*Tiga hari berlalu.*
Lembah di mana monolit berdiri kini berubah menjadi tanah suci yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Sejak Laras dan Alric membuka ingatan masa lalu, langit di atas lembah itu selalu merah saat senja. Tidak gelap… tapi juga tidak damai. Senara duduk di tepi bukit, matanya tak lepas dari awan-awan aneh yang berputar di utara. “Sesaat setelah cinta kalian terbuka, mereka langsung kirim pasukan. Kayak mereka takut sesuatu bangkit.” Laras menatap tanah lembah. “Mereka tahu. Cinta ini bukan cuma kekuatan. Ini kunci.” Alric muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. “Aku baru kembali dari desa sebelah. Mereka juga dapat mimpi buruk.” Laras mengernyit. “Mimpi?” Alric mengangguk. “Tentang sosok tinggi… bermata merah… dan membawa rantai dari tulang.” Senara berdiri cepat. “Itu bukan mimpi. Itu *Bayangan Penjaga*. Dia cuma muncul kalau batas antara dunia lama dan dunia sekarang mulai runtuh.” Laras menatap Alric dengan ngeri. “Maksudmu... kita nggak cuma buka sejarah. Kita juga buka jalan?” Alric terdiam. Tapi tatapan matanya memberi jawaban: *ya.* Tiba-tiba, tanah bergetar pelan. Burung-burung terbang ke langit. Awan di utara berputar lebih cepat. Dan dari balik hutan... *DENTANG... DENTANG... DENTANG...* Suara rantai diseret, berat, dan penuh amarah. Laras berbisik, “Dia datang.” Alric berdiri di sampingnya. “Dan kita tidak bisa mundur lagi.” Kabut mulai turun dari perbukitan, lebih tebal dari biasanya, dan suhunya turun drastis. Padahal masih sore, tapi langit sudah tampak seperti menjelang malam. Dari jauh, suara hewan-hewan hutan lenyap seketika, menyisakan keheningan yang menyesakkan. Laras menggenggam pergelangan tangan Alric erat. “Aku bisa rasakan energi itu. Dingin… seperti kematian.” Alric mengangguk, napasnya berat. “Ini bukan musuh biasa. Ini… penyeimbang. Dunia selalu kirim ‘penjaga’ kalau batas antara cinta dan kutukan mulai kabur.” Senara mengeluarkan anak panah dari tabung punggungnya. “Kita nggak bisa lawan ini dengan kekuatan doang. Butuh rencana.” Tiba-tiba, tanah di depan mereka retak, dan dari dalamnya muncul *sesosok makhluk tinggi*, berkulit seputih tulang, tubuhnya dililit rantai, wajahnya tanpa mata—hanya rongga kosong dan senyum mengerikan yang terkunci permanen. *Bayangan Penjaga.* Suaranya tidak terdengar lewat mulut, tapi langsung masuk ke kepala mereka: “Cinta yang dibangkitkan melawan hukum lama. Maka salah satu dari kalian harus hilang.” Laras melangkah maju, berdiri di hadapan makhluk itu. “Cinta ini bukan untuk dihukum. Ini untuk diperjuangkan.” Bayangan Penjaga mengangkat satu rantainya. Tanah di sekitarnya meleleh, dan *bayang-bayang lain muncul dari balik pepohonan* — tiruan-tiruan makhluk dari masa lalu: vampir haus darah, manusia yang terbakar dendam, dan roh-roh pengkhianat cinta. Senara mundur setengah langkah. “Ini udah lebih dari perang cinta. Ini perang kepercayaan.” Laras menoleh ke Alric. “Apa pun yang terjadi... jangan pilih aku, kalau dunia suruh pilih.” Alric menatapnya tajam. “Dunia bisa hancur. Aku cuma pilih kamu.” *Pertarungan dimulai.* Bayangan Penjaga mengangkat rantai tulangnya ke langit. Dalam sekejap, tanah di sekitar lembah retak membentuk lingkaran gelap yang mengurung Laras, Alric, dan Senara. Di dalamnya, waktu terasa melambat, dan udara berbau besi dan abu. Bayang-bayang dari masa lalu mulai menyerang. Mereka bergerak seperti ilusi, tapi setiap luka yang mereka tinggalkan *terasa nyata.