ROMANSA CINTA AMRAN DAN AMIpov Ami.Sudah dua hari aku tidak bicara dengan Bang Amran. Aku memang menghindarinya. Saat menjemput kesekolah pun aku memilih pulang bersama teman-teman. Itu semua aku lakukan agar dia membenciku.Setelah pernyataan cintanya beberapa hari lalu, hubungan kami jadi jauh. Tidak mengapa, aku yang menginginkan hal ini, meski ada sedikit sesak dalam dada. Setahun terakhir ini kami sangat dekat. Setelah kejadian aku keguguran tempo hari dia begitu peduli padaku.Bulir bening mengalir dari kedua mataku. Hati kecil ini mengakui keberadaan Bang Amran bukan sebagai seorang kakak, aku melihatnya sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab atas apa yang dikatakannya. Aku menyukainya.Ada yang salah dengan perasaan ini. Aku bukan gadis suci yang pantas untuk laki-laki sebaik
ROMANSA CINTA AMRAN DAN AMIKutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, berdiri di depan cermin dengan seorang yang tengah membantu bersiap. Hari ini adalah hari dimana aku akan memulai hidup baru. Menjadi imam dari seorang Ma'mun bernama Ami.Dua Minggu setelah lulus SMA kami menikah dan hari ini adalah harinya. Gugup dan tegang sudah pasti. rasanya sama seperti akan khitan saat aku kecil.Kami memilih menikah di rumah dan mengadakan pesta sederhana. Mengundang para tetangga saja. Memang itu yang aku inginkan. Ami pun demikian. Dia hanya mengundang beberapa teman dekatnya.Aku keluar kamar dan menuju teras tempat kami akan melangsungkan akad. Duduk di kursi yang di siapkan dan di depanku sudah ada penghulu serta wali hakim untuk Ami. Mbok Iin memang tidak punya saudara dan ayah Ami ternyata sudah meninggal serta tidak punya
ROMANSA CINTA AMRAN DAN AMIAku dan Ami tinggal terpisah dari kedua orang tua, kami tinggal di ruko. Ami sudah sibuk dengan agenda kuliah dan aku sendiri membantu ayah seperti biasa.Ruko yang kami tinggali ada tiga lantai. Di lantai tiga aku dan Ami tinggal. kami memang memilih tinggal di sini agar mandiri. Lagi pula tidak enak jika terus berada di rumah Bunda. Ami tidak kuat mendengar gibah tetangga tentang kami."Bang, Ami berangkat ya," ucap Ami seraya mencium tanganku."Abang anterin.""Gak usah, Bang. Pengen bareng sama temen-temen," ucap Ami.Aku mencium lembut kening gadis yang baru dua bulan aku nikahi itu. Terkadang memang aku merasa dia masih kecil dan harus dilindungi. Padahal kenyataannya dia bisa sendiri. Aku terlalu khawatir kejadian yang tidak diinginkan itu terulang. Namun, aku y
Aqila tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Meski bukan anak kandung, aku menyayanginya lebih dari Angga dan Amran. Sampai detik ini Aqila masih belum tahu kebenarannya. Aku takut jika dia tahu, dia akan pergi meninggalkanku.Egois memang, tapi ini keputusan yang paling tepat untuk saat ini. Meski usia Aqila sudah cukup, aku tidak ingin terburu-buru untuk mengungkapkan kebenaranya. Biarlah, suatu saat nanti pasti akan aku beru tahu siapa dia sebenarnya.Untuk saat ini, aku masih ingin gadis itu bermanja-manja denganku dan keluarga ini karena kami sangat menyayanginya. Semoga saja dia tidak tahu rahasia besar tentangnya. Aku memang sudah menyuruh orang-orang yang tahu untuk tutup mulut. Bila saatnya nanti, aku yang akan bilang pada Aqila jika dia bukan anak kandung keluarga ini."Bunda, aku berangkat ya," ucap Aqila yang langsung mencium pipiku."Iya, hati-hati. Jangan nakal dan jaga diri.""Iya, Bunda."Gadis berusia tujuh belas tahun dan berseragam putih abu-abu itu berlalu mening
