Mag-log inTinta di atas kertas itu mengering cepat, tapi perasaan Aira justru sebaliknya, membasahi dadanya dengan penyesalan yang bahkan belum sempat ia kenali.
Tangannya gemetar saat meletakkan pulpen itu kembali di meja. Klik. Suara kecil saat pena ditutup itu menggema seperti palu godam yang memaku dirinya sendiri. Leonard Alvero mengambil lembar perjanjian itu dengan tenang. Matanya menelusuri tanda tangan Aira sejenak, lalu melipat kertas itu perlahan. "Mulai saat ini," ucapnya datar, "hidupmu ada di tangan saya." Kata-kata itu meluncur bagai pisau yang menggores luka tak terlihat di dada Aira. Dia menunduk, bibirnya bergetar, tapi tak menjawab. Di sampingnya, ayahnya memandang dengan wajah bersalah, campur antara syukur dan ngeri yang membuatnya pucat. "Terima kasih, Tuan...," suaranya parau, "tolong... selamatkan istri saya." Leonard Alvero menatapnya datar, lalu menekan tombol di meja. "Raisa," panggilnya singkat. Perempuan yang tadi menghadang Aira segera masuk. "Urus semua biaya rumah sakit keluarga ini. Pastikan mereka nggak kekurangan apa pun." Raisa sempat melirik Aira sekilas, sedikit heran—tapi ia hanya mengangguk dan keluar tanpa sepatah kata. Aira menatap lantai, matanya kosong. Dia mendengar ayahnya berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Leonard Alvero, tapi semua suara itu terdengar jauh, seolah dari dunia lain. Saat mereka berjalan meninggalkan ruangan itu, Aira sempat menoleh sekali. Leonard Alvero masih berdiri di dekat jendela besar, punggungnya tegap, siluetnya dibingkai cahaya lampu kota. Namun ketika pria itu sedikit menoleh, mata mereka bertemu dan sesuatu dalam tatapan Leonard Alvero membuat napas Aira tercekat. Itu bukan sekadar tatapan dingin seorang pebisnis. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang gelap, misterius, dan seolah sedang menunggu. Aira menunduk cepat-cepat, memeluk map kecil berisi dokumen rumah sakit, lalu melangkah keluar dari gedung Leonard Alvero Group dengan kaki lemas. Di luar, hujan sudah reda, tapi udara masih lembap dan dingin. Motor tua mereka masih terparkir di bawah atap parkiran yang bocor. Ayahnya memutar kunci, tapi tangannya bergetar hebat. "Semua bakal baik-baik aja, Ra..." katanya pelan, suaranya serak. Aira hanya diam, menatap ke depan. Air matanya jatuh tanpa suara, bercampur dengan sisa hujan di pipinya. Dalam hati kecilnya, dia tahu—nggak ada yang bakal baik-baik aja setelah Aira menandatangani kontrak itu. Di lantai atas, dari balik kaca tebal ruangan Leonard Alvero masih berdiri di tempat yang sama. Matanya mengikuti motor tua yang menjauh, lalu berhenti di satu titik kosong di kejauhan. Ia menatap tangan kanannya yang tadi memegang perjanjian itu. Rahangnya mengeras tanpa suara. --- Suara roda ranjang dorong bergema di lorong rumah sakit. Aira berjalan di samping ibunya yang terbujur lemah di atas ranjang operasi. Selang infus menggantung di lengan sang ibu, wajahnya pucat, bibirnya nyaris nggak berwarna. "Bu..." bisik Aira, menggenggam jemari ibunya erat. Wanita itu menatapnya samar, mencoba tersenyum meski napasnya berat. "Kamu anak kuat, ya, Nak..." Kata-kata itu keluar lirih, seperti bisikan terakhir sebelum pintu ruang operasi menutup perlahan—klik! Aira masih