Share

BMQ - 3

Begitu banyak pekerjaan yang harus Arnold tangani hari ini hingga tidak terasa sudah pukul 05.00 sore. Sebelum pulang, Arnold berdiri di depan dinding kaca sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Tatapannya lurus ke gedung-gedung besar dan kokoh yang berdiri tak jauh dari gedung kantor miliknya. Beragam rencana untuk besok sudah tersusun rapi di otaknya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.

Ketika melihat nama si penelepon, Arnold langsung menjawab panggilan itu, "Halo, Mom!"

"Kau sudah tiba di Los Angeles, Nak?"

"Sudah, Mom. Tadi pagi. Ada apa, Mom?"

"Nanti datanglah ke rumah! Mom dan Dad sangat merindukanmu."

"Aku pasti datang ke rumah. Aku juga merindukan kalian."

"Baiklah. Jaga kesehatanmu! Mom tunggu."

"See you, Mom." Arnold mengakhiri panggilan lalu menyimpan ponselnya kembali ke saku jas. Saat akan berbalik, dia melihat sekilas ada seseorang di area parkir. Dahinya berkerut sembari menajamkan pandangan karena posisinya sekarang berada di lantai lima belas.

"Apa yang dilakukan orang itu?" Karena jarak yang sangat jauh, Arnold tidak bisa melihat aksi orang itu dengan jelas. Dia pun memutuskan untuk pergi ke parkiran. Saat dia sampai di sana, orang itu sudah tidak ada lagi. Akhirnya, dia beranjak menuju mobilnya.

Baru beberapa langkah, sepasang mata Arnold terbelalak. Kondisi mobilnya saat ini jauh dari kata baik. Keempat ban mobil kempis sampai-sampai tidak ada angin yang tersisa. Dia memijat kening. "Ternyata, orang yang tadi itu merusaki mobilku. Apa motif dia melakukan semua ini? Bagaimana aku bisa pulang jika ban mobilku seperti ini?"

Baru hari pertama berada di kantor cabang, Arnold sudah mendapat kesialan. Bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Kesialan apa lagi yang akan dialaminya? Saat dia mengambil langkah setengah memutar badan mobil, ada yang menarik atensinya, yaitu tulisan yang ada di kaca mobil. Tulisan itu mengimbau agar dia tidak ngebut lagi saat berkendara sebab jalan yang dilewatinya itu milik umum.

"Apa maksud dari tulisan dia? Aku sama sekali tidak mengerti."

Arnold menyilangkan tangan sambil mencerna kembali kata-kata yang ditulis dan menggabungkan asumsi yang kemungkinan terjadi. "Jangan-jangan ... ini semua ada hubungannya dengan kejadian tadi pagi. Apa wanita yang berteriak itu Greta, lalu pakaiannya kotor gara-gara mobilku ngebut? Itu sebabnya dia membalas kekesalannya lewat mobilku."

Arnold tergelak singkat setelah berhasil merangkai kepingan kejadian hari ini. "Aku sudah salah duga padanya. Kupikir dia sengaja memakai pakaian kotor. Ternyata, itu karena ulahku sendiri." Kemudian, dia menelepon Ryan. Dia memberi tahu untuk mengurus mobilnya agar bisa dipakai besok pagi. Setelah itu, dia menelepon pegawai di mansion-nya untuk membawa salah satu mobil yang ada di garasi.

***

Sepanjang perjalanan pulang, langkah Greta begitu ringan. Hatinya jadi plong setelah berhasil membalas rasa kesalnya terhadap mobil yang sudah menyebabkan kesialan hari ini. Wajahnya begitu semringah mengiringi langkah menuju apartemen.

Sesampai di apartemennya, Greta langsung duduk di sofa satu-satunya yang ada di apartemen tersebut dan menyandarkan punggungnya. "Hari ini sungguh melelahkan, sekaligus membahagiakan," ucapnya dengan senyuman lebar. Rasa lelah karena banyak pekerjaan seakan terbayarkan oleh aksinya di parkiran tadi. Meski tidak bisa membalas secara langsung kepada pemilik mobil, dia sudah cukup puas.

"Semoga saja pemilik mobil itu sadar dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama."

Tatapan Greta lurus ke plafon yang sudah mengelupas di bagian tengah dan warna plafon sudah memudar. Dia sama sekali tidak memedulikan hal itu karena dia hanya ingin tinggal sementara di sana. Oleh sebab itu, dia mencari apartemen dengan harga yang murah. Beruntung dia menemukan apartemen yang sesuai dengan keinginan dan sudah lengkap dengan perabotan.

Selesai melepas penat di sofa, Greta beranjak menuju lemari pendingin satu pintu yang berjarak tiga langkah dari sofa. Diambilnya sebotol air mineral dan gelas yang ada di meja. Kemudian, dia meneguknya hingga tandas. Sensasi dingin dari air mineral tadi seketika menyegarkan tenggorokan yang sempat kering.

Sedetik kemudian, Greta baru menyadari sesuatu. Ingatannya kembali pada waktu setengah jam yang lalu saat dia masih di parkiran kantor. "Kalau mobil merah itu ada di sana, itu berarti pemiliknya berada satu kantor yang sama denganku," simpulnya.

Greta menutup mulutnya yang menganga. Sepasang matanya bergerak gelisah ke kanan dan kiri. Dia berjalan mondar-mandir di depan sofa sembari meremas rambut pirangnya. Erangan frustrasi keluar pelan dari mulutnya. "Mengapa aku tidak menyadarinya dari awal? Bagaimana jika dia tahu aku pelakunya? Dia pasti akan melaporkan perbuatanku ke polisi dan aku berakhir di penjara."

Kemudian, Greta menggeleng kuat seolah mematahkan opininya bahwa dia tidak bersalah. "Apa yang aku lakukan tadi sudah benar. Itu sebagai balasan supaya dia bisa menyadari kesalahannya," ucapnya seraya menenangkan hati. Dia terdiam sesaat. Satu hal yang dipikirannya saat ini, siapa pemilik mobil itu sebenarnya.

Getaran ponsel di atas meja dekat sofa membuat Greta terperanjat. Dia meraih ponselnya dan melihat nama Miley sebagai si pengirim pesan. Saat dibuka, pesan tersebut berisi nomor ponsel seorang detektif handal yang bisa membantu Greta dalam misi pencarian Mark. Tak lupa, dia membalas pesan Miley dengan ucapan terima kasih karena sudah banyak membantunya.

"Makin cepat aku telepon orang ini, makin cepat pula aku bertemu dengan Mark." Tekadnya sudah bulat. Dia langsung menghubungi nomor yang dikirim Miley.

"Halo! Apa benar ini nomor Detektif Billy? Namaku Greta."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status