Beranda / Historical / Bara Dendam Sang Prabu Boko / Bab 7: Kemarahan Sang Guru

Share

Bab 7: Kemarahan Sang Guru

Penulis: Alexa Ayang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 10:16:30

Kasatriyan Balaputeradewa, sebuah ruang megah yang biasanya dihiasi bisikan keangkuhan politik, malam ini dipenuhi ketegangan yang menyesakkan, seolah seluruh udara telah dicuri oleh dua sosok di tengahnya. Lilin-lilin obor yang terpancang di dinding tampak berkedip tak sabar, menciptakan bayangan menari-nari yang aneh pada pahatan di pilar-pilar batu. Sebuah aura yang mengancam keluar dari diri Wiku Sasodara. Wajahnya yang biasanya teduh, kini mengeras bak granit, menatap tajam pada sosok pangeran muda di hadapannya.

"Apa yang telah kau lakukan, Mahamentri I Halu, Pangeran Balaputeradewa?" Suara Wiku Sasodara bagai guruh yang membelah keheningan malam, berat dan menggelegar seperti dentingan gong raksasa. "Kau membakar desa Song dan menfitnah Rakai Walaing Mpu Regdaya untuk menguasainya? Bukankah itu terlalu jauh?"

Balaputeradewa, dengan perawakan tampan dan atletis khas wangsa Syailendra, segera menunduk hormat. "Guru!" jawabnya, meski nada suaranya sedikit gemetar, bukan karena takut melainkan karena menghadapi salah satu orang yang paling dihormatinya. Wiku Sasodara adalah bukan hanya Paman, Penasihat Raja, sekaligus gurunya. Seorang biksu muda berusia 35 tahun, yang dengan wajah halus dan kebijaksanaannya, seringkali disebut sebagai salah satu harapan spiritual kerajaan. Ketinggian tubuhnya yang atletis hanya menambah kewibawaan alami sang Wiku.

"Aku tidak memfitnah, Guru," sahut Sang Mahamentri I Halu, mencoba mengatur napasnya. Kerongkongannya terasa tercekat oleh tatapan mata sang Guru yang begitu dalam. "Itu hanya siasat agar Kakangmas Maharaja Samarattungga setuju untuk menyerahkan Walaing padaku. Tidak dimaksudkan untuk menyerang dan membumihanguskannya," Balaputeradewa berusaha menjelaskan, kata-katanya terdengar tergesa-gesa dan kurang yakin di telinganya sendiri. Meskipun secara struktur kekuasaan duniawi Wiku Sasodara bukanlah setara dengan dirinya, kedudukan spiritual dan kekerabatan Wiku membuat Balaputeradewa selalu menempatkannya di posisi yang lebih tinggi, bahkan terkadang melampaui rasa hormat.

"Tapi kau lihat hasilnya bukan?" Wiku Sasodara menukas, jemarinya terkepal di samping tubuhnya, mencerminkan gejolak dalam hatinya. "Pembunuhan. Penghancuran. Apakah begitu hukum welas asih kita bekerja? Atau sudahkah kau lupa pada ajaran cinta kasih yang aku tanamkan dalam dirimu sejak kau masih kanak-kanak, Balaputeradewa?"

Pangeran Balaputeradewa mengangkat wajahnya perlahan, memaksakan senyum tipis. "Maaf Guru, tapi ini hanya strategi politik semata. Tak ada hubungannya dengan agama," ujarnya, mencoba melampaui kekecewaan yang terlihat jelas di wajah Wiku. Namun matanya sendiri, mengkhianati sedikit kegelisahan di balik topeng keberaniannya.

"Strategi politik kau bilang?" Wiku Sasodara mendekat satu langkah, suaranya kini terdengar menusuk. "Tapi kau menggunakan isu agama untuk menyerang. Bukankah Mpu Regdaya memiliki perjanjian denganku untuk tidak saling menghancurkan? Kau membuat pandangan orang menjadi buruk pada keyakinan kita, memicu keraguan. Lalu welas asih yang mana yang sedang kau gaungkan, Pangeran?" pertanyaan itu mengunci Balaputeradewa dalam sudut ruangan, udara di sekitarnya terasa semakin menekan.

Sebelum Balaputeradewa sempat memberikan dalih, atau sebelum Sang Wiku bisa melanjutkan perkataannya, langkah-langkah tergesa terdengar dari ambang pintu Kasatriyan. Sosok Kunara Sancaka, pemimpin pasukan Balaputeradewa, muncul dengan wajah datar namun sorot mata yang penuh informasi, memancarkan kengerian dan kejayaan sekaligus. Ia berlutut di hadapan Balaputeradewa.

"Yang Mulia Pangeran, hamba datang dengan kabar dari Walaing," lapornya, suaranya rendah. "Semuanya telah terlaksana seperti perintah. Walaing telah tunduk, hamba persembahkan kepala pembangkang utamanya, Mpu Regdaya."