berdiri di sana, menatap pintu putih itu seolah bisa menembusnya dengan doa. Ayahnya memeluk bahunya pelan, tapi Aira hanya menunduk, menggigit bibir sampai berdarah. Satu jam berlalu. Lorong mulai sepi. Hanya suara jam dinding yang terdengar monoton. Aira masih duduk di kursi tunggu, matanya sembab, tubuhnya gemetar karena belum makan dan kelelahan. Tiba-tiba, dua pria berpakaian hitam muncul dari ujung koridor. Langkah mereka serempak, tegas, dan berhenti tepat di depan Aira. "Nona Aira Prameswari?" Aira menatap mereka dengan bingung. "Iya, saya..." "Tuan Leonard Alvero meminta kami menjemput Anda," ucap salah satunya datar. "Sekarang." Aira tertegun. "Apa? Sekarang?" Mereka hanya diam, tapi gestur mereka jelas nggak memberi ruang untuk menolak. Ayah Aira segera berdiri, bingung dan panik. "Anak saya belum bisa pergi! Istri saya masih di ruang operasi!" Salah satu pria itu menunduk sopan, namun tegas, "Perintah langsung dari Tuan Leonard Alvero. Segera." Aira menggigit bibirnya, berdiri dengan langkah berat. Air matanya jatuh satu per satu, jatuh ke lantai rumah sakit yang dingin. "Tolong, Tuan... tunggu sampai operasi selesai," pintanya parau, menatap kedua pria berpakaian hitam itu. Namun wajah mereka tetap datar—tanpa belas kasihan, tanpa jeda. Salah satu dari mereka mengulurkan tangan, menggenggam lengan Aira dengan tegas namun tidak kasar. "Maaf, Nona. Kami cuma jalanin perintah." "Saya mohon... ibu saya—" "Kami nggak bisa nunggu." Aira sempat menoleh ke arah ayahnya yang kini memeluk map rumah sakitnya erat-erat, wajahnya pucat pasi. "Ayah..." Suaranya hampir hilang. Kedua pria itu menuntunnya keluar, melewati lorong panjang yang kini terasa begitu asing. Langkah Aira terseret lemah, matanya berkaca-kaca, sementara ayahnya mengikuti sampai depan pintu rumah sakit—tapi nggak mampu berbuat apa pun. Mobil hitam itu menunggu di luar, dengan mesin yang sudah menyala. Begitu Aira masuk ke dalam mobil, salah satu pria itu menutup pintunya perlahan. Ayahnya masih berdiri di tepi trotoar, bajunya basah oleh gerimis, wajahnya penuh luka batin. Saat mobil mulai bergerak, barulah suaranya pecah memecah keheningan malam: "Aira... hati-hati, Nak..." Kata-kata itu bergetar, terbawa angin dan tersangkut di kaca mobil yang mulai menjauh. Aira menatap ke luar, melihat sosok ayahnya mengecil di kejauhan, hingga akhirnya hilang di balik kabut hujan. Di dalam mobil yang sunyi itu, Aira memejamkan mata. Air matanya terus mengalir tanpa suara, sementara dalam hatinya hanya satu doa yang berulang: "Tuhan, jangan biarin Ibu pergi. Tolong selamatkan ibu." ** Gedung Leonard Alvero Group terlihat megah malam itu. Langit sudah gelap, dan lampu-lampu kota memantul di kaca-kaca tinggi bangunan itu. Aira turun dari mobil dengan langkah gontai. Tubuhnya masih basah oleh hujan yang mulai turun kembali, rambutnya menempel di wajah. Saat pintu lift terbuka, ia langsung disambut oleh Leonard Alvero—berdiri di balik meja kerja, mengenakan kemeja hitam, dengan senyum samar yang dingin. "Selamat datang, Aira." Aira mengepalkan tangan. "Kenapa... kenapa Tuan nggak nunggu Ibu saya selesai operasi dulu?!" Suara gadis itu bergetar, namun tajam. "Tuan janji bakal bantu kami! Tapi kenapa malah sekarang