MasukKeheningan menggantung tebal seperti kain beludru di kasatriyan Balaputeradewa setelah kepergian Wiku Sasodara yang dipenuhi air mata dan kemarahan. Hanya napas Balaputeradewa yang tersengal dan desiran samar kain jubah Kunara Sancaka yang memecah kesunyian mematikan. Pangeran muda itu masih berdiri mematung di tengah ruangan, pandangannya terpaku pada sekerat kepala Mpu Regdaya yang tergeletak di hadapannya, bukti kejam dari ambisinya. Wajah Balaputeradewa memancarkan topeng beku yang sulit ditebak, namun sorot matanya yang kosong menampakkan kekosongan tak terhingga. Ada sedikit penyesalan atas perintah terakhir yang diberikannya pada Kunara Sancaka. Namun, seperti biasa, kelicikan Kunara justru berupaya menaburkan racun yang lebih dahsyat ke dalam hati pangeran muda itu.
"Paman Wiku memang terlalu lembek, Yang Mulia," bisik Kunara Sancaka, suaranya halus seperti desiran ular, nyaris tanpa emosi. "Dunia ini dibangun atas dasar kekuasaan, bukan cuma omong kosong kebaikan."
Hembusan napas berat terhela dari Balaputeradewa. Perkataan Wiku Sasodara bagai guntur yang terus menggelegar di benaknya. Pengkhianatan, kekecewaan, hati yang beku… setiap tuduhan menikam ulu hatinya, walau ia tak mau mengakuinya. Ada secercah kepedihan yang menusuk, tapi langsung ia pendam dalam-dalam, menyisakannya dengan rasa perih yang justru berubah menjadi kebencian baru, sebuah determinasi yang lebih dingin.
"Kau pikir Paman Wiku enggak pernah ngajarin itu ke aku, Sancaka?" suara Balaputeradewa datar, namun ada nada berbahaya di dalamnya. "Tentu saja dia ngajarin aku soal artha dan kama, selain dharma dan moksha. Kekuasaan, kehormatan, nafsu... Itu semua bagian dari diri kita yang nyata, kan?"
Angin tipis berdesir melalui jendela yang terbuka, memainkan cahaya obor, seolah bernyanyi meratap untuk nyawa yang telah sirna. Darah yang telah mengering pada tumpuan kepala itu memantulkan kilau redup. Di balik gemerlap kemewahan dan intrik kekuasaan, tersimpan kegelapan yang tak terucap, seperti noda tinta pada lembaran putih. Kini, noda itu mulai menyebar, tak terhentikan.
"Tapi Paman Wiku enggak bakal setuju kalau aku minta darah, Yang Mulia," Kunara Sancaka berkata, perlahan mendekat. Setiap langkahnya tidak berisik, seperti bayangan yang bergerak. "Buat dia, hidup itu segalanya. Dunia ini cuma fatamorgana. Nah, kalau buat kita, beda. Tujuan kita jelas, kemenangan itu yang utama, harga mati apa pun risikonya."
Pandangan Balaputeradewa menelusuri sudut ruangan yang remang-remang, seolah mencari jawaban pada bayangan-bayangan yang menari. "Apa gunanya omong kosong spiritual Paman Wiku itu kalau akhirnya Kerajaan malah pecah cuma gara-gara enggak mau bertindak tegas? Percuma! Seorang pemimpin itu harus kuat, Sancaka. Ksatria harus beraksi, biar tangannya kotor berdarah-darah juga enggak masalah!" Suaranya meninggi, bergaung di ruang hampa. "Kita hidup di tengah kacau begini, wilayah dan pengaruh direbut sana-sini. Kekuasaan Raja itu bukan sesuatu yang bisa diminta baik-baik, harus direbut, dipertahankan, ditegakkan pakai besi dan api!" Ia melayangkan pandangannya pada Kunara, sorotnya membara. "Paman Wiku mungkin kecewa, tapi kerajaanku bakal melebar, luas sampai ke seluruh Nusantara, bahkan mungkin melintasi samudra. Pasti ada korban, iya, tapi pada akhirnya sejarah bakal nulis namaku sebagai penyelamat yang bangun tatanan baru!"
Kilatan ambisi yang gelap terpantul di mata Balaputeradewa, sebuah ambisi yang kini terasa seperti haus yang tak pernah terpuaskan. Bayangan Gurunya yang bijaksana tampak mengerdil, digantikan oleh kegelapan masa depan yang ia rancang sendiri. Harga dari visinya, darah dan air mata, adalah ongkos yang rela ia bayar.
"Para pembangkang enggak akan menyerah gitu aja, Yang Mulia," Kunara melanjutkan, menatap kepala Mpu Regdaya dengan acuh. "Paman Wiku, kan penasihat sekaligus kerabat Maharaja Samarattungga, bisa jadi masalah besar kalau dia mutusin buat ikut campur terlalu jauh. Bisik-bisik kebencian juga udah mulai kedengeran dari beberapa kerabat lain."
