Jam dinding menunjukkan pukul 23:45 ketika Garvin tiba di rumah, dia melonggarkan dasi dan membuka kancing atas kemeja. Matanya menatap nanar ke foto pernikahan dia dan Amara yang terpasang di dinding. Foto yang enggan Garvin turunkan, seakan dia berharap keajaiban terjadi. Amara mengetuk pintu rumah dan mengatakan bahwa bukan dirinya yang mengalami kecelakaan.
Garvin masih merasakan kehangatan pelukan dan tawa Amara sebelum dia pergi ke pernikahan sahabatnya. Dia masih melihat Amara memasuki mobil dan melambaikan tangan. Sulit baginya menerima kenyataan, ketika dua jam kemudian menerima kabar Amara tewas dalam kecelakaan.
Amara Bunga Kayla, perempuan yang dikenalnya semasa kuliah. Amara merupakan sepupu Ben, sahabat Garvin dari bangku sekolah menengah pertama. Garvin yang menghabiskan pendidikan di universitas terbaik di Amerika Serikat. Kala itu pulang liburan ke Indonesia, dia mengunjungi Ben.
Pertemuan pertama dengan Amara terjadi di rumah Ben, getaran pertama langsung dirasakan Garvin. Tidak dengan Amara, saat itu Amara merajut kasih dengan seorang pria. Garvin harus menunggu selama tiga tahun.
Amara tidak langsung menerima Garvin ketika dia putus dengan kekasihnya. Keteguhan Garvin lah yang akhirnya membuat Amara luluh. Mereka menikah dengan pernikahan megah berlanjut dengan bulan madu yang seakan tak berhenti. Belum genap dua tahun pernikahan, Amara justru meninggalkan dirinya. Membawa hati dan separuh jiwa Garvin
Bayangan kejadian itu memudar. Mengembalikan Garvin di masa sekarang, "Siapakah perempuan tadi?" batinnya bertanya untuk kesekian kalinya.
Pertanyaan itu terus menggelayuti hatinya sepanjang hari ini. Garvin bisa saja meminta Leonard sang asisten mencari tahu, hanya saja 14 hari ke depan dia harus menjalankan perjalanan bisnis ke eropa. Dia memutuskan menundanya sampai kepulangan nantinya.
Pria tampan berusia 32 tahun itu memandang jendela menatap langit gelap tanpa bintang. "Bahkan langit pun enggan menghibur dengan kelip indahnya,' keluh Garvin. Dibawah gelap langit yang sama, Di rumah kontrakan mungil. Kara bersenandung riang menyiapkan setelan kantor besok. Hatinya bahagia, kantuk pun tak berkenan hadir karena dia tak sabar menunggu pagi.
Kara bangun sebelum matahari terbit, dia tidak ingin terlambat mengikuti pelatihan customer service. Bangun dan mandi pada subuh hari hal biasa. Kara telah menjalani sejak menikah dengan Bastian dan menjadi asisten rumah tangga bu Mila.
Semburat sinar matahari menerangi bumi, Kara telah tiba di gedung pelatihan. Gadis muda cantik itu tidak mau terlambat.
"Hai, kamu juga mengikuti pelatihan ini?" tanya seorang gadis dengan contact lens berwarna abu-abu. Kulitnya putih cerah, Cantik.
"Iya, kamu juga?"
"Benar, apakah kita datang terlalu pagi?" dia menjulurkan kepalanya melihat keadaan sekitar di gedung pelatihan yang kelihatan lengang.
"Mungkin sebagian sudah berkumpul di lantai latihan, aku mendapatkan ruang pelatihan di lantai 10. Kamu dilantai berapa? tanya Kara.
"Sama, nama mu siapa?"
"Aku, Kara. Kamu siapa?"
"Panggil aku, Feli,"
"Penempatan kamu dimana, Kara?" keduanya memasuki gedung pelatihan. Petugas mengarahkan mereka ke lift.
"Sebagai customer service di lantai ruangan CEO,"
"Wow, Keren. Kita satu gedung hanya aku sebagai customer service di lantai satu,"
Hari ini Kara mendapatkan teman pertama sekaligus ilmu dalam pekerjaan profesional pertama. Dia dan Feli mengikuti semua materi dari instruktur, Feli berusia 23 tahun. Sama seperti Kara, Inilah adalah pekerjaan pertama Feli.
--------------------------------------------
Dua minggu telah dilewati Kara, Dia mengenal beberapa rekan di pelatihan. Selama kuliah Kara tidak memiliki teman. Pekerjaan sebagai asisten rumah tangga menenggelamkan kepercayaan diri, dia pun belum pulih dari trauma rumah tangganya yang hancur karena KDRT.
