/ Romansa / Beautiful Darkness / Chapter 6: Kencan Pertama

공유

Chapter 6: Kencan Pertama

last update 최신 업데이트: 2021-12-03 13:09:30

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

Handphone dengan hardcase putih di saku Tora bergetar. Tora menariknya keluar sebelum melihat nama yang tertera di layar kaca ponsel itu. Rupanya Ghani menelponnya. Dengan sekali sentuhan, suara sobat karibnya itu langsung menggema di telinganya.

“Tora Van Beurden! Kau gila memang!” teriak Ghani lantang. Tora terpaksa menjauhkan ponselnya dari telinga. Menurut Tora, Ghani lah yang gila karena Si Bantet itu menelpon secara mendadak dengan umpatan yang menggema di telinga.

“Bangsat! Bantet gila! Apa-apaan sih kau ini!” Tora balas berteriak. Tora rasa kadang-kadang temannya itu bertingkah menyebalkan, bagaikan gadis remaja yang sedang datang bulan. Ingin rasanya ia memukul kepala Ghani dengan kamus bahasa Jepangnya barang satu-dua kali. Biar dia kapok. Sedetik kemudian Tora mendengar kekehan Ghani di ujung panggilan.

Sorry, Bro. Aku cuma ingin menanyakan sesuatu,” ucapnya. “Kau benar-benar mengajaknya kencan?”

Tora terdiam belum memberikan respon apa pun.

“Kau tahu, cewek itu, Eleanore. Kau mau mengajaknya kencan? Kau serius?” sambung Ghani.

Mendengar kata “kencan” sedikit membuat Tora dilema. Pasti Ghani tahu rencana itu dari Kenzo. Semalam Tora memberitahu Kenzo akan rencananya untuk mengajak Eleanore keluar. Jika Ghani sudah tahu, maka kemungkinan yang lain juga sudah tahu.

Tora menarik nafas perlahan sebelum menjawabnya dengan santai.

“Benar. Aku akan berangkat sekarang.”

Setelahnya Tora langsung mematikan panggilan dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Tidak ada kata mundur. Ia sudah memulainya. Sekarang nikmati saja alur ceritanya.

Tora mengeluarkan kunci motor dan mengambil dua buah helm. Ia mengecek lagi penampilannya di cermin di sebelah garasi. Jaket kulit yang ia kenakan terasa sepadan dengan celana jins dan sepatu cokelat. Ia sedikit mengacak rambutnya yang siang tadi baru saja ia warnai dengan warna abu-abu, warna yang unik. Ia memang suka bereksperimen dengan rambutnya.

Semenit kemudian motornya telah dengan garang membelah dinginnya angin malam. Tidak butuh waktu lama untuknya tiba karena kebetulan rumah Eleanore berjarak hanya 10 menit dari huniannya. Tora menepikan motornya ketika sudah tiba di depan rumah Eleanore.

Disana lah Eleanore berada.

Gadis itu berdiri di depan gerbang rumahnya. Ia menggunakan sweater berwarna hitam dan merah yang berlubang di sekitar bahunya. Ele terlihat sedikit nervous. Tora melepaskan helm dan berjalan menuju ke arahnya.

“Hai, Stranger.” Eleanore berjalan menuju ke arah Tora. Gadis itu menunjukkan senyum malu-malunya pada pemuda di hadapannya.

Untuk sekali lagi, Tora tertegun memandang senyum manis Eleanore. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir tipis Ele yang dihiasi lipgloss peach. Tora menelan ludah saat ia menjaga kesadarannya tetap ada ketika melihat wajah bercahaya gadis itu.

Eleanore sangat manis.

“Kau mewarnai rambutmu!” pekik Eleanore antusias. Ia bergegas menjulurkan tangannya dan menyentuh ujung rambut Tora. Tangan lembut Ele mengusap helai rambut Tora.

“Kau suka?”

Ele mengangguk-anggukkan kepalanya. Tora tersenyum geli saat melihat kaki Ele yang berjinjit di depannya. Perbedaan tinggi keduanya membuat terlihat jelas. Tanpa sadar tangan Tora bergerak dan menyentuh lembut pipi Ele. Tubuh Ele sedikit menegang.

Sedetik kemudian Tora menarik tangannya dari rambut Ele dan gadis itu terlihat menundukkan kepalanya malu. Tora dapat menangkap semburat merah menghiasi kedua pipi Ele.

“Kita mau kemana?” cicit Ele. Jemarinya bertaut gugup dan ia menggigit bibir bawahnya untuk meredakan keresahannya.

Tora berbalik, mengambil salah satu helm dan mengulurkan pelindung itu kepada Eleanore.

“Pakai lah. Aku akan mengajakmu ke tempat spesial.” Tora menyunggingkan senyum.

Ele terlihat gugup ketika mengambil helm dari tangan Tora. Matanya bergantian memandang helm dan motor. Bola matanya sedikit membulat dan pipinya menggembung. Ia terlihat menimbang-nimbang sesuatu.

“Kau belum pernah naik motor?” tebak Tora.

Ia mengangguk kecil. “Bukankah itu berbahaya?” tanya Ele pelan.

Tora terkekeh mendengar pertanyaan polos Ele. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Tora mengambil helmnya kembali dan memakaikan alat pelindung kepala itu di atas mahkota Ele. Gadis itu terlihat kaget menyaksikan perbuatan Tora dan tubuhnya membeku kaku.

“Pas. Sekarang naik lah. Kau tak akan terluka. Janji deh.” Tora memakai helmnya sendiri dan mulai naik ke atas motor. Kunci yang masih tertancap disana ia putar sehingga mesin motornya meraung menyala.

“Naik.”

Ele mendekati motor Tora dan mencoba menaikinya.

