Tanpa menunggu lama, Ros berbalik dan melangkah keluar dengan air mata mengalir di pipinya. Namun, langkahnya mantap, meski hatinya berantakan.
Di belakangnya, Narendra hanya berdiri diam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa kosong, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya. Dia melangkah perlahan, meninggalkan ruangan itu dengan hati yang hancur. Di balik keteguhan wajahnya, gadis itu menggenggam tangan erat, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah. Dan di saat pintu tertutup, keheningan memenuhi ruangan, menyisakan dua hati yang sama-sama terluka. "Mereka menghinaku dengan apa yang sama sekali aku tak pernah aku bayangkan. Bahan, hinaan dan makian keluar dari pria yang sangat aku cinta. Narendra, lebih percaya mereka. Argh!" Rosalia kembali ke rumahnya dengan hati hancur. Kemahamilan yang tak terduga membuat hidupnya hancur seketika. Mimpi indah merajut kebahagiaan bersama sang kekasih pun kandas. Dia melangkah gontai dengan hati remuk juga perasaan tak karuan untuk menghadapi orang di rumahnya. Kakinya menginjak halaman rumah, entah apa yang akan terjadi dengan hidupnya setelah ini. Setelah mendapat hinaan, kini sudah bisa dipastikan di dalam rumah dirinya akan kembali menjadi bulan-bulanan amarah keluarganya. ** "Ayah, aku juga tidak tahu ayah! Maafkan aku." Kakinya menginjak halaman rumah, entah apa yang akan terjadi dengan hidupnya setelah ini. Setelah mendapat hinaan, kini sudah bisa dipastikan di dalam rumah dirinya akan kembali menjadi bulan-bulanan amarah keluarganya. "Dasar anak jalang!" Sebuah tamparan mendarat di pipi Ros. Ros terhuyung ke belakang, tangannya refleks menyentuh pipinya yang perih. Tamparan itu tidak hanya menyakitkan fisik, tapi juga meremukkan hatinya. Ia memandang ayahnya dengan air mata yang menggenang di matanya, mencoba mencari setitik pengertian yang mungkin tersisa. “Maaf?!” suara ayahnya membahana, penuh kemarahan yang sulit diredam. “Kamu pikir maaf bisa memperbaiki semuanya? Kamu sudah menghancurkan nama baik keluarga ini, Ros! Apa yang akan dikatakan orang-orang?!” Ros menggigit bibirnya, menahan tangis yang makin deras. “Ayah… aku tidak pernah berniat membuat Ayah kecewa. Aku juga tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Tolong percaya padaku…” “Tutup mulutmu!” bentak sang ayah, nadanya semakin meninggi. “Aku seharusnya tahu kamu hanya akan membawa malu. Dan benih di rahimmu itu adalah anak pembawa sial!" Wajah sang ayah memerah karena begitu amat kecewa. Ros terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti badai. Jantungnya terasa seperti diremas-remas, hampir tidak bisa bernapas. “Ayah…” bisiknya lirih, penuh luka. "Ros, gara-gara janin sialan itu semua yang sudah aku rencanakan dengan matang harus kandas. Keluarga Narendra menarik semua modal investasi yang mereka janjikan." Ibu tirinya yang sedari tadi diam hanya memandang dengan mata penuh kebencian. “Sudah kubilang, anak ini hanya akan membawa petaka. Kita seharusnya mendengarkan saat semua orang memperingatkan kita dulu,” gumamnya dingin. Ros memandang mereka satu per satu, mencoba mencari sedikit rasa kasih sayang yang pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah amarah dan kekecewaan. Ia sadar, ia sendirian sekarang. "Ros, kau benar- benar membuat malu. Gugurkan saja janin sialan itu!" Meriaa, adik tiri Ros memberikan ide. "Tidak, aku tidak akan menambah dosa! Anak ini akan lahir dan kalian jangan pernah mencoba menggangu anak dalam