saya dijemput?!" Leonard Alvero perlahan berjalan mendekat, langkahnya tenang. Ia meletakkan selembar kertas di atas meja, lalu mendorongnya ke arah Aira. "Baca paragraf ketiga, baris kedua," ujarnya lembut, nyaris seperti godaan. Aira menatap kertas itu, lalu membaca—dan dadanya seakan diremas saat menyadari: 'Perjanjian berlaku efektif sejak pasien dinyatakan masuk ruang operasi.' Ia menatap Leonard Alvero, matanya membulat tak percaya. "Tuan... ini—" "Kamu tanda tangan itu sendiri," potong Leonard Alvero pelan, menautkan senyum samar di sudut bibirnya. "Nggak ada paksaan, kan?" Aira menunduk, wajahnya panas karena malu—bukan hanya karena kesalahan, tapi juga karena ia merasa begitu kecil di hadapan pria itu. Tangannya bergetar, menahan tangis yang tak boleh keluar. Leonard Alvero memperhatikan setiap gerak tubuh gadis itu. Ia mendekat sedikit, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan Aira. "Cuma satu malam, Aira," bisiknya pelan, hampir seperti janji. "Setelah itu, ibumu bakal hidup. Dan kamu bebas." Aira menatapnya, mata beningnya penuh ketakutan dan air mata. Namun ia tahu... perjanjian sudah ditandatangani. Nggak ada jalan kembali. Leonard Alvero berbalik, melangkah menuju pintu samping ruangan. "Raisa, siapkan kamar tamu," perintahnya ringan. Lalu menatap Aira satu kali lagi. "Dan pastikan dia ngerti. Apa arti dari perjanjian itu." Pintu ruangan tertutup dengan lembut, tapi di dada Aira, suara itu menggema keras.Tiba-tiba pintu terbuka. Aira sedikit terkejut dan langsung menoleh. Dia melihat Leonard Alvaro sudah berdiri di ambang pintu. Wajah tampan itu langsung menyebarkan aura dingin yang membuat Aira merinding. "Leonard Alvaro?" Tanpa sadar, dia menyebut nama pria itu dengan pelan. Aira berkedip dan memberanikan diri untuk bertanya, "Tuan, ini perjanjian apa?" Leonard Alvaro melangkah mendekatinya dan menyodorkan sebuah paper bag ke hadapannya. "Pakailah,” Suara Alvaro terdengar dingin. “Dan lihat surat di dalamnya. Semua penjelasan ada di sana." Aira menerima paperbag itu dengan tangan gemetar. Dia menatap Leonard sebentar lalu buru-buru menunduk. Sebenarnya dia ingin bertanya lagi. Tapi saat melihat tatapan dingin pria itu, Aira sangat takut. Lalu dia kembali mendengar suara dingin dari pria itu, "Aku akan kembali dalam satu jam. Pastikan kamu sudah siap." Lalu pria itu berbalik dan pergi. Setelah Leonard Alvaro pergi, Aira baru bisa bernafas dengan baik. Kemudian dia memb
Tinta di atas kertas itu mengering cepat, tapi perasaan Aira justru sebaliknya, membasahi dadanya dengan penyesalan yang bahkan belum sempat ia kenali.Tangannya gemetar saat meletakkan pulpen itu kembali di meja.Klik.Suara kecil saat pena ditutup itu menggema seperti palu godam yang memaku dirinya sendiri.Leonard Alvero mengambil lembar perjanjian itu dengan tenang. Matanya menelusuri tanda tangan Aira sejenak, lalu melipat kertas itu perlahan."Mulai saat ini," ucapnya datar, "hidupmu ada di tangan saya."Kata-kata itu meluncur bagai pisau yang menggores luka tak terlihat di dada Aira. Dia menunduk, bibirnya bergetar, tapi tak menjawab.Di sampingnya, ayahnya memandang dengan wajah bersalah, campur antara syukur dan ngeri yang membuatnya pucat. "Terima kasih, Tuan...," suaranya parau, "tolong... selamatkan istri saya."Leonard Alvero menatapnya datar, lalu menekan tombol di meja. "Raisa," panggilnya singkat. Perempuan yang tadi menghadang Aira segera masuk. "Urus semua biaya ruma