Di tangan Kunara Sancaka, terangkatlah sebuah bungkusan kain yang kini terbuka perlahan. Sebuah kepala dengan rambut yang mulai memutih dan janggut yang telah lusuh tersembul, pandangan kosongnya menatap lurus ke arah langit-langit yang remang. Aroma amis darah dan kematian segera memenuhi ruangan, menenggelamkan aroma kemenyan dan melati yang semula menghiasi Kasatriyan.

"Astaga... Paman Regdaya!"

Wiku Sasodara memekik tertahan, lututnya lemas, ia terduduk dengan guncangan hebat. Bibirnya bergetar tak terkendali. Mata elangnya yang tajam kini memerah, mengabur oleh air mata yang jatuh perlahan. Wajah yang biasanya teduh itu, kini terlukis nyata kepedihan dan syok.

"Balaputeradewa," desis Wiku Sasodara, air mata mengalir deras di pipinya. Matanya yang pedih beralih ke wajah Balaputeradewa yang pucat pasi, terguncang. "Kau... kau sungguh tak berhati. Aku sangat, sangat kecewa."

Dengan isakan pelan dan air mata yang tak henti bercucuran, Sang Wiku memberikan hormat terakhir kepada jasad yang tak lagi berbentuk sempurna itu, seolah-olah seluruh dunia di sekelilingnya hancur. Kemudian, dengan hati yang remuk dan rahang yang mengeras, Wiku Sasodara bangkit. Langkahnya berat, namun tegar. Kemarahan yang dingin kini tampak begitu jelas membeku di matanya, suatu kemarahan yang membayangi hati Balaputeradewa bahkan ketika sosok gurunya itu berbalik, meninggalkan Kasatriyan, menghilang di balik ambang pintu, menyisakan kekosongan yang membekukan. Suara desiran jubahnya saat ia melangkah menjauh seakan adalah bunyi kepak sayap kematian. Balaputeradewa hanya bisa menatap punggung Gurunya yang menghilang, dengan sebuah penyesalan pahit, serta sesuatu yang lain... sesuatu yang kejam, dingin, dan baru saja terbangun dalam jiwanya. Ia menoleh perlahan pada Kunara Sancaka, bibirnya membentuk senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Kunara," desisnya, suaranya kini dingin membeku, tanpa jejak penyesalan. "Siapkan orang-orang terbaikmu. Temukan Wiku Sasodara. Aku ingin dia dikembalikan ke Kasatriyan... hidup atau mati."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 21 Perintah Yang Memilukan

    Sinar keemasan senja menembus ukiran jati yang rumit, menciptakan bayangan panjang di ruang pribadi Pangeran. Balaputeradewa, putra mahkota Dinasti Syailendra, bersemayam di dipan bertahtakan emas, diapit aneka hidangan buah dan penganan mewah. Di hadapannya, Jentra, seorang punggawa setia, bersimpuh dengan kepala tertunduk. Suasana, kendati opulent, mengesankan ketegangan tersembunyi."Jentra," suara Balaputeradewa memecah keheningan, renyah laksana gigitan buah pisang raja yang kini ia santap. "Ada titah agung. Sebuah tugas yang akan menguji loyalitas dan keteguhan batinmu hingga batas terkahir."Jentra mengangkat wajahnya sedikit. "Ampun Gusti Pangeran. Hamba siap sedia melaksanakan segala kehendakmu."Senyuman tipis terukir di bibir Balaputeradewa, namun tatap matanya memancarkan ketegasan yang dingin dan tak terbantahkan. "Kau harus membakar Wanua Song Banyu."Kalimat dingin itu meluncur laksana petir. Jentra terperanjat, tubuhnya seolah dilanda badai hebat. Gambaran desa terbaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 20 Berita dalam Desiran Angin

    Angin sore dari perbukitan kapur berhembus perlahan, menyelimuti dua siluet yang mematung di balik rimbun semak, mengawasi lembah di bawah dengan seksama. Di tengah lapangan berlumpur, Mpu Kumbhayoni memimpin adiknya dan sejumlah pemuda Walaing dalam meringkus Perampok dari Pengging itu dengan penuh semangat, denting bilah pedang bambu dan sorakan riuh mengalir bersama angin. Rukma menoleh ke arah Jentra, rekannya yang wajahnya tertutup topeng beruk."Kakang Jentra," Rukma memecah keheningan. "Bagaimana pandangan Kakang tentang ini? Bukankah apa yang mereka lakukan jelas-jelas melanggar ketentuan negara? Seorang Rakai tidak diperkenankan memiliki pasukan sendiri. Namun, lihatlah, Mpu Kumbhayoni secara terang-terangan memobilisasi warga sipil dan melatihnya sebagai prajurit. Ini adalah tindakan insubordinasi yang kentara, melangkahi batas-batas yang ditetapkan istana."Jentra menghela napas, pandangannya tak lepas dari adegan di bawah. "Rukma," mulainya, nadanya sarat empati namun juga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 19 Pertarungan Api dan Tanah

