Share

Prasangka

“Apa mas mengenal Alena sebelumnya?” 

Pertanyaan itu langsung keluar begitu saja dari mulut Tiara saat dia berhadapan dengan suaminya, sepuluh tahun mereka sudah mengarungi rumah tangga bersama, dengan dua orang anak yang menjadi anugerah untuk mereka. Meski sang suami tidak puas karena dia belum bisa memberikan anak perempuan.

Tiara melihat wajah suaminya sedikit pias saat dia mengucapkan kalimat itu,  wajah Farhan yang  tadi sesekali menoleh pada box tempat Alena berada langsung sempurna menghadapnya, membuat ular yang dari tadi menebarkan bisa diotaknya menggeliat bangun dan siap menerkam. 

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” 

“Bukankah mas seharusnya tinggal menjawab.” 

Tiara masih menunggu jawaban dari suaminya, melihat gelagat suaminya yang gelisah membuat hati Tiara sakit. 

Apa sepenting itu anak perempuan untuk suaminya? Tidak bisakah suaminya berbaik hati dengan melakukan usaha yang lain? Atau memang itu hanya alasan untuk membenarkan kekejaman ini? 

“Aku menunggu,” kata Tiara dengan dingin, dia sebenarnya bukan wanita yang suka memaksakan kehendak, apalagi pada suami yang harusnya dia hormati, tapi rasa sakit tak yang ada di dadanya membuatnya tak bisa menahan diri untuk melakukannya. 

Sejenak matanya terpejam, dia seolah kehilangan pengendalian dirinya, cinta untuk sang suami nyatanya telah membuat sebuah lubang yang begitu dalam, ingin rasanya dia menjerit dan menuntut sang suaminya mengatakan kalau dugaannya itu tidak benar, tapi entah mengapa hatinya merasa harapannya akan kandas. 

Tiara wanita yang tidak pernah kehilangan harapan selama ini. 

Harapan adalah salah satu pegangannya, seperti tali yang bisa menariknya ke atas saat dia sedang terpelosok ke dalam lubang, tapi sekarang harapan itu kandas saat melihat wajah suaminya. 

“Sepertinya begitu.” 

“Apa maksudmu?” 

“Bukankah wajah bayi itu sering berubah-ubah, seperti Arka dan Araz dulu.” Bahkan Tiara tak yakin Farhan pernah memperhatikan perubahan wajah itu saat anak mereka masih kecil. 

“Baiklah aku ganti pertanyaanku, apa kamu mengenal orang tua anak itu?” tanya Tiara dengan nada lambat seolah memastikan Farhan mengerti benar dengan pertanyaannya. 

“Kamu bicara apa, Bu, bukankah kamu yang menemukannya di rumah depan.” 

Tiara menarik napas panjang dan kembali menatap suaminya dengan pandanagan penuh tekad. “Aku memang yang menemukan pertama kali, tapi aku sama sekali tidak tahu asal usulnya dan mas juga melarangku melaporkannya pada polisi.”

“Itu karena aku ingin anak perempuan, kamu tidak lupa itu kan.”

“Tapi bukan berarti memperlakukan anak itu dengan sangat istimewa bahkan melebihi anak kandungmu sendiri.” 

“Aku tidak berlebihan, anak-anak kita sudah besar tidak mungkin aku menggendongnya seperti bayi, lagi pula mereka laki-laki jangan terlalu dimanja.” 

“Apa tidak memberinya makan seharian padahal kamu sudah makan itu juga cara mendidik yang kamu yakini benar?” 

Kali ini Tiara sekali lagi melihat wajah terkejut suaminya, entah dia memang tidak menyadari Araz yang belum makan sejak pagi, atau memang dia tak peduli, Tiara tak tahu. Yang jelas dia sudah muak dengan pertunjukan kasih sayang penuh ketimpangan yang dilakukan suaminya pada anak kandungnya. 

“Aku mencintaimu dan aku juga peduli pada anak-anak.” 

Tiara yang sudah melangkah meninggalkan suaminya hanya menoleh sebentar saat mendengar kalimat itu. 

Benarkah? Kenapa dia mulai ragu? 

***

Sore itu Tiara yang biasanya mengasuh anak-anak dibantu mbak sari  yang akan pulang jam tujuh malam. Akan tetapi kali ini dia harus melakukannya sendiri. Farhan bilang memang tidak suka ada orang lain yang berkeliaran di rumahnya sepanjang hari, meski orang lain itu membantu pekerjaan mereka. 

