Desa telah sepi.
Bukan karena penduduknya pergi—tapi karena semua orang kini hidup dalam *diam dan ketakutan*. Setelah ledakan energi dari pertarungan kemarin, banyak yang percaya bumi itu sendiri mulai menolak keberadaan Laras dan Alric. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri desa, bahu membahu. Tapi tidak semua mata memandang mereka dengan rasa hormat. Beberapa memandang dengan waspada… bahkan curiga. “Aku mulai merasa asing di tempat ini,” kata Alric pelan. Laras menggenggam tangannya. “Kita tak butuh pengakuan mereka. Kita butuh waktu. Dan kamu.” Namun belum sempat langkah mereka jauh, seseorang menghadang mereka di tengah jalan—*kepala penjaga desa*, tua, berjubah coklat tanah, dengan wajah keras. “Kalian membawa kutukan ke tanah ini,” katanya datar. “Langit berubah. Binatang di hutan pergi. Dan orang-orang mulai bermimpi buruk setiap malam.” “Kami sedang melawan kekuatan yang lebih besar,” jawab Laras, menahan emosi. “Masalahnya,” lanjut sang penjaga, “kalian bukan lagi sepenuhnya manusia. Dan desa ini… bukan tempat bagi makhluk setengah.” Kalimat itu menghantam seperti pisau. Alric melangkah maju. “Kalau begitu, kami akan pergi.” Laras menoleh cepat. “Apa?! Tidak, kita—” “Kalau kita tetap di sini,” potong Alric, “mereka akan hidup dalam ketakutan. Dan kita akan terus disalahkan untuk setiap bencana.” Laras menatap matanya. Kali ini, tak ada kegelapan. Tapi ada *retakan kecil*—retakan dalam cinta mereka, bukan karena rasa hilang… tapi karena dunia menolak mereka bersama. Senara datang dari belakang. “Kalau kalian pergi… ke mana kalian akan pergi?” Laras menjawab pelan, “Ke asalnya semua ini. Ke tempat darah pertama ditumpahkan. Kalau jawaban ada di mana pun… tempat itu yang bisa kasih tahu.” Dan dari kejauhan, di ujung hutan yang tampak tak berujung, kabut merah mulai turun perlahan. Seolah tahu… bahwa cinta ini sedang diuji. Bukan oleh musuh. Tapi oleh *dunia itu sendiri.* Sore mulai merambat turun, langit berubah oranye keemasan, dan angin membawa suara-suara bisu dari hutan. Laras duduk di tepi jembatan kayu tua di pinggir desa, memandangi aliran sungai yang memantulkan bayangannya sendiri. Wajahnya tampak lelah—bukan karena fisik, tapi karena perasaan yang menggantung tanpa jawaban. Alric berdiri tak jauh darinya, menatap ke arah barat, ke tempat kabut merah menyebar seperti luka. “Tempat itu… aku pernah ke sana,” katanya pelan. Laras menoleh. “Kapan?” “Dulu, waktu aku masih pemburu. Kami dilarang mendekat. Tapi aku pernah melihatnya dari kejauhan. Tanahnya seperti terbakar… tapi hidup. Seperti luka yang tak mau sembuh.” Laras mengangguk perlahan. “Mungkin kita harus buka luka itu. Lihat apa yang tersembunyi di dalamnya.” Alric duduk di sampingnya, diam sejenak, lalu berkata, “Kau tahu, Laras… mungkin dunia tidak pernah mendukung kita. Tapi setiap kali aku melihatmu bertahan, aku tahu… bukan dunia yang perlu berubah. Aku yang harus lebih kuat.” Laras tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Dan aku… tidak akan pernah tinggalkan kamu. Meskipun kita harus berjalan di tanah yang penuh darah, asal kita jalan sama-sama, aku siap.” Angin malam berhembus, dan di balik pepohonan… sepasang mata putih mulai memperhatikan mereka dari kegelapan. “Dia bukan makhluk biasa...” gumam Senara, menarik dua belatinya. Sosok itu melangkah pelan, lalu berbicara dengan suara ganda—laki-laki dan perempuan bersamaan. “Alric telah dinodai cinta. Maka cinta itu akan dihancurkan.”