Jantung Kara berdegup kencang. Perkataan Reinhard membuat ketegangan pada jiwa Kara. Ia masih merasakan kakinya bergetar hebat, ketika memasuki mobil. Kara setengah mati bersikap normal agar Ben tidak curiga, tapi suara yang keluar mengkhianati dirinya.
"Apartemen Paradise Place, Ben." Nada gemetar dalam suara Kara, membuat Ben refleks menoleh.
"Baik, Nyonya. Apakah ada yang tidak beres?"
"Tidak, tapi saya lupa sesuatu yang penting dan tertinggal pada saat pindah ke kediaman Garvin." Kara diam sejenak. "Semoga masih ada di sana." Sejak menikah dengan Garvin, ia harus pandai bersilat lidah. Kara tidak mau Ben mengadu kepada Garvin, Ben adalah sopir yang di pilih Garvin. Kesetiaan Ben bukan dipersembahkan kepada Kara, tetapi pada tuannya, Garvin.
"Iya, Nyonya, semoga." Ben kembali menatap lurus ke depan, memacu mobil keluar dari Diamond Mall.
Kara menoleh ke belakang, memandang Diamond Mall yang semakin mengecil, lalu menghilang dalam pan
Sinar matahari menerobos masuk, menciptakan kilauan lembut pada penutup ranjang dari bahan sutra. Bahan yang sama melapisi sofa pada kamar utama di kediaman Garvin. Kara berangkat dari ranjang, membuka lebar tirai. Membuka akses sebanyak mungkin sinar matahari masuk ke kamar, dia membutuhkan penerang cahaya untuk berpikir. Ia berjalan menghampiri foto Amara, bersidekap memandang raut rupawan wanita yang tersenyum bahagia di foto. Amara tak pernah berada di posisi terendah dalam kasta masyarakat, jika ia tahu betapa berharga cinta seorang suami. Amara tak akan melakukan hal hina di belakang Garvin. "Kamu memandang kembaran mu, sayang?" Aroma mint menyentuh indra penciuman Kara, rangkulan Garvin di pinggang Kara, membuat ia menoleh dan mendapatkan ciuman pagi dari Garvin. Kembaran? dia mengatakan kembaran Amara. Hanya dalam imaginasi mu, Garvin! Aku tak sudi disamakan dengan Amara Bunga Kayla. Jerit Kara dalam hati. "Ia, dia sangat cantik dan penuh peso
Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa ingin tahu besar, suatu hal mendasari lahir pengetahuan dan teknologi. Dorongan ingin tahu positif melahirkan penemuan yang baik dan bermanfaat. Berbanding terbalik dengan dorongan negatif yang berdampak buruk bagi pemilik keingintahuan tersebut.Sekarang dalam kasus Amara. Keingintahuan ini akankah melahirkan kehidupan yang bermanfaat untuk ku? kata Kara dalam benaknya. Dia telah tiba di Paradita Mall, kembali menuju toilet untuk berganti pakaian.Kara terdiam sejenak, dia keluar dari bilik toilet. Memperhatikan bayangan di cermin wastafel, memoles lipstik merah agar wajahnya tak tampak pias. Setelah memastikan wajah kembali segar, Kara bergegas membeli keperluan untuk keluarganya. Seperti yang ia sampaikan kepada Garvin, alasan keluar hari ini.Ia belanja dengan cepat, berharap semua sesuai ukuran untuk keluarga di kota kelahiran Kara. Ben telah menunggu di lobby mall, dia pria berwajah kaku, datar, jarang tersen
Kehidupan macam apa yang sebenarnya ku inginkan? bergelimang harta tapi beban pikiran menyelimuti diri setiap saat, atau hidup sederhana tapi bahagia seperti ketika bersama orangtua dan adik-adikku. Hmmm, tapi benarkah aku bahagia kala itu? Bahagia dengan perut pedih menahan lapar, sepatu usang di bawah tatapan mengejek murid lain di sekolah? apakah aku bahagia? Jangan-jangan aku tak pernah tahu apa rasa bahagia, karena memang tak pernah ku rasakan.Kara menghembuskan napas panjang seiring pikiran yang melintas dalam benaknya. Dia sedang memandang taman indah di belakang kediaman Garvin tanpa hasrat, sambil meneguk teh perlahan. Secangkir teh yang di dapatkan Kara setelah berdebat dengan pelayan dan Robert setengah jam lalu. Membuat bibirnya melengkung memandang cairan dalam cangkir porselen yang mahal. Setidaknya kata pelayan tak tahu diri tadi."Buatkan aku secangkir teh." perintah Kara ketika dia baru selesai mengantar Garvin pergi bekerja. Pelayan berpakaian
