Share

Bab 8 : Racun Sang Ular

Penulis: Alexa Ayang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 15:07:37

Keheningan menggantung tebal seperti kain beludru di kasatriyan Balaputeradewa setelah kepergian Wiku Sasodara yang dipenuhi air mata dan kemarahan. Hanya napas Balaputeradewa yang tersengal dan desiran samar kain jubah Kunara Sancaka yang memecah kesunyian mematikan. Pangeran muda itu masih berdiri mematung di tengah ruangan, pandangannya terpaku pada sekerat kepala Mpu Regdaya yang tergeletak di hadapannya, bukti kejam dari ambisinya. Wajah Balaputeradewa memancarkan topeng beku yang sulit ditebak, namun sorot matanya yang kosong menampakkan kekosongan tak terhingga. Ada sedikit penyesalan atas perintah terakhir yang diberikannya pada Kunara Sancaka. Namun, seperti biasa, kelicikan Kunara justru berupaya menaburkan racun yang lebih dahsyat ke dalam hati pangeran muda itu.

"Paman Wiku memang terlalu lembek, Yang Mulia," bisik Kunara Sancaka, suaranya halus seperti desiran ular, nyaris tanpa emosi. "Dunia ini dibangun atas dasar kekuasaan, bukan cuma omong kosong kebaikan."

Hembusan napas berat terhela dari Balaputeradewa. Perkataan Wiku Sasodara bagai guntur yang terus menggelegar di benaknya. Pengkhianatan, kekecewaan, hati yang beku… setiap tuduhan menikam ulu hatinya, walau ia tak mau mengakuinya. Ada secercah kepedihan yang menusuk, tapi langsung ia pendam dalam-dalam, menyisakannya dengan rasa perih yang justru berubah menjadi kebencian baru, sebuah determinasi yang lebih dingin.

"Kau pikir Paman Wiku enggak pernah ngajarin itu ke aku, Sancaka?" suara Balaputeradewa datar, namun ada nada berbahaya di dalamnya. "Tentu saja dia ngajarin aku soal artha dan kama, selain dharma dan moksha. Kekuasaan, kehormatan, nafsu... Itu semua bagian dari diri kita yang nyata, kan?"

Angin tipis berdesir melalui jendela yang terbuka, memainkan cahaya obor, seolah bernyanyi meratap untuk nyawa yang telah sirna. Darah yang telah mengering pada tumpuan kepala itu memantulkan kilau redup. Di balik gemerlap kemewahan dan intrik kekuasaan, tersimpan kegelapan yang tak terucap, seperti noda tinta pada lembaran putih. Kini, noda itu mulai menyebar, tak terhentikan.

"Tapi Paman Wiku enggak bakal setuju kalau aku minta darah, Yang Mulia," Kunara Sancaka berkata, perlahan mendekat. Setiap langkahnya tidak berisik, seperti bayangan yang bergerak. "Buat dia, hidup itu segalanya. Dunia ini cuma fatamorgana. Nah, kalau buat kita, beda. Tujuan kita jelas, kemenangan itu yang utama, harga mati apa pun risikonya."

Pandangan Balaputeradewa menelusuri sudut ruangan yang remang-remang, seolah mencari jawaban pada bayangan-bayangan yang menari. "Apa gunanya omong kosong spiritual Paman Wiku itu kalau akhirnya Kerajaan malah pecah cuma gara-gara enggak mau bertindak tegas? Percuma! Seorang pemimpin itu harus kuat, Sancaka. Ksatria harus beraksi, biar tangannya kotor berdarah-darah juga enggak masalah!" Suaranya meninggi, bergaung di ruang hampa. "Kita hidup di tengah kacau begini, wilayah dan pengaruh direbut sana-sini. Kekuasaan Raja itu bukan sesuatu yang bisa diminta baik-baik, harus direbut, dipertahankan, ditegakkan pakai besi dan api!" Ia melayangkan pandangannya pada Kunara, sorotnya membara. "Paman Wiku mungkin kecewa, tapi kerajaanku bakal melebar, luas sampai ke seluruh Nusantara, bahkan mungkin melintasi samudra. Pasti ada korban, iya, tapi pada akhirnya sejarah bakal nulis namaku sebagai penyelamat yang bangun tatanan baru!"

Kilatan ambisi yang gelap terpantul di mata Balaputeradewa, sebuah ambisi yang kini terasa seperti haus yang tak pernah terpuaskan. Bayangan Gurunya yang bijaksana tampak mengerdil, digantikan oleh kegelapan masa depan yang ia rancang sendiri. Harga dari visinya, darah dan air mata, adalah ongkos yang rela ia bayar.

"Para pembangkang enggak akan menyerah gitu aja, Yang Mulia," Kunara melanjutkan, menatap kepala Mpu Regdaya dengan acuh. "Paman Wiku, kan penasihat sekaligus kerabat Maharaja Samarattungga, bisa jadi masalah besar kalau dia mutusin buat ikut campur terlalu jauh. Bisik-bisik kebencian juga udah mulai kedengeran dari beberapa kerabat lain."

