Home / Romansa / Bayaran Cinta Sang Miliarder / Bab 3 — Permohonan di Ruang Dingin

Share

Bab 3 — Permohonan di Ruang Dingin

Author: Atria
last update Last Updated: 2025-10-08 22:42:01

Langit malam kelam saat Aira dan ayahnya digiring menuju lantai teratas Leonard Alvero Group.

Di dalam lift, keheningan mencekam. Hanya dengung mesin yang perlahan membawa mereka naik, seolah ikut menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.

Pintu lift terbuka, hawa dingin langsung menusuk kulit.

Ruang kerja Leonard Alvero terbentang luas. Lantai marmer hitamnya berkilauan, memantulkan cahaya kota yang gemerlap dari balik jendela kaca raksasa. Di tengah ruangan, Leonard Alvero berdiri memunggungi mereka, tegap menatap pemandangan kota. Siluetnya terpantul di kaca, bagai raja yang mengamati kerajaannya.

"Ayah... apa nggak sebaiknya kita pulang aja?" bisik Aira lirih.

Ayahnya menggenggam tangannya erat. "Nggak, Aira. Ini satu-satunya harapan kita."

Leonard Alvero berbalik perlahan, tatapannya setajam pisau. "Duduk."

Mereka menurut. Kursi kulit di depan meja besar itu terasa mewah untuk tubuh mereka yang lelah dan basah.

Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar.

Ayah Aira menunduk dalam, lalu mulai bicara dengan suara serak, "Tuan... saya mohon, tolonglah kami. Istri saya, ibunya Aira, harus segera dioperasi. Dokter bilang nyawanya bisa nggak ketolong jika kami nggak segera dapat uang."

Leonard Alvero menatap tanpa ekspresi, jari-jarinya mengetuk meja pelan. "Jadi, apa yang bisa kalian tawarkan?"

Ayahnya menelan ludah. "Saya mohon, Tuan... beri anak saya pekerjaan. Apa aja. Jadi petugas kebersihan, asisten rumah tangga, kerja lembur juga nggak masalah, asal bayarannya lebih. Kami nggak minta dikasihani, kami cuma butuh kesempatan agar bisa mendapatkan uang, tolonglah kamu Tuan."

Aira menunduk, matanya berkaca-kaca. Ayahnya menunduk lebih dalam lagi, hampir menyembah di hadapan meja itu. "Tuan... tolonglah. Saya rela ngelakuin apa pun. Jangan biarin istri saya meninggal cuma karena kami miskin."

Suasana ruangan semakin tegang. Hanya napas mereka yang terdengar. Aira menggigit bibir, berusaha menahan air mata. Ia ingin menarik ayahnya agar berhenti merendahkan diri, tapi tubuhnya lemas, tenggorokannya tercekat.

Leonard Alvero terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata dengan nada datar, "Maaf, saya nggak butuh asisten. Semua posisi udah ke isi."

Kata-katanya bagai petir yang menyambar.

Ayah Aira mendongak, matanya memohon. "Tapi, Tuan... lihatlah anak saya. Dia pekerja keras, rajin, nggak bakal ngecewain. Cuma beberapa minggu aja, sampe operasi istri saya selesai. Abis itu, kami pergi."

Leonard Alvero hanya diam, hingga Aira mulai gemetar, seolah menahan rasa malu.

"Saya nggak punya yayasan amal," katanya dingin. "Kalau kalian datang buat ngemis, kalian salah tempat."

Ayah Aira hampir terjatuh dari kursi. Napasnya tersengal. Aira segera memegangi bahunya, menatap Leonard Alvero dengan air mata berlinang.

"Tuan..." katanya lirih, menahan sesak di dada. "Saya nggak datang buat ngemis." Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan dengan suara yang hampir pecah, "Saya bisa ngelakuin apa aja... bersih-bersih, bantu-bantu, apa pun yang Tuan mau. Bahkan kalau Tuan butuh tenaga saya seumur hidup... saya bersedia. Asal ibu saya bisa diselamatkan." Ucap Aira.

Leonard Alvero tidak menjawab. Dia menatap keduanya sesaat, lalu berbalik menghadap jendela. Cahaya lampu kota membias di wajahnya, dingin tanpa ekspresi.

"Satpam bakal nganter kalian turun," katanya akhirnya, suaranya rendah dan tajam. "Jangan datang lagi tanpa janji."

Ayah Aira terdiam, bahunya merosot, napasnya berat. Aira hanya bisa menatap punggung Leonard Alvero, punggung yang kaku, seolah nggak punya hati.

Aira gak putus asa, dia memohon pada Leonard Alvero, "Tuan, saya mohon..." suara Aira pecah, nyaris berbisik. "Tolong jangan usir kami. Saya bakal ngelakuin apa aja biar ibu saya bisa dioperasi. Tolong kasih saya kesempatan..."

Ayahnya ikut bersujud di sampingnya, memohon dengan suara serak, "Tuan Alvero... kami nggak punya siapa-siapa lagi. Tolong anak saya. Tolong istri saya."