* Laras berdiri di depan Alric, tubuhnya bersinar merah keemasan. “Lewat tubuhku dulu!” Sosok itu mengangkat tangannya. Dari tanah, muncul bilah-bilah bayangan yang menari di udara, lalu menyerbu mereka bertiga. Pertarungan pun pecah. Senara bergerak cepat, mengalihkan serangan ke arahnya. Laras melompat ke depan, membuat perisai darah untuk melindungi Alric. Tapi energi musuh itu *berbeda*—dingin, tanpa tujuan selain menghancurkan emosi. Alric bangkit dengan susah payah. “Itu bukan makhluk hidup... itu alat.” Laras menggertakkan gigi. “Mereka mengirim alat untuk membunuh cinta. Karena mereka tahu... cinta masih hidup di kita.” Dengan kekuatan gabungan, Laras dan Alric menciptakan *pola sihir darah*—lingkaran besar berpendar yang mengikat sosok hitam itu. Tapi sebelum mereka bisa menyelesaikan serangan terakhir, musuh itu berbisik: “Cinta yang dibela... akan jadi kelemahan terakhir kalian.” Lalu *BOOM*—ia meledakkan dirinya jadi kabut hitam dan lenyap. Malamnya, Laras dan Alric mulai berjalan menuju hutan larangan—tempat di mana darah pertama konon ditumpahkan. Di sepanjang perjalanan, udara jadi lebih berat, tanah lebih lembap, dan langit terasa semakin menekan. Pohon-pohon menjulang tanpa suara, seolah menyaksikan mereka tanpa berkedip. Senara memaksa ikut. “Kalian terlalu banyak pakai hati. Seseorang harus jaga punggung kalian pakai logika.” Alric tak menolak. Laras hanya tersenyum samar. Beberapa kilometer masuk ke dalam, mereka tiba di sebuah lembah berbatu. Di tengahnya berdiri *monolit raksasa*, setinggi menara, hitam dan memancarkan kilau merah samar. Di sekelilingnya, tanah retak dan berdenyut—*seperti bernapas*. “Ini... bukan sekadar tempat,” bisik Senara. “Ini seperti... tubuh.” Alric mendekati batu itu. Ukiran-ukiran purba tertanam di permukaannya. Tangannya nyaris menyentuh, ketika tiba-tiba: *BUKK!!* Sesuatu menghantamnya dari samping. Tubuh Alric terlempar ke pohon dan menghancurkannya. Laras berteriak. “ALRIC!” Dari balik kabut, muncul sosok *berjubah hitam pekat*, tinggi, wajahnya dibungkus kain, hanya menyisakan mata putih kosong—tak ada emosi, tak ada kehidupan. Di dadanya terukir simbol tiga lingkaran: *Tanda Pendahulu*. Laras terduduk, napas berat. Alric menahan luka di lengannya. Senara berdiri membelakangi mereka, waspada. “Ini baru permulaan,” katanya. “Mereka tahu kalian akan datang. Dan mereka siap.” Alric memandangi Laras. “Kau masih yakin ini jalan kita?” Laras menatap monolit yang kini berdenyut lebih cepat, seolah merespons kehadiran mereka. “Aku lebih yakin dari sebelumnya. Tapi aku juga tahu... cinta ini akan diuji lebih dari yang pernah kita bayangkan.” Malam makin pekat, dan di tengah lembah itu, *monolit berdetak lebih keras*, seperti jantung kuno yang bangun dari tidur panjang. Laras berjalan perlahan ke arahnya, kedua tangannya terbuka, tubuhnya diselimuti cahaya darah keemasan yang kini menyala redup. “Monolit ini… menyimpan kenangan darah pertama,” katanya pelan. “Dan hanya darah yang berani mencintai yang bisa membuka kuncinya.” Alric mendekat. “Berarti kamu.” Laras menatapnya dalam-dalam. “Bukan cuma aku. Kita.” Mereka berdua menempelkan tangan ke batu itu. Saat itu juga, *sebuah ledakan cahaya merah meledak ke langit*, membuat tanah bergetar dan udara membeku. Wajah mereka tertarik ke dalam pusaran memori—tapi ini bukan kenangan mereka. Ini adalah sejarah. Mereka melihat dua sosok: - Seorang wanita manusia, berpakaian perang, bermata seperti Laras. - Seorang pria vampir bangsawan, sangat mirip Alric. Mereka bertarung di tengah medan perang… lalu jatuh cinta. Tapi cinta mereka dikhianati—oleh dunia, oleh saudara mereka sendiri. Sang wanita mati terbakar, sang vampir dikurung dalam waktu. Dan darah mereka… menetes ke batu ini. Laras menangis. “Itu kita… versi lama kita.” Alric memejamkan mata. “Dan cinta mereka tidak sempat diselesaikan.” Tiba-tiba, bayangan dari sejarah itu bergerak ke arah mereka. Sang wanita berkata, *“Kalian adalah kelanjutan kami. Tapi cinta sejati bukan yang bertahan—melainkan yang sanggup hancur… dan tetap memilih untuk bertahan.”