Lagi pula Tiara juga tidak mau waktunya bersama-sama anak-anak  yang sudah berkurang di kala dia bekerja, semakin berkurang karena merasa ada orang lain yang menghandle anak-anaknya. 

"Alena mandi dulu  ya, Nak," k." 

Tiara menatap bocah kecil menggemaskan itu, bocah yang sangat cantik memang, jika ditanya apa dia sakit hati saat dia berpikir kalau anak ini adalah anak kandung suaminya dengan wanita lain, jawabannya ya dan tidak. 

 Ya sakit hati, karena anak ini adalah bukti hidup pengkhianatan suaminya, tapi juga tidak saat dia berpikir anak ini sama sekali tidak bersalah, yang 

membuat kesalahan adalah ayah dan ibunya. 

Tiara menghela napas dalam, berusaha menetralkan gemuruh dalam hatinya, dia tidak ingin melampiaskan sakit hatinya pada anak yang tidak berdosa. 

Tiba-tiba Alena tersenyum padanya, memperlihatkan giginya yang ompong. Tira langsung tertegun, seolah anak ini sedang berterima kasih karena tak menyalahkannya. 

Anak itu tertawa senang saat Tiara mengelitiki tubuhnya. 

"Ibu." 

Tiara menoleh dengan membawa Alena yang masih berbalut handuk dalam pelukannya. 

Araz yang sudah dia mandikan sedang berada pada gendongan Fariz, adik iparnya.

"Anak ini masih di sini, Mbak?" tanya Fariz sambil menatap Alena dengan tatapan tak suka. 

"Stt, dia udah ngerti omongan orang, Riz," jawab Tiara yang sedikit terkejut dengan ucapan adik iparnya itu. 

Fariz hanya melengos. "Ini Araz cariin mbak dari tadi." 

Tiara menaatap anak keduanya itu dengan senyum di bibir anak itu mengantuk, mungkin karena seharian bermain dan tidak tidur siang. 

"Sebentarnya sayang, ibu pakein baju adik dulu....nitip Araz bentar ya Riz atau bilang mas Farhan untuk tidurkan Araz."

Sejenak Tiara melihat Fariz hanya menatapnya dan Alenaa secara bergantian sampai dia harus menegurnya. 

"Riz?" 

"Ah... iya mbak tentu saja biar aku saja yang tidurkan Araz. Yuk jagoan kita bobok dulu sebentar." 

"Sambil cerita ya, om." 

"Tentu dong, kita mau baca cerita apa ini?" 

Dan percakapan dua orang itu tak terdengar lagi begitu mereka menjauh. Tiara langsung menghembuskan napas lega. 

Interaksi Fariz dan kedua anaknya terlihat lebih dekat dari pada dengan Farhan ayah kandungnya sendiri, membuatnya kadang dia tidak enak hati pada adik iparnya itu. 

"I...ibu..."

Tiara langsung tersadar sadar saat suara itu memanggilnya. Alena sedang merengut karena Tiara yang dari tadi memakaikan kaus melewati kepala alena dan satu tangannya saja sehingga anak itu tak bisa bergerak. 

"Oh maaf ya, Nak, sini ibu bantu." 

Tiara perkirakan Alena berusia sekitar lebih dari satu tahun dan dalam lebih dari satu bulan dia tinggal di sini, anak itu sudah memanggilnya dengan ibu dan Farhan dengan ayah, seolah anak ini memang lahir dari rahimnya. 

Ah andai saja. 

Tak ingin terjebak dengan pemikiran konyolnya sendiri, Tiara segera menggendong Alena  yang terlihat sangat senang dengan mainan di tangannya. "Ayo kita lihat kakak." 

“Mas harus memberitahu mbak Tiara soal ini, dia berhak tahu.” 

Tiara langsung menghentikan langkahnya. “Aku pasti akan mengatakannya tapi tidak sekarang.” 

Tiara merapatkan gendongannya pada tubuh Alena, untung saja anak itu diam saja dan tidak bersuara. 

“Kapan mas akan mengatakannya?” suara mendesak Fariz kembali terdengar. 

“Sampai aku siap.” 

“Dan kapan mas akan siap, jika sikap mas masih seperti ini.” Suara Fariz yang makin meninggi membuat Alena terkejut dan spontan langsung menangis keras, membuat dua orang itu menoleh dengan wajah terkejut. 

“Apa yang perlu aku tahu....”



Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status