Kara melepaskan rol rambut, mengunci dengan hair spray. Merapikan menggunakan jemari lentiknya. Memberi efek rambut bergelombang seksi. Dia memoleskan lipstik nude, menyapukan blush on berwarna coral terakhir, dia menggunakan sikat khusus untuk menimbulkan efek serat pada alisnya.
Aktivitas Kara belum berakhir, Dia menggantikan dress dengan kemeja boyfriend warna putih. Memadupadankan dengan jeans dan sepatu kets berwarna putih. Tas sling bag di sematkan pada bahunya. Santai membuat penampilan diri tampak lebih muda dari usianya, Paling penting menyembunyikan fakta dia seorang janda dengah kisah rumah tangga suram.
"Sempurna," decaknya kagum pada diri sendiri.
13:15 Wib
Lebih cepat dari waktu yang dijanjikan ketika Kara tiba di mall. Dia mengisi waktunya dengan memanjakan mata melihat barang mewah di etalase. Entah kapan Kara bisa memasuki tempat itu. Harga satu barang saja bisa menghabiskan berapa bulan gaji Kara.
Jika dia menginginkan mungkin harus memangkas uang makan dan mencicilnya untuk berapa bulan ke depan.
"Di sisi lain ada yang berlebihan uang sehingga bisa membeli tas seharga gaji berapa orang, Oh... Kehidupan," gumam Kara.
Trrttt.. trttt
"Hai, Kara ... sekarang sedang dimana?"
"Aku sudah hampir sampai di tempatmu?"
"Baik, baik aku tunggu cantik,"
"Yah,"
Kara menyembunyikan senyuman, dia bergegas berjalan menuju lantai 6. Tempat dimana bioskop dan coffe shop milik Elang berada. Langkahnya ringan seperti gadis belia yang akan kencan. Dia baru merasakan hal seperti ini di usia 1/4 abad, bahkan Kara telah berusia 26 tahun.
"Kenapa harus memusingkan tentang angka yang menandai lama kehidupan di dunia, jika apa yang dia lakukan belum pernah dirasakan," batin Kara sambil memasuki lift menuju ke coffe shop milik Elang.
Pria yang jauh lebih muda dari Kara telah menunggu, dia melirik arloji. "Masih setengah jam lagi, cukup untuk segelas kopi," gumam Elang.
Dia memerintah barista membuat dua gelas cold brew coffe andalan coffe shop miliknya. Elang yakin Kara pasti menyukainya. Mata Elang tampak berbinar cerah ketika melihat gadis yang ditunggu datang, rambut bergelombang Kara bergerak lembut ketika dia berjalan. Menimbulkan kesan dramatis dan sensual.
"Aku datang lebih awal kah?" tanya Kara dengan senyuman tipis.
"Iya dan menyenangkan sekali bisa menjumpaimu lebih awal. Aku baru saja menyiapkan dua gelas cold brew coffe,"
"Untuk ku?"
"Iya untuk kita, aku dan kamu," Elang sengaja menekankan kata 'kita' agar Kara merasa dia istimewa dalam pandangan Elang.
"Aku tidak mau!" Kara berkata santai sambil memperbaiki rambutnya. Dia memajukan tubuhnya, "aku takut kamu menabur sesuatu di dalamnya," setengah berbisik Kara berkata.
Manik mata Elang melebar, terkejut atas respon Kara, "Ehmm ... aku tak mungkin melakukan di tempat seramai ini,"
"Justru di tempat ramai inilah. Keraguan orang akan timbul bahwa kamu tidak mungkin melakukannya, padahal kemungkinan untuk itu ada. Aku tidak akan meminum pemberian dari orang yang baru dikenal," tegas Kara lalu dia memundurkan tubuhnya.
"Baik, jika itu maumu," sahut Elang sambil meminum dua gelas coffe di hadapannya. Kara menatapnya dengan intens. Elang meminum tandas dua gelas langsung seakan ingin menunjukkan prasangka Kara adalah omong kosong.
"Maafkan aku telah menuduhmu," pelan suaranya ketika Elang tidak menunjukkan reaksi apapun, matanya tampak meredup seakan dia merasa bersalah berbanding terbalik dengan respon sebelumnya.
"Tidak apa-apa, aku memahami respon darimu karena baru mengenal ku,"
"Terimakasih sekali atas pengertian mu. Kamu sangat baik, Elang," Merdu suara Kara ketika melafalkan nama Elang membuat pria muda itu melambung tinggi dalam angan.