Kemewahan adalah sesuatu yang tak mampu dimiliki. Sekarang ketika apa yang di kehendaki bisa dengan mudah ada di tangan, tanpa perlu memikirkan nominal tertera? bisakah itu di sebut mewah? Sebuah pertanyaan hadir kembali tentang arti kemewahan dalam dirinya, lalu dia kembali bertanya dalam hati. Apakah kebebasan sekarang merupakan kemewahan? Kara memandang pantulan dirinya, cermin membalikkan posisi objek yang ada di depannya. Kanan menjadi kiri, kiri menjadi kanan. Dia melirik midi dress yang berada di atas ranjang. Garvin telah memilih apa yang akan digunakannya hari ini. "Ben akan mengantarkanmu untuk bertemu, Feli?" Garvin memasang jas di tubuh ramping atletis miliknya. Dia begitu menawan, Kara masih ingat pembicaraan 'siapa wanita' Garvin di Paraduta Group, selalu menjadi topik favorit yang dibahas sembunyi-sembunyi oleh sebagian besar karyawati. Bisa jadi mereka terjungkal karena shock jika tahu Kara adalah istri Garvin. "Terlalu mencolok jika Ben yang
"Kamu mengirim pengawal untuk mengawasi ku?" Kara menghampiri Garvin di meja kerjanya. Pria itu melirik sebentar, lalu kembali berkutat dengan lembaran kertas kerja dan laptop. Ia mengabaikan keberadaan Kara, seakan dirinya transparan tak terlihat dalam pandangan Garvin. Kara memejam matanya sejenak, lalu membuka kembali. Ia berusaha meredamkan perasaannya yang bercampur aduk, sementara jemari lentik Kara menggapai meraih tangan Garvin. "Aku bertanya padamu, Garvin." Pria itu menyingkirkan tangan Kara, ia menggaruk telinga. Seakan di telinganya kalimat Kara terdengar seperti dengungan nyamuk. "Aku memastikan kamu aman, sayang. Seharusnya ucapan terimakasih yang ku terima." "Kamu tidak perlu melakukan itu. Aku membutuhkan waktu pribadi sendiri. Pengawasan yang kamu lakukan ... menganggu ku." "Menganggu katamu." Suara Garvin terdengar kasar. Ia berdiri melewati tinggi Kara. "Lalu untuk apa menggunakan rambut palsu, kemudian mengunjungi tempat favorit Am
Kara meremas sprei sutra berkali-kali. Mencoba mengartikan tatapan dan senyuman dingin Garvin. Kara tak akan menganggap respon yang diberikan suaminya suatu hal yang janggal. Jika tidak ada kejadian antara ia dan Bastian. Kembali ucapan Garvin kemarin terlintas dalam benak Kara. 'Aku harus membereskan ulahmu'."Kenapa menatap ku terus menerus, Kara. Lebih baik kamu membantu mengancingkan kemeja ku, daripada duduk seperti orang tolol di pinggir ranjang." Garvin menatap Kara dari pantulan di depan cermin.Kara menyeret langkahnya menghampiri Garvin. Ia berusaha bersikap normal memasangkan kancing di lengan kemeja Garvin."Wajahmu pucat? Jangan katakan kamu sedih dengan kematian mantan suami mu.""Tidak ... bukan itu. Ha-nya saja, terasa terlalu kebetulan." Kara menengadah mengumpulkan keberanian yang telah menguap. "Kemarin, kamu mengatakan akan membereskan ulah ku, ketika Bastian menandai akun sosial media ku sebagai pelacur.""Aku tidak tahu
Kara kembali ke salon Natural Beauty. Setelah berganti pakaian, ia menelpon Ben agar menjemputnya. Kehidupan terasa berjalan aneh bagi Kara. Garvin menginginkan ia menjadi istri, tetapi tak sudi memperkenalkan kepada publik. Ia mencukupi kebutuhan Kara, tetapi mengontrol penuh semua tindak-tanduk Kara. Kebaikan yang terasa janggal. Kematian Amara dan Bastian juga masih menjadi tanda-tanya bagi Kara. Apakah aku harus acuh saja. Nikmatin kemewahan yang ada tanpa perlu bekerja keras. Mengabaikan apa yang terjadi di masa lalu dengan Amara. Pertanyaan itu melintas dalam benak Kara. Mobil Ben telah terlihat, Kara memasang wajah datar ketika memasuki mobil. Ia tak mau berbasa-basi dengan Ben. "Langsung pulang, Nyonya Ra?" tanya Ben dari spion mobil. "Iya." Kara memandang keluar jendela. Kebosanan mulai menyentuh hatinya. Ia tak tahu kapan akan berakhir semua ini. Menjadi istri yang hanya bayangan masa lalu orang lain. Ditambah dugaan tentang kema
Kara baru saja terlelap ketika alarm membangunkan tidurnya. Mata Kara mengerjap berkali-kali menahan kantuk yang masih menetap di kelopak matanya. Tidur Kara tak nyenyak, ia kembali mimpi buruk. Sudah lama ia tak merasakannya sekarang hadir kembali.Tangan Kara meraba samping tubuhnya hanya untuk merasakan sprei dingin. Garvin tak pulang, mungkinkah ia menghabiskan malam hangat dalam dekapan tubuh molek Berlian. Bukan mungkin lagi, tapi sudah pasti. Kara membuang napas lalu menghirup udara pagi. ia membuka tirai menyenderkan tubuh di di daun jendela. Tukang kebun sedang memangkas pepohonan yang menghias kediaman Garvin.Terasa seperti cangkang kosong saja berada dalam kediaman Garvin. Tak ada kehidupan yang normal. Kara tak tahu apa yang harus ia khawatirkan selain suaminya ternyata tidak setia. Ada perasaan jijik di hati Kara. Membayangkan Garvin bersama wanita lain, lalu akan kembali lagi melakukan bersamanya. Bagaimana jika ia menularkan penyakit? Kara bergidik nger