Hening panjang mengisi ruangan. Leonard Alvero masih membelakangi mereka, lalu perlahan menoleh. Tatapannya redup, sulit ditebak apakah itu amarah, iba, atau sesuatu yang lain.

"Apa aja, kamu bilang?" suaranya pelan tapi menusuk.

Aira mengangguk tanpa ragu. "Iya, Tuan. Apa aja."

Leonard Alvero menatapnya, lalu berjalan mendekat. Ketika akhirnya dia berhenti di hadapan Aira, bayangan tubuhnya menutupi cahaya di wajah gadis itu.

"Kalau gitu," katanya tenang, "saya punya satu tawaran."

Aira menahan napas.

"Ini bukan pekerjaan biasa. Saya nggak bakal maksa. Tapi kalau kamu nerima, semua biaya yang kamu butuhkan bakal saya tanggung... berapa pun."

Ayah Aira menatap tak percaya. "T-tawaran apa itu, Tuan?"

Leonard Alvero tersenyum tipis, senyum yang membuat udara ruangan semakin berat. "Perjanjian antara saya dan putri anda. Cuma itu yang bisa saya tawarkan. Jika anda tidak mau, anda boleh keluar, sekarang."

Suasana seketika membeku. Aira menatap pria itu dengan mata lebar.

Udara di ruang kerja itu terasa semakin dingin. Jam dinding berdetak pelan.

Leonard Alvero berdiri di balik mejanya, tangan terlipat di dada. Tatapannya tertuju pada Aira, tajam, dan dingin.

"Saya nggak bikin keputusan dengan gampang," katanya pelan. "Biasanya, orang seperti kalian udah saya usir dari tadi."

Aira menunduk, suaranya bergetar. "Saya cuma pengen menyelamatkan ibu saya, Tuan."

Leonard Alvero menarik kursinya, duduk perlahan. "Kalau gitu, dengerin baik-baik. Saya bakal ngasih kamu kesempatan. Tapi ini bukan pekerjaan di perusahaan. Ini perjanjian pribadi antara saya dan kamu."

Ayah Aira langsung mendongak. "Perjanjian pribadi? Maksud Anda apa, Tuan?"

Leonard Alvero tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang lurus ke arah Aira. "Kalau putrimu nerima, semua biaya rumah sakit bakal saya tanggung penuh, bahkan lebih dari itu. Tapi ada syarat yang harus dia patuhi.

Ruangan hening. Hanya suara hujan di luar yang terdengar memukul jendela kaca. Ayah Aira menatap putrinya, wajahnya penuh ketakutan. "Aira, kamu nggak harus—"

Tapi Aira menatap Leonard Alvero, matanya berkaca-kaca, namun penuh tekad. "Apa pun syaratnya, Tuan... saya bakal nerima."

Leonard menatap Aira tanpa kedip, wajahnya datar tapi matanya menusuk seperti bilah pisau.

Sudut bibirnya terangkat sedikit—bukan senyum, tapi ekspresi sinis yang seolah meremehkan Aira.

Saat ia berbicara, suaranya pelan namun tajam, seperti seseorang yang yakin penuh bahwa ia memegang seluruh kekuasaan.

“Kamu yakin? Sekali kamu tanda tangan perjanjian ini, nggak ada jalan kembali.”

Nada suaranya terdengar dingin dan menghina.

Aira menelan ludah, menunduk sebentar, lalu mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Saya yakin."

Leonard Alvero membuka laci meja, mengeluarkan selembar kertas tipis berstempel perusahaan, tapi tanpa logo resmi—perjanjian pribadi yang bahkan hukum pun mungkin nggak bisa menjangkaunya. Ia menaruhnya di atas meja, bersama sebuah pulpen hitam.

"Baca dulu kalau kamu mau," katanya dingin. "Kalau yakin, tanda tangani. Setelah itu, saya bakal nepati janji saya. Memberikan berapapun yang kamu minta."

Aira menatap kertas itu. Tangannya gemetar, tangan Aira akhirnya bergerak. Ia mengambil pulpen itu dengan napas bergetar dan menandatangani kontrak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 5. Perjanjian Terlarang

    Tiba-tiba pintu terbuka. Aira sedikit terkejut dan langsung menoleh. Dia melihat Leonard Alvaro sudah berdiri di ambang pintu. Wajah tampan itu langsung menyebarkan aura dingin yang membuat Aira merinding. "Leonard Alvaro?" Tanpa sadar, dia menyebut nama pria itu dengan pelan. Aira berkedip dan memberanikan diri untuk bertanya, "Tuan, ini perjanjian apa?" Leonard Alvaro melangkah mendekatinya dan menyodorkan sebuah paper bag ke hadapannya. "Pakailah,” Suara Alvaro terdengar dingin. “Dan lihat surat di dalamnya. Semua penjelasan ada di sana." Aira menerima paperbag itu dengan tangan gemetar. Dia menatap Leonard sebentar lalu buru-buru menunduk. Sebenarnya dia ingin bertanya lagi. Tapi saat melihat tatapan dingin pria itu, Aira sangat takut. Lalu dia kembali mendengar suara dingin dari pria itu, "Aku akan kembali dalam satu jam. Pastikan kamu sudah siap." Lalu pria itu berbalik dan pergi. Setelah Leonard Alvaro pergi, Aira baru bisa bernafas dengan baik. Kemudian dia memb