Dia tersenyum, menyampirkan sebagian rambutnya di belakang telinga. Menunjukkan anting berbentuk bintang dengan kilau lembut. Cantik sekali, Elang jelas akan memaafkan hal kecil barusan,
"Sebentar lagi film akan dimulai, mari kita kesana,"
Kara mengangguk mengikuti langkah Elang. Tingginya hampir sepadan dengan Elang, "Aku akan kalah tinggi jika dia mengenakan high heel," keluh Elang dalam hati.
Mereka telah duduk di kursi penonton, Lampu telah dimatikan. Layar mulai menampilkan film horor yang sedang hits. Jeritan ketakutan penonton terdengar tanpa henti.
Elang memejamkan mata berapa kali. Adegan jumpscare membuat jantungnya hampir lepas, "Sial, Kenapa filmnya begitu menyeramkan. Dia akan menertawakan ku jika tahu aku ketakutan," maki Elang. Dia melirik Kara yang duduk anggun tak terganggu. Gadis itu menyilangkan kaki, menyenderkan tubuhnya sambil sesekali meminum softdrink.
Kara kembali menyampirkan rambutnya di belakang telinga. Dari samping leher jenjangnya terekpose. Dalam samar cahaya redup, Elang masih bisa menikmati keindahan gadis di sebelahnya. Elang memuji kecantikan Kara dalam hati.
"Kenapa? apakah aku lebih menarik dari setan itu?" bisik Kara tiba-tiba. Dalam sekejap Kara merubah posisinya mendekat ke arah Elang. Membuat pria itu terlonjak karena kaget. Tidak menyangka dia ketahuanmeperhatikan Kara, Terlebih gadis itu justru menggodanya. Elang terdiam dan memusatkan kembali pandangannya ke layar.
"Menyenangkan menggoda pria muda ini," batin Kara sambil menahan senyuman. Dia mendapatkan 'mainan' yang membuat hatinya senang. Tak perduli adegan jumpscare, jeritan penonton ataupun kegelapan dan kesuraman dari film horor. Hidupnya pernah lebih gelap dari film ini.
Elang memejamkan mata, "Kenapa Kara memilih film horor dan ini sungguh menyeramkan, Sial kenapa semakin lama filmnya justru menegangkan dan banyak adegan jumpscare," umpat pria tampan itu untuk kesekian kalinya.
Kara memilinkan rambutnya, Dia mulai bosan dengan adegan di film. Matanya melirik penonton lain. Mereka begitu ketakutan, Sebagian memeluk pasangan yang jomblo hanya memeluk diri sendiri sambil menutup matanya. Lucu sekali mereka, Ini hanyalah film .
Praaaaannngg... Praaaaannggg
Terdengar piring pecah berjatuhan, Suara pecahan beling yang terhempas di lantai. Menggaung menggema di dalam bioskop, Menyentuh pendengaran Kara.
"Kamu, Istri bodoh, Tolol. Seharusnya aku tidak menikah mu. Hidup ku terus menerus di timpa kesialan. Rencana investasi ku gagal karena istri bodoh mu seperti mu," celaan Bastian menggaung dalam relung alam bawah sadar Kara. Menampilkan adegan ketika Bastian menjambak rambutnya dan membanting Kara ke dinding. Membuat tubuhnya lunglai seketika.
"Tidaaaaaakkkkkk!! jangan mendekat!" Kara memegang telinganya. Dia berteriak sekuatnya dengan napas tersengal.
"Kara, Kara. Kamu tidak apa-apa," panggilan seseorang yang disusul dengan sentuhan di bahunya.
"Jangan sentuh!" Kara menepis kasar ketika dia membuka mata. Beberapa penonton tertarik melihat Kara, Sebagian lainnya melengos dengan raut wajah kesal. Hanya pria yang di sebelahnya menatap khawatir.
"Kamu, Baik-baik saja? filmnya menyeramkan ya? apa sebaiknya kita pulang?" Rentetan pertanyaan Elang hanya di balas satu anggukan dari Kara.
Elang cukup puas dengan jawaban dari gestur tubuh Kara. Sedari tadi dia sudah berniat meninggalkan film ini, Tertahan gengsi maka niat itu tidak disampaikan kepada Kara. Mereka berdua baru saja hendak meninggalkan film ternyata sudah di akhir cerita. Seperti hampir semua film horor, Menggantungkan akhir kisah. Seakan misteri tetap tak akan pernah tuntas dalam kehidupan.
