Share

BMQ - 4

Suasana pagi ini agak berbeda daripada kemarin. Tidak ada sapaan atau sambutan hangat dari para pegawai yang berdiri di depan pintu. Bahkan, tidak tampak seorang pun pegawai yang berlalu-lalang di area lobi saat Arnold melewati pintu utama.

Wajar saja. Ini masih pukul 06.00 pagi dan pastinya belum ada yang datang. Arnold memang sengaja datang lebih awal karena ingin segera menyelesaikan urusan pekerjaannya di kantor cabang sebelum balik ke kantor pusatnya yang ada di Spanyol.

Arnold masuk ke lift khusus. Dia menekan angka lima belas yang berarti tempat tujuannya. Berada seorang diri di dalam lift membuat ingatannya kembali pada kejadian kemarin sore di parkiran. Dia membayangkan bagaimana ekspresi Greta saat tahu dia adalah pemilik mobil itu sampai-sampai tergelak singkat. Untungnya, tidak ada yang melihat saat pintu lift terbuka. Dia kembali melanjutkan langkah menuju ruangannya. 

Ketika akan melewati meja sekretaris, Arnold mengambil secarik kertas kecil dan pena yang ada di sudut meja. Kemudian, dia menyisipnya di bawah telepon setelah menuliskan sesuatu di kertas tersebut.

Arnold masuk ke ruangannya. Setumpuk map di atas meja kerjanya menyambut pandangan pertamanya. Map itu berisi laporan yang dia minta pegawainya untuk direvisi ulang kemarin. Baguslah! Mereka menyelesaikannya tepat waktu.

Arnold duduk di kursinya lalu memeriksa satu per satu laporan tersebut dengan teliti. Sekitar setengah jam ditemani tumpukan map, seseorang mengetuk pintu dari luar.

"Masuk!" titah Arnold dan pintu pun terbuka otomatis.

"Pagi, Sir! Ada apa Anda meminta saya ke sini?" Greta berdiri di depan meja kerja Arnold tanpa berniat duduk.

Arnold mengalihkan tatapannya dari kertas laporan yang sedang dibacanya. "Oh, kau sudah datang dan membaca pesan yang saya tulis? Saya sengaja menulis pesan itu supaya kau menemui saya saat sudah datang. Apa Ryan sudah memberitahumu soal kebiasaan saya pada pagi hari?"

Greta membisu sesaat sebelum menggelengkan kepala. "Belum, Sir. Saya hanya diberi tahu tugas-tugas yang harus saya kerjakan untuk beberapa hari ke depan."

"Kalau begitu, buatkan kopi untukku di pantry! Jangan terlalu manis dan kental! Aku tidak suka itu!"

Kan, ada office boy. Mengapa harus aku yang membuatkan kopi? Tidak ingin ditegur seperti kemarin, Greta langsung mengiyakan perintah Arnold dan melangkah keluar.

Beberapa menit kemudian, Greta kembali dengan membawa nampan yang berisi secangkir kopi hangat yang dipesan Arnold. "Ini kopinya, Sir. Sesuai dengan permintaan Anda."

"Letakkan saja di meja! Terima kasih," timpal Arnold tanpa menatap lawan bicaranya.

Greta meletakkan kopi itu dengan hati-hati di sela laporan-laporan yang menumpuk. "Saya permisi dulu, Sir."

Arnold tidak merespons. Otaknya sedang memikirkan sesuatu. Sebuah ide pun muncul spontan. Dia memanggil Greta sebelum wanita itu keluar.

Greta berbalik menghadap Arnold. "Ada lagi yang Anda butuhkan, Sir?"

Bukan menjawab, Arnold justru melempar pertanyaan. "Bisakah kau membantu saya memeriksa laporan-laporan ini sampai selesai?"

Pandangan Greta langsung tertuju ke arah map yang bersusun di meja Arnold. Matanya langsung membulat. Apa tidak ada tugas yang lebih mudah daripada memeriksa laporan-laporan itu? Baik Ryan maupun Arnold, sama saja. Mereka memberi tugas sesuka hati tanpa memikirkan kemampuan orang lain. Secepatnya, aku harus bisa menemukan Mark. Setelah itu, aku baru bisa mengundurkan diri dari kantor ini.

Greta menghela napas berat. Dia tidak punya pilihan lain, selain menerimanya. "Ya, saya bisa, Sir."

Tatapan Arnold memperhatikan gerak-gerik Greta yang berjalan ke meja yang terletak di sudut ruangan, lalu meletakkan nampan yang semula dibawanya. Sementara itu, hatinya berkata, Aku harus menanyakan kejadian kemarin lebih jelas padanya.

Greta menarik pelan kursi yang ada di depan meja Arnold, lalu mendaratkan bokongnya. Kepalanya sedikit menunduk untuk menghindar dari tatapan Arnold yang terus mengamatinya. Pikirannya berkelana pada kejadian kemarin saat dia ditegur soal pakaiannya yang kotor. Apakah hari ini Arnold akan mengomentari hal yang sama? Matanya bergerak gelisah sembari menunggu perintah selanjutnya dari Arnold.

