adalah sebuah ultimatum, ancaman terselubung bahwa kekuatan militer yang kini melayani Balaputeradewa dapat sewaktu-waktu berbalik, menjadi alat di tangan individu dengan hasrat kekuasaan yang tak kalah besar darinya.Namun, bahaya tak hanya datang dari gema genderang perang di perbatasan; intrik istana, di mana kepercayaan adalah komoditas langka, jauh lebih mematikan. Balaputeradewa sadar, ancaman terbesar kadang-kadang datang dari ambisi para pembantu terdekatnya, termasuk Sancaka sendiri, yang kini menuntut aksi militer dengan pandangan tajam penuh kesatria namun juga sarat nuansa keangkuha