Beranda / Young Adult / Bayang di Balik Kabut / BAB 10: Bayangan Yang Bangkit

Share

BAB 10: Bayangan Yang Bangkit

Penulis: khobir
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-04 12:16:54

*Tiga hari berlalu.*

Lembah di mana monolit berdiri kini berubah menjadi tanah suci yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Sejak Laras dan Alric membuka ingatan masa lalu, langit di atas lembah itu selalu merah saat senja. Tidak gelap… tapi juga tidak damai.

Senara duduk di tepi bukit, matanya tak lepas dari awan-awan aneh yang berputar di utara.

“Sesaat setelah cinta kalian terbuka, mereka langsung kirim pasukan. Kayak mereka takut sesuatu bangkit.”

Laras menatap tanah lembah. “Mereka tahu. Cinta ini bukan cuma kekuatan. Ini kunci.”

Alric muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. “Aku baru kembali dari desa sebelah. Mereka juga dapat mimpi buruk.”

Laras mengernyit. “Mimpi?”

Alric mengangguk. “Tentang sosok tinggi… bermata merah… dan membawa rantai dari tulang.”

Senara berdiri cepat. “Itu bukan mimpi. Itu *Bayangan Penjaga*. Dia cuma muncul kalau batas antara dunia lama dan dunia sekarang mulai runtuh.”

Laras menatap Alric dengan ngeri. “Maksudmu... kita nggak cuma buka sejarah. Kita juga buka jalan?”

Alric terdiam. Tapi tatapan matanya memberi jawaban: *ya.*

Tiba-tiba, tanah bergetar pelan. Burung-burung terbang ke langit. Awan di utara berputar lebih cepat. Dan dari balik hutan...

*DENTANG... DENTANG... DENTANG...*

Suara rantai diseret, berat, dan penuh amarah.

Laras berbisik, “Dia datang.”

Alric berdiri di sampingnya. “Dan kita tidak bisa mundur lagi.”

Kabut mulai turun dari perbukitan, lebih tebal dari biasanya, dan suhunya turun drastis. Padahal masih sore, tapi langit sudah tampak seperti menjelang malam. Dari jauh, suara hewan-hewan hutan lenyap seketika, menyisakan keheningan yang menyesakkan.

Laras menggenggam pergelangan tangan Alric erat. “Aku bisa rasakan energi itu. Dingin… seperti kematian.”

Alric mengangguk, napasnya berat. “Ini bukan musuh biasa. Ini… penyeimbang. Dunia selalu kirim ‘penjaga’ kalau batas antara cinta dan kutukan mulai kabur.”

Senara mengeluarkan anak panah dari tabung punggungnya. “Kita nggak bisa lawan ini dengan kekuatan doang. Butuh rencana.”

Tiba-tiba, tanah di depan mereka retak, dan dari dalamnya muncul *sesosok makhluk tinggi*, berkulit seputih tulang, tubuhnya dililit rantai, wajahnya tanpa mata—hanya rongga kosong dan senyum mengerikan yang terkunci permanen.

*Bayangan Penjaga.*

Suaranya tidak terdengar lewat mulut, tapi langsung masuk ke kepala mereka:

“Cinta yang dibangkitkan melawan hukum lama. Maka salah satu dari kalian harus hilang.”

Laras melangkah maju, berdiri di hadapan makhluk itu.

“Cinta ini bukan untuk dihukum. Ini untuk diperjuangkan.”

Bayangan Penjaga mengangkat satu rantainya. Tanah di sekitarnya meleleh, dan *bayang-bayang lain muncul dari balik pepohonan* — tiruan-tiruan makhluk dari masa lalu: vampir haus darah, manusia yang terbakar dendam, dan roh-roh pengkhianat cinta.

Senara mundur setengah langkah. “Ini udah lebih dari perang cinta. Ini perang kepercayaan.”

Laras menoleh ke Alric. “Apa pun yang terjadi... jangan pilih aku, kalau dunia suruh pilih.”

Alric menatapnya tajam. “Dunia bisa hancur. Aku cuma pilih kamu.”

*Pertarungan dimulai.*

Bayangan Penjaga mengangkat rantai tulangnya ke langit. Dalam sekejap, tanah di sekitar lembah retak membentuk lingkaran gelap yang mengurung Laras, Alric, dan Senara. Di dalamnya, waktu terasa melambat, dan udara berbau besi dan abu.

Bayang-bayang dari masa lalu mulai menyerang. Mereka bergerak seperti ilusi, tapi setiap luka yang mereka tinggalkan *terasa nyata.*

Senara menyerang lebih dulu, panahnya menembus satu bayangan vampir, tapi makhluk itu menghilang dan muncul di belakangnya. Laras melompat dan membuat perisai darah, menyelamatkan Senara tepat waktu.