Arnold memberikan beberapa map ke hadapan Greta. "Sebelum kau memulainya, aku akan menjelaskan apa saja yang harus diperiksa." Tangan Arnold beralih pada beberapa map yang sebelumnya sudah selesai diperiksa, lalu mengeluarkan dua lembar kertas dari salah satu map sebagai contoh untuk Greta. Dia membandingkan hasil yang sudah diperiksa dengan yang belum dan menerangkan sedikit demi sedikit agar mudah dipahami Greta.

Perlahan rasa canggung yang semula dirasakan Greta mulai mencair kala Arnold begitu tenang saat menerangkan semuanya. Dia menyunggingkan senyum yang tampak samar agar tidak dilihat Arnold.

"Sampai sini, ada yang mau kautanyakan?" tanya Arnold sebelum melanjutkan ke laporan berikutnya. "Jika kau masih belum paham, saya bisa mengulanginya lagi dari awal."

Kali ini, senyum Greta sedikit melebar. "Tidak ada, Sir. Saya sudah paham," jawabnya jujur. Dia yakin bisa mengerjakan tugasnya dengan baik.

"Baiklah, kau bisa mengerjakannya beberapa laporan dulu. Jika masih ada yang membuatmu bingung, silakan tanya saja!"

Greta membawa beberapa map ke meja dekat sofa agar lebih leluasa mengerjakan tugasnya. Dia membuka salah satu map dan memeriksa isi laporan tersebut sesuai instruksi dari Arnold. Baru beberapa menit saja, dua laporan sudah selesai diperiksanya. Kemudian, dia mengambil map yang lain dan memeriksanya dengan cermat hingga tidak terasa belasan map sudah tersusun di sampingnya.

Setelah sepuluh menit memfokuskan diri dengan pekerjaannya, Arnold menjeda sejenak untuk melihat sudah sampai sejauh mana tugas yang dia berikan. Ternyata, Greta hampir selesai memeriksa beberapa map yang diambilnya.

Arnold salut melihat kegesitan Greta dalam bekerja sampai-sampai tatapannya tidak teralihkan dari wajah Greta. Dia jadi betah memandangi wajah Greta yang tampak natural dengan polesan make up yang tidak terlalu mencolok.

Merasa terganggu dengan rambutnya yang tergerai ke samping hingga menghalangi mata, Greta menyatukan dan memindahkan rambut panjangnya ke sebelah kiri. Tanpa dia sadari, ada sepasang mata yang sedang menatapnya lekat seperti sedang mengintai mangsa yang siap diburu. Ketika selesai pada laporan terakhir, senyumnya mengembang. "Akhirnya, beres juga semuanya," ujarnya pelan sembari merapikan map-map yang sudah diperiksa.

Ketika Greta beranjak menuju mejanya, Arnold buru-buru mengalihkan tatapan ke depan laptop. Dia pura-pura bersikap tenang dengan menyeruput kopi yang dibuat Greta tadi. Cairan pekat hitam itu membasahi tenggorokannya yang agak kering. Sensasi hangat yang menjalar ke seluruh tubuh membuat bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.

"Sir, laporan-laporan ini sudah selesai saya periksa. Semuanya sudah benar," ucap Greta sembari meletakkan map-map yang dibawanya ke meja Arnold.

"Baiklah, terima kasih sudah membantu," balas Arnold sembari meletakkan cangkir kopi kembali ke tempat semula. "By the way, kopi buatanmu lumayan enak. Saya suka. Semuanya pas dan sesuai keinginan saya. Kau bisa kembali ke mejamu."

"Baik, Sir." Greta segera berpaling dari hadapan Arnold. Dalam hati, dia bersorak karena bisa keluar dari ruangan Arnold. Namun, kebebasan yang baru saja dirasakannya seolah runtuh saat Arnold memanggilnya. Apa dia akan mengurungku lagi di sini dengan tugas yang baru?

Greta membalikkan tubuh hingga kembali menatap Arnold. "Apa ada yang harus saya kerjakan lagi, Sir?"

Alis Greta bertaut saat Arnold berjalan menghampirinya. Pria itu berdeham guna mencairkan suasana sebelum berkata, "Soal kejadian kemarin, terima kasih sudah mengingatkan saya."

Dahi Greta semakin berkerut. "Kejadian kemarin?"

Deg.

Mata Greta bergerak gelisah. Degup jantungnya mulai tidak menentu. Rentetan kisah yang menyebabkan awal mula kesialan kemarin berputar kembali di otaknya. Batinnya pun bertanya-tanya, Apa Arnold mengetahui sesuatu?