Kara dan Elang saling pandang ketika lampu kembali dinyalakan dan pemberitahuan pintu keluar telah di buka.
"Kamu takut pada akhir cerita ya, Kara?" tanya Elang.
"Iya menyeramkan sekali," Balas Kara menyembunyikan kenyataan yang ada. Siapa mengira adegan jumpscare dan setan yang muncul sepanjang film tidak membuat Kara takut, tapi adegan piring terjatuh keras di lantai yang membuat gadis itu menjerit ketakutan. Sebuah suara dan adegan yang menarik Kara pada kejadian beberapa tahun lalu. Ternyata dia belum bisa mengusir sepenuhnya.
"Tidak apa-apa, Sekarang filmnya sudah berakhir. Nanti lebih baik kita menonton film romantis ya, Kara," harap Elang.
"Kita lihat saja nanti," jawab Kara dengan kerlingan mempesona. Elang seakan terhisap pada pesona gadis dihadapannya.
Mereka berjalan bersisian keluar dari bioskop, Menuju salah satu restoran di lantai delapan. Kara mengibaskan rambutnya perlahan ketika Elang menarik kursi untuknya.
"Kamu mau memesan apa, Kara?" tanya Elang. Gadis dihadapannya tersenyum meletakkan tangan di meja lalu memajukan tubuhnya, Dia menatap manik mata Elang.
"Aku akan memesan apa yang kamu pesan Elang,"
"Baik, Kara. Pesanan kita di samakan saja ya?" tanya Elang yang di balas dengan anggukan Kara. Gadis itu tampak seperti putri yang patuh, Tidak ada yang tahu hatinya masih berdebar keras dengan kejadian di dalam bioskop.
"Aku masih menyimpan ketakutan akan kejadian lalu rupanya," keluh Kara kecewa pada diri sendiri.
Mereka menikmati makan bersama sambil berbincang. Kara menikmati bersama Elang yang tampan, Dia suka menebarkan pesona pada Elang. Membuat pria itu tampak kaget dan senang atas respon Kara, Manis sekali.
Kesenangan mereka berdua tiba-tiba terganggu ketika seorang pria tegap dengan mata coklat gelap, Menggebrak meja. Wajah tampan dengan aura menawan memancarkan keanggunan layaknya aristokrat. Dia pangeran? jelas bukan.
"Kamu bersama siapa?!" pria itu menatap Kara dengan mata berapi-api. Elang terkesiap begitu pula Kara, Mereka sama sekali tidak menduga akan mengalami kejadian ini. Beberapa pengunjung restoran mengalihkan aktivitas makan mereka ke arah mereka bertiga.
"Pak, Maaf. Dia hanya mirip, Bukan dia," bisik seorang pria berkulit putih bersih yang terburu-buru menghampiri pria tersebut.
"Maaf, Kami tidak mengenal anda," Elang berdiri menatap pria yang jauh lebih tinggi darinya. Pria itu menatap Elang seakan dia hanya bocah kemarin sore.
"Sudah, Pak. Bukan dia," Rekannya kembali berbisik dengan sungkan. Di lihat dari sikapnya, Dia tampak seperti bawahan pria tersebut. Mereka berdua berlalu tanpa bicara lagi.
Kara mendesis sebuah nama "Garvin, kenapa dia? apakah atasan ku akan seaneh itu, Mengerikan" dengusnya kesal.
"Kamu mengenalnya, Kara?" tanya Elang. Dia masih tampak emosi.
"Kenal atau tidak bukan hal penting, Lebih penting menikmati hari ini bersamamu," ucap Kara sambil meraih gelas lalu meminumnya sambil menatap Elang.
Jawaban lugas Kara membuat Elang kembali memusatkan pada gadis mempesona di hadapannya "Dia menarik tampak mahal tetapi menggoda ku, Kemudian kembali acuh. Baiklah siapa yang akan menang dalam permainan ini," gumam Elang dalam hati.