* Sang vampir menambahkan, *“Kalian harus menyelesaikan apa yang kami mulai. Dunia tidak butuh darah yang kuat. Dunia butuh cinta yang tidak menyerah.”* Cahaya menyilaukan meluap—dan saat Laras membuka mata, ia sudah kembali di dunia nyata. Tapi monolit telah berubah: kini menjadi bening, tidak lagi berdetak, dan di tengahnya terukir *nama mereka berdua*. Senara mendekat, kagum dan bingung. “Apa yang terjadi?” Alric menjawab, “Kami membuka sejarah yang dikubur dunia.” Namun dari kejauhan, *awan merah berkumpul*, dan suara dentang logam terdengar samar. Pasukan tak dikenal mulai bergerak dari utara. *Pendahulu* telah mengirim kekuatan baru. Laras menatap langit. “Cinta kita sudah bangkit. Tapi dunia belum selesai menguji.”Hujan turun deras di perbukitan tempat Laras dan yang lain bersembunyi. Tapi bukan hujan biasa—tetesannya berwarna gelap, seperti darah yang menipis di udara. Langit diselimuti awan merah, tanda bahwa *bulan darah* sebentar lagi akan muncul.Laras berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang akan menjadi medan perang.“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya Alric, berdiri di sampingnya.“Kalindra akan buka gerbang penuh di sini,” jawab Laras. “Tempat pertama kali leluhur kita mengikat perjanjian darah.”Senara datang sambil membawa peta kuno. “Ada jalur masuk tersembunyi dari utara. Kita bisa gunakan itu untuk menyusup sebelum ritual dimulai.”Laras menatap ke arah kabut yang menggantung tebal. *Malam ini bukan hanya pertarungan darah—ini pertarungan pilihan.*“Aku tidak akan menyerah, Alric. Meski dia ayahku. Meski yang harus aku lawan adalah bagian dari diriku sendiri.”Alric menggenggam tangannya erat. “Dan aku tidak akan melepaskanmu. Meski dunia memaksa.”Kabut tebal menggulung per
*Tiga hari setelah kemunculan Kalindra.*Langit tak pernah lagi biru sepenuhnya. Ada semburat merah samar setiap pagi, seolah dunia sedang menahan napas. Desa terdekat mulai merasakan ketegangan: ladang gagal panen, ternak mati tanpa sebab, dan mimpi buruk menjangkiti anak-anak.Laras duduk di tepi danau kecil di dekat hutan. Airnya memantulkan wajahnya—tapi kali ini, bayangannya bukan miliknya sendiri. Itu *Kalindra*, menatap balik dari permukaan air, tersenyum tenang.Laras memukul air itu dengan tangannya, gemetar. “Aku nggak akan kalah... walaupun darah kita sama.”Dari belakang, Alric datang diam-diam dan duduk di sampingnya. “Kalau dia memang bagian dari warisan yang sama, mungkin kita perlu tahu lebih banyak soal masa lalu keluargamu.”Laras menoleh. “Aku nggak tahu siapa ibuku. Ayahku meninggal sebelum sempat cerita.”Alric mengeluarkan sebuah gulungan tua dari jubahnya. “Aku menemukan ini di perpustakaan bawah kuil vampir tua di utara. Isinya... tentang *Perjanjian Da
