Home / Romansa / Beautiful Darkness / Chapter 7: Romansa Asmara

Share

Chapter 7: Romansa Asmara

last update Huling Na-update: 2021-12-04 23:54:50

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

Elevator yang dua insan yang tengah dibalut romansa naiki berhenti pada lantai teratas. Eleanore dan pemuda di sebelahnya berjalan keluar sambil saling melemparkan senyuman. Si pemuda menggandeng tangan Ele dan menuntunnya untuk menaiki beberapa anak tangga. Dengan tangan kirinya yang bebas, pemuda itu membuka sebuah pintu di depan mereka.

Semilir angin dingin menerpa tengkuk Ele. Gadis itu merapatkan jaket milik Si Pemuda yang ia kenakan. Gadis itu melirik sosok di sebelahnya yang menyilangkan kedua tangan di dadanya.

“Berjalanlah duluan,” perintah Si Pemuda. Ia memberikan senyuman yang membuat Ele menerka-nerka hal istimewa apa yang tengah disembunyikan. Ele mengerucutkan bibirnya dan berjalan mendahului Si Pemuda dengan patuh.

Sedetik kemudian Ele tercengang dengan apa yang ia lihat. Dua buah kursi dan sebuah meja berukuran sedang dengan makanan yang tertata rapih sudah tersedia beberapa langkah di depannya. Ia melangkah maju lagi guna memastikan. Dua porsi tenderloin berserta dua potong cheesecake dan sepiring penuh buah-buahan sudah tersaji disana. Tak lupa sebotol wine dan dua buah gelasnya tersedia pula.

Ele menelan ludahnya. Tak hanya hidangan saja yang membuatnya tercengang, namun rooftop itu sendiri juga begitu mengagumkan. Beberapa tanaman hias berjejer mengelilingi lokasi ini. Sebuah air mancur berukuran mini yang dihiasi oleh lampu yang berpendar indah juga berdiri di tengah-tengah rooftop itu.

Ele melihat tembok di sekelilingnya yang juga tak kalah indahnya. Tembok-tembok itu dilukis dengan murel berbagai bentuk dengan dominasi warna hijau. Pilihan warna alam tersebut menambah kesan kesejukan dari tempat ini. Rasanya aneh melihat rooftop yang biasanya berbentuk hanya tempat kosong, diisi dengan berbagai jenis keindahan ini. Rasanya seperti berdiri di taman kota.

Pemuda itu mengambil tangan Ele dan menarik gadis itu untuk duduk di salah satu kursi yang telah disediakan. Ia sendiri duduk di seberang Ele dengan senyumannya yang tak menghilang dari wajah tampannya.

“Kau menyiapkan semua ini?” tanya Ele kagum.

Tora mengangguk kalem. “Aku ingin membuatmu terkesan,” jawabnya.

Ele mati-matian menahan senyumannya agar tidak terlalu lebar.

“Umurmu sudah tujuh belas tahun, ‘kan?” tanya Tora.

Yang ditanyai menjawabnya dengan anggukan singkat. “Aku baru saja ulang tahun bulan lalu.”

Great. Berarti kau legal untuk minum ini,” Tora menuangkan wine ke gelas Ele dan juga menuangkannya ke gelasnya sendiri. Pemuda itu mengangkat gelasnya dan menanti Ele untuk melakukan hal yang sama.

Ele yang mengerti maksud dari Tora pun ikut mengangkat gelasnya. Suara dentingan gelas terdengar tak lama setelahnya. Tora mulai mengiris potongan steak-nya. Dengan garpu di tangan kirinya, ia menyodorkan potongan daging itu ke depan mulut Ele.

“Buka mulutmu, Pumpkin. Aaa …” Ia menggoyang-goyangkan garpu itu di depan Ele. Ele yang diperlakukan manis seperti itu tersenyum geli. Belum lagi panggilan baru yang disematkan padanya.  

“Pumpkin? Aku terdengar seperti Halloween.”

Ia mengacuhkan Ele dan menggoyangkan lagi garpu itu. “Ayo lah buka mulutmu. Kau mau tanganku seperti ini terus?” tanya Tora sembari tertawa.

Ele tertawa canggung dan mendekatkan mulutnya untuk melahap potongan daging steak itu. Tekstur daging khas dalam yang juicy dan cita rasa yang terlampau lezat membuat mata Ele membola. Ele mengunyah dengan penuh semangat, mengabaikan rona di wajahnya.

“Kau benar-benar menggemaskan, Pumpkin,” celetuk Tora. Tangan pemuda itu terjulur dan mengusap pelan pipi Ele yang terkena cipratan saus dari steak.

Wajah Ele kembali memanas. Kedua netra keduanya beradu pandang selama beberapa detik sebelum Ele memalingkan mukanya. Jantungnya bertalu-talu keras. Ia merasa sangat gugup ditatap intens oleh pemuda yang malam ini terlihat jauh lebih tampan dari biasanya.

“Apa kau akan terus memanggilku Pumpkin?” tanya Ele terbata.

Tora tersenyum miring. “Anggap saja itu panggilan sayangku.”

Setelah sesi makan malam romantic yang mendebarkan, Tora mengajak Ele untuk berjalan mendekati tepian rooftop. Mata Ele membelalak melihat kelap kelip kota yang terpampang nyata di hadapannya. Jejeran gedung pencakar langit yang berdiri kokoh dengan gemerlap lampu terlihat begitu menakjubkan dari atas sini. Hilir mudik mobil yang mencoba menembus jalanan terlihat bagaikan miniature di mata Ele. Tora benar. Di sini merupakan spot tertinggi dan terbaik untuk melihat pemandangan kota di malam hari.

“Menakjubkan. Indah sekali ya pemandangan di sini,” gumam Ele.

Tora berdiri di sebelah Si Gadis dengan pandangan yang menatap ke wajah gadis itu. “Memang indah,” balasnya.

Ele melirik Tora dan mendapati pemuda tampan itu tengah menatapnya lagi dan lagi. “Kau benar-benar tahu cara mengesankan orang.” Ele menghadapkan diri padanya. “Sudah berapa banyak gadis yang kau ajak ke sini?” Dengan lancangnya Ele melemparkan pertanyaan itu padanya.

Tora menyunggingkan senyumnya lagi. “Tak satu pun,” jawabnya. “