* Senara menyerang lebih dulu, panahnya menembus satu bayangan vampir, tapi makhluk itu menghilang dan muncul di belakangnya. Laras melompat dan membuat perisai darah, menyelamatkan Senara tepat waktu. “Ini bukan pertarungan fisik,” teriak Laras. “Mereka menyerang melalui kenangan dan rasa takut!” Seketika, Alric membeku di tempatnya. Di hadapannya, muncul sosok wanita tua—*ibunya sendiri*, yang pernah dibakar hidup-hidup oleh warga manusia karena menyembunyikan anak vampir. “Kau bawa kutukan, Alric,” suara ibunya menggema. “Dan sekarang kau tularkan pada dia.” Alric memejamkan mata, giginya terkatup kuat. Tapi tangan Laras menggenggam wajahnya, memaksanya melihat ke depan. “Buka matamu! Kamu bukan kutukan, Alric. Kamu adalah kunci.” Matanya terbuka. Sosok sang ibu lenyap dalam asap. Alric menarik napas panjang, lalu mengangkat tangannya—dari dalam tubuhnya muncul *cahaya putih keperakan*, kekuatan kuno yang selama ini ia segel: *darah pertama vampir murni.* Senara menoleh kaget. “Kau... kau belum pernah keluarkan itu sebelumnya.” “Aku belum pernah percaya kalau aku pantas memakainya,” jawab Alric, tenang. Sementara itu, Laras mulai merasakan panas di dadanya. Dari dalam tubuhnya, *simbol lingkaran api* muncul di kulitnya, berputar dan menyala terang. “Mereka nggak tahu,” katanya lirih. “Kalau cinta yang disakiti... bisa lebih kuat dari cinta yang dijaga.” Bersama, Laras dan Alric berdiri di tengah lingkaran itu, membelakangi satu sama lain. Bayangan-bayangan mengelilingi mereka, tapi seolah dunia berhenti saat kekuatan keduanya menyatu. Alric berkata, “Kalau dunia takut pada cinta ini… kita beri mereka alasan yang nyata.” Laras menjawab, “Bukan untuk membalas. Tapi untuk membebaskan.” *Lalu mereka melepaskan energi gabungan—darah dan cahaya, panas dan dingin, rasa sakit dan harapan.* Seketika semua bayangan musnah, waktu kembali berjalan normal, dan tanah lembah kembali utuh. Namun, *Bayangan Penjaga* belum hilang. Ia masih berdiri, tubuhnya perlahan retak, rantai di tubuhnya terlepas satu per satu. Suaranya kembali menggema di kepala mereka: “Kalian… mungkin adalah cinta terakhir. Tapi cinta terakhir, selalu yang paling berat ujiannya.” Ia pun lenyap dalam semburat cahaya kelabu. Laras terduduk, kelelahan. Alric memegang bahunya. Senara berdiri di kejauhan, napas memburu. “Baru Bab Sepuluh, dan dunia udah segila ini…” katanya pelan. Laras tersenyum miris. “Dan kita masih belum sampai ke inti semuanya.” Setelah Bayangan Penjaga lenyap, langit perlahan kembali cerah. Tapi bukan cerah yang menenangkan—melainkan *tenang yang mencurigakan*. Langit berubah menjadi biru pucat, dan angin tak lagi terasa alami. Laras memejamkan mata, mencoba meresapi ketenangan itu, tapi tubuhnya terasa bergetar pelan. “Rasanya… kayak ditonton,” bisiknya. Senara menajamkan pendengaran. “Bukan cuma kamu. Ada sesuatu—atau *seseorang*—yang mengamati dari jauh.” Alric menatap lembah yang kini sunyi. Monolit yang dulu berdenyut kini mengeras, menjadi batu mati. Tapi di dasarnya, mereka menemukan *ukiran baru*: lambang dua hati terbelah, dengan tulisan kuno berbunyi: “Yang mengikat cinta bukan rasa, tapi pengorbanan.” Laras mengusap ukiran itu. “Kayak... peringatan.” Malam pun datang cepat. Mereka memutuskan bermalam di batas hutan, menyalakan api kecil untuk kehangatan. Tapi ketenangan itu cepat terpecah, saat *Senara tiba-tiba berdiri dan menarik belatinya.* “Ssst… dengar.” Dari balik gelap, muncul siluet seseorang. Rambut panjang, langkah ringan, tapi penuh kepastian. Saat ia mendekat, cahaya api menampakkan wajahnya— *Seorang wanita. Cantik. Mata abu-abu, senyum tipis, dan... kalung berukir nama Laras.