MasukKalamasa melingkupi Giri Watangan, menyelimuti pesanggrah-an dengan suasana yang semakin memberat dan mencekam. Di balik pilar-pilar besar yang memahkotai aula utama, siluet Mpu Kumbhayoni masih terkesan teguh, namun batinnya bergolak dalam amarah serta harga diri yang terluka. Kehadiran Tantripala di sisinya, yang kini ia biarkan kian dekat dalam sorot pandang masyarakat istana, sejatinya adalah sebuah penistaan yang mendalam terhadap martabat Dyah Ayu Manohara. Ironisnya, tindakan yang Mpu Kumbhayoni anggap sebagai balas dendam dan pelipur lara itu justru secara perlahan-lahan meracuni sendi-sendi kehidupannya sendiri.Namun, di kedalaman jantung puri, dalam keremangan ruang rahasia milik Nalaraja, sebuah gerakan bawah tanah sedang dikonsolidasikan dengan penuh kehati-hatian. Sekar, Mahesa Seta, dan Nalaraja saling bertukar pandang, raut wajah mereka mengeras oleh determinasi.“Kita tidak memiliki banyak waktu, Kakang Nalaraja, Kakang Mahesa,” bisik Sekar, suaranya pelan namun menga
Di puncak sebuah perbukitan yang sunyi, jauh dari deru kaki kuda pasukan Kunara Sancaka yang tengah mempersiapkan diri, tiga sosok berdiri tegak, mengamati pergerakan debu yang membumbung tinggi dari arah Walaing. Udara pagi yang sejuk membawa serta gemuruh samar dari aktivitas di kejauhan, sebuah simfoni pertanda prahara yang akan segera tiba. Wiku Amasu, dengan tasbih kayunya yang berputar pelan di antara jari-jemarinya, dan Rahastya, berdiri dengan kecemasan yang terpahat jelas di wajah mereka, mata mereka tak lepas dari kaki langit di kejauhan. Sebuah kegelisahan merayapi sanubari mereka, menyadari bahwa ketenangan semu Medang Raya akan segera terkoyak."Persatuan antara Mahamentri I Hino Pramodhawardhani dan Rakai Pikatan seharusnya menjadi berkah agung bagi Medang, fondasi kemapanan dan kesejahteraan yang diidamkan," bisik Wiku Amasu, suaranya mengandung nada kesedihan yang dalam, sambil terus memutar tasbihnya. "Namun, takhta yang stabil justru mengundang badai kecemburuan dan
Angin timur yang berhembus kencang melibas wilayah Walaing, menyerakkan debu merah yang tak henti menari-nari di atas barak-barak militer yang membentang luas. Suasana di pusat mobilisasi pasukan itu terasa mencekam, diiringi derap langkah ribuan prajurit Kunara Sancaka yang takzim menyiapkan diri untuk tujuan yang jelas. Di bawah panji-panji perang yang berkibar gagah, kekuatan besar mulai dimusatkan, membentuk formasi ofensif yang mengancam kedaulatan wilayah lain. Patapan, sebuah wilayah strategis yang kini berada dalam genggaman Rakai Pikatan, telah ditetapkan sebagai target serangan utama. Genderang perang yang perlahan dikumandangkan bagai guntur jauh di cakrawala, memancarkan aura kegelisahan yang menyelimuti setiap sudut kemah, sebuah pertanda buruk akan pertumpahan darah yang akan datang.Namun, di tengah hiruk-pikuk persiapan yang masif itu, sebuah ketegangan hebat justru terjalin di dalam kemah komando pusat, jauh dari deru pedang dan pekik mobilisasi yang memekakkan teling
Kekecewaan yang mendarah daging dalam jiwa Mpu Kumbhayoni telah mencapai puncaknya. Kesuksesan Rakai Panukuh di Patapan bukan hanya sekadar pencapaian bagi putranya, melainkan sebuah pukulan telak yang menghempas seluruh benteng ambisi Sanjaya yang telah ia bangun dengan cucuran darah dan linangan air mata selama bertahun-tahun.Rasa dikhianati mencabik-cabik kalbunya, menghanguskan harapannya pada warisan yang pernah ia impikan. Namun, alih-alih melampiaskan amarahnya pada Panukuh yang kini telah menjelma menjadi seorang penguasa dengan kekuatan dan wibawanya sendiri, sang Mpu justru mengarahkan badai emosinya kepada sosok yang paling setia dan dekat dalam kehidupannya: Dyah Ayu Manohara. Sebuah pilihan yang keji, namun terasa sejalan dengan kegelisahan hati yang tengah melanda dirinya.Di pendapa agung Giri Watangan, di hadapan pandangan tajam para abdi dalem dan pengawal yang berjajar rapi, Mpu Kumbhayoni dengan sengaja memerankan sandiwara kemesraan yang melampaui batas bersama Ta
Langit di atas Patapan beranjak keemasan seiring matahari yang mulai merangkak naik, menaburkan sinarnya yang hangat pada bebatuan purba candi dan padma. Sebuah energi baru menyelimuti pusat pemerintahan Medang tersebut, memercikkan gairah yang tidak tercium dalam dekade terakhir.Panji-panji yang megah, menampilkan perpaduan lambang Siwa-Waisnawa yang kini menjadi penanda persatuan Dharmayuga, berkibar gagah diterpa angin pagi, melambangkan era baru di bawah naungan dinasti yang sedang tumbuh. Para abdi istana, prajurit, dan seniman berjejak sigap, mempersiapkan rangkaian acara formal yang akan segera dimulai—penobatan seremonial bagi sosok yang akan menjadi fondasi kekuatan Medang di wilayah tengah.Di bangsal utama Balai Mandala Patapan, yang kini diperkaya dengan sentuhan seni Sambhara Budura, Mpu Panukuh berdiri tegak di ambang jendela besar. Cahaya fajar membalut siluetnya, menambah aura keagungan pada postur tegapnya. Gelar ‘Mpu’ yang sebelumnya disandangnya sebagai gelar kehor
Senja beranjak meninggalkan Wanua Temu Ireng dalam kesunyian yang mencekam, seolah semesta menahan napas menyaksikan duka dan harapan yang kini terajut. Cahaya remang-remang dari obor di sekitar pelataran menari di antara pepohonan rimba, menerangi wajah Mayang Salewang yang kini tampak lebih tegas dari sebelumnya, meskipun masih berbayang kepedihan mendalam. Perlahan, ia melepaskan pelukannya dari Gagak Rukma, perpisahan fisik yang melambangkan kembalinya kesadaran atas tugas-tugas yang menanti. Mata wanita itu menatap Rukma, lekat dan sarat makna, menampilkan perpaduan amarah yang terpendam dan resolusi yang baru ditemukan. Aura dingin malam seolah menyelimuti mereka berdua, menjadikan setiap bisikan terasa sakral.“Rukma, ada hal busuk yang harus kau ketahui,” bisik Mayang, suaranya parau namun memancarkan determinasi yang mengeras. Ia melayangkan pandang ke kegelapan hutan di sekeliling mereka, seolah ancaman itu kini telah merayap dari bayang-bayang masa lalu