Menyiram tanaman, memasak, dan membereskan rumah, hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Usia tua juga membatasi kegiatanku. Aku mudah lelah dan letih jika sudah kecapekan. Hal itu membuat Angga dan Mas Abi sering marah. Namun, mau bagaimana lagi, di dalam rumah dan tidak melakukan apa-apa mampu membuatku bosan. Aku sebisa mungkin beraktivitas daripada badanku ini pegal dan kaku.Usiaku memang sudah tua, sudah nenek-nenek. Namun, aku masih bisa melakukan apa pun sendiri. Bisa dibilang belum terlalu jompo. Hanya tua saja. Semoga saja, Tuhan masih memberiku umur panjang agar aku bisa melihat cucu-cucuku tumbuh besar dan menikah. Tetapi, aku sedikit ragu, sebab usia Nabi saja hanya 63 tahun. Itu artinya jika jatah usiaku sama seperti Nabi, hanya tinggal setahun lagi. Jujur saja aku masih belum ingin mati."Bu, hari ini masak apa?" tanya Nia."Terserah kamu saja.""Tapi, Bu di dapur tidak ada bahan makanan dan sayuran.""Lho, bukannya kemarin kamu berbelanja?" tanyaku."Saya berbelanja
Bab 29 : Masa lalu yang kembaliAqila terlihat sangat ketakutan. Dia memeluk tubuhku sangat erat. Ada apa sebenarnya?"Ada apa, Nak?" tanya Mas Abi. "Di luar ada orang gila, Yah," ucap Aqila dengan wajah pucat."Orang gila?""Iya, Yah, pokoknya orang gak waras gitu."Mas Abi segera keluar untuk melihat orang yang dimaksud. Sementara itu aku menyuruh Nia mengambil air untuk Aqila. Anak ini benar-benar terlihat syok."Duduk dulu, Nak.""Iya, Bun.""Nia, bawakan air putih!"Aku mengajak Aqila duduk di ruang tamu. Jujur saja aku sedikit penasaran dengan orang yang dimaksud oleh Aqila, tetapi untuk keluar dan melihatnya belum bisa, sebab aku tidak tega meninggalkan putriku yang sedang syok ini."Bu ini airnya," ucap Nia menyodorkan segelas air."Minum dulu, Nak.""Iya, Bun."Aqila menenggak minumannya dengan cepat. Tanpa dia sadari segelas air sudah tandas. Anak ini memang sedang tidak baik-baik saja."Tarik napas dalam-dalam dan embuskan perlahan, itu akan membuatmu lebih tenang."Aqila
Seseorang berbaju perawat datang menghampiriku dan Angga. Wanita itu mencoba melepaskan tangan Lita yang memegang tanganku."Maaf, Bu. Maaf, Pak," ucapnya."Tidak apa-apa, tapi kenapa Lita?" tanya Angga.Sejujurnya aku juga penasaran dengan Lita. Dulu gadis ini periang meskipun memang pendiam, tetapi sekarang malah jadi seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi?"Suster Nala, ayo cepat bantu! teriak perawat yang tengah membujuk Lita."Seorang perawat lainnya lari tergopoh-gopoh menghampiri kami. Mereka berdua langsung menarik Lita pergi menjauh.Aku masih melihat Lita yang diseret masuk ke dalam rumah. Antara percaya dan tidak kalau wanita tidak waras itu adalah Lita, tetangga kami. Aku bergeming karena tidak tahu harus berbuat apa. Kenapa Lita ada di sini? Kenapa dia jadi seperti itu? Apa yang terjadi? Jutaan pertanyaan berputar di benakku. Inginku bertanya, tetapi pada siapa?"Bun, Bun!" Panggilan Angga mengagetkanku. Seketika aku menoleh ke arahnya."Iya, kenapa?""Bunda yang kenapa
Suara Alarm mengejutkanku. Aku yang tidur cukup larut langsung membuka mata. Namun, saat mataku terbuka, kulihat langit-langit kamar seolah runtuh. Tidak hanya itu, mual dan sakit kepala teramat sangat. Vertigo yang kuidap selama lima tahun terakhir kumat. Ini pasti karena aku banyak pikiran.Aku kembali memejamkan mata dan membiarkan alarm berhenti berbunyi atau menunggu Mas Abi bangun untuk mematikannya."Bun, sudah subuh, ayo bangun," ucap Mas Abi."Tidak bisa, Yah. Vertigo Bunda kumat."Terdengar jelas jika suamiku itu tengah panik. Dia langsung turun dari tempat tidur dan berjalan entah ke mana. Aku tidak bisa membuka mata, sebab jika itu aku lakukan yang terjadi adalah mual serta muntah."Bun, minum obat dulu," ucap Mas Abi.Dengan dibantu oleh Mas Abi, aku meminum obat Vertigo. Semoga saja bisa membantu.Setelah minum obat aku memilih tidur. Dengan begini setelah bangun nanti aku pasti jauh lebih baik. Mas Abi juga pamit untuk melakukan rutinitasnya. Jika sedang sakit begini ak