* Alric berdiri. “Siapa kamu?” Wanita itu tidak menjawab. Ia menatap Laras lama, lalu berkata: “Kamu bukan satu-satunya yang membawa darah warisan.” Laras menegang. “Apa maksudmu?” Wanita itu mendekat selangkah. “Namaku Kalindra. Dan aku... adalah saudara tirimu.” Keheningan jatuh seketika. Laras menatapnya tajam. “Aku anak tunggal.” Kalindra tertawa kecil, dingin. “Kamu pikir cinta dan kutukan dimulai dari kamu? Tidak, Laras. Kita berdua adalah hasil dari cinta yang dilarang. Hanya saja... aku dibuang, dan kamu dipilih.” Senara refleks berdiri di antara mereka. “Apa tujuanmu datang?” Kalindra menatap Alric. “Menyelamatkan dia. Sebelum cinta kalian menghancurkan dua dunia.” Alric mendekat. “Kalau kamu datang untuk pisahkan kami, itu nggak akan berhasil.” Kalindra menghela napas. “Aku tidak ingin memisahkan. Aku ingin... menggantikanmu, Laras. Karena hanya salah satu dari kita yang bisa membuka *Gerbang Darah Murni.*” Laras menyipitkan mata. “Kamu mau mengambil tempatku?” Kalindra tersenyum. “Bukan mengambil. *Mengklaim.* Aku dilahirkan lebih dulu, Laras. Darahku... lebih tua darimu.” Laras perlahan berdiri. “Tapi aku yang cinta ini pilih.” Kalindra menatapnya tajam. “Cinta itu buta. Tapi darah... selalu tahu siapa pewaris yang sebenarnya.” Api unggun mendesis, angin berputar. Alric dan Senara siap bertindak, tapi Kalindra hanya berkata: “Kalian punya waktu sampai bulan merah penuh. Setelah itu, hanya satu dari kita yang bisa melangkah ke pintu terakhir.” Lalu ia menghilang ke kegelapan, seolah tidak pernah datang. Laras menggenggam tangan Alric erat, matanya bergetar. “Bukan dunia saja yang melawan cinta ini... tapi darahku sendiri.” Alric menatapnya, yakin. “Dan kita hadapi semuanya. Sama-sama.”Hujan turun deras di perbukitan tempat Laras dan yang lain bersembunyi. Tapi bukan hujan biasa—tetesannya berwarna gelap, seperti darah yang menipis di udara. Langit diselimuti awan merah, tanda bahwa *bulan darah* sebentar lagi akan muncul.Laras berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang akan menjadi medan perang.“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya Alric, berdiri di sampingnya.“Kalindra akan buka gerbang penuh di sini,” jawab Laras. “Tempat pertama kali leluhur kita mengikat perjanjian darah.”Senara datang sambil membawa peta kuno. “Ada jalur masuk tersembunyi dari utara. Kita bisa gunakan itu untuk menyusup sebelum ritual dimulai.”Laras menatap ke arah kabut yang menggantung tebal. *Malam ini bukan hanya pertarungan darah—ini pertarungan pilihan.*“Aku tidak akan menyerah, Alric. Meski dia ayahku. Meski yang harus aku lawan adalah bagian dari diriku sendiri.”Alric menggenggam tangannya erat. “Dan aku tidak akan melepaskanmu. Meski dunia memaksa.”Kabut tebal menggulung per
*Tiga hari setelah kemunculan Kalindra.*Langit tak pernah lagi biru sepenuhnya. Ada semburat merah samar setiap pagi, seolah dunia sedang menahan napas. Desa terdekat mulai merasakan ketegangan: ladang gagal panen, ternak mati tanpa sebab, dan mimpi buruk menjangkiti anak-anak.Laras duduk di tepi danau kecil di dekat hutan. Airnya memantulkan wajahnya—tapi kali ini, bayangannya bukan miliknya sendiri. Itu *Kalindra*, menatap balik dari permukaan air, tersenyum tenang.Laras memukul air itu dengan tangannya, gemetar. “Aku nggak akan kalah... walaupun darah kita sama.”Dari belakang, Alric datang diam-diam dan duduk di sampingnya. “Kalau dia memang bagian dari warisan yang sama, mungkin kita perlu tahu lebih banyak soal masa lalu keluargamu.”Laras menoleh. “Aku nggak tahu siapa ibuku. Ayahku meninggal sebelum sempat cerita.”Alric mengeluarkan sebuah gulungan tua dari jubahnya. “Aku menemukan ini di perpustakaan bawah kuil vampir tua di utara. Isinya... tentang *Perjanjian Da
