Share

Titik Awal

Suasana ruangan yang memanas langsung membeku seketika, oh ini tidak ada hubungannya dengan pendingin ruangan yang sedang menyala. Ini tentang suasana hati yang tak bisa diterka.

“Apa yang perlu aku tahu? Kenapa tidak sekarang saja?” 

“Bukan hal penting.” Farhan melangkah mendekati Tiara dan bermaksud mengambil Alena yang sedang menangis dari gendongannya, tapi dengan gesit Tiara menepis tangan suaminya itu. 

“Katakan apa yang harus aku tahu, aku bukan anak kecil yang mudah teralihkan.” 

Sejenak suasana kembali canggung. “Hari minggu ada arisan di rumah, Ibu ingin mbak datang membantu,” suara Fariz memecah ketegangan, tapi tentu saja Tiara tahu bukan itu permasalahan yang sedang mereka bicarakan. 

Akan tetapi beberapa hari ini dia sudah terbiasa. Terbiasa  untuk berpura-pura bahagia, terbiasa bahwa semua baik-baik saja, meski ada bom besar yang bisa saja meledak sewaktu-waktu tanpa dia sadari. 

Tiara tidak akan mengumpankan diri untuk menyalakan bom itu, tentu saja tidak, dia akan mencari tempat perlindungan yang aman agar saat bom meledak dia tidak akan terkena dampaknya. 

“Ah begitu, aku pikir ada masalah yang sangat penting sampai kamu langsung kemari sepulang kerja.” 

Tiara memperhatikan penampilan Fariz yang masih mengenakan kemeja formal dan celana bahan, pakaian yang hanya dia gunakan saat pergi bekerja. 

“Yah mau bagaimana lagi aku kangen dengan anak-anak,” kata laki-laki itu sambil menggaruk belakang  kepalanya yang Tiara sangat  yakin tidak benar-benar gatal. 

Percakapan itu membuat suasana menjadi cair kembali, sedangkan Farhan langsung mengambil alih Alena dari gendongan Tiara dan menciumi wajahnya dengan senyum lebar. 

Sungguh hati Tiara terasa perih, belum pernah suaminya memperlakukan anak-anaknya seperti itu. 

Mereka laki-laki dan tidak pantas dimanja, begitulah selalu yang dikatakan suaminya jika Tiara protes dan saat ini dia sudah lelah untuk protes. 

“Kamu sudah menidurkan Araz, mas?” tanya Tiara sambil lalu, sebenarnya dia tidak yakin Farhan melakukannya, tapi tetap saja dia tanyakan. 

“Eh Fariz sudah melakukannya.” 

Benar bukan. 

“Terima kasih, Riz sudah menyayangi anak-anak,” kata Tiara dengan tulus. 

“Mbak apain sih, anak-anak itu keponakanku, sudah sewajarnya aku sayang pada mereka, apalagi jika orang yang seharusnya menyayangi mereka sama sekali tak peduli,” kata laki-laki itu menyindir langsung kakaknya, tapi sepertinya yang disindir terlalu sibuk dengan Alena. 

Tiara merasa kalau Fariz sejak pertama bertemu Alena sudah membencinya, padahal bayi itu sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun. Kalau dari kaca mata orang awam tentu bisa dikatakan nasibnya begitu mengenaskan, tapi sikap Fariz begitu sinis padanya. 

Jangankan menggendong seperti yang dia lakukan pada Arka dan Araz, bahkan melihat wajah Alena saja enggan, dan pembicraan kakak beradik tadi, membuatnya makin diliputi rasa curiga. 

“Oh ya aku tadi sempat membelikan oleh-oleh untuk anak-anak sebentar aku ambil,” kata fariz membuyarkan lamunan Tiara. 

“Ada apa sebenarnya mas, aku tahu kalau bukan arisan yang dimaksud Fariz, ku pikir kamu mempercayaiku dan saling terbuka, tapi sekarang aku sama sekali tak mengenalmu.” 

“Bukan hal yang penting, aku akan mengatasinya, kamu hanya harus percaya kalau kamu satu-satunya wanita yang aku cinta.” 

“Benarkah? Kenapa aku tidak merasa begitu?” 

Tiara langsung membalikkan badannya tak peduli lagi pada suara panggilan suaminya, juga rengekan Alena yang ingin dia gendong. Sekali ini saja dia ingin egois. 

Seperti yang dikatakan Fariz, mereka diminta datang karena ada arisan di rumah mertua Tiara. 

