Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Ya, tentu saja karena kebahagiaan tidak dijual dalam bentuk kemasan di supermarket, karena kebahagiaan lahir dari hati. Meski harus mengakui uang bisa membeli kekuasaan. Memperdayai seseorang sampai tidak memiliki harga diri lagi. Kalimat yang melintas berkali-kali malam ini dalam benak Kara. Membuat semakin gigih merapikan semua dress Alanis Sue dalam plastik klip. Ia harus menjualnya untuk mendapatkan uang. Transaksi keuangan melalui Bank cukup riskan dilacak oleh Garvin. Perlahan, cerdik, dalam diam perlawanan yang bisa ia lakukan.
Andai aku terlahir dari keluarga kaya. Nasib tak akan begini. Kara mengeluh lalu kembali berkutat pada pengambilan foto. Dia tak punya waktu banyak waktu untuk meratap nasib.
Kara menarik lengan bajunya. Sejak menikah dengan Garvin, ia kerap kali menggunakan kemeja atau kaos lengan panjang. Outer adalah pilihan berikutnya, menutupi bekas lebam karena ulah Garvin. Dulu juga ia pernah mendapatkan dari Ba
Tidak pernah bersosialisasi, tak memiliki banyak teman, akses internet terbatas. Perpaduan sempurna untuk mempunyai pikiran sempit. Seperti katak dalam tempurung. Peribahasa yang sekarang dirasakan Kara mewakili dirinya. Satu-satunya keberuntungan yang masih bertahan. Garvin secara ajaib mengizinkan dia bekerja. Kalau tidak, entah tak tahu apa yang harus Kara lakukan keluar dari hubungan toksin bersama Garvin."Jadi Ibu bisa melaporkan mengenai tindakan kekerasan yang di lakukan ke pihak berwajib. Setelah keluar surat perintah dari penyidik, maka kami baru bisa mengambil tindakan untuk visum et repertum.""Apakah tidak bisa langsung saja, Pak?""Sesuai aturan berlaku harus ada surat perintah dari penyidik, bu."Percakapan yang kembali tergiang di telinga Kara. Aku kemarin memikirkan kura-kura sekarang katak. Ia berkata sendiri sambil menutup pintu keras. Terasa tubuhnya lemas ketika tahu untuk melakukan visum harus ada surat penyidikan dari kantor polisi.
Kara memasuki pelataran kediaman Garvin. Dia tak pernah menyebutkan tempat tinggal mereka sebagai kediaman kami. Tak banyak bukti jejak Kara tinggal di sana. Segelintir barang yang tidak bisa mewakili diri sebagai nyonya rumah. Menandakan kehadiran Kara antara ada dan tiada. Tak mengherankan pelayan sendiri tak terlalu memberi hormat pada Kara. Jemarinya mengetuk pinggiran stir kemudi. Meredam hati yang bergolak, perasaan tak ingin kembali di kediaman. Semakin hari kian kuat.Mobil mungil Kara memasuki garasi. Ada satu mobil yang belum balik ke tempatnya. Garvin tak kembali lagi malam ini, pasti sedang bersenang-senang dengan mainan yang baru. Lesu Kara turun dari mobil, melangkah lunglai. Selain rasa lelah di tambah perasaan tak berharga, membuat seakan tubuhnya cangkang kosong tanpa isi. Kehadiran Kara hanya memenuhi kesenangan Garvin. Lelaki yang memiliki perasaan berbeda tentang cinta. Dia menganggap istrinya hanya pajangan kesayangan di rumah. Sesekali di lihat buat meng
Sweet Shoes Store (SSS)Reinhard memperhatikan Kara dari ujung kaki sampai kepala. Kulit wanita di hadapannya putih mengkilat seperti mutiara. Rambut terlihat halus berkilauan, jatuh lembut menyentuh bahu. Tubuh Kara semakin indah. Garvin memang mengurus istrinya dengan baik. Tak mengherankan karena jika tidak terlihat menarik pasti ia sudah membuangnya."Sudah puas kamu memperhatikan ku?""Kamu semakin menarik, sebuah alasan kuat untuk membuat Garvin tak rela melepasmu.""Terima kasih pujian, Reinhard. Sayangnya, aku tak membutuhkan pujian saat ini. Ada informasi yang mau ku berikan.""Tentang apa?""Garvin merupakan pengguna narkotika dan obat-obatan terlarang."Wajah Reinhard berubah seketika. Keterkejutan tampak dari wajah tampannya, lalu kembali tenang. Kabar yang tak pernah dia duga sebelumnya."Tahu dari mana?""Tak penting aku tahu dari mana, tapi apakah kita bisa menjebak Garvin?""Aku harus mencari
