LOGINPalagan Panaraban bergejolak, medan peperangan yang menyala bagai tungku neraka. Konflik puncak antara pasukan Adipati Sanjaya dan Adipati Walaing yang berjuang di bawah panji-panji api, berhadapan dengan kekuatan mahabesar Syailendra yang digerakkan oleh kecemerlangan strategi Panglima Besar Kunara Sancaka. Gaung senjata beradu, pekik perang dan rintihan yang berbalasan menciptakan simfoni kekejaman di antara bukit-bukit Panaraban yang kini berlumur darah. Aura dominasi Syailendra membakar harapan lawan, sebuah kepastian kemenangan yang tak terbantahkan terpancar dari setiap ayunan pedang prajurit Medang.Di jantung palagan tersebut, Rakai Panaraban, penguasa watak yang bertanggung jawab atas wilayah itu, bertarung dengan semangat membara. Pedangnya menari, mencerminkan tekad kuat seorang pemimpin yang mempertahankan tanah kelahirannya.Namun, Rakai Panaraban bukanlah seorang panglima perang sejati; kemampuan strateginya memang mengagumkan dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan
Di Watak Panaraban, udara yang biasanya diisi nyanyian burung kini dipecah oleh ketegangan yang pekat, menanti kedatangan laskar Medang. Medan laga yang gersang adalah panggung yang telah disiapkan. Rakai Panaraban berdiri tegak di garis terdepan, memimpin prajuritnya dengan pandangan nanar.Di sisinya, Rakai Giriwata dari Wasa Mandala memancarkan aura kegagahan yang membakar, perisai kebanggaannya memantulkan cahaya matahari pagi. Tak jauh dari mereka, Mpu Kumbayoni tampak memucat, namun nyala semangatnya tak tergoyahkan. Tubuhnya belum pulih sempurna, tetapi tekadnya segunung merapi, didampingi oleh dua pendukung setianya, Megarana dan Wiyuhmega, yang siap bertarung hingga tetes darah penghabisan."Laskar Panaraban, pegang teguh panji kehormatan kita! Watak ini tidak akan menyerah tanpa perlawanan!" teriak Rakai Panaraban, suaranya menggelegar di atas gelegar drum yang mulai ditabuh.Rakai Giriwasta mengacungkan tombaknya yang berapi-api. "Benar! Darah dan api kami adalah penjaga ma
Kegelapan malam menyelimuti hutan rimba yang pekat, menelan segala bentuk dan bayangan, hanya menyisakan kepekatan yang nyaris absolut. Di bawah selubung hitam nan misterius ini, sebuah rombongan kecil namun teramat berharga menembus belantara dengan langkah-langkah senyap, waspada terhadap setiap bunyi ranting patah atau gemerisik daun yang tak lazim. Mereka dipimpin oleh dua sosok Wiku: Rahastya yang tenang dan Amasu yang sigap, sementara Laturana senantiasa mengikuti di barisan belakang, siap siaga.Di tengah-tengah mereka, Dyah Ayu Manohara melangkah dengan tegar, menggenggam tangan Mpu Panukuh, putranya yang masih kecil. Pangeran Talang Wisang berjalan berdekatan dengan mereka, sementara Wulung Mahesa Seta dan Sekar Wangi, putra-putri Tumenggung Sanjaya, menuruti langkah rombongan dengan penuh kehati-hatian. Perjalanan ini amat sulit; mereka harus melewati semak belukar yang berduri, tanah licin bekas hujan, dan terkadang melintasi sungai dangkal yang arusnya cukup deras. Dinginn
Watak Panaraban terasa seperti memegang bom waktu yang sebentar lagi meledak. Suasana mencekam menyelimuti setiap sudut benteng batu itu, diselimuti aroma tanah basah dan ketegangan yang kian mengental. Rakai Panaraban sendiri, di ruang utamanya, mondar-mandir seperti harimau lapar yang terjebak dalam sangkar emas. Pikirannya kalut. Mpu Kumbayoni yang dia kenal adalah seorang pemberontak? Dan parahnya lagi, Raja sampai memerintahkan pembumihangusan Panaraban? Ini mimpi buruk."Diajeng," suara Rakai Panaraban berat, pecah dalam ketegangan yang menumpuk di dadanya. Matanya menatap Dyah Ayu Manohara yang berdiri tegar, walau samar terbayang gurat kecemasan di wajahnya. "Aku harus berjuang, ini tanah kita. Tapi kau, kau dan anak-anak... harus selamat. Nggak peduli apapun caranya."Dyah Ayu Manohara meraih tangan suaminya, genggaman yang terasa kuat sekaligus rapuh. "Jangan bicara begitu, Kangmas. Kita akan hadapi ini bersama."Rakai Panaraban menggeleng pelan. "Ini bukan lagi soal 'bersam
Di Keraton Medang, inti dari kekuasaan Wangsa Syailendra, suasana bilik perang terasa seberat palu godam, kelam, dan penuh dengan tekanan yang membeku di setiap sudut. Dinding batu tebal yang biasanya meneduhkan kini terasa memenjarakan, menyimpan aura perintah keras dan potensi kehancuran. Di tengah meja peta yang dipenuhi gulungan-gulungan wilayah kekuasaan Mataram, Panglima Besar Kunara Sancaka memimpin rapat, sorot matanya yang tajam mengawasi setiap wajah di hadapannya.Ia didampingi oleh Panglima Kavaleri Cangak Sabrang, seorang prajurit gagah dengan pandangan membara, yang seolah siap menghempas segala rintangan. Di sisi meja, duduklah Panglima Dandang Wilis dan Panglima Jentra Kenanga. Mereka berempat adalah pilar kekuatan militer Wangsa Syailendra yang kokoh, para ujung tombak kerajaan yang memegang kunci nasib ribuan prajurit dan, kini, seluruh wangsa lawan.Kunara Sancaka menggebrak pelan meja, suaranya berat dan mengikis, "Titah Maharaja Samarattungga sudah jelas. Sebuah m
Setelah meninggalkan Pangurakan, suasana yang menyelimuti para Panglima utama Medang kental dengan ketegangan yang menyesakkan, membebani setiap langkah mereka di bawah naungan Kerajaan Medang yang kini dikuasai oleh Wangsa Syailendra. Udara yang mereka hirup terasa berat, sarat akan beban dekrit berdarah dari Maharaja Samarattungga. Sebagai seorang Syailendra yang kokoh, Maharaja Samarattungga telah memerintahkan untuk membumihanguskan seluruh keturunan Wangsa Sanjaya, sebuah tindakan kejam yang dimaksudkan untuk sepenuhnya melegitimasi kekuasaan Syailendra di atas sisa-sisa jejak Mataram Kuno.Di antara mereka yang memikul beban konflik batin yang dahsyat ini adalah Panglima Jentra Kenanga, Tumenggung Gagak Rukma, dua Biksu agung bernama Wiku Amasu dan Wiku Rahastya, serta yang terpenting, Guru Sasodara. Beliau adalah Samgat Agung, seorang Wiku terkemuka dari Wangsa Syailendra, yang secara darah adalah paman bagi Sri Kahulunan dan Balaputeradewa – penerus takhta Syailendra yang seha