LOGINSetelah luka menganga Gusti Mpu Kumbayoni telah terbalut rapi dengan dedaunan obat yang ia petik dan lumuri pada kulitnya, Dyah Ayu Manohara menatapnya dengan raut wajah penuh empati yang memudar perlahan, digantikan oleh selubung rasa penasaran yang teramat dalam. Pandangan matanya yang elok menyusuri guratan lelah dan bekas luka pada tubuh Gusti, seolah mencoba menguak kisah di baliknya. Wajahnya yang rupawan memancarkan kecantikan murni yang lembut, kontras dengan kengerian medan laga yang baru saja ia saksikan.“Lalu, ki sanak ini gerangan siapa?” tanya Dyah Ayu Manohara, suaranya mengalun lirih dan halus bagai lantunan tembang merdu, namun dipenuhi nuansa ingin tahu. Ia tidak peduli kemeut (busuk) ataupun bersih, hatinya diliputi rasa iba melihat siapapun terluka parah. “Mengapa pula ki sanak sampai terluka begitu parah dan terkapar di tanah hutan yang sunyi ini?”Gusti Mpu Kumbayoni, meskipun di lubuk hatinya diselubungi kekecewaan yang tak terkira lantaran Dyah Ayu telah menjad
Malam merayap menyelimuti pelarian yang pedih dari pusat kekuasaan. Kemenangan yang digantungkan kini tercerai-berai menjadi kekalahan yang menghimpit. Mpu Kumbayoni, Laturana, Megarana, dan Wiyuhmega bergerak tanpa henti, meninggalkan gemuruh Keraton Medang yang baru saja dibasahi darah, menuju Watak Panaraban. Harapan satu-satunya terpaut pada benteng perlindungan di tanah itu, walau langkah mereka kini serupa bara api yang nyaris padam.Laju pelarian itu semakin tertatih-tatih. Mpu Kumbayoni, pemimpin muda dengan kharisma membara, kini lunglai tak berdaya. Luka dalam yang ditoreh pedang Gagak Rukma perlahan mengambil alih kesadarannya, memantik demam tinggi yang menyiksa dan dahaga yang tak terperi. Mereka terpaksa bergerak tanpa bekal berarti, memaksa untuk mengarahkan pandangan kepada hutan belantara yang pekat, berharap menemukan sumber kehidupan."Gusti Mpu Kumbayoni..." suara Laturana sarat kegalauan, memapah Kumbayoni dengan tenaga terakhir, "...kekuatannya terkuras habis. Ia
Pertarungan yang membekukan itu, antara Tumenggung Gagak Rukma melawan Mpu Kumbayoni dan Wiyuhmega, memang berlangsung singkat, namun begitu brutal. Nyala api perlawanan dari Kubu Walaing, yang dibawa oleh Mpu Kumbayoni dan Wiyuhmega, ternyata tak sanggup menandingi dinginnya amarah dan kesaktian yang dikuasai oleh Rukma. Rasa sakit akibat pengkhianatan yang membusuk dalam jiwanya telah mengubahnya menjadi lawan yang mematikan, yang setiap ayunan pedangnya diisi dengan kekosongan pahit. Tatapan kosong, tetapi pedang menusuk, seperti jiwa yang kehilangan pegangan.Mpu Kumbayoni, meski telah mengerahkan segala daya dan upayanya, tidak mampu menghadapi badai pedang dan jurus Rukma yang begitu brutal, melambangkan dendam yang tak tertahankan. Pedang hitam Rukma melesat dengan kecepatan gila.Sebuah pukulan telak menghantam Gusti Kumbayoni. Ia tak berdaya menahan serangan tersebut. Tubuhnya ambruk. Dengan nafas yang sesak, ia tersungkur dan terluka parah. Melihat pemimpin mereka tumbang,
Api murka membakar medan laga. Mpu Kumbayoni, diapit oleh kekuatan tak terbantahkan dari Laturana, Megarana, dan Wiyuhmega, melesat bagai badai neraka menuju jantung Keraton Medang. Tujuan mereka terpahat jelas dalam benak, tak tergoyahkan oleh jerit prajurit atau raungan pertempuran yang meluluhlantakkan pelataran: penjara kerajaan, tempat Gusti Rahagi dan Diajeng Srigunting disekap. Setiap ayunan lengan mereka memercikkan bara yang melumat barikade pertahanan Medang. Elemen api yang dikuasai mereka membakar semangat sekaligus pertahanan lawan, mengubah jalan menuju kompleks tahanan menjadi lorong kehancuran. Prajurit Medang, yang semula teguh, kini terseret arus panik, kocar-kacir menghadapi serangan elemental yang mematikan.Namun, amuk dahsyat mereka tak berlanjut tanpa hambatan. Tepat di ambang gerbang kokoh yang memisahkan dunia luar dari labirin penjara, sebuah bayangan kokoh muncul. Itu adalah sosok tegap Panglima Kavaleri Medang, Cangak Sabrang, berdiri dengan keberanian memb
Malam menyelimuti bumi ketika Gusti Mpu Kumbayoni dan Gandara Raja memimpin pasukan inti Watak Wasa Mandala bergerak tanpa suara. Langkah mereka sigap dan terkoordinasi, menembus lebatnya vegetasi menuju pusat Keraton Medang di Poh Pitu. Hati Mpu Kumbayoni membara oleh murka tak terbendung atas pengkhianatan Mayang Salewang yang telah melukai harga diri Wasa Mandala dan Walaing. Di sisinya, Gandara Raja berjalan dengan tekad bulat, pedoman hatinya adalah pembebasan Mpu Rahagi dan Srigunting, dua sosok yang tak sepatutnya tunduk di bawah kuasa penipu daya. Keheningan pekat malam menjadi saksi atas langkah-langkah berat para pejuang yang membawa serta ancaman badai.Sementara itu, di dalam Keraton Poh Pitu, pesta pernikahan Mahamentri I Halu mencapai puncaknya. Kemeriahan yang berlebihan itu, ditunjang oleh aliran tuak dan arak yang tak henti, mulai mengikis kewaspadaan. Para Panglima dan Tumenggung Medang terbuai dalam gelombang kemabukan. Panglima Besar Kunara Sancaka terhuyung, akhi
Pelataran utama Keraton Medang di Poh Pitu malam itu bersinar bak gugusan bintang yang jatuh ke bumi, dibanjiri cahaya keemasan dari ribuan obor yang menyala dan temaram lampu-lampu minyak berwarna-warni. Aroma dupa wangi bercampur semerbak melati dan kenanga menguar, memanjakan indra setiap tamu. Musik gamelan mengalun meriah, kadang menenang kadang menghentak, mengiringi pesta pernikahan Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa dan Mayang Salewang, sebuah perayaan yang konon disiapkan dengan kemewahan tiada tara, bahkan konon sanggul Mayang Salewang saja bertabur intan dari perut naga.Hampir seluruh pembesar dan petinggi Kerajaan Medang hadir. Panglima Besar Kunara Sancaka terlihat gagah dengan pakaian kebesarannya, di sisinya duduk anggun Sriti, yang walau berusia, genitnya tak pernah lekang seperti jamur di musim hujan.Tak jauh dari mereka, Panglima Jentera Kenanga, komandan pasukan elite Sanditaraparan yang terkenal dingin namun tegas, hadir ditemani istrinya yang memesona, Ch