    Sentuhan itu bak disambar petir yang membara. Jemari Mayang Salewang seolah melayangkan tamparan api ketika menepis tangan Arya Rontal yang nekat menyentuhnya. Rasanya begitu panas, begitu mendidih, sampai-sampai Arya harus meloncat mundur secepat kilat, nyaris terpeleset bebatuan licin di tanah basah itu. Mata Arya Rontal, yang baru berusia tiga puluhan, membulat kaget. Pandangan angkuhnya seketika luntur, terganti tatapan tak percaya pada Mayang yang kini berdiri tegak di samping Sri Gunting, dengan gestur tenang seolah tak terjadi apa-apa."Api…" gumam Arya, suaranya tercekat. Matanya melebar penuh rasa takjub sekaligus ngeri. "Pengendali api!"Wajahnya mendadak tegang. Arya menoleh cepat ke arah Klarang, adiknya seperguruan dan sepupunya, yang sejak tadi hanya melihat adegan itu dengan tatapan remeh. Kini Klarang, pemuda dua puluh delapan tahun itu, mulai menampakkan mimik datar."Kau harus hati-hati, Adhi Klarang," ucap Arya, nada suaranya berubah serius, sarat akan peringatan. "

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 18 Jebakan Sutra

    Senyap yang mendominasi pagi di ufuk timur Perlahan terkoyak oleh kemunculan sinar surya yang menelusup celah-celah daun bambu dan rimbunnya hutan jati, menciptakan mosaik cahaya di atas tanah berdebu. Di antara kerimbunan tersebut, pasukan Mpu Kumbhayoni telah menyebar dan menyembunyikan diri, bergeming layaknya batu padas yang tak tergoyahkan, sanubari mereka terasah tajam, menanti aba-aba. Mayang Salewang dan adiknya, Sri Gunting, memainkan peran mereka dengan sempurna, mengenakan pakaian sederhana laksana wanita dusun pada umumnya, berpura-pura sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Keranjang rumput mereka teronggok di sisi jalan setapak yang biasa dilalui, seolah menanti terisi penuh oleh rezeki pagi.Tiba-tiba, Mayang Salewang merasakan getaran samar pada bumi di bawah telapak kakinya, getaran itu merambat naik, perlahan menguat menjadi denyut ritmis yang menandakan ada sekumpulan penunggang kuda dalam jumlah besar yang sedang bergerak menuju arah mereka. Bola matanya melirik

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 17 Jerat Sang Mpu

    Udara dingin subuh masih menggantung tipis di celah hutan Jati, menyelimuti tim Mpu Kumbhayoni yang bergerak tanpa suara. Kabut tipis memantulkan cahaya perak dari bulan sabit yang mulai redup, seolah enggan menampakkan diri. Mereka sudah bersiap sejak malam, meletakkan umpan dan menyusun perangkap di jalur yang diprediksi akan dilewati kawanan perampok Arya Rontal. Megarana yang paling jangkung di antara mereka, berlutut mengamati jejak kaki yang samar."Kau yakin mereka lewat sini?" tanya Mpu Kumbhayoni dengan suara rendah, menepuk bahu Megarana. Matanya tajam, menyapu sekeliling, memastikan tidak ada halangan atau mata-mata yang mengawasi.Megarana mengangguk mantap. "Ya, Gusti. Dari pola patroli terakhir mereka, jalur ini adalah pilihan terbaik untuk lewat cepat. Mereka suka buru-buru, cari rute yang bersih dari warga.""Bagus," Mpu Kumbhayoni berbisik, membalas anggukan itu. "Kalau begitu, mari kita pasang jaringnya. Hati-hati, jangan sampai ada benang yang menonjol."Tim bergera

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 16 Informasi Mengejutkan

    Ruangan pribadi Mpu Kumbhayoni malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, padahal belasan obor kecil sudah dinyalakan di dinding. Hawa dingin dari luar justru tidak sanggup menembus aura panas di antara mereka. Mayang Salewang, dengan tangannya yang sibuk merapikan gulungan peta lama di meja, melirik ke arah Megarana. Raut wajah penyelidik itu jelas tidak bisa dibilang tenang, ada kekesalan bercampur kebingungan yang kentara. Mpu Kumbhayoni sendiri bersandar pada kursi kebesarannya, pandangannya tajam mengarah ke Megarana. Laturana berdiri agak di belakang Megarana, sementara Sri Gunting menyilangkan tangan di depan dada, mendengarkan seksama.“Baik, Megarana,” Mpu Kumbhayoni akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar berat, “aku mau dengar semuanya. Penyelidikan terakhir kalian itu akhirnya membawa hasil apa?”Megarana menarik napas panjang, sedikit membuang pandangan, seolah sulit menyampaikan kabar yang akan keluar dari mulutnya. “Penyelidikan terakhir kita udah selesai, Gust

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status