kandunganku!" Hati Ros begitu sakit, lagi-lagi keluarganya tidak perduli dengan kemalangannya. "Dosa? Kamu bilang Dosa? Apa kamu bodoh Ros, kamu melakukan hubungan itu dan hamil. Dasar wanita penghibur!" Kini cacian kembali diterimanya bahkan keluarga yang seharusnya merangkul kini malah ikut menghinanya. Ros memejamkan matanya erat, berusaha menahan tangis yang tak terbendung. Kata-kata ayahnya bagai belati yang menoreh luka baru di hatinya. Ia mengusap perutnya perlahan, mencoba menemukan ketenangan dari kehadiran kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan ia terus bertahan. “Aku memang salah, Ayah, aku manusia yang penuh dosa. Tapi aku tidak akan membuang anak ini hanya karena kalian malu,” suara Ros bergetar, namun ada ketegasan yang baru tumbuh di dalam dirinya. “Aku akan melindungi dia, apa pun yang terjadi.” "Ros! Kau gila! Kesialan apa lagi yang akan kita terima jika kau melahirkan anak sialan itu, hah?"Di bawah langit malam yang tenang, angin bertiup pelan menerpa helai rambut Ros yang jatuh di bahunya. Langkahnya menyusul Nicolas, menyusuri sisi taman kecil yang diterangi cahaya kuning temaram dari lampu dinding rumah. Jantung Ros berdegup tak karuan. Tadi Nicolas memintanya bicara secara pribadi, dan itu sudah cukup untuk membuat pikirannya berputar-putar.Begitu mereka sampai di sudut taman, Nicolas berhenti. Ia membalikkan badan, menatap Ros dengan mata yang tak biasa—ada kegugupan, ada ketegasan, dan ada… cinta."Ros," katanya pelan namun mantap. “Aku sudah terlalu lama menahan semuanya.”Ros menatapnya, menanti. Namun diamnya adalah jawaban paling jujur dari ketakpastian dalam dadanya.Nicolas menarik napas panjang. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi mungkin aku harus langsung ke intinya.”Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Ros terperangah, tubuhnya seperti terpaku di tempat.“Aku tahu ini mendadak. Mungkin kamu berpikir aku hanya sedang
Rosalia sempat terdiam, bibirnya mengatup kaku karena tak menyangka akan mendengar permintaan seperti itu dari Nyonya Sandrina. Ia menatap wajah wanita paruh baya di hadapannya, yang kini tampak begitu hangat dan tulus.“Mama?” Ros mengulang pelan, seolah ingin memastikan.Nyonya Sandrina mengangguk lembut. “Iya, kamu sudah seperti anak sendiri. Kalau kamu bersedia memanggilku begitu… aku akan sangat senang.”Ros menunduk, hatinya tiba-tiba hangat. Sepanjang hidupnya, ia jarang merasa sedekat ini dengan sosok ibu. Meski pernah punya ibu tiri, kasihnya tak pernah benar-benar menyentuh.“Terima kasih… Mama,” ucap Ros dengan suara pelan namun penuh makna.Nyonya Sandrina meraih tangan Ros dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi aku tahu kamu anak baik. Dan aku tahu El sangat mencintaimu.”Ros tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku juga sangat mencintai El.”Nyonya Sandrina tersenyum lebar. “Dan itu sudah cukup. Kamu pantas berada di sisiny
Nicolas mengajak Ros makan di restoran. Kali ini Nicolas ingin menyelesaikan semuanya. Kebohongan yang selama ini dia tahan. Namun, hatinya tak biasa menampik rasa yang ada."Apa ada yang bisa kamu jelaskan?" tanya Nicolas saat Ros hendak makan siang. "Tentang identitas sebagai cucu Nyonya agata."Ros meletakkan sendoknya perlahan, menatap Nicolas tanpa buru-buru. Sorot matanya tajam, tapi tenang.“Aku tidak berniat menyembunyikan, Nic. Tapi bukan waktunya saat itu. Aku bukan seseorang yang suka ! ada luka di balik kalimatnya.Nicolas menghela napas, mencoba menurunkan egonya. “Tapi kamu tahu, aku harusnya jadi orang pertama yang tahu. Setelah semua yang kita lalui…”Ros tersenyum tipis, getir. “Setelah semua kebohonganmu juga? Tentang El, tentang pernikahan yang kamu tawarkan, tentang... rasa yang kamu bahkan baru akui kemarin?”Nicolas terdiam. Ros melanjutkan, suaranya kini lebih lembut. “Aku bukan ingin menyakiti kamu, Nic. Aku cuma ingin dikenal karena diriku sendiri, bukan seba