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 4 — Tanda Tangan Takdir

    Tinta di atas kertas itu mengering cepat, tapi perasaan Aira justru sebaliknya, membasahi dadanya dengan penyesalan yang bahkan belum sempat ia kenali.Tangannya gemetar saat meletakkan pulpen itu kembali di meja.Klik.Suara kecil saat pena ditutup itu menggema seperti palu godam yang memaku dirinya sendiri.Leonard Alvero mengambil lembar perjanjian itu dengan tenang. Matanya menelusuri tanda tangan Aira sejenak, lalu melipat kertas itu perlahan."Mulai saat ini," ucapnya datar, "hidupmu ada di tangan saya."Kata-kata itu meluncur bagai pisau yang menggores luka tak terlihat di dada Aira. Dia menunduk, bibirnya bergetar, tapi tak menjawab.Di sampingnya, ayahnya memandang dengan wajah bersalah, campur antara syukur dan ngeri yang membuatnya pucat. "Terima kasih, Tuan...," suaranya parau, "tolong... selamatkan istri saya."Leonard Alvero menatapnya datar, lalu menekan tombol di meja. "Raisa," panggilnya singkat. Perempuan yang tadi menghadang Aira segera masuk. "Urus semua biaya ruma

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 3 — Permohonan di Ruang Dingin

    Langit malam kelam saat Aira dan ayahnya digiring menuju lantai teratas Leonard Alvero Group.Di dalam lift, keheningan mencekam. Hanya dengung mesin yang perlahan membawa mereka naik, seolah ikut menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Pintu lift terbuka, hawa dingin langsung menusuk kulit.Ruang kerja Leonard Alvero terbentang luas. Lantai marmer hitamnya berkilauan, memantulkan cahaya kota yang gemerlap dari balik jendela kaca raksasa. Di tengah ruangan, Leonard Alvero berdiri memunggungi mereka, tegap menatap pemandangan kota. Siluetnya terpantul di kaca, bagai raja yang mengamati kerajaannya."Ayah... apa nggak sebaiknya kita pulang aja?" bisik Aira lirih.Ayahnya menggenggam tangannya erat. "Nggak, Aira. Ini satu-satunya harapan kita."Leonard Alvero berbalik perlahan, tatapannya setajam pisau. "Duduk."Mereka menurut. Kursi kulit di depan meja besar itu terasa mewah untuk tubuh mereka yang lelah dan basah.Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar.Ayah Aira menunduk

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 2 — Langit yang Tak Lagi Sama

    Hujan belum juga reda saat Aira tiba kembali di rumah sakit.Tubuhnya menggigil, kaus lusuhnya basah menempel di kulit. Setiap langkah terasa berat, seolah memikul beban dunia di pundaknya.Di genggamannya, brosur Leonard Alvero Group itu remuk dan sobek di beberapa sisi. Selembar kertas yang menjadi saksi bisu harapan yang kini pupus.Di depan kamar ibunya, Aira menarik napas dalam. Jari-jarinya baru saja menyentuh gagang pintu dingin, saat pintu itu terbuka kasar dari dalam.Ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dengan mata merah karena kurang tidur, bekas tangisan, atau amarah yang membara?"Aira!" Suaranya menggema di lorong, tajam menusuk.Aira tersentak. "A-Ayah..."Belum sempat ia menjelaskan, ayahnya mendorong bahunya hingga Aira terhuyung mundur."Kamu ke mana saja seharian ini, hah?! Ibumu hampir—" Suaranya tertahan, tapi amarahnya masih terasa pekat di udara. "Dokter mencarimu! Ayah juga! Kamu menghilang tanpa kabar!"Aira menunduk, bibirnya bergetar. Aku hanya b

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 1 — Napas yang Tersisa

    Cahaya sore menembus tirai kamar rumah sakit, menimpa wajah pucat seorang wanita separuh baya yang terbaring lemah di ranjang sakit.Bunyi mesin monitor detak jantung terdengar pelan, berirama lambat dan seolah memberi tanda jika waktu terus berkurang. Aira duduk di sisi ranjang. Dia memegang tangan wanita itu dengan erat.Kulit tangan itu dingin dan terasa semakin ringan dari hari ke hari. “Ibu harus sembuh, ya… Aira masih butuh Ibu,” bisik Aira pelan. Air matanya jatuh ke punggung tangan itu. Sang ibu tersenyum lemah, “Ibu kuat kok. Kamu jangan nangis terus ya.”Perasaan Aira benar-benar hancur saat melihat senyum tak berdaya itu.Tiba-tiba, suara pintu terbuka pelan.Ayah Aira berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang. Dia menggenggam selembar kertas hasil diagnosa. Sang ayah tidak mengatakan apapun. Tapi dia hanya menatap Aira, berkedip dan kemudian berbalik untuk keluar lagi.Dari sorot matanya, Aira tahu jika ayahnya sedang membawa kabar tidak baik.Jadi ketika ayahnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status