Leonard mengejar Garvin, wajah tampan yang menampilkan ekspresi tidak bersahabat. Rahang Garvin tampak mengeras. Ada kemarahan tak tersalurkan, Leonard memilih diam. Bukan saat tepat untuk mengeluarkan pendapat. Leonard mengakui kemiripan yang tak terelakkan dari raut gadis di restoran tadi, tapi untuk mengatakan itu orang yang sama. Jelas mustahil, Amara meninggal lima tahun lalu saat berusia 27 tahun. Sekarang jika dia masih ada maka usia Amara adalah 32 tahun. Gadis itu tampak jauh lebih muda. "Pak, Apakah anda jadi menemui manager mall?" tanya Leonard ketika mereka berada di lift. Mall 'ParaDita' termasuk dalam Paraduta Group. Rencananya hari ini Garvin akan berkunjung, Ada yang ingin di sampaikan terkait kepulangan dari eropa. "Batalkan!" perintah Garvin. "Baik, Pak. Apakah perlu di jadwalkan kembali ke tempat kita?" "Iya, Sampaikan pada Laura untuk mengirim surel!" Leonard segera melakukan perintah Garvin, Dia tidak suka seseoran
Laura menunjukkan meja kerja Kara. "Di sini tempatnya, Siapa namamu?" "Dia bertanya dengan nada merendahkan, Garvin sudah menyebutkan nama ku tapi sikapnya seakan itu bukan hal penting untuk di ingat", pikir Kara di saat bersamaan otaknya merespon menandai wanita molek di hadapannya. "Nama saya ... Kara Garvita, Bu," jawab Kara dengan nada santun sedikit menundukkan kepala. Bersikap lemah akan mengurangi kewaspadaan belut listrik seperti ini untuk memangsanya. "Kamu sudah tahu bukan pekerjaanmu? menyambut tamu," senyuman tertahan tersungging di wajah mulus tanpa noda milik Laura. "Terserah apa istilah kamu untuk menyebutnya. Aku mendapatkan bayaran untuk ini", batin Kara sambil menyunggingkan senyuman manis sebelum menjawab, "Tapi bukan itu yang kami pelajari pada saat training, Ada...." "Kamu tahu? Customer service di sini bertahan paling lama tiga bulan. Aku ingin melihat mu berapa lama bertahan...." potong Laura sambil berlalu dari hadapan
Kara melirik arloji, Akhirnya yang di tunggu tiba. Jam istirahat, gadis itu segera menuju kafetaria. Kali ini dia mempelajari denah kantor tanpa perlu bertanya pada Laura. Kaki jenjangnya berayun Lincah. Kara telah memperhitungkan dengan cermat, uang warisan dari bu Mila cukup bertahan sampai gaji bulan depan. Leher jenjang Kara menjulur mencari keberadaan Feli. Dia telah berjanji dengan Feli untuk bertemu di kafetaria. Sebagai karyawan baru, mereka belum memiliki teman. Apalagi Kara, tidak mungkin berteman dengan Laura, berat. "Hei ... lehermu menyaingi jerapah," sapa Feli yang telah berdiri di samping Kara. "Aku bahkan tidak mendengar kedatanganmu," cibir Kara pura-pura merajuk yang di sambut tawa Feli. "Kita mengantri di sana, yuk," tanpa menunggu jawaban Kara. Feli menarik tangan Kara, beberapa karyawan pria melirik ke arah mereka berdua dengan minat. Dua karyawan baru yang menawan. Keduanya telah tiba di meja dengan makan siang yang
"Mengapa aku harus kehilangan sesuatu, saat aku berpikir sudah berada di genggaman," dengus Kara kesal. "Kehilangan? suatu hal yang harus mengajarkan arti menghargai," sahut Feli dengan bijak seakan menceramahi remaja yang baru putus cinta. "Huh... aku kesal sekali," sungut Kara, dia mengaduk-ngaduk spagheti tanpa minat. "Aku berani taruhan, kamu pasti segera mendapat ganti dengan mudah," "Hmmm..." Sejak pertemuan terakhir di kafe sore hari, Elang tidak pernah menghubungi Kara. Berapa kali Kara menghubungi Elang tapi tidak mendapatkan respon. Dia dan Feli juga mendatangi coffe shop Elang di mall 'Paradita' tetapi sudah tutup. Kara mendengus, Dia kehilangan kesenangan. Elang tampan, muda dan aromanya wangi. Jauh sekali dengan aroma Bastian. Seringkali bau keringat dan alkohol, Menyebalkan. "Mengapa. dia tidak pernah menghubungi ku lagi?" tanya Kara kembali. Feli memandang sesaat temannya lalu mengaduk teh di depannya.
