Share

Chapter 6: Kencan Pertama

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

Handphone dengan hardcase putih di saku Tora bergetar. Tora menariknya keluar sebelum melihat nama yang tertera di layar kaca ponsel itu. Rupanya Ghani menelponnya. Dengan sekali sentuhan, suara sobat karibnya itu langsung menggema di telinganya.

“Tora Van Beurden! Kau gila memang!” teriak Ghani lantang. Tora terpaksa menjauhkan ponselnya dari telinga. Menurut Tora, Ghani lah yang gila karena Si Bantet itu menelpon secara mendadak dengan umpatan yang menggema di telinga.

“Bangsat! Bantet gila! Apa-apaan sih kau ini!” Tora balas berteriak. Tora rasa kadang-kadang temannya itu bertingkah menyebalkan, bagaikan gadis remaja yang sedang datang bulan. Ingin rasanya ia memukul kepala Ghani dengan kamus bahasa Jepangnya barang satu-dua kali. Biar dia kapok. Sedetik kemudian Tora mendengar kekehan Ghani di ujung panggilan.

Sorry, Bro. Aku cuma ingin menanyakan sesuatu,” ucapnya. “Kau benar-benar mengajaknya kencan?”

Tora terdiam belum memberikan respon apa pun.

“Kau tahu, cewek itu, Eleanore. Kau mau mengajaknya kencan? Kau serius?” sambung Ghani.

Mendengar kata “kencan” sedikit membuat Tora dilema. Pasti Ghani tahu rencana itu dari Kenzo. Semalam Tora memberitahu Kenzo akan rencananya untuk mengajak Eleanore keluar. Jika Ghani sudah tahu, maka kemungkinan yang lain juga sudah tahu.

Tora menarik nafas perlahan sebelum menjawabnya dengan santai.

“Benar. Aku akan berangkat sekarang.”

Setelahnya Tora langsung mematikan panggilan dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Tidak ada kata mundur. Ia sudah memulainya. Sekarang nikmati saja alur ceritanya.

Tora mengeluarkan kunci motor dan mengambil dua buah helm. Ia mengecek lagi penampilannya di cermin di sebelah garasi. Jaket kulit yang ia kenakan terasa sepadan dengan celana jins dan sepatu cokelat. Ia sedikit mengacak rambutnya yang siang tadi baru saja ia warnai dengan warna abu-abu, warna yang unik. Ia memang suka bereksperimen dengan rambutnya.

Semenit kemudian motornya telah dengan garang membelah dinginnya angin malam. Tidak butuh waktu lama untuknya tiba karena kebetulan rumah Eleanore berjarak hanya 10 menit dari huniannya. Tora menepikan motornya ketika sudah tiba di depan rumah Eleanore.

Disana lah Eleanore berada.

Gadis itu berdiri di depan gerbang rumahnya. Ia menggunakan sweater berwarna hitam dan merah yang berlubang di sekitar bahunya. Ele terlihat sedikit nervous. Tora melepaskan helm dan berjalan menuju ke arahnya.

“Hai, Stranger.” Eleanore berjalan menuju ke arah Tora. Gadis itu menunjukkan senyum malu-malunya pada pemuda di hadapannya.

Untuk sekali lagi, Tora tertegun memandang senyum manis Eleanore. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir tipis Ele yang dihiasi lipgloss peach. Tora menelan ludah saat ia menjaga kesadarannya tetap ada ketika melihat wajah bercahaya gadis itu.

Eleanore sangat manis.

“Kau mewarnai rambutmu!” pekik Eleanore antusias. Ia bergegas menjulurkan tangannya dan menyentuh ujung rambut Tora. Tangan lembut Ele mengusap helai rambut Tora.

“Kau suka?”

Ele mengangguk-anggukkan kepalanya. Tora tersenyum geli saat melihat kaki Ele yang berjinjit di depannya. Perbedaan tinggi keduanya membuat terlihat jelas. Tanpa sadar tangan Tora bergerak dan menyentuh lembut pipi Ele. Tubuh Ele sedikit menegang.

Sedetik kemudian Tora menarik tangannya dari rambut Ele dan gadis itu terlihat menundukkan kepalanya malu. Tora dapat menangkap semburat merah menghiasi kedua pipi Ele.

“Kita mau kemana?” cicit Ele. Jemarinya bertaut gugup dan ia menggigit bibir bawahnya untuk meredakan keresahannya.

Tora berbalik, mengambil salah satu helm dan mengulurkan pelindung itu kepada Eleanore.

“Pakai lah. Aku akan mengajakmu ke tempat spesial.” Tora menyunggingkan senyum.

Ele terlihat gugup ketika mengambil helm dari tangan Tora. Matanya bergantian memandang helm dan motor. Bola matanya sedikit membulat dan pipinya menggembung. Ia terlihat menimbang-nimbang sesuatu.

“Kau belum pernah naik motor?” tebak Tora.

Ia mengangguk kecil. “Bukankah itu berbahaya?” tanya Ele pelan.

Tora terkekeh mendengar pertanyaan polos Ele. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Tora mengambil helmnya kembali dan memakaikan alat pelindung kepala itu di atas mahkota Ele. Gadis itu terlihat kaget menyaksikan perbuatan Tora dan tubuhnya membeku kaku.

