Beranda / Romansa / Bayaran Cinta Sang Miliarder / Bab 2 — Langit yang Tak Lagi Sama

Share

Bab 2 — Langit yang Tak Lagi Sama

Penulis: Atria
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 22:39:57

Hujan belum juga reda saat Aira tiba kembali di rumah sakit.

Tubuhnya menggigil, kaus lusuhnya basah menempel di kulit. Setiap langkah terasa berat, seolah memikul beban dunia di pundaknya.

Di genggamannya, brosur Leonard Alvero Group itu remuk dan sobek di beberapa sisi. Selembar kertas yang menjadi saksi bisu harapan yang kini pupus.

Di depan kamar ibunya, Aira menarik napas dalam. Jari-jarinya baru saja menyentuh gagang pintu dingin, saat pintu itu terbuka kasar dari dalam.

Ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dengan mata merah karena kurang tidur, bekas tangisan, atau amarah yang membara?

"Aira!" Suaranya menggema di lorong, tajam menusuk.

Aira tersentak. "A-Ayah..."

Belum sempat ia menjelaskan, ayahnya mendorong bahunya hingga Aira terhuyung mundur.

"Kamu ke mana saja seharian ini, hah?! Ibumu hampir—" Suaranya tertahan, tapi amarahnya masih terasa pekat di udara. "Dokter mencarimu! Ayah juga! Kamu menghilang tanpa kabar!"

Aira menunduk, bibirnya bergetar. Aku hanya berusaha, batinnya, namun kata-kata itu tercekat di tenggorokan. Hanya desah napas berat dan isak tertahan yang lolos.

"Aira!" Ayahnya mengguncang bahunya. "Kalau kamu sayang ibumu, bantu Ayah cari uang! Kita gak punya banyak waktu lagi! Dokter bilang operasi gak akan bisa dilakukan jika dalam tiga hari kita tidak melunasi biayanya!"

Aira terdiam. Matanya kosong menatap genangan air hujan di lantai, tepat di bawah sepatunya. Tangannya menggenggam erat brosur yang lembap.

"Apa itu?" Ayahnya meraih brosur itu dari tangan Aira dengan kasar. Kertas yang sudah lecek itu direbut paksa. "Leonard Alvero Group? Jadi ini yang kamu lakukan seharian? Melamar kerja?!"

Aira menelan ludah. "Aku... aku hanya ingin membantu, Ayah. Kupikir jika aku diterima, aku bisa mendapatkan..."

"Cukup, Aira!" potong ayahnya dengan nada tinggi. Beberapa perawat menoleh dari ujung lorong. Wajah ayahnya memerah, napasnya memburu. Namun di balik amarah itu, tersirat ketakutan kehilangan istrinya.

Tanpa sepatah kata lagi, ayahnya menarik tangan Aira dengan kasar. "Kalau kamu yakin ini bisa membantu ibumu, kita ke sana sekarang juga!"

"Ayah, jangan... aku—"

"Diam! Apa kamu mau ibumu mati! Apa kamu mau menjadi anak durhaka! Kamu sudah membuat Ayah kehilangan waktu! Sekarang tunjukkan di mana tempatnya!"

Aira terpaksa menurut, langkahnya terseret di lantai licin rumah sakit. Air mata bercampur dengan air hujan yang menetes dari rambutnya. Dalam diam, hatinya bergejolak antara rasa bersalah dan takut.

Di luar, angin malam berhembus dingin. Motor tua mereka meraung pelan, membelah jalanan basah. Knalpotnya berderak-derak setiap kali melindas genangan air. Ayah Aira mengendarai motor dengan rahang mengeras, wajahnya tegang diterpa angin malam.

Aira duduk di belakang. Rambutnya yang basah menempel di kulit, namun hatinya terasa lebih beku dari udara malam itu.

Setiap kali motor berbelok, Aira menatap gedung-gedung tinggi berkilauan di sisi jalan. Dunia yang asing baginya.