"Mereka semua itu serigala lapar, Sancaka, saling ngincer. Kita harus nunjukkin ke mereka siapa predator sejati di sini," ujar Balaputeradewa, suaranya kini kembali tenang, namun terasa lebih dingin, mematikan. "Wiku Sasodara enggak akan jadi penghalang. Hatinya itu lemah. Dan hati yang lemah itu enggak akan pernah bisa menang." Matanya tertuju pada sisa-sisa darah. "Ada hal lain yang bisa kita manfaatin dari Walaing?"
Aroma amis darah di udara kini tak lagi mengganggunya. Sebaliknya, Balaputeradewa merasa seperti ia telah menyeberangi ambang batas yang tak bisa lagi ditarik kembali. Jalan yang dipilihnya adalah jalan kekuasaan, dibentangkan di atas tumpukan janji yang dihancurkan dan darah yang mengering.
"Tentu saja ada, Yang Mulia," Kunara Sancaka membungkuk rendah, seringainya terlihat samar di bawah remang obor. "Kami nemuin beberapa gulungan kuno, sama peta-peta rahasia yang kayaknya bisa ngasih keuntungan buat kita. Konon Mpu Regdaya punya koneksi yang jauh, di luar Nusantara."
"Gulungan kuno sama peta, ya?" Balaputeradewa menggumam, pandangannya berubah menjadi perhitungan yang tajam. "Berarti Paman Regdaya menyembuyikan sesuatu. Apa lagi yang kalian temukan, yang bisa jadi penghubung? Pikirin lagi, Sancaka! Kita butuh lebih dari sekadar tanah ini, lebih dari desa Song ini!" Ia melangkah maju, menjulang di hadapan Kunara. "Siap-siap, Sancaka. Banyak mata yang lagi ngeliatin. Kita harus nunjukkin ke mereka siapa pewaris sah yang sebenarnya. Mulai dengan cari tahu gimana Mpu Regdaya komunikasi sama orang-orang luar itu. Apa pun yang dia temuin. Dan bunuh mereka semua kalau memang harus!"
Kata-kata terakhirnya menusuk udara, lebih tajam dari belati, lebih berat dari baja. Kunara Sancaka mengangguk, sorot matanya yang kosong menampakkan loyalitas yang buta dan tak tergoyahkan. Sementara itu, di kejauhan, gong malam berdentang pelan, mengiringi janji
Suasana di Poh Gading masih diselimuti ketegangan pasca-insiden panah yang nyaris merenggut nyawa Mpu Panukuh. Mpu Kumbayoni kini dirawat lukanya oleh Dyah Ayu Manohara di bilik bambu, menyisakan dua kakak beradik itu dalam keheningan yang canggung.Pangeran Talang Wisang (12 tahun), duduk di sudut, lututnya ditekuk erat ke dada. Senjata panahnya tergeletak jauh di lumpur, tempat ia melemparkannya. Meskipun adiknya, Mpu Panukuh (9 tahun), kini duduk di sebelahnya dengan tatapan mata polos, trauma itu menancap dalam di benak Talang Wisang. Air matanya jatuh dan tatapannya kosong."Maafkan aku, Dimas," bisik Talang Wisang, suaranya serak. Wajahnya yang biasanya ceria kini diliputi ketakutan. "Aku... aku hampir saja membunuhmu."Panukuh, yang memiliki Elemen Tanah yang tenang, menyentuh tangan kakaknya. "Tidak apa-apa, Kangmas. Sungguh. Anak panah itu meleset. Itu bukan salah Kangmas. Kita hanya sedang berlatih. Dan aku salah karena berdiri tepat di jalur sasaran itu" katanya sambil meng
Sejak malam penuh duka itu, ketika Mpu Kumbayoni menjadi sandaran kokoh bagi linangan air matanya yang tiada henti, Dyah Ayu Manohara menyadari betul bahwa hatinya kini dihinggapi oleh pusaran perasaan yang rumit. Rasa terima kasih yang dalam bercampur dengan kebingungan, seolah dinding kokoh yang selama ini membentengi kalbunya perlahan mulai retak. Di sisi lain, Mpu Kumbayoni, sosok agung yang selama ini menyimpan gejolak asmaranya rapat-rapat, kini kian tak kuasa membendung curahan cinta yang telah lama bersemi dan terpendam di kedalaman jiwanya untuk Dyah Ayu Manohara. Pancaran kekaguman dan damba yang ia simpan bagai bara dalam sekam, kini mulai memijar lebih terang, menuntut pengakuan yang jujur dari sanubarinya.Klimaks dari gejolak perasaan itu tak terelakkan. Pagi yang beranjak naik membawa mereka ke sebuah tempat latihan rahasia, tersembunyi di antara rimbun pepohonan Poh Gading yang menjulang. Di sana, Mpu Kumbayoni, dengan segala kewibawaan dan kepakarannya, tengah sibuk m