“Pas. Sekarang naik lah. Kau tak akan terluka. Janji deh.” Tora memakai helmnya sendiri dan mulai naik ke atas motor. Kunci yang masih tertancap disana ia putar sehingga mesin motornya meraung menyala.

“Naik.”

Ele mendekati motor Tora dan mencoba menaikinya.

Whoa. Aku harus berpegangan pada apa? Bagaimana kalau aku jatuh?” cercarnya panik.

Tora menarik kedua tangan Eleanore untuk memeluk pinggangnya. “Tetap seperti itu. Aku tak akan membuatmu jatuh.”

Tubuh Ele agak tersentak kala Tora mulai melajukan motornya. Ia memeluk erat perut Tora dan menempelkan pipinya di bahu Si Pemuda. Diam-diam Tora tersenyum dari balik helm.

Setelah dua puluh menit berkendara dengan jantung yang deg-degan dan keringat dingin yang mengalir di punggung, motor Tora pun berhenti. Ele bergegas turun dan melepaskan helm yang ia pakai.

“Wow.” Hanya itu yang terlontar di bibir Ele. Ele meremas tangannya guna meredakan tremor yang melanda.

Ia mencoba untuk bernapas. Dada Ele terasa sesak ketika menaiki kendaraan beroda dua itu. Seumur hidup ia tak pernah membayangkan akan menaiki motor. Benda itu selalu terlihat mengerikan di matanya. Rasanya seolah-olah ia bisa terlempar ke jalanan saat menaikinya.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Tora panik. Ele mencoba menganggukkan kepalanya. Ia tak ingin terlihat payah di hadapan cowok yang mengaguminya. Entah mengapa Ele begitu mengharapkan banyak hal dari acara malam ini. Ia tertarik dengan pria yang baru-baru ini ia temui itu. Karenanya, ia tak mau Tora merasa ilfeel dan malah menjauhinya hanya karena ia takut naik motor.

“Bodoh.”

Ele mendongakkan kepalanya.

Err—Maksudku aku yang bodoh,” ralat Tora langsung. “Seharusnya aku memakaikanmu jaketku saat berkendara tadi. Kau hanya memakai sweater itu. Berlubang pula.”

Ele mengintip pakaian yang ia kenakan. Memang cuaca malam ini cukup dingin. Ele juga lupa tak membawa jaket karena pikirnya Tora akan menjemput dengan menggunakan mobil.

“Tidak. Tidak usah,” tolak Ele.

Tora mengabaikan ujaran itu dan memilih untuk melepaskan jaket kulit hitamnya dan memakaikannya di tubuh Ele. “Cuaca sedikit dingin. Pakai lah. Aku tak mau kau kedinginan,” pungkas Tora.

Sebelum Ele dapat menolak lagi, Tora meraih tangan kanan Ele dan menggandengnya.

Demi apa pun itu, Ele merasa sangat-sangat kaget. Dan senang. Dan malu. Dan hangat. Semuanya bercampur menjadi satu.

Pipi Ele memanas. Ele rasa saat ini wajahnya sudah serupa dengan kepiting rebus. Ia menatap wajah elok Tora di sebelahnya.

“Tanganmu dingin,” ucap Tora. Ia meremas tangan Ele lagi dan mengayunkannya beberapa kali ke udara.

“Astaga, kau seperti anak kecil!” Ele tertawa riang, begitu pula dengan Tora.

Selama mereka berjalan, Tora mengayun-ayunkan tangan keduanya yang tertaut tanpa henti. Keduanya memasuki sebuah gedung bertingkat bertuliskan Beurden Hotel and Convention Center dengan hiasan lampu-lampu yang indah mewah berwarna putih. Ele mengernyitkan keningnya heran.

“Kenapa kita ke hotel?”

Tora mengeratkan genggaman tangannya. “Di rooftop hotel ini, pemandangan seluruh kota akan terlihat sangat jelas. Ini hotel tertinggi di kota.”

Mereka berdua memasuki elevator sementara Tora menekan tombol yang mencapai lantai paling atas. Ele menahan senyumnya menantikan seperti apa rooftop yang akan mereka datangi. Pemuda di sebelah Ele itu melayangkan senyuman kepada beberapa orang yang di temuinya.

“Apa kau sering menginap di hotel ini? Sepertinya banyak yang mengenalimu.”

Ia tersenyum simpul. “Hotel ini milik kakakku. Namanya Farel,” jawabnya.

“Apa kau punya kakak juga? Atau adik?” Tora membalikkan tubuhnya menghadap Ele. Tatapannya menatap Ele intens. Ele merasa seperti sedang menjalani sidang.

“Aku punya satu kakak laki-laki. Namanya Kak Rey.”

“Oh ya? Aku jarang melihatmu dengannya.”

“Dia jarang berada di rumah. Sibuk dengan kerjaannya.” Ele teringat akan kakaknya yang beberapa bulan ini jarang pulang ke rumah. Apalagi dengan keadaan rumah saat ini yang sangat tidak kondusif.

“Kau sangat menyayangi kakakmu?” tanya Tora lagi.

“Tentu saja,” jawab Ele tegas. “Dia kakak terbaik di seluruh dunia. Kak Rey selalu membelikanku ice cream dan cemilan. Membuatku terus menerus terlihat gendut.” Ele menggerutu sendiri.

“Tak masalah jika kau terlihat gendut.” Tora nyengir memperlihatkan senyumnya. “Bagiku kau terlihat cantik.”

Kilas Balik Selesai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status