Di sini lah selama pelatihan, Kara memiliki kehidupan baru. Ketika tubuh dan pikiran lelah dengan materi selama pendidikan. Pulang dari pelatihan, bersama Feli dan rekan lainnya. Mereka menghabiskan waktu dengan hangout, ngopi bareng, karaoke bersama. Sebuah hal sederhana bagi yang lainnya tapi tidak bagi Kara.
Dia menikmati segelas boba sambil menggosipkan pria tampan di dekat mereka. Semua merupakan hal istimewa bagi wanita dewasa berusia 26 tahun. Akhir pekan mereka akan menghabiskan waktu menonton film di bioskop sampai tengah malam. Sebuah pengalaman berkesan yang dirasakan Kara, Bastian tidak pernah mengajak Kara menonton. Sedangkan semasa gadis, kehidupan orangtua Kara tidak memungkinkan untuk itu.
"Kara, cowok di sebelah kita melihat mu dari tadi," bisik Feli. Kara mengikuti arah pandang Feli. Seorang pria tampan dengan alis bertaut indah dan manik coklat gelap memberikan senyuman pada Kara. Sebuah senyum simpul dari Kara disambut dengan hati berbunga oleh Elang. Pria yang sedang memandang kecantikan Kara.
Setelah mereka keluar dari bioskop, Elang dan dua temannya. Menghampiri Kara dan Feli, Perkenalan terjadi dan mereka saling menukar nomor telpon.
"Mahasiswa tingkat akhir, sekaligus pemilik coffe shop di sebelah bioskop. Muda, tampan dan menyenangkan. Hheeh, dia pemula bagi wanita dewasa seperti ku," gumam Kara, masa lalu adalah kenangan sekarang dalam pikiran dirinya. Menikmati hidup adalah segalanya.
Kara pulang melewati tengah malam, Elang menghubungi Kara sebelum tidur. Suatu hal baru Kara. Bastian adalah pria pertama yang mendekati dan menjadi suami Kara. Pertemuan dengan Elang membawa Kara dalam keriangan gadis muda bagi dewasa sepertinya.
"Kara, kamu sudah sampai rumah kah?" suara Elang terdengar lembut di telinga Kara atau sengaja di buat lembut.
"Iya, Elang ini baru tiba,"
"Oh, aku khawatir karena sudah lewat tengah malam. Maaf menganggu mu Kara, Kamu belum tidur?" tanya Elang.
"Baru mau tidur, Elang,"
"Selamat tidur, Cantik,"
"Terimakasih, Elang."
Kara menyembunyikan tawanya mendengar kata 'cantik'. Konyol sekaligus menyenangkan sekali menikmati masa ini. Kara menikah di usia 19 tahun setelah itu hanya pedih yang dia terima atas perlakuan Bastian.
Selanjutnya hari-hari di isi dengan bekerja sebagai asisten rumah tangga. Menjadi pembantu di rumah bu Mila. Dia harus membagi waktu antara belajar sebagai mahasiswa dan pembantu. Tak ada waktu bagi Kara untuk bersenang-senang.
Sekarang dia baru merasakan arti kata 'bersenang-senang'. Kara memoleskan skincare di wajah. Menatap wajah rupawan yang telah dimilikinya kembali. Dia berdiri dan melihat tubuh molek dirinya di cermin. Tubuh tinggi dengan lekuk sempurna, rambut terawat menambah pesona seorang Kara.
"Aset," ujar Kara dalam hati memandang pantulan seorang wanita dewasa, yang tampak lebih muda dari usianya.
"Ingat jangan pernah ada yang menghancurkan mu lagi. Seorang Kara terlalu berharga untuk di campakkan," batin Kara sambil menunjuk bayangannya sendiri di cermin.
Drttttt.... Drtttttt
Dering pesan di handphone membuyarkan percakapan Kara pada pantulan dirinya sendiri. Layar menampilkan nama 'Elang'.
"Kara, besok ada film menarik. Apakah kamu menonton?"
Sebuah pesan dari Elang menerbitkan senyuman pada Kara, waktu untuk bersenang-senang menghampirinya.
"Film tentang apa, Elang?"
"Ada beberapa film menarik, kamu suka film tentang apa?"
"Horor saja, aku melihat posternya tadi,"
"Kenapa horor? ada film romantis lho, Kara?"
"Aku mau horor,"
"Baiklah, besok kamu mau aku jemput atau ketemu di bioskop,"
"Ketemu saja, Elang,"
"Baik Kara, Sampai ketemu jam dua siang. Aku pesankan dua tiket ya?"
"Sip, Elang,"
Sebuah pertemuan pertama dengan seorang pria muda tampan. Kara tersenyum menutup mulutnya dengan tawa tertahan. Aku sedang ingin bersenang-senang, jiwa ku yang lalu sudah terhempas sampai tak memiliki harga. Sekarang waktunya untuk memberikan kesegaran pada jiwa.