Whoa. Aku harus berpegangan pada apa? Bagaimana kalau aku jatuh?” cercarnya panik.

Tora menarik kedua tangan Eleanore untuk memeluk pinggangnya. “Tetap seperti itu. Aku tak akan membuatmu jatuh.”

Tubuh Ele agak tersentak kala Tora mulai melajukan motornya. Ia memeluk erat perut Tora dan menempelkan pipinya di bahu Si Pemuda. Diam-diam Tora tersenyum dari balik helm.

Setelah dua puluh menit berkendara dengan jantung yang deg-degan dan keringat dingin yang mengalir di punggung, motor Tora pun berhenti. Ele bergegas turun dan melepaskan helm yang ia pakai.

“Wow.” Hanya itu yang terlontar di bibir Ele. Ele meremas tangannya guna meredakan tremor yang melanda.

Ia mencoba untuk bernapas. Dada Ele terasa sesak ketika menaiki kendaraan beroda dua itu. Seumur hidup ia tak pernah membayangkan akan menaiki motor. Benda itu selalu terlihat mengerikan di matanya. Rasanya seolah-olah ia bisa terlempar ke jalanan saat menaikinya.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Tora panik. Ele mencoba menganggukkan kepalanya. Ia tak ingin terlihat payah di hadapan cowok yang mengaguminya. Entah mengapa Ele begitu mengharapkan banyak hal dari acara malam ini. Ia tertarik dengan pria yang baru-baru ini ia temui itu. Karenanya, ia tak mau Tora merasa ilfeel dan malah menjauhinya hanya karena ia takut naik motor.

“Bodoh.”

Ele mendongakkan kepalanya.

Err—Maksudku aku yang bodoh,” ralat Tora langsung. “Seharusnya aku memakaikanmu jaketku saat berkendara tadi. Kau hanya memakai sweater itu. Berlubang pula.”

Ele mengintip pakaian yang ia kenakan. Memang cuaca malam ini cukup dingin. Ele juga lupa tak membawa jaket karena pikirnya Tora akan menjemput dengan menggunakan mobil.

“Tidak. Tidak usah,” tolak Ele.

Tora mengabaikan ujaran itu dan memilih untuk melepaskan jaket kulit hitamnya dan memakaikannya di tubuh Ele. “Cuaca sedikit dingin. Pakai lah. Aku tak mau kau kedinginan,” pungkas Tora.

Sebelum Ele dapat menolak lagi, Tora meraih tangan kanan Ele dan menggandengnya.

Demi apa pun itu, Ele merasa sangat-sangat kaget. Dan senang. Dan malu. Dan hangat. Semuanya bercampur menjadi satu.

Pipi Ele memanas. Ele rasa saat ini wajahnya sudah serupa dengan kepiting rebus. Ia menatap wajah elok Tora di sebelahnya.

“Tanganmu dingin,” ucap Tora. Ia meremas tangan Ele lagi dan mengayunkannya beberapa kali ke udara.

“Astaga, kau seperti anak kecil!” Ele tertawa riang, begitu pula dengan Tora.

Selama mereka berjalan, Tora mengayun-ayunkan tangan keduanya yang tertaut tanpa henti. Keduanya memasuki sebuah gedung bertingkat bertuliskan Beurden Hotel and Convention Center dengan hiasan lampu-lampu yang indah mewah berwarna putih. Ele mengernyitkan keningnya heran.

“Kenapa kita ke hotel?”

Tora mengeratkan genggaman tangannya. “Di rooftop hotel ini, pemandangan seluruh kota akan terlihat sangat jelas. Ini hotel tertinggi di kota.”

Mereka berdua memasuki elevator sementara Tora menekan tombol yang mencapai lantai paling atas. Ele menahan senyumnya menantikan seperti apa rooftop yang akan mereka datangi. Pemuda di sebelah Ele itu melayangkan senyuman kepada beberapa orang yang di temuinya.

“Apa kau sering menginap di hotel ini? Sepertinya banyak yang mengenalimu.”

Ia tersenyum simpul. “Hotel ini milik kakakku. Namanya Farel,” jawabnya.

“Apa kau punya kakak juga? Atau adik?” Tora membalikkan tubuhnya menghadap Ele. Tatapannya menatap Ele intens. Ele merasa seperti sedang menjalani sidang.

“Aku punya satu kakak laki-laki. Namanya Kak Rey.”

“Oh ya? Aku jarang melihatmu dengannya.”

“Dia jarang berada di rumah. Sibuk dengan kerjaannya.” Ele teringat akan kakaknya yang beberapa bulan ini jarang pulang ke rumah. Apalagi dengan keadaan rumah saat ini yang sangat tidak kondusif.

“Kau sangat menyayangi kakakmu?” tanya Tora lagi.

“Tentu saja,” jawab Ele tegas. “Dia kakak terbaik di seluruh dunia. Kak Rey selalu membelikanku ice cream dan cemilan. Membuatku terus menerus terlihat gendut.” Ele menggerutu sendiri.

“Tak masalah jika kau terlihat gendut.” Tora nyengir memperlihatkan senyumnya. “Bagiku kau terlihat cantik.”

Kilas Balik Selesai

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Beautiful Darkness   Chapter 50: Pertanyaan Mendadak dari Nick

    “Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari

  • Beautiful Darkness   Chapter 49: Teh yang Akan Tumpah

    “Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau

  • Beautiful Darkness   Chapter 48: Rencana Pertemuan yang Sulit

    Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka

  • Beautiful Darkness   Chapter 47: Semesta Berpihak Padanya

    Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m

  • Beautiful Darkness   Chapter 46: Perjanjian Reynold dan Agatha

    Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia

  • Beautiful Darkness   Chapter 45: Jawaban yang Dicari Selama Ini

    “Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status