"Tentunya kau masih mengingat kejadian kemarin, bukan? Sebuah mobil merah yang ngebut di tengah jalan sehingga menyebabkan pakaian seorang wanita jadi kotor, lalu ditegur oleh atasannya. Merasa tidak terima, wanita itu mengempiskan keempat ban mobil dan menuliskan sesuatu di kaca mobil dengan lipstik." Arnold menyunggingkan senyum tipis. Kedua tangannya masuk ke saku celana. Kakinya melangkah maju sehingga menyisakan jarak yang begitu dekat. "Kau tahu siapa pemilik mobil itu?"

Mata Greta melebar. Bagaimana dia bisa tahu semua kejadian itu secara detail? Apa jangan-jangan pemilik mobil itu adalah ....

Belum sempat Greta menyebutkan sebuah nama, Arnold yang menjawab seolah dia tahu apa yang sedang diucapkan dalam hati wanita itu. "Mobil itu milik saya."

Greta tidak tahu harus berkata apa. Bahkan, untuk sekadar meminta maaf atas perbuatannya terhadap mobil Arnold, dia pun tidak mampu mengungkapkannya. Dia mengambil langkah mundur agar bisa sedikit menjauh dari Arnold. 

"Maaf, gara-gara saya ...." Belum selesai Arnold berucap, Greta jatuh pingsan. Cepat-cepat Arnold membopong tubuh Greta ke sofa, lalu menepuk-nepuk pipi Greta sembari memanggil namanya berulang. Namun, wanita itu masih memejamkan mata dan tidak merespons apa-apa.

"Sebaiknya, aku hubungi dokter untuk memeriksa dia." Arnold membaringkan Greta perlahan di sofa, lalu beranjak menuju mejanya untuk mengambil ponsel. Bersamaan dengan itu, Ryan masuk ke ruangan.

"Pagi, Sir! Saya mau memberi tahu bahwa mobil Anda sudah siap dipakai."

"Oke, terima kasih, Ryan." Arnold meraih ponsel dan mencari nomor dokter keluarganya.

Dengan tidak disengaja, tatapan Ryan tertuju kepada Greta yang terbaring di sofa. Matanya terbelalak. "Apa yang terjadi dengan Greta, Sir?"

Tatapan Arnold ikut tertuju ke arah Greta. Dia memberi penjelasan sebelum Ryan jadi salah paham dan berpikir yang negatif tentang dirinya. "Dia tiba-tiba pingsan. Jadi, aku baringkan dia di sofa. Ini juga aku mau menelepon dokter untuk datang memeriksa dia. Apa kau tahu alamat tempat tinggalnya, Ryan?"

"Maaf, Sir. Saya tidak tahu, tetapi Anda bisa mencari alamatnya di surat lamaran kerja yang saya kasih kemarin."

"Benar juga, ya." Arnold tergelak singkat. "Baiklah, kau bisa keluar sekarang!"

"Baik, Sir. Saya permisi dulu." Ryan berbalik dan meninggalkan ruangan Arnold.

Pintu tertutup otomatis. Arnold segera menelepon dokter. Dia meminta dokter itu untuk segera datang karena ada pegawainya yang sakit. Setelah itu, dia mencari surat lamaran kerja milik Greta yang dia simpan di laci meja lalu membacanya.

"Ini alamatnya," ujarnya setelah mendapatkan yang dia cari.

Sembari menunggu dokter datang, Arnold duduk di dekat Greta. "Dia sampai pingsan pasti gara-gara syok setelah tahu bahwa aku adalah pemilik mobil yang sudah dia coret kemarin. Padahal, aku berniat minta maaf padanya."

Di tengah keheningan yang menyelimuti ruangannya, ponsel Greta berdering. Arnold tidak mengindahkan suara itu. Namun, ponsel Greta terus-menerus berdering hingga akhirnya dia mengambil ponsel Greta.

"Miley?" ulang Arnold saat melihat nama itu yang tertera di layar ponsel. "Apa dia temannya Greta?"

Belum sempat Arnold menyapa halo, Miley sudah menyerobot lebih dulu. "Halo, Gre! Apa kau sedang sibuk sekarang sehingga begitu lama kau menjawab telepon dariku? Aku ingin mengabarimu bahwa nanti sore kita pulang bersama, ya. Aku tunggu kau di lobi."

Arnold menaikkan sebelah alis. Dari pernyataan Miley, dia bisa menyimpulkan bahwa Miley juga bekerja di kantornya. "Ke ruangan saya sekarang!" ujar Arnold sambil menutup telepon.

Dari seberang telepon, Miley menilik layar ponselnya. Dia termenung dengan perintah itu sembari mengerutkan dahi. "Ini benar nomornya Greta. Namun, bagaimana bisa Mr. Herwingson yang memegang handphone Greta dan menjawab telepon dariku? Dia justru memintaku ke ruangannya. Ada apa, ya?"

Hati Miley mendadak jadi bergejolak tidak menentu. Dia mengembuskan napas berat. Makin didorong rasa penasaran, dia bergegas meninggalkan mejanya dan setengah berlari menuju lift.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Melanie Melisa
arnold penasaran sama greta
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status