Motor tua itu berhenti mendadak di depan gedung megah Leonard Alvero Group. Lampu-lampu tinggi memantulkan cahaya di genangan air, menyoroti pakaian lusuh Aira dan ayahnya yang basah kuyup.

"Turun, Aira!" Suara ayahnya serak, namun penuh penekanan.

"Ayah... tolong jangan sekarang, aku—"

"Turun!" bentaknya, kali ini lebih keras. Suaranya menggema di parkiran yang sunyi.

Aira menggigit bibir, menahan isak yang hampir pecah. Ia menatap gedung menjulang itu—tempat yang beberapa jam lalu menolaknya mentah-mentah. Tangannya gemetar saat ayahnya menariknya masuk melewati pintu kaca besar.

Udara dingin dari pendingin ruangan menusuk kulitnya yang basah. Semua mata pegawai yang masih lembur tertuju pada mereka. Ayah Aira mengabaikan tatapan itu. Ia menghampiri meja resepsionis dengan napas memburu.

"Saya ingin bertemu dengan siapa pun yang bisa membantu kami!" serunya lantang.

Pegawai di meja itu menatap canggung, lalu memberi isyarat ke seorang wanita di sudut lobi.

Wanita yang sama.

Berpakaian rapi dengan blazer hitam mengilap, sepatu haknya mengetuk lantai marmer dengan suara tajam. Tatapannya dingin, bibirnya tersenyum sinis seolah jijik melihat Aira dan ayahnya yang basah kuyup.

"Oh, kalian lagi? Gini deh, bukannya udah saya bilang kan tadi siang, kamu tuh nggak cocok kerja di sini. Lagian, minta gaji segitu? Mimpi kali!" Suaranya tetap lembut, tapi ada nada meremehkan.

Ayah Aira melangkah maju, wajahnya memerah karena marah dan putus asa. "Dia hanya meminta tambahan gaji! Anak saya hanya ingin bekerja, bukan meminta belas kasihan!"

Wanita itu terkekeh pelan. "Tambahan gaji empat ratus juta? Itu bukan permintaan, Pak. Itu mimpi." Ia mendekat, menatap Aira dari atas ke bawah. "Anda pikir wajah polosmu bisa membeli simpati di sini?"

Aira menunduk dalam. Air matanya menetes di lantai marmer dingin, memantulkan bayangan dirinya yang bergetar.

Ayahnya hendak membalas dengan suara meninggi, namun Aira menarik tangannya. "Sudah, Ayah... ayo pulang," bisiknya lirih. Suaranya serak, menahan rasa malu dan juga rasa sedih dalam hatinya.

Wanita itu menatap sinis. "Satpam!" panggilnya singkat. Dua pria berbaju hitam segera mendekat, langkah mereka berat dan serempak. "Keluarkan mereka dari gedung ini. Sekarang."

Aira mundur selangkah, memeluk lengan ayahnya erat. Ayahnya menatap marah, namun tak berdaya. Langkah satpam semakin dekat, hingga suara berat seorang pria memecah keheningan lobi.

"Berhenti."

Semua gerakan terhenti. Kedua satpam membeku, wanita itu menoleh cepat dengan wajah pucat.

Dari arah lift utama, pintu logam terbuka perlahan, memantulkan cahaya ke lantai marmer yang licin. Seorang pria keluar dengan jas hitam sempurna, setiap langkahnya tenang namun penuh wibawa. Sorot matanya tajam, menyimpan dingin dan misteri. Aura di sekelilingnya membuat semua orang menunduk.

"Selamat malam, Tuan," ucap wanita itu gugup sambil membungkuk. Satpam ikut menunduk. Suasana hening mencekam.

Hanya Aira dan ayahnya yang tak bergerak. Mereka berdiri kaku, basah kuyup, dengan tatapan bingung antara takut dan tak percaya.