*Tiga hari berlalu.* Lembah di mana monolit berdiri kini berubah menjadi tanah suci yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Sejak Laras dan Alric membuka ingatan masa lalu, langit di atas lembah itu selalu merah saat senja. Tidak gelap… tapi juga tidak damai. Senara duduk di tepi bukit, matanya tak lepas dari awan-awan aneh yang berputar di utara. “Sesaat setelah cinta kalian terbuka, mereka langsung kirim pasukan. Kayak mereka takut sesuatu bangkit.” Laras menatap tanah lembah. “Mereka tahu. Cinta ini bukan cuma kekuatan. Ini kunci.” Alric muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. “Aku baru kembali dari desa sebelah. Mereka juga dapat mimpi buruk.” Laras mengernyit. “Mimpi?” Alric mengangguk. “Tentang sosok tinggi… bermata merah… dan membawa rantai dari tulang.” Senara berdiri cepat. “Itu bukan mimpi. Itu *Bayangan Penjaga*. Dia cuma muncul kalau batas antara dunia lama dan dunia sekarang mulai runtuh.” Laras menatap Alric dengan ngeri. “Maksudmu... kita nggak cuma
Desa telah sepi. Bukan karena penduduknya pergi—tapi karena semua orang kini hidup dalam *diam dan ketakutan*. Setelah ledakan energi dari pertarungan kemarin, banyak yang percaya bumi itu sendiri mulai menolak keberadaan Laras dan Alric. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri desa, bahu membahu. Tapi tidak semua mata memandang mereka dengan rasa hormat. Beberapa memandang dengan waspada… bahkan curiga. “Aku mulai merasa asing di tempat ini,” kata Alric pelan. Laras menggenggam tangannya. “Kita tak butuh pengakuan mereka. Kita butuh waktu. Dan kamu.” Namun belum sempat langkah mereka jauh, seseorang menghadang mereka di tengah jalan—*kepala penjaga desa*, tua, berjubah coklat tanah, dengan wajah keras. “Kalian membawa kutukan ke tanah ini,” katanya datar. “Langit berubah. Binatang di hutan pergi. Dan orang-orang mulai bermimpi buruk setiap malam.” “Kami sedang melawan kekuatan yang lebih besar,” jawab Laras, menahan emosi. “Masalahnya,” lanjut sang penjaga, “kalian bukan lag
Pagi menyelimuti hutan dengan kabut tipis. Tapi tidak ada damai di dalamnya—*hutan itu sunyi karena takut.* Langkah Laras pelan tapi pasti. Di belakangnya, Senara mengikuti dengan mata penuh tanda tanya. Aura emas darah Laras belum mereda sepenuhnya. Ia seperti menyimpan *api dalam diam*—tidak membakar, tapi siap meledak kapan saja. "Ke mana kita sekarang?" tanya Senara. "Ke Alric," jawab Laras singkat. Mereka melintasi jalur tanah yang telah berubah bentuk. Bekas pertempuran semalam masih terlihat. Pohon-pohon patah, tanah hangus, dan... *darah*. Banyak darah. Tapi tidak ada tubuh. Hanya kehancuran. Laras berhenti di tengah lapangan kecil di tepi sungai. Di sana, berdiri sosok yang dikenalnya.Alric. Ia berdiri diam, punggung menghadap Laras, tubuhnya berlumur luka kering. Tapi ada yang aneh. Aura di sekelilingnya berbeda. Terlalu tenang. Terlalu... kosong. "Alric!" Laras berlari mendekat. Saat pria itu menoleh, Laras langsung terdiam. Mata Alric tak lagi berwarna emas—melai
Malam itu sunyi, tapi tidak damai.Desa masih berbau asap dan darah. Banyak rumah hancur sebagian, dan tanah di luar pagar penuh bekas luka — bukan luka biasa, tapi *luka yang tidak akan sembuh* karena ditinggalkan oleh makhluk kegelapan.Laras duduk di samping Alric yang masih terbaring. Tubuhnya mulai pulih, tapi napasnya belum stabil.“Kau seharusnya tidak menahan sabit itu sendiri,” bisik Laras.Alric membuka mata pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku sudah pernah kehilangan orang yang kucintai sekali. Aku tidak akan ulangi itu lagi.”Laras menggenggam tangannya. “Aku juga tidak ingin kehilangan kamu.”Di luar, Senara berdiri menatap langit dari atas menara kayu.“Perang ini belum selesai,” gumamnya. “Mereka mundur bukan karena kalah… tapi karena puas. Sekarang mereka tahu seberapa kuat Laras.”Dari balik pepohonan, bayangan kecil menyelinap, bergerak pelan. Seperti… *mengintai*.Senara menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Tapi udara terasa lebih dingin. Dan di atas