*Tiga hari berlalu.* Lembah di mana monolit berdiri kini berubah menjadi tanah suci yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Sejak Laras dan Alric membuka ingatan masa lalu, langit di atas lembah itu selalu merah saat senja. Tidak gelap… tapi juga tidak damai. Senara duduk di tepi bukit, matanya tak lepas dari awan-awan aneh yang berputar di utara. “Sesaat setelah cinta kalian terbuka, mereka langsung kirim pasukan. Kayak mereka takut sesuatu bangkit.” Laras menatap tanah lembah. “Mereka tahu. Cinta ini bukan cuma kekuatan. Ini kunci.” Alric muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. “Aku baru kembali dari desa sebelah. Mereka juga dapat mimpi buruk.” Laras mengernyit. “Mimpi?” Alric mengangguk. “Tentang sosok tinggi… bermata merah… dan membawa rantai dari tulang.” Senara berdiri cepat. “Itu bukan mimpi. Itu *Bayangan Penjaga*. Dia cuma muncul kalau batas antara dunia lama dan dunia sekarang mulai runtuh.” Laras menatap Alric dengan ngeri. “Maksudmu... kita nggak cuma
Desa telah sepi. Bukan karena penduduknya pergi—tapi karena semua orang kini hidup dalam *diam dan ketakutan*. Setelah ledakan energi dari pertarungan kemarin, banyak yang percaya bumi itu sendiri mulai menolak keberadaan Laras dan Alric. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri desa, bahu membahu. Tapi tidak semua mata memandang mereka dengan rasa hormat. Beberapa memandang dengan waspada… bahkan curiga. “Aku mulai merasa asing di tempat ini,” kata Alric pelan. Laras menggenggam tangannya. “Kita tak butuh pengakuan mereka. Kita butuh waktu. Dan kamu.” Namun belum sempat langkah mereka jauh, seseorang menghadang mereka di tengah jalan—*kepala penjaga desa*, tua, berjubah coklat tanah, dengan wajah keras. “Kalian membawa kutukan ke tanah ini,” katanya datar. “Langit berubah. Binatang di hutan pergi. Dan orang-orang mulai bermimpi buruk setiap malam.” “Kami sedang melawan kekuatan yang lebih besar,” jawab Laras, menahan emosi. “Masalahnya,” lanjut sang penjaga, “kalian bukan lag
Pagi menyelimuti hutan dengan kabut tipis. Tapi tidak ada damai di dalamnya—*hutan itu sunyi karena takut.* Langkah Laras pelan tapi pasti. Di belakangnya, Senara mengikuti dengan mata penuh tanda tanya. Aura emas darah Laras belum mereda sepenuhnya. Ia seperti menyimpan *api dalam diam*—tidak membakar, tapi siap meledak kapan saja. "Ke mana kita sekarang?" tanya Senara. "Ke Alric," jawab Laras singkat. Mereka melintasi jalur tanah yang telah berubah bentuk. Bekas pertempuran semalam masih terlihat. Pohon-pohon patah, tanah hangus, dan... *darah*. Banyak darah. Tapi tidak ada tubuh. Hanya kehancuran. Laras berhenti di tengah lapangan kecil di tepi sungai. Di sana, berdiri sosok yang dikenalnya.Alric. Ia berdiri diam, punggung menghadap Laras, tubuhnya berlumur luka kering. Tapi ada yang aneh. Aura di sekelilingnya berbeda. Terlalu tenang. Terlalu... kosong. "Alric!" Laras berlari mendekat. Saat pria itu menoleh, Laras langsung terdiam. Mata Alric tak lagi berwarna emas—melai
Malam itu sunyi, tapi tidak damai.Desa masih berbau asap dan darah. Banyak rumah hancur sebagian, dan tanah di luar pagar penuh bekas luka — bukan luka biasa, tapi *luka yang tidak akan sembuh* karena ditinggalkan oleh makhluk kegelapan.Laras duduk di samping Alric yang masih terbaring. Tubuhnya mulai pulih, tapi napasnya belum stabil.“Kau seharusnya tidak menahan sabit itu sendiri,” bisik Laras.Alric membuka mata pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku sudah pernah kehilangan orang yang kucintai sekali. Aku tidak akan ulangi itu lagi.”Laras menggenggam tangannya. “Aku juga tidak ingin kehilangan kamu.”Di luar, Senara berdiri menatap langit dari atas menara kayu.“Perang ini belum selesai,” gumamnya. “Mereka mundur bukan karena kalah… tapi karena puas. Sekarang mereka tahu seberapa kuat Laras.”Dari balik pepohonan, bayangan kecil menyelinap, bergerak pelan. Seperti… *mengintai*.Senara menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Tapi udara terasa lebih dingin. Dan di atas