Mereka akan pergi ke sana siang ini, Tiara sebenarnya tidak keberatan pergi sendiri bersama anak-anak dan mbak Sri, tapi Farhan berkeras dia akan pulang saat istirahat kantor dan mengantar mereka.  “Kalian sudah siap?” tanyanya. 

Tiara hanya mengangguk, tangannya menggandenga Araz yang masih mengantuk, sedangkan Arkan berdiri dalam diam di samping ibunya. 

“Mbak Sri yang gendong Alena?” 

Tiara langsung menghela napas dengan malas, sikap perhatian yang berlebih, bahkan mengabaikan anaknya yang lain seperti sudah menjadi hal yang biasa untuk Farhan. 

“Iya, ada masalah?” tanya Tiara dengan nada sebal. 

“Ehm... tidak aku pikir kamu akan mengasuh Alena dan mbak Sri yang membantu ibu.” 

“Aku lebih suka di dapur, banyak orang yang bisa aku ajak bicara.” 

“Tapi Alena...” 

“Araz dan Arka sudah besar dan aku akan mengawasi mereka dari dapur tenang saja.” 

Tanpa menoleh lagi pada Farhan yang masih ingin protes, Tiara langsung melangkah ke dalam mobil dan membantu dua anaknya juga mbak Sri untuk duduk, sebelum dia sendiri mengambil tempat duduk di samping kursi kemudi. 

Perjalanan itu dilalui dalam  keheningan, bahkan Arka dan Araz yang biasanya suka berceloteh, kali ini bungkam, dan Tiara seolah tersesat dalam dunianya sendiri, beberapa kali Farhan menyentuh tangannya dan mengajaknya bicara, tapi Tiara hanya menjawab sekedarnya saja seoalah mereka hanya orang asing. 

“Akhirnya kalian datang juga.” 

Ibunda Farhan sudah menyambut di depan rumahnya dan segera memeluk cucu-cucunya termasuk Alena. 

“Kalian masuk saja dulu, ibu mau nunggu si Fariz katanya ambil kue saat istirahat ini kok belum datang.” 

Tiara hanya mengangguk setelah menyalami ibu mertuanya. 

“Ayo anak-anak ganti baju dulu.” Tiara membimbing kedua anaknya untuk memasuki kamar yang biasa mereka gunakan saat berkunjung kemari. 

“Tunggu Tiara, bisa mas bicara sebentar,” cegah Farhan begitu Tiara akan menutup pintu kamar yang ditempati anak-anaknya.

“Sebentar, mas aku mau bantu anak-anak ganti baju.” 

Betapa bencinya Tiara dengan suasana ini, berkali-kali dia terjebak canggung dengan suaminya di depan anak-anak, ternyata berpura-pura baik-baik saja itu malah membuatnya makin kesakitan. 

Tiara berdecak kesal saat Farhan sama sekali tidak meninggalkannya, dia hanya menatap Tiara yang sibuk dengan anak-anak tanpa niat membantu, tumben sekali dia tidak ribut karena Alena. 

Karena tahu tidak ada yang bisa dijadikan alasan dan Tiara juga tahu kalau sebentar lagi waktunya sang suami untuk kembali ke kantor mau tak mau dia mengikuti langkah Farhan ke dalam kamar yang biasa mereka tempati. 

“Kamu kenapa?” 

Itu kata pertama yang diucapkan Farhan saat mereka sudah berada di dalam kamar. 

“Aku... baik-baik saja,” kata Tiara dengan acuh. 

Tiara berusaha keras untuk tidak menghempaskan tangan Farhan yang memeluk tubuhnya dengan posesif, sejak suaminya tidak mau jujur tentang Alena, entah mengapa enggan rasanya untuk Tiara berdekatan dengan suaminya. 

“Aku tidak suka kamu mengacuhkanku seperti ini, aku minta maaf kalau aku salah.” 

“Dan apa kesalahan mas itu?” sambar Tiara cepat yang membuat tubuh Farhan yang memeluknya menegang. 

“Tidak mengambilkan makanan untuk Araz kemarin.” Kata Farhan dengan nada ragu, tapi dia lalu melanjutkan. “Aku minta maaf untuk itu, aku hanya...” 

“Terlalu menyayangi Alena sampai lupa dengan anak kandungmu sendiri, atau sebenarnya Alena adalah anak kandungmu?” 

Pelukan itu langsung terlepas dan Tiara bisa melihat wajah Farhan yang merah padam, sebelum membanting pintu kamar dan pergi tanpa mengatakan apapun. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, apa otak mu g bisa mikir dikit. klu curiga tes dna sana dan jgn cari ribut terus tapi cari bukti njing. koq dungu melebihi binatang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status