Dalam keraton megah Medang yang penuh ukiran dan semerbak dupa cendana, Srigunting menjejakkan kakinya dengan batin yang tak sepenuhnya lapang. Ia ditempatkan sebagai dayang istana yang bertugas di kediaman agung Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa.Kendati di sana ia disambut dengan perlakuan yang baik, disajikan aneka santapan lezat, dan dikelilingi oleh kemewahan kain sutra serta perhiasan keemasan—sebuah status yang ironisnya dijuluki sebagai tawanan 'kaya'—jiwanya tak sedikit pun merasa bebas. Ia tetaplah seorang tawanan, terputus dari akar kebebasan, terasing dari pangkuan keluarga yang kini tercerai-berai. Istana yang megah itu menjelma sangkar emas baginya, membalut raganya dengan kenyamanan palsu sembari mengekang jiwanya yang mendamba kemerdekaan.Beberapa waktu berselang, dalam balutan rembulan yang enggan menampakkan diri, Srigunting mendapati kesempatan untuk menyambangi kakaknya, Mayang Salewang, di kasatrian. Hatinya dipenuhi oleh kegelisahan yang menggunung, terp
Di Poh Gading, kehidupan mengalir dalam ritme yang berbeda, jauh dari intrik keraton Jentra Kenanga yang rumit dan penuh bayang-bayang kuasa. Malam itu, kesunyian mendalam memeluk lembah perbukitan, diiringi hawa dingin yang mulai menusuk tulang, mengisyaratkan larutnya waktu. Namun, kesederhanaan tersebut tidaklah berarti kekosongan; ia menyimpan gejolak dan tekad yang kuat.Di tengah pelataran bersih, bersila di hadapan kobaran api kecil yang menari-nari, Mpu Kumbayoni tampak khusyuk. Pijar kemerahan memantulkan bayangan di wajahnya yang tampan dan serius, penuh konsentrasi. Dengan sepenuh jiwa, ia melaksanakan ritual Yadnya, sebuah persembahan agung kepada Agni, Dewa Api, memanjatkan doa-doa yang tulus demi keselamatan Wangsa Sanjaya, bangsanya. Dalam fokusnya, terukir ketulusan yang murni dan beban besar yang terpikul di pundaknya.Dari kejauhan, Dyah Ayu Manohara memperhatikan setiap gerak-gerik pria gagah itu. Wanita itu terbalut kain tipis, menjaga dirinya dari sentuhan angin m
Bulan purnama yang samar menyelinap di antara celah dedaunan Poh Gading, menorehkan bayangan menari di tanah hutan yang lembap. Malam itu, di antara kesenyapan alam yang biasanya tenang, ada denyutan kewaspadaan yang berbeda. Sriti, prajurit Sanditaraparan kepercayaan Pangeran Balaputeradewa, bergerak melesat lincah di balik rimbun semak, matanya yang tajam memindai setiap jengkal area di sekitar bukit Poh Gading.Tugasnya jelas: melacak keberadaan Mpu Kumbayoni dan para pangeran muda yang kini menyepi, memastikan mereka tidak berencana melakukan tindakan yang melenceng dari titah Pangeran Balaputeradewa. Gerakannya begitu halus, nyaris tak bersuara, hanya derak kecil ranting sesekali yang mengkhianati kehadirannya, dan itu pun sudah terlatih untuk membaur sempurna dengan irama malam.Namun, hutan itu tidaklah sepi dari mata pengawas lainnya. Di puncak pohon beringin purba yang menjulang tinggi, Panglima Jentra Kenanga sudah bertengger manis, menyatu dengan kegelapan cabang-cabang rak
Di dalam benteng tersembunyi Poh Gading, ritme pelatihan kanuragan yang keras bergema tanpa henti, memecah kesunyian hutan yang lebat. Mpu Kumbayoni, dengan disiplinnya yang tak tergoyahkan, tak pernah berhenti menempa para muridnya, menyiratkan masa depan penuh pertempuran yang tak terhindarkan. Setiap ayunan pedang yang memekakkan telinga, setiap mantra yang diucapkan dengan deru amarah, seolah beradu dengan nurani Pangeran Talang Wisang, yang meskipun fisik remajanya kuat, batinnya terombang-ambing.Talang Wisang, keponakan kandung Mpu Kumbayoni dan pewaris murni Elemen Api yang dahsyat, adalah murid yang paling menonjol secara silsilah. Namun, di antara semua yang diajar, justru ia yang menunjukkan resistensi paling unik dan tak terduga terhadap ajaran Tantra Bairawa yang ditekankan pamannya. Matanya memancarkan gairah yang berbeda, bukan hasrat membara untuk kekuatan atau penaklukkan yang diajarkan oleh sekte tersebut."Pangeran," suara Mpu Kumbayoni pernah menggelegar suatu pagi







