Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba tersenyum. "Sagara, aku sangat senang kamu mengatakan itu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkannya."
Sagara tak menunjukkan kekecewaan. Ia justru tersenyum lembut, mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Sayang. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu aku mencintaimu dan aku akan selalu ada untukmu." Brisa menatapnya dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Sagara lebih erat. Malam ini, di bawah langit yang dihiasi bintang, Brisa merasakan betapa tulusnya cinta Sagara. Namun, di balik itu semua, hatinya tetap dipenuhi ketakutan. Brisa tersenyum bahagia ketika Sagara meraih tangannya dengan lembut. Matanya membulat saat melihat sebuah kotak beludru kecil di tangan pria itu. Dengan hati-hati, Sagara membukanya, memperlihatkan gelang berlian yang berkilauan di bawah cahaya malam. Gelang itu luar biasa. Bertabur berlian langka berwarna merah muda dan biru, dengan sebuah berlian berbentuk hati yang lebih besar di tengahnya, memancarkan kilauan magis yang memukau. "Brisa, ini untukmu," ujar Sagara dengan suara lembut, sambil menyematkan gelang itu di pergelangan tangan Brisa. Brisa menatap perhiasan indah itu dengan mata berbinar. "Ini... ini 'The Constellation of Love'! Gelang langka yang hanya ada lima di dunia. Aku tidak percaya kamu memberiku sesuatu yang seberharga ini!" Sagara tersenyum hangat. "Benar. Gelang ini dipercaya membawa keberuntungan bagi pemiliknya dalam hal cinta. Aku ingin kamu memilikinya, karena bagiku, kamu adalah takdirku." Brisa tertegun, hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Ia mengusap permukaan berlian dengan jemarinya, merasakan kilaunya yang dingin dan sempurna. "Aku sering melihat gelang ini di katalog perhiasan, tapi harganya sangat mahal. Aku tak pernah membayangkan akan memilikinya." Sagara menangkup tangannya. "Tak ada harga yang terlalu mahal untuk kebahagiaanmu, Brisa. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum." Mata Brisa berkaca-kaca. Ia menatap pria di hadapannya dengan penuh haru. Tanpa ragu, ia merengkuh tangan Sagara lebih erat. Malam itu, di bawah langit berbintang, Brisa merasa dicintai lebih dari sebelumnya. *** Keesokan paginya, Bu Tara duduk di ruang tamu, menunggu Brisa dengan perasaan tak menentu. Saat putrinya keluar dari kamar dengan wajah berbinar, Bu Tara tak bisa menahan senyum. "Bagaimana kencanmu dengan Sagara semalam?" tanyanya lembut. Brisa tersenyum lebar. "Sangat menyenangkan, Ma. Sagara benar-benar perhatian dan membuatku merasa spesial." Bu Tara mengangguk lega, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Dengan suara hati-hati, ia bertanya, "Kamu sudah siap menikah dengan Sagara?" Brisa terdiam. Senyum di wajahnya perlahan menghilang, digantikan dengan keraguan. "Aku... Aku tidak tahu, Ma," suaranya melemah. "Di satu sisi, aku sangat menyukai Sagara. Dia begitu baik dan tulus. Tapi di sisi lain, aku takut. Bagaimana kalau dia tidak bisa menerimaku?" Bu Tara menarik putrinya ke dalam pelukannya, membiarkan Brisa menemukan ketenangan di dekapannya. "Mama mengerti, Sayang, tapi apa pun keputusanmu, Mama dan Papa selalu ada di sisimu. Kamu tidak sendirian." Air mata Brisa mengalir. Ia membenamkan wajahnya di bahu ibunya, membiarkan semua ketakutannya luruh dalam pelukan hangat itu. *** Di tempat lain, Dokter Angga berjuang melawan waktu. Ia tahu satu-satunya cara untuk memperbaiki kesalahannya adalah menemukan wanita itu—wanita yang telah menerima inseminasi dengan sperma yang salah. Dengan langkah cepat, ia memasuki rumah sakit tempatnya dulu bekerja. Di sana, di antara tumpukan dokumen, tersembunyi jawaban yang ia cari. Setelah berjam-jam menelusuri buku registrasi pasien, jemarinya akhirnya berhenti di satu nama. Brisa Sanjaya. Nama itu terasa asing, namun kini menjadi pusat dari segalanya. Jantungnya berdegup kencang saat membaca detailnya. Brisa telah dijadwalkan untuk pemeriksaan kandungan. Dengan tangan gemetar, ia mencatat alamat dan nomor telepon Brisa. Ia tahu, ia tak bisa menunda lebih lama. Mengambil napas dalam, ia mengangkat ponselnya dan mulai mengetik pesan. "Halo, Bu Brisa. Saya Dokter Angga. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan. Bisakah kita bertemu?" Tangannya berkeringat saat menekan tombol kirim. Sekarang, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dan berharap semuanya belum terlambat. "Halo, Bu Brisa? Saya Dokter Angga Diaksara. Saya ingin berbicara dengan Anda tentang sesuatu yang sangat penting." Suara di ujung telepon terdengar tegas, namun ada nada mendesak yang tak bisa diabaikan. Brisa mengernyit, jantungnya berdegup lebih cepat. Nama itu terasa asing di telinganya. Dokter Angga Diaksara? Siapa dia? Kenapa tiba-tiba menghubunginya? "Ada apa, Dok?" tanyanya, mencoba menutupi kegelisahannya. Hening sesaat. Lalu, suara Dokter Angga kembali terdengar, lebih berat kali ini. "Bisakah kita bertemu langsung? Saya tidak bisa menjelaskannya di telepon." Brisa menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dadanya berdebar tak nyaman. Namun, ia mengiyakan. Tak lama setelah panggilan berakhir, Dokter Angga mengirimkan pesan singkat pada Mattheo. "Saya sudah menemukan wanita itu. Dia kemungkinan besar penerima donor sperma Anda. Akan saya kabarkan lebih lanjut setelah bertemu dengannya."Langit Jakarta sore itu ditaburi semburat jingga keemasan. Dari apartemen lantai 12 bergaya minimalis di kawasan Senopati, angin membawa aroma hujan yang belum lama reda. Brisa berdiri di balik jendela besar ruang tamu, memandangi lalu lintas yang bergerak perlahan seperti semut-semut bercahaya. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Lima tahun telah berlalu, namun setiap sore seperti ini masih memberinya waktu untuk merenung. Suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga yang hangat, diselingi denting gelas dan suara lagu anak-anak yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan.Brisa duduk di atas sofa empuk berwarna krem, memangku seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang tengah tertawa geli karena digelitik. Wajah anak itu adalah perpaduan manis dari keduanya—mata biru penuh rasa ingin tahu milik Brian, dengan senyum lembut yang mirip Brisa.“Sayang, pelan-pelan ya, mama capek dikejar terus,” ucap Brisa sambil mencium pi
Malam telah larut, namun suasana di rumah Bibi Rika justru semakin hangat. Di ruang keluarga, pelukan, air mata, dan senyum bercampur jadi satu setelah Arsaka kembali dengan selamat ke pelukan Brisa dan Brian. Bu Arini dan Bu Tara tak berhenti berucap syukur dan memastikan bahwa ini bukan mimpi.Pak Raditya, meski masih diliputi rasa bersalah karena pernah memberi alamat kepada Ivana tanpa curiga, kini hanya bisa bersyukur bahwa semuanya berakhir tanpa tragedi. Di sudut ruangan, Brisa duduk bersandar di sofa, memeluk Arsaka yang sudah mulai tertidur dalam dekapannya. Brian duduk di karpet, tepat di depan mereka, memandangi putra kecilnya dengan tatapan tak henti-henti dipenuhi rasa syukur.Namun ada yang belum tuntas. Ada beban yang selama ini Brian simpan, luka dan rasa yang terkunci sejak bertahun-tahun lalu. Dan malam ini, saat semua orang sudah mulai masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Brian tahu—ia harus berkata jujur.“Brisa.”Brisa membuka mata, masih duduk dengan
“Ivana?” ulang Bu Arini pelan, seakan tak percaya dengan yang baru didengarnya.Pak Raditya menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. “Ivana sempat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Dia menanyakan Brian, katanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Kami... kami bilang kamu ada di Osaka, bahkan kami memberinya alamat rumah ini.”“Apa?!” seru Brian, suaranya naik beberapa oktaf. “Kalian memberinya alamat?!”“Kami tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Kami tak menduga—” Bu Arini menutup mulutnya, air matanya mulai mengalir. “Maafkan kami!"Brisa menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Yang penting sekarang, kita temukan Arsaka.”Mereka semua duduk di ruang keluarga, masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam Brian diletakkan di atas meja, menanti panggilan dari pihak kepolisian. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, menciptakan tekanan yang tak kasat mata.Brian berdiri, menghela napas panjang. “Aku keluar sebentar, butuh udara.”Ia m
Suara burung-burung kecil bersahutan di ranting sakura, angin berembus lembut mengibaskan tirai. Brisa baru saja menyuapi Brian sepotong onigiri buatan ibunya ketika suara tangis kecil Arsaka pecah, lalu berubah menjadi gerutuan halus. “Dia sudah bangun?” tanya Brian sambil bangkit dari duduknya. “Sepertinya belum. Mungkin hanya gelisah.” Brisa tersenyum, mengusap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri. Stroller Arsaka berada di pekarangan depan, tepat di bawah pohon sakura. Mereka sengaja meletakkannya di sana agar bayi itu bisa tidur dengan nyaman di bawah semilir angin. Brisa menoleh sebentar dari jendela, melihat tubuh kecil Arsaka masih meringkuk di dalam stroller dengan selimut yang menyelimuti hingga dagu. Ia berpaling sebentar ke dapur, berniat mengambil termos air panas untuk membuat susu cadangan. Dalam waktu yang sama, diam-diam sesosok wanita menyelinap masuk dari gerbang samping rumah—Ivana. Dengan langkah pelan, penuh perhitungan, Ivana mendekati stroller. Ha
Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,
Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b