Tuan Leonard Alvero berhenti beberapa langkah di depan mereka. Matanya menyapu tubuh Aira yang gemetar, rambut basah yang menempel di pipi, pakaian lusuh yang basah kuyup.

"Ada masalah apa di sini?" Suara Leonard Alvero datar, namun tatapannya tajam mengamati sekeliling. Para pegawai menunduk, berusaha menghindar dari pandangannya.

"Tuan, mereka—"

"Saya bertanya, apa yang terjadi di sini?" Suaranya meninggi,

Wanita itu tergagap. "Mereka, Tuan. Sudah saya usir tadi siang, tapi mereka kembali dan membuat keributan."

Leonard Alvero mengalihkan pandangan pada Aira. Tatapan mereka bertemu. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti, hanya ada dua pasang mata yang saling menatap dalam keheningan lobi megah itu. Aira ingin bicara, namun suaranya tercekat di tenggorokan.

Leonard Alvero menurunkan pandangannya, memperhatikan tangan Aira yang menggenggam erat brosur lamaran yang basah dan lecek.

"Siapa namamu?" tanyanya pelan, namun tegas.

Aira menelan ludah. "Aira, Tuan."

Leonard Alvero terdiam sejenak. Tatapannya tajam. "Bawa mereka ke ruanganku," ucapnya datar sebelum berbalik.

Semua orang terperanjat. Wanita tadi menatap tak percaya, "Tu—Tuan? Tapi mereka—"

"Sekarang," potong Leonard Alvero tanpa menoleh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 5. Perjanjian Terlarang

    Tiba-tiba pintu terbuka. Aira sedikit terkejut dan langsung menoleh. Dia melihat Leonard Alvaro sudah berdiri di ambang pintu. Wajah tampan itu langsung menyebarkan aura dingin yang membuat Aira merinding. "Leonard Alvaro?" Tanpa sadar, dia menyebut nama pria itu dengan pelan. Aira berkedip dan memberanikan diri untuk bertanya, "Tuan, ini perjanjian apa?" Leonard Alvaro melangkah mendekatinya dan menyodorkan sebuah paper bag ke hadapannya. "Pakailah,” Suara Alvaro terdengar dingin. “Dan lihat surat di dalamnya. Semua penjelasan ada di sana." Aira menerima paperbag itu dengan tangan gemetar. Dia menatap Leonard sebentar lalu buru-buru menunduk. Sebenarnya dia ingin bertanya lagi. Tapi saat melihat tatapan dingin pria itu, Aira sangat takut. Lalu dia kembali mendengar suara dingin dari pria itu, "Aku akan kembali dalam satu jam. Pastikan kamu sudah siap." Lalu pria itu berbalik dan pergi. Setelah Leonard Alvaro pergi, Aira baru bisa bernafas dengan baik. Kemudian dia memb

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 4 — Tanda Tangan Takdir

    Tinta di atas kertas itu mengering cepat, tapi perasaan Aira justru sebaliknya, membasahi dadanya dengan penyesalan yang bahkan belum sempat ia kenali.Tangannya gemetar saat meletakkan pulpen itu kembali di meja.Klik.Suara kecil saat pena ditutup itu menggema seperti palu godam yang memaku dirinya sendiri.Leonard Alvero mengambil lembar perjanjian itu dengan tenang. Matanya menelusuri tanda tangan Aira sejenak, lalu melipat kertas itu perlahan."Mulai saat ini," ucapnya datar, "hidupmu ada di tangan saya."Kata-kata itu meluncur bagai pisau yang menggores luka tak terlihat di dada Aira. Dia menunduk, bibirnya bergetar, tapi tak menjawab.Di sampingnya, ayahnya memandang dengan wajah bersalah, campur antara syukur dan ngeri yang membuatnya pucat. "Terima kasih, Tuan...," suaranya parau, "tolong... selamatkan istri saya."Leonard Alvero menatapnya datar, lalu menekan tombol di meja. "Raisa," panggilnya singkat. Perempuan yang tadi menghadang Aira segera masuk. "Urus semua biaya ruma