Layar handphone kembali pada posisi awal, "Aku terlalu malas menonton film romantis, Memuakkan melihat para pemeran berbagi kata tentang cinta. Film horor tidak menakutkan bagi ku karena hidup ini bahkan lebih horor," gumam Kara sambil melemparkan handphone ke tempat tidur. Kantuk telah menjemputnya, tubuh dan jiwa lelah Kara menagih untuk istirahat.
Kara melepaskan rol rambut, mengunci dengan hair spray. Merapikan menggunakan jemari lentiknya. Memberi efek rambut bergelombang seksi. Dia memoleskan lipstik nude, menyapukan blush on berwarna coral terakhir, dia menggunakan sikat khusus untuk menimbulkan efek serat pada alisnya. Aktivitas Kara belum berakhir, Dia menggantikan dress dengan kemeja boyfriend warna putih. Memadupadankan dengan jeans dan sepatu kets berwarna putih. Tas sling bag di sematkan pada bahunya. Santai membuat penampilan diri tampak lebih muda dari usianya, Paling penting menyembunyikan fakta dia seorang janda dengah kisah rumah tangga suram. "Sempurna," decaknya kagum pada diri sendiri. 13:15 Wib Lebih cepat dari waktu yang dijanjikan ketika Kara tiba di mall. Dia mengisi waktunya dengan memanjakan mata melihat barang mewah di etalase. Entah kapan Kara bisa memasuki tempat itu. Harga satu barang saja bisa menghabiskan berapa bulan gaji Kara. Jika dia mengin
Leonard mengejar Garvin, wajah tampan yang menampilkan ekspresi tidak bersahabat. Rahang Garvin tampak mengeras. Ada kemarahan tak tersalurkan, Leonard memilih diam. Bukan saat tepat untuk mengeluarkan pendapat. Leonard mengakui kemiripan yang tak terelakkan dari raut gadis di restoran tadi, tapi untuk mengatakan itu orang yang sama. Jelas mustahil, Amara meninggal lima tahun lalu saat berusia 27 tahun. Sekarang jika dia masih ada maka usia Amara adalah 32 tahun. Gadis itu tampak jauh lebih muda. "Pak, Apakah anda jadi menemui manager mall?" tanya Leonard ketika mereka berada di lift. Mall 'ParaDita' termasuk dalam Paraduta Group. Rencananya hari ini Garvin akan berkunjung, Ada yang ingin di sampaikan terkait kepulangan dari eropa. "Batalkan!" perintah Garvin. "Baik, Pak. Apakah perlu di jadwalkan kembali ke tempat kita?" "Iya, Sampaikan pada Laura untuk mengirim surel!" Leonard segera melakukan perintah Garvin, Dia tidak suka seseoran
Laura menunjukkan meja kerja Kara. "Di sini tempatnya, Siapa namamu?" "Dia bertanya dengan nada merendahkan, Garvin sudah menyebutkan nama ku tapi sikapnya seakan itu bukan hal penting untuk di ingat", pikir Kara di saat bersamaan otaknya merespon menandai wanita molek di hadapannya. "Nama saya ... Kara Garvita, Bu," jawab Kara dengan nada santun sedikit menundukkan kepala. Bersikap lemah akan mengurangi kewaspadaan belut listrik seperti ini untuk memangsanya. "Kamu sudah tahu bukan pekerjaanmu? menyambut tamu," senyuman tertahan tersungging di wajah mulus tanpa noda milik Laura. "Terserah apa istilah kamu untuk menyebutnya. Aku mendapatkan bayaran untuk ini", batin Kara sambil menyunggingkan senyuman manis sebelum menjawab, "Tapi bukan itu yang kami pelajari pada saat training, Ada...." "Kamu tahu? Customer service di sini bertahan paling lama tiga bulan. Aku ingin melihat mu berapa lama bertahan...." potong Laura sambil berlalu dari hadapan
Kara melirik arloji, Akhirnya yang di tunggu tiba. Jam istirahat, gadis itu segera menuju kafetaria. Kali ini dia mempelajari denah kantor tanpa perlu bertanya pada Laura. Kaki jenjangnya berayun Lincah. Kara telah memperhitungkan dengan cermat, uang warisan dari bu Mila cukup bertahan sampai gaji bulan depan. Leher jenjang Kara menjulur mencari keberadaan Feli. Dia telah berjanji dengan Feli untuk bertemu di kafetaria. Sebagai karyawan baru, mereka belum memiliki teman. Apalagi Kara, tidak mungkin berteman dengan Laura, berat. "Hei ... lehermu menyaingi jerapah," sapa Feli yang telah berdiri di samping Kara. "Aku bahkan tidak mendengar kedatanganmu," cibir Kara pura-pura merajuk yang di sambut tawa Feli. "Kita mengantri di sana, yuk," tanpa menunggu jawaban Kara. Feli menarik tangan Kara, beberapa karyawan pria melirik ke arah mereka berdua dengan minat. Dua karyawan baru yang menawan. Keduanya telah tiba di meja dengan makan siang yang
"Mengapa aku harus kehilangan sesuatu, saat aku berpikir sudah berada di genggaman," dengus Kara kesal. "Kehilangan? suatu hal yang harus mengajarkan arti menghargai," sahut Feli dengan bijak seakan menceramahi remaja yang baru putus cinta. "Huh... aku kesal sekali," sungut Kara, dia mengaduk-ngaduk spagheti tanpa minat. "Aku berani taruhan, kamu pasti segera mendapat ganti dengan mudah," "Hmmm..." Sejak pertemuan terakhir di kafe sore hari, Elang tidak pernah menghubungi Kara. Berapa kali Kara menghubungi Elang tapi tidak mendapatkan respon. Dia dan Feli juga mendatangi coffe shop Elang di mall 'Paradita' tetapi sudah tutup. Kara mendengus, Dia kehilangan kesenangan. Elang tampan, muda dan aromanya wangi. Jauh sekali dengan aroma Bastian. Seringkali bau keringat dan alkohol, Menyebalkan. "Mengapa. dia tidak pernah menghubungi ku lagi?" tanya Kara kembali. Feli memandang sesaat temannya lalu mengaduk teh di depannya.