"Pria itu seperti devil bertopeng angel. Mereka mengangkatmu tinggi ke angkasa lalu menghempasmu ke bumi, bahkan tanpa rasa ampun," kata Kara sinis. Di sebelahnya Feli menyimak sambil menikmati makan siang. Kafetaria ramai seperti biasa, Kara tak memperdulikan suaranya akan terdengar oleh pengunjung lain. "Jadi kamu keluar dari apartemen itu tadi malam?" tanya Feli dengan nada rendah. Dia mengamati wajah Kara yang tampak kesal. "Ya ... security apartemen mengatakan aku diminta keluar oleh penyewa, Arjuna bahkan memutuskan hubungan kami begitu saja. Apakah ciuman ku begitu buruk sampai dia mengambil keputusan ketika kami selesai berciuman?" "Menyedihkan," kata Feli mencoba bersimpati walau dia merasa geli. "mungkin Kara lupa menggosok gigi ketika mereka berciuman," batinnya dalam hati. "Padahal dia begitu tampan." ujar Kara sambil memegang kedua pipinya membuat Feli menggelengkan kepala melihat temannya. Feli memutar bola mata. "Kamu memang tak
"Dia terluka?" "Sedikit...." "Sedikit, katamu? dia sampai pingsan... bahkan siput pun bisa lebih lincah darimu, Leonard! sampai hal seperti ini harus terjadi," hardik Garvin membuat Leonard tertunduk. Tak ada kalimat pembelaan yang sudi di dengar Garvin dari mulutnya. "Maaf, Pak," mohonnya sekedar menyudahi kemarahan Garvin. "Cari rumah mantan suaminya, berikan pelajaran!" "Baik, Pak." Leonard bergegas keluar dari apartemen mewah tersebut, Dia menggerutu sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Dia berhasil menghajar suami Kara tapi justru di hajar Garvin, Hanya karena menggendong Kara yang pingsan masuk ke apartemen. "Aku memerintahmu menjemput Kara bukan menyentuhnya, Tolol!" maki Garvin. Garvin menatap cermat wajah rupawan yang terbaring tak berdaya. Edward, dokter pribadi Garvin baru saja memeriksa Amara dan tidak menemukan hal yang mengkhawatirkan. Garvin bernapas lega, dia tidak mau Kara terluka. Kara
Keesokan harinya Kara berangkat ke kantor lebih awal, dia memilih menggunakan ojek online. Pemandangan yang tidak biasa untuk penghuni Paradise Place menggunakan ojek online, Terlebih dalam balutan pakaian kerja. Tentu saja Kara harus berhemat karena jarak Paradise Place cukup lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. "Shit, dia memiliki pria lain lagi Leonard!" Leonard mengusap wajahnya ingin memaki, "Dia menggunakan ojek online, pak. Perhatikan jaket dan tulisan besar di jaket tersebut!" sebuah makian yang hanya sanggup keluar dalam benak. "Itu... ojek online, Pak," sahut Leonard sebelum Garvin menyuruhnya memberi perintah untuk menjauhkan pria tersebut dari Kara. "Atur penjemputan untuk Kara, besok!" "Maaf... apakah tidak terlalu mencolok bagi seorang karyawan baru, pak?" Garvin menatap sangar Leonard, membuat pria berkulit putih itu harus memutar otak mencari alasan, "lebih baik menggunakan jemputan komersil yang bisa di bay
"Mendiang istrimu?" Kara menatap Garvin, dia menuntut lebih dari sekedar jawaban kali ini. Garvin pernah bersumpah di depan makam Amara untuk menutup rapat hatinya, namun ketika melihat Kara. Dorongan untuk memilikinya merenggut setiap waktu dalam kesehariannya, dia tersiksa ketika gadis itu bersama pria lain. Keinginan itu semakin mencuat ketika Kara berada dalam apartemen bersama Arjuna. Kini dia harus mengambil keputusan, Garvin akan menikahi Kara. Dalam hatinya dia tidak melanggar sumpah tapi 'membangkitkan' Amara dalam diri Kara. Cintanya yang tak pernah pergi dalam hidup Prabu Garvin. "Ya, dia mirip sekali denganmu Kara," tangan Garvin terulur memegang dagu Kara, membelai dengan punggung tangan. Refleks Kara mundur, instingnya merasakan ada sesuatu berbeda yang di rasakan Garvin. Ruangan tempat Kara berada saat ini dalam suhu normal, tapi gadis itu bergidik merasakan ketakutan samar yang belum mampu dijelaskan. Bagaimana pun melihat orang lain y