Langit malam kelam saat Aira dan ayahnya digiring menuju lantai teratas Leonard Alvero Group.Di dalam lift, keheningan mencekam. Hanya dengung mesin yang perlahan membawa mereka naik, seolah ikut menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Pintu lift terbuka, hawa dingin langsung menusuk kulit.Ruang kerja Leonard Alvero terbentang luas. Lantai marmer hitamnya berkilauan, memantulkan cahaya kota yang gemerlap dari balik jendela kaca raksasa. Di tengah ruangan, Leonard Alvero berdiri memunggungi mereka, tegap menatap pemandangan kota. Siluetnya terpantul di kaca, bagai raja yang mengamati kerajaannya."Ayah... apa nggak sebaiknya kita pulang aja?" bisik Aira lirih.Ayahnya menggenggam tangannya erat. "Nggak, Aira. Ini satu-satunya harapan kita."Leonard Alvero berbalik perlahan, tatapannya setajam pisau. "Duduk."Mereka menurut. Kursi kulit di depan meja besar itu terasa mewah untuk tubuh mereka yang lelah dan basah.Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar.Ayah Aira menunduk
Hujan belum juga reda saat Aira tiba kembali di rumah sakit.Tubuhnya menggigil, kaus lusuhnya basah menempel di kulit. Setiap langkah terasa berat, seolah memikul beban dunia di pundaknya.Di genggamannya, brosur Leonard Alvero Group itu remuk dan sobek di beberapa sisi. Selembar kertas yang menjadi saksi bisu harapan yang kini pupus.Di depan kamar ibunya, Aira menarik napas dalam. Jari-jarinya baru saja menyentuh gagang pintu dingin, saat pintu itu terbuka kasar dari dalam.Ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dengan mata merah karena kurang tidur, bekas tangisan, atau amarah yang membara?"Aira!" Suaranya menggema di lorong, tajam menusuk.Aira tersentak. "A-Ayah..."Belum sempat ia menjelaskan, ayahnya mendorong bahunya hingga Aira terhuyung mundur."Kamu ke mana saja seharian ini, hah?! Ibumu hampir—" Suaranya tertahan, tapi amarahnya masih terasa pekat di udara. "Dokter mencarimu! Ayah juga! Kamu menghilang tanpa kabar!"Aira menunduk, bibirnya bergetar. Aku hanya b
Cahaya sore menembus tirai kamar rumah sakit, menimpa wajah pucat seorang wanita separuh baya yang terbaring lemah di ranjang sakit.Bunyi mesin monitor detak jantung terdengar pelan, berirama lambat dan seolah memberi tanda jika waktu terus berkurang. Aira duduk di sisi ranjang. Dia memegang tangan wanita itu dengan erat.Kulit tangan itu dingin dan terasa semakin ringan dari hari ke hari. “Ibu harus sembuh, ya… Aira masih butuh Ibu,” bisik Aira pelan. Air matanya jatuh ke punggung tangan itu. Sang ibu tersenyum lemah, “Ibu kuat kok. Kamu jangan nangis terus ya.”Perasaan Aira benar-benar hancur saat melihat senyum tak berdaya itu.Tiba-tiba, suara pintu terbuka pelan.Ayah Aira berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang. Dia menggenggam selembar kertas hasil diagnosa. Sang ayah tidak mengatakan apapun. Tapi dia hanya menatap Aira, berkedip dan kemudian berbalik untuk keluar lagi.Dari sorot matanya, Aira tahu jika ayahnya sedang membawa kabar tidak baik.Jadi ketika ayahnya