"Mereka semua itu serigala lapar, Sancaka, saling ngincer. Kita harus nunjukkin ke mereka siapa predator sejati di sini," ujar Balaputeradewa, suaranya kini kembali tenang, namun terasa lebih dingin, mematikan. "Wiku Sasodara enggak akan jadi penghalang. Hatinya itu lemah. Dan hati yang lemah itu enggak akan pernah bisa menang." Matanya tertuju pada sisa-sisa darah. "Ada hal lain yang bisa kita manfaatin dari Walaing?"

Aroma amis darah di udara kini tak lagi mengganggunya. Sebaliknya, Balaputeradewa merasa seperti ia telah menyeberangi ambang batas yang tak bisa lagi ditarik kembali. Jalan yang dipilihnya adalah jalan kekuasaan, dibentangkan di atas tumpukan janji yang dihancurkan dan darah yang mengering.

"Tentu saja ada, Yang Mulia," Kunara Sancaka membungkuk rendah, seringainya terlihat samar di bawah remang obor. "Kami nemuin beberapa gulungan kuno, sama peta-peta rahasia yang kayaknya bisa ngasih keuntungan buat kita. Konon Mpu Regdaya punya koneksi yang jauh, di luar Nusantara."

"Gulungan kuno sama peta, ya?" Balaputeradewa menggumam, pandangannya berubah menjadi perhitungan yang tajam. "Berarti Paman Regdaya menyembuyikan sesuatu. Apa lagi yang kalian temukan, yang bisa jadi penghubung? Pikirin lagi, Sancaka! Kita butuh lebih dari sekadar tanah ini, lebih dari desa Song ini!" Ia melangkah maju, menjulang di hadapan Kunara. "Siap-siap, Sancaka. Banyak mata yang lagi ngeliatin. Kita harus nunjukkin ke mereka siapa pewaris sah yang sebenarnya. Mulai dengan cari tahu gimana Mpu Regdaya komunikasi sama orang-orang luar itu. Apa pun yang dia temuin. Dan bunuh mereka semua kalau memang harus!"

Kata-kata terakhirnya menusuk udara, lebih tajam dari belati, lebih berat dari baja. Kunara Sancaka mengangguk, sorot matanya yang kosong menampakkan loyalitas yang buta dan tak tergoyahkan. Sementara itu, di kejauhan, gong malam berdentang pelan, mengiringi janji

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 21 Perintah Yang Memilukan

    Sinar keemasan senja menembus ukiran jati yang rumit, menciptakan bayangan panjang di ruang pribadi Pangeran. Balaputeradewa, putra mahkota Dinasti Syailendra, bersemayam di dipan bertahtakan emas, diapit aneka hidangan buah dan penganan mewah. Di hadapannya, Jentra, seorang punggawa setia, bersimpuh dengan kepala tertunduk. Suasana, kendati opulent, mengesankan ketegangan tersembunyi."Jentra," suara Balaputeradewa memecah keheningan, renyah laksana gigitan buah pisang raja yang kini ia santap. "Ada titah agung. Sebuah tugas yang akan menguji loyalitas dan keteguhan batinmu hingga batas terkahir."Jentra mengangkat wajahnya sedikit. "Ampun Gusti Pangeran. Hamba siap sedia melaksanakan segala kehendakmu."Senyuman tipis terukir di bibir Balaputeradewa, namun tatap matanya memancarkan ketegasan yang dingin dan tak terbantahkan. "Kau harus membakar Wanua Song Banyu."Kalimat dingin itu meluncur laksana petir. Jentra terperanjat, tubuhnya seolah dilanda badai hebat. Gambaran desa terbaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 20 Berita dalam Desiran Angin

    Angin sore dari perbukitan kapur berhembus perlahan, menyelimuti dua siluet yang mematung di balik rimbun semak, mengawasi lembah di bawah dengan seksama. Di tengah lapangan berlumpur, Mpu Kumbhayoni memimpin adiknya dan sejumlah pemuda Walaing dalam meringkus Perampok dari Pengging itu dengan penuh semangat, denting bilah pedang bambu dan sorakan riuh mengalir bersama angin. Rukma menoleh ke arah Jentra, rekannya yang wajahnya tertutup topeng beruk."Kakang Jentra," Rukma memecah keheningan. "Bagaimana pandangan Kakang tentang ini? Bukankah apa yang mereka lakukan jelas-jelas melanggar ketentuan negara? Seorang Rakai tidak diperkenankan memiliki pasukan sendiri. Namun, lihatlah, Mpu Kumbhayoni secara terang-terangan memobilisasi warga sipil dan melatihnya sebagai prajurit. Ini adalah tindakan insubordinasi yang kentara, melangkahi batas-batas yang ditetapkan istana."Jentra menghela napas, pandangannya tak lepas dari adegan di bawah. "Rukma," mulainya, nadanya sarat empati namun juga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 19 Pertarungan Api dan Tanah