“Ini bukan pertarungan fisik,” teriak Laras. “Mereka menyerang melalui kenangan dan rasa takut!”

Seketika, Alric membeku di tempatnya. Di hadapannya, muncul sosok wanita tua—*ibunya sendiri*, yang pernah dibakar hidup-hidup oleh warga manusia karena menyembunyikan anak vampir.

“Kau bawa kutukan, Alric,” suara ibunya menggema. “Dan sekarang kau tularkan pada dia.”

Alric memejamkan mata, giginya terkatup kuat. Tapi tangan Laras menggenggam wajahnya, memaksanya melihat ke depan.

“Buka matamu! Kamu bukan kutukan, Alric. Kamu adalah kunci.”

Matanya terbuka. Sosok sang ibu lenyap dalam asap. Alric menarik napas panjang, lalu mengangkat tangannya—dari dalam tubuhnya muncul *cahaya putih keperakan*, kekuatan kuno yang selama ini ia segel: *darah pertama vampir murni.*

Senara menoleh kaget. “Kau... kau belum pernah keluarkan itu sebelumnya.”

“Aku belum pernah percaya kalau aku pantas memakainya,” jawab Alric, tenang.

Sementara itu, Laras mulai merasakan panas di dadanya. Dari dalam tubuhnya, *simbol lingkaran api* muncul di kulitnya, berputar dan menyala terang.

“Mereka nggak tahu,” katanya lirih. “Kalau cinta yang disakiti... bisa lebih kuat dari cinta yang dijaga.”

Bersama, Laras dan Alric berdiri di tengah lingkaran itu, membelakangi satu sama lain. Bayangan-bayangan mengelilingi mereka, tapi seolah dunia berhenti saat kekuatan keduanya menyatu.

Alric berkata, “Kalau dunia takut pada cinta ini… kita beri mereka alasan yang nyata.”

Laras menjawab, “Bukan untuk membalas. Tapi untuk membebaskan.”

*Lalu mereka melepaskan energi gabungan—darah dan cahaya, panas dan dingin, rasa sakit dan harapan.*

Seketika semua bayangan musnah, waktu kembali berjalan normal, dan tanah lembah kembali utuh. Namun, *Bayangan Penjaga* belum hilang. Ia masih berdiri, tubuhnya perlahan retak, rantai di tubuhnya terlepas satu per satu.

Suaranya kembali menggema di kepala mereka:

“Kalian… mungkin adalah cinta terakhir. Tapi cinta terakhir, selalu yang paling berat ujiannya.”

Ia pun lenyap dalam semburat cahaya kelabu.

Laras terduduk, kelelahan. Alric memegang bahunya. Senara berdiri di kejauhan, napas memburu.

“Baru Bab Sepuluh, dan dunia udah segila ini…” katanya pelan.

Laras tersenyum miris. “Dan kita masih belum sampai ke inti semuanya.”

Setelah Bayangan Penjaga lenyap, langit perlahan kembali cerah. Tapi bukan cerah yang menenangkan—melainkan *tenang yang mencurigakan*. Langit berubah menjadi biru pucat, dan angin tak lagi terasa alami. Laras memejamkan mata, mencoba meresapi ketenangan itu, tapi tubuhnya terasa bergetar pelan.

“Rasanya… kayak ditonton,” bisiknya.

Senara menajamkan pendengaran. “Bukan cuma kamu. Ada sesuatu—atau *seseorang*—yang mengamati dari jauh.”

Alric menatap lembah yang kini sunyi. Monolit yang dulu berdenyut kini mengeras, menjadi batu mati. Tapi di dasarnya, mereka menemukan *ukiran baru*: lambang dua hati terbelah, dengan tulisan kuno berbunyi:

“Yang mengikat cinta bukan rasa, tapi pengorbanan.”

Laras mengusap ukiran itu. “Kayak... peringatan.”

Malam pun datang cepat. Mereka memutuskan bermalam di batas hutan, menyalakan api kecil untuk kehangatan. Tapi ketenangan itu cepat terpecah, saat *Senara tiba-tiba berdiri dan menarik belatinya.*

“Ssst… dengar.”

Dari balik gelap, muncul siluet seseorang. Rambut panjang, langkah ringan, tapi penuh kepastian. Saat ia mendekat, cahaya api menampakkan wajahnya—

*Seorang wanita. Cantik. Mata abu-abu, senyum tipis, dan... kalung berukir nama Laras.*

Alric berdiri. “Siapa kamu?”

Wanita itu tidak menjawab. Ia menatap Laras lama, lalu berkata:

“Kamu bukan satu-satunya yang membawa darah warisan.”