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 3 — Permohonan di Ruang Dingin

    Langit malam kelam saat Aira dan ayahnya digiring menuju lantai teratas Leonard Alvero Group.Di dalam lift, keheningan mencekam. Hanya dengung mesin yang perlahan membawa mereka naik, seolah ikut menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Pintu lift terbuka, hawa dingin langsung menusuk kulit.Ruang kerja Leonard Alvero terbentang luas. Lantai marmer hitamnya berkilauan, memantulkan cahaya kota yang gemerlap dari balik jendela kaca raksasa. Di tengah ruangan, Leonard Alvero berdiri memunggungi mereka, tegap menatap pemandangan kota. Siluetnya terpantul di kaca, bagai raja yang mengamati kerajaannya."Ayah... apa nggak sebaiknya kita pulang aja?" bisik Aira lirih.Ayahnya menggenggam tangannya erat. "Nggak, Aira. Ini satu-satunya harapan kita."Leonard Alvero berbalik perlahan, tatapannya setajam pisau. "Duduk."Mereka menurut. Kursi kulit di depan meja besar itu terasa mewah untuk tubuh mereka yang lelah dan basah.Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar.Ayah Aira menunduk

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 2 — Langit yang Tak Lagi Sama

    Hujan belum juga reda saat Aira tiba kembali di rumah sakit.Tubuhnya menggigil, kaus lusuhnya basah menempel di kulit. Setiap langkah terasa berat, seolah memikul beban dunia di pundaknya.Di genggamannya, brosur Leonard Alvero Group itu remuk dan sobek di beberapa sisi. Selembar kertas yang menjadi saksi bisu harapan yang kini pupus.Di depan kamar ibunya, Aira menarik napas dalam. Jari-jarinya baru saja menyentuh gagang pintu dingin, saat pintu itu terbuka kasar dari dalam.Ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dengan mata merah karena kurang tidur, bekas tangisan, atau amarah yang membara?"Aira!" Suaranya menggema di lorong, tajam menusuk.Aira tersentak. "A-Ayah..."Belum sempat ia menjelaskan, ayahnya mendorong bahunya hingga Aira terhuyung mundur."Kamu ke mana saja seharian ini, hah?! Ibumu hampir—" Suaranya tertahan, tapi amarahnya masih terasa pekat di udara. "Dokter mencarimu! Ayah juga! Kamu menghilang tanpa kabar!"Aira menunduk, bibirnya bergetar. Aku hanya b

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 1 — Napas yang Tersisa

    Cahaya sore menembus tirai kamar rumah sakit, menimpa wajah pucat seorang wanita separuh baya yang terbaring lemah di ranjang sakit.Bunyi mesin monitor detak jantung terdengar pelan, berirama lambat dan seolah memberi tanda jika waktu terus berkurang. Aira duduk di sisi ranjang. Dia memegang tangan wanita itu dengan erat.Kulit tangan itu dingin dan terasa semakin ringan dari hari ke hari. “Ibu harus sembuh, ya… Aira masih butuh Ibu,” bisik Aira pelan. Air matanya jatuh ke punggung tangan itu. Sang ibu tersenyum lemah, “Ibu kuat kok. Kamu jangan nangis terus ya.”Perasaan Aira benar-benar hancur saat melihat senyum tak berdaya itu.Tiba-tiba, suara pintu terbuka pelan.Ayah Aira berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang. Dia menggenggam selembar kertas hasil diagnosa. Sang ayah tidak mengatakan apapun. Tapi dia hanya menatap Aira, berkedip dan kemudian berbalik untuk keluar lagi.Dari sorot matanya, Aira tahu jika ayahnya sedang membawa kabar tidak baik.Jadi ketika ayahnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status