    Sentuhan itu bak disambar petir yang membara. Jemari Mayang Salewang seolah melayangkan tamparan api ketika menepis tangan Arya Rontal yang nekat menyentuhnya. Rasanya begitu panas, begitu mendidih, sampai-sampai Arya harus meloncat mundur secepat kilat, nyaris terpeleset bebatuan licin di tanah basah itu. Mata Arya Rontal, yang baru berusia tiga puluhan, membulat kaget. Pandangan angkuhnya seketika luntur, terganti tatapan tak percaya pada Mayang yang kini berdiri tegak di samping Sri Gunting, dengan gestur tenang seolah tak terjadi apa-apa."Api…" gumam Arya, suaranya tercekat. Matanya melebar penuh rasa takjub sekaligus ngeri. "Pengendali api!"Wajahnya mendadak tegang. Arya menoleh cepat ke arah Klarang, adiknya seperguruan dan sepupunya, yang sejak tadi hanya melihat adegan itu dengan tatapan remeh. Kini Klarang, pemuda dua puluh delapan tahun itu, mulai menampakkan mimik datar."Kau harus hati-hati, Adhi Klarang," ucap Arya, nada suaranya berubah serius, sarat akan peringatan. "

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 18 Jebakan Sutra

    Senyap yang mendominasi pagi di ufuk timur Perlahan terkoyak oleh kemunculan sinar surya yang menelusup celah-celah daun bambu dan rimbunnya hutan jati, menciptakan mosaik cahaya di atas tanah berdebu. Di antara kerimbunan tersebut, pasukan Mpu Kumbhayoni telah menyebar dan menyembunyikan diri, bergeming layaknya batu padas yang tak tergoyahkan, sanubari mereka terasah tajam, menanti aba-aba. Mayang Salewang dan adiknya, Sri Gunting, memainkan peran mereka dengan sempurna, mengenakan pakaian sederhana laksana wanita dusun pada umumnya, berpura-pura sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Keranjang rumput mereka teronggok di sisi jalan setapak yang biasa dilalui, seolah menanti terisi penuh oleh rezeki pagi.Tiba-tiba, Mayang Salewang merasakan getaran samar pada bumi di bawah telapak kakinya, getaran itu merambat naik, perlahan menguat menjadi denyut ritmis yang menandakan ada sekumpulan penunggang kuda dalam jumlah besar yang sedang bergerak menuju arah mereka. Bola matanya melirik

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 17 Jerat Sang Mpu

    Udara dingin subuh masih menggantung tipis di celah hutan Jati, menyelimuti tim Mpu Kumbhayoni yang bergerak tanpa suara. Kabut tipis memantulkan cahaya perak dari bulan sabit yang mulai redup, seolah enggan menampakkan diri. Mereka sudah bersiap sejak malam, meletakkan umpan dan menyusun perangkap di jalur yang diprediksi akan dilewati kawanan perampok Arya Rontal. Megarana yang paling jangkung di antara mereka, berlutut mengamati jejak kaki yang samar."Kau yakin mereka lewat sini?" tanya Mpu Kumbhayoni dengan suara rendah, menepuk bahu Megarana. Matanya tajam, menyapu sekeliling, memastikan tidak ada halangan atau mata-mata yang mengawasi.Megarana mengangguk mantap. "Ya, Gusti. Dari pola patroli terakhir mereka, jalur ini adalah pilihan terbaik untuk lewat cepat. Mereka suka buru-buru, cari rute yang bersih dari warga.""Bagus," Mpu Kumbhayoni berbisik, membalas anggukan itu. "Kalau begitu, mari kita pasang jaringnya. Hati-hati, jangan sampai ada benang yang menonjol."Tim bergera

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 16 Informasi Mengejutkan

    Ruangan pribadi Mpu Kumbhayoni malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, padahal belasan obor kecil sudah dinyalakan di dinding. Hawa dingin dari luar justru tidak sanggup menembus aura panas di antara mereka. Mayang Salewang, dengan tangannya yang sibuk merapikan gulungan peta lama di meja, melirik ke arah Megarana. Raut wajah penyelidik itu jelas tidak bisa dibilang tenang, ada kekesalan bercampur kebingungan yang kentara. Mpu Kumbhayoni sendiri bersandar pada kursi kebesarannya, pandangannya tajam mengarah ke Megarana. Laturana berdiri agak di belakang Megarana, sementara Sri Gunting menyilangkan tangan di depan dada, mendengarkan seksama.“Baik, Megarana,” Mpu Kumbhayoni akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar berat, “aku mau dengar semuanya. Penyelidikan terakhir kalian itu akhirnya membawa hasil apa?”Megarana menarik napas panjang, sedikit membuang pandangan, seolah sulit menyampaikan kabar yang akan keluar dari mulutnya. “Penyelidikan terakhir kita udah selesai, Gust

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status