Laras menegang. “Apa maksudmu?”

Wanita itu mendekat selangkah. “Namaku Kalindra. Dan aku... adalah saudara tirimu.”

Keheningan jatuh seketika.

Laras menatapnya tajam. “Aku anak tunggal.”

Kalindra tertawa kecil, dingin. “Kamu pikir cinta dan kutukan dimulai dari kamu? Tidak, Laras. Kita berdua adalah hasil dari cinta yang dilarang. Hanya saja... aku dibuang, dan kamu dipilih.”

Senara refleks berdiri di antara mereka. “Apa tujuanmu datang?”

Kalindra menatap Alric. “Menyelamatkan dia. Sebelum cinta kalian menghancurkan dua dunia.”

Alric mendekat. “Kalau kamu datang untuk pisahkan kami, itu nggak akan berhasil.”

Kalindra menghela napas. “Aku tidak ingin memisahkan. Aku ingin... menggantikanmu, Laras. Karena hanya salah satu dari kita yang bisa membuka *Gerbang Darah Murni.*”

Laras menyipitkan mata. “Kamu mau mengambil tempatku?”

Kalindra tersenyum. “Bukan mengambil. *Mengklaim.* Aku dilahirkan lebih dulu, Laras. Darahku... lebih tua darimu.”

Laras perlahan berdiri. “Tapi aku yang cinta ini pilih.”

Kalindra menatapnya tajam. “Cinta itu buta. Tapi darah... selalu tahu siapa pewaris yang sebenarnya.”

Api unggun mendesis, angin berputar. Alric dan Senara siap bertindak, tapi Kalindra hanya berkata:

“Kalian punya waktu sampai bulan merah penuh. Setelah itu, hanya satu dari kita yang bisa melangkah ke pintu terakhir.”

Lalu ia menghilang ke kegelapan, seolah tidak pernah datang.

Laras menggenggam tangan Alric erat, matanya bergetar.

“Bukan dunia saja yang melawan cinta ini... tapi darahku sendiri.”

Alric menatapnya, yakin. “Dan kita hadapi semuanya. Sama-sama.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 44 : Jejak Rahasia

    Hutan pagi kembali hening setelah pertarungan dengan bayangan besar. Namun bagi Ravien dan Laras, ketenangan itu terasa menyesakkan. Setiap langkah mereka penuh kewaspadaan, karena ancaman belum sepenuhnya hilang. Bayangan itu mungkin lenyap, tapi jejak mereka tetap tersisa. Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus menyapu ke sekeliling. “Kita harus menemukan jalur rahasia yang bisa membawa kita ke tempat Bayu,” ucapnya, suara rendah tapi tegas. Laras mengikuti di belakang, menatap sekeliling dengan cemas. “Aku takut… kalau kita terlambat, Bayu mungkin sudah menghadapi mereka sendirian.” Ravien menoleh sekilas, matanya merah menyala, tapi ada kehangatan di sorotnya. “Itulah kenapa kita harus segera. Dan kau… kau harus tetap fokus. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.” Laras menggenggam tangan Ravien. “Aku di sini. Selalu bersamamu.” Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang sempit, dipenuhi akar-akar pohon yang menjulur dan daun-d

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 43 : Bayangan yang Kembali

    Hutan pagi tampak tenang, meski udara masih terasa tegang. Setelah pertempuran dengan pemimpin Kultus Malam, Ravien dan Laras berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku, langkah mereka berhati-hati. Setiap pohon, setiap bayangan, bisa saja menyimpan ancaman tersembunyi. Ravien menggenggam pedangnya erat, matanya terus menyapu sekeliling. “Kita harus segera menemukan jalur menuju Bayu,” ujarnya pelan. “Aku tak ingin meninggalkannya sendirian lagi.” Laras menatapnya, wajahnya pucat tapi penuh tekad. “Aku ikut. Jangan coba menahan aku. Aku bisa bertarung.” Ravien tersenyum tipis, meski matanya masih menyimpan rasa cemas. “Aku tidak menahanmu. Tapi kita harus cermat. Musuh kita bukan hanya dari dunia nyata, tapi juga dari bayangan masa lalu kita.” Mereka melanjutkan perjalanan, tapi kabut tiba-tiba menebal. Udara menjadi dingin dan lengket, membuat langkah mereka berat. Dari balik kabut, muncul siluet samar—bayangan yang bergerak cepat, menatap mereka dengan mata merah berkilau