Dada bidang yang bergerak turun naik, seiring tarikan napas hidung mancung milik Garvin. Suara dengkuran halus terdengar lamat. Setiap tertidur dia seakan tak punya tenaga, lembut, tampan dan menggoda untuk di bekap dengan bantal. Menghambat aliran udara memasuki saluran pernapasan, kemudian mengeliat memberontak mencoba meraup oksigen, lalu diam tak bergerak. Semua tentu saja angan dalam benak. Selain tak punya keberanian, Kara juga tak memiliki tenaga untuk melakukannya, Garvin akan dengan mudah membanting tubuh Kara.Mata Kara menatap CCTV di atas plafond kamar. Memikirkan bagaimana tidak terlihat meraih handphone yang terletak di atas nakas, sebelah Garvin. Perlahan Kara menyelipkan tangan di bawah tengkuk suaminya, menempel ketat, napas Kara tertahan seakan takut membangunkan lelaki yang terlelap nyenyak. Nyaris berteriak ketika berhasil memegang handphone dengan ujung jari. Tiba-tiba Garvin bergerak, membuat jemari Kara mengenggam langsung. Dia bersorak gembira, lalu me
“Dia tampak seperti gadis manis yang menyenangkan buat di kencani remaja.” Sindir Kara pada Reinhard. Terdengar tawa dari seberang telpon. “Kamu menilai Jenni terlihat tidak cocok sebagai wanita penggoda? Menurutmu tak mungkin dia mampu mengorek informasi keterlibatan Garvin dengan obat-obatan terlarang.” “Benar. Aku meragukan kemampuan Jenni.” “Jenni tak bodoh. Dia ahli memainkan peran. Kali ini memang berlagak seperti perempuan yang tak berdaya. Menyesuikan dengan selera Garvin. “Kamu menyindirku?” “Benar sekali. Aku tidak salah, kan? Kamu Membutuhkan keberadaan Garvin. Dia sangat senang kalau lebih unggul dari para wanitanya.” “Tak aneh, kok. Banyak yang menjalani pernikahan dengan lelaki lebih berpotensi dari mereka. Garvin saja tak normal menganggap bisa melakukan apa saja, hanya karena pasangan memiliki finansial jauh dibawahnya.” “Memang tapi dalam kasus Garvin. Dia senang berkuasa dan bertindak sebagai pengontrol kehidu
Jenni datang menemu Kara dan Reinhard di Atlas kafe dalam balutan dress mini ketat, yang memamerkan keindahan body dan kulitnya. Mulus tanpa cacat seperti mutiara berkilauan, sungguh menarik. Sebagai wanita saja Kara terkesima apalagi laki-laki. Berapa kali Kara melihat Reinhard menelan saliva, tak lama kemudian lelaki itu melemparkan outer yang sempat di buka Jenni. "Gunakan outermu, Jen. Aku tak mungkin bermain di sini." "Memangnya aku mau? Tanyakan dulu apakah aku bersedia atau tidak." Jenni meraih outer dan memperbaiki posisi duduk yang memamerkan kaki jenjang. Belahan dress sepanjang pangkal paha sampai mata kaki, mempertegas dress tersebut diciptakan untuk memamerkan kemolekan tubuh pemiliknya. "Kalian berhenti berdebat. Aku sudah tak sabar mendengar laporanmu, Jen." "Ini." Kara mendelik ketika Jenni melemparkan map di atas meja. Beda sekali ketika mereka pertama bertemu. Gadis itu tampak sopan dan manis, sekarang dia tampil bar-ba
Kediaman Garvin dipenuhi cahaya dari berbagai jenis dan model penerangan. Memamerkan keindahan arsitektur bangunan dalam kegelapan malam. Keindahan yang tak pernah menyatu pada diri Kara, dia merasa tak pernah berada pada tempat tinggal yang semestinya. Hati Kara terasa hampa ketika melangkah dalam lantai marmer bewarna gelap. Undakan tangga melingkar di lapisi karpet menyambut kehadirannya, di sanalah Kara melangkah menuju kamar. Tempat dia menjadi istri pemilik rumah.Setiap kakinya melangkah menelusuri koridor menuju kamar. Semakin tak terlihat penerimaan Kara sebagai nyonya rumah. Foto pernikahan Garvin dan Amara, bahkan masih terpajang di tengah kediaman. Seakan menunjukkan posisi Kara hanya sebagai bayangan Amara. Penggembira bagi Garvin.Kara baru membuka pintu kamar, ketika tarikan pada rambut membuat dia menjerit. Belum sempat berpikir Kara merasa tubuh melayang membentur pinggiran ranjang. Dia memekik kesakitan, matanya menatap marah pada sosok menjulan
Adam melihat keluar jendela. Memandang rumpun padi yang mulai menguning, sambil menyeruput kopi menikmati udara pagi di desa. Aset yang berhasil ia selamatkan dari Garvin. Setelah lelaki itu mengambil minimarket dan rumah yang ditempati keluarganya. Berkali-kali ayah dan ibu mengomel kesal, mengapa tak dari dulu tinggal di sini saja. Hidup tenang, damai. Sawah mereka digarap penduduk desa dengan sistem bagi hasil. Tak mewah, tapi cukup untuk membiayai kehidupan keluarga sederhana mereka.Seharusnya bersyukur atas apa yang kita punya, Kak. Daripada mengejar kekayaan dengan jalan pintas. Tak ada yang mudah di dunia, apalagi untuk orang-orang yang mengejar dari minus seperti kehidupan yang keluarga jalankan. Adam berkata dalam hati."Nanti sekolah kami pindah ke sini, kak?" tanya Arya, adik nomor tiga yang masih duduk di bangku SMA. Mengalihkan atensi Adam dari Kara."Aku tak mau," sahut cepat Alex. Dia sudah di kelas tiga SMP."Anggap saja sedang liburan se