"Pria itu seperti devil bertopeng angel. Mereka mengangkatmu tinggi ke angkasa lalu menghempasmu ke bumi, bahkan tanpa rasa ampun," kata Kara sinis. Di sebelahnya Feli menyimak sambil menikmati makan siang. Kafetaria ramai seperti biasa, Kara tak memperdulikan suaranya akan terdengar oleh pengunjung lain. "Jadi kamu keluar dari apartemen itu tadi malam?" tanya Feli dengan nada rendah. Dia mengamati wajah Kara yang tampak kesal. "Ya ... security apartemen mengatakan aku diminta keluar oleh penyewa, Arjuna bahkan memutuskan hubungan kami begitu saja. Apakah ciuman ku begitu buruk sampai dia mengambil keputusan ketika kami selesai berciuman?" "Menyedihkan," kata Feli mencoba bersimpati walau dia merasa geli. "mungkin Kara lupa menggosok gigi ketika mereka berciuman," batinnya dalam hati. "Padahal dia begitu tampan." ujar Kara sambil memegang kedua pipinya membuat Feli menggelengkan kepala melihat temannya. Feli memutar bola mata. "Kamu memang tak
"Dia terluka?" "Sedikit...." "Sedikit, katamu? dia sampai pingsan... bahkan siput pun bisa lebih lincah darimu, Leonard! sampai hal seperti ini harus terjadi," hardik Garvin membuat Leonard tertunduk. Tak ada kalimat pembelaan yang sudi di dengar Garvin dari mulutnya. "Maaf, Pak," mohonnya sekedar menyudahi kemarahan Garvin. "Cari rumah mantan suaminya, berikan pelajaran!" "Baik, Pak." Leonard bergegas keluar dari apartemen mewah tersebut, Dia menggerutu sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Dia berhasil menghajar suami Kara tapi justru di hajar Garvin, Hanya karena menggendong Kara yang pingsan masuk ke apartemen. "Aku memerintahmu menjemput Kara bukan menyentuhnya, Tolol!" maki Garvin. Garvin menatap cermat wajah rupawan yang terbaring tak berdaya. Edward, dokter pribadi Garvin baru saja memeriksa Amara dan tidak menemukan hal yang mengkhawatirkan. Garvin bernapas lega, dia tidak mau Kara terluka. Kara
Keesokan harinya Kara berangkat ke kantor lebih awal, dia memilih menggunakan ojek online. Pemandangan yang tidak biasa untuk penghuni Paradise Place menggunakan ojek online, Terlebih dalam balutan pakaian kerja. Tentu saja Kara harus berhemat karena jarak Paradise Place cukup lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. "Shit, dia memiliki pria lain lagi Leonard!" Leonard mengusap wajahnya ingin memaki, "Dia menggunakan ojek online, pak. Perhatikan jaket dan tulisan besar di jaket tersebut!" sebuah makian yang hanya sanggup keluar dalam benak. "Itu... ojek online, Pak," sahut Leonard sebelum Garvin menyuruhnya memberi perintah untuk menjauhkan pria tersebut dari Kara. "Atur penjemputan untuk Kara, besok!" "Maaf... apakah tidak terlalu mencolok bagi seorang karyawan baru, pak?" Garvin menatap sangar Leonard, membuat pria berkulit putih itu harus memutar otak mencari alasan, "lebih baik menggunakan jemputan komersil yang bisa di bay