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 42 : Jejak Yang Terlupakan

    Embun pagi menutupi daun-daun di hutan, menciptakan kilauan kecil seperti ribuan permata. Namun keindahan itu terasa palsu bagi Ravien dan Laras. Setelah pertarungan dengan Ravel, hati mereka masih bergejolak, dan luka-luka lama belum benar-benar tertutup.Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus mencari tanda-tanda bahaya. Laras mengikuti di belakang, langkahnya ringan namun waspada. Hatinya tak lepas dari rasa bersalah karena Bayu masih menghadapi kultus itu sendirian.“Ravien,” Laras memulai dengan suara lembut tapi tegas, “kita harus menemukan jalur balik ke dimensi itu. Bayu menunggu kita, dan kita tidak boleh membiarkannya sendirian.”Ravien menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalan. “Aku tahu. Tapi setiap langkah ke sana… aku bisa merasa bayangan masa lalu semakin mendekat. Ravel belum selesai denganku. Dan aku… belum siap menghadapi semuanya lagi.”Laras menggenggam lengan Ravien. “Kita akan hadapi semuanya bersama. Jangan coba menanggung sendiri.”Ra

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 41 : Luka yang Belum Sembuh

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, meski matahari telah naik malu-malu dari balik kabut tipis yang menyelimuti hutan. Suara burung pun tak terdengar—seolah alam pun ikut diam, menyimpan rahasia yang tak ingin dibagikan.Laras duduk di tepi sungai kecil, membasuh luka di tangannya dengan air yang mengalir pelan. Matanya sembab, masih menyisakan sisa tangis semalam. Di belakangnya, Ravien diam berdiri, menjaga jarak namun tak pernah benar-benar menjauh.“Aku… masih bisa mendengar suara Bayu saat dia berteriak memanggil kita,” ujar Laras pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gemericik air.Ravien menunduk. “Aku juga.”Mereka belum bicara sejak lolos dari dunia bayangan. Tubuh mereka selamat, tapi jiwa mereka masih tertinggal di sana—di tempat Bayu berdiri sendirian menghadapi kegelapan demi mereka.“Kita harus kembali,” Laras akhirnya berkata. “Kita nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”Ravien mengangguk, walau dalam hatinya ia tahu itu bukan keputusan mudah. Dunia bayangan hanya t

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 40 : Jejak Dalam Kegelapan

    Kabut belum juga sirna saat pagi datang. Desa masih terdiam dalam ketakutan, dan tidak seorang pun berani keluar dari rumah mereka. Bayangan yang mulai menyebar dari hutan kini sudah mencapai tepi desa, membuat langit siang tampak seperti senja yang kelabu.Ravien duduk di teras rumah Bayu, tatapannya kosong, pikirannya terjebak pada Laras yang kini masih berada dalam dimensi ujian. Sudah semalaman penuh Laras tidak kembali, dan itu cukup untuk membuat gelisah merayapi hatinya.“Dia kuat,” ujar Bayu, datang dengan dua cangkir teh panas. “Kalau bukan Laras, mungkin kita semua sudah hancur dari awal.”Ravien menerima teh itu, tapi tak sempat menyeruputnya. “Aku tahu. Tapi tetap saja... dia di sana sendirian. Kalau ujian itu gagal, bukan hanya dia yang hilang.”Bayu menatap langit. “Aku mencoba melacak jejak energi si bayangan itu. Seolah-olah... dia bukan makhluk biasa. Dia terikat dengan Ravien, atau lebih tepatnya, dengan darah vampirmu yang belum sepenuhnya terikat pada dunia ini.”R

  • Bayang di Balik Kabut   BABA 39 : Bayangan di Balik Janji

    Malam telah berganti fajar, namun ketegangan yang mengendap sejak pertempuran semalam belum juga mereda. Di sebuah rumah kayu sederhana di pinggir hutan, Laras duduk bersandar di ambang jendela, menatap matahari yang malu-malu muncul di balik pepohonan.Suasana tenang itu seolah palsu, karena pikirannya masih dipenuhi pertanyaan: siapa pria berjubah gelap itu? Apa maksudnya dengan kekuatan yang tersembunyi dalam darah Ravien?Ravien duduk tak jauh darinya, menatap secangkir teh yang mulai mendingin. Luka di lengannya telah dibalut, tapi luka di dalam hatinya jauh lebih sulit sembuh.“Kau tidak tidur semalaman,” ucap Laras pelan tanpa menoleh.Ravien menarik napas panjang. “Aku bermimpi. Tapi bukan mimpi biasa. Aku melihat seorang wanita… wajahnya mirip denganmu. Tapi dia menangis, berdiri di tengah api. Lalu terdengar suara, ‘Janji belum ditepati. Bayangan akan menuntut.’”Laras perlahan menoleh, ekspresi wajahnya berubah tegang. “Apa maksudnya, Ravien? Janji apa?”Sebelum Ravien bisa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status