Rosalia melangkah perlahan, sorot matanya tenang, tetapi ada ketegasan di sana. "Benar, aku adalah cucu kandung Nyonya Agata. Dan sebagai pewaris sah, aku ingin melihat semua perjanjian bisnis yang telah dibuat atas nama perusahaan keluarga kami."Maya mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Tidak mungkin! Kau selama ini hanyalah—""—Seorang babysitter?" potong Rosalia dengan senyum tipis. "Ya, itu yang kalian kira. Tapi aku tidak pernah menyangkal siapa diriku. Kalian saja yang terlalu sibuk menginjakku hingga lupa mencari tahu kebenaran."Maya menelan ludah, matanya beralih ke Tian, lalu ke Nicolas. "Ini lelucon, kan? Nicolas, kau tahu soal ini?"Nicolas masih terdiam, pikirannya bercampur aduk. Ia merasa dikhianati karena Rosalia menyembunyikan identitasnya. Tapi di sisi lain, ia mulai memahami mengapa wanita itu selalu terlihat penuh pertimbangan setiap kali mengambil keputusan.Tian melipat tangan di dada, menatap Aldo dengan tatapan penuh kemenangan. "Jadi, Tuan Aldo, masih ing
Suasana tegang saat Nicolas datang bersama dengan Alex. Lalu, Aldo bersama dengan Maya, melihat hal itu Nicolas seperti bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi."Nicolas, apa kabar? Hmm... Apa kabarmu sedang tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar kontrak yang sedang di ambang kerugian."Maya kini merasa menang dan di atas awan. Nicolas hanya menanggapi semua dengan tenang walau hatinya ketar ketir.Nicolas menghembuskan napas perlahan, menahan emosinya agar tidak terpancing oleh provokasi Maya. Ia melirik Aldo yang duduk dengan ekspresi santai, seolah menikmati situasi yang sedang berlangsung."Aku baik-baik saja, Bu Maya. Justru aku penasaran, apa Anda yang sedang dalam kondisi baik setelah bermain api dengan kontrak ini?" jawab Nicolas dengan nada datar namun penuh makna.Maya menyilangkan tangannya di depan dada, menyeringai. "Oh, Nicolas, bisnis itu tentang siapa yang lebih cerdas membaca peluang. Sayangnya, kali ini kau kalah cepat."Alex yang berdiri di samping Nicolas m
Rosalia tersenyum untuk pertama kalinya pada Nicolas. Pria itu sedang tidak baik-baik saja. Ros bangkit dan hendak masuk.."Ros, tetap di sini. Apa kamu mau pergi meninggalkan aku yang sedang tidak baik-baik saja?" tanya Nicolas."Tuan, aku mau kedalam. Sudah malam, lebih baik Anda juga tidur. Besok bukannya mau bertemu dengan Tuan Tian?"Nicolas menghela napas panjang, menatap Ros dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku hanya ingin berbicara sebentar, Ros. Aku lelah dengan semua ini, dengan pekerjaan, dengan perasaan yang terus-menerus tak bisa aku kendalikan."Ros menggigit bibirnya, ragu untuk tetap tinggal atau pergi. Tapi melihat ekspresi Nicolas, sesuatu dalam hatinya melunak. "Baiklah, sebentar saja," ujarnya pelan.Nicolas tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. "Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan serumit ini. Semua berjalan begitu cepat, dan sekarang… aku takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya aku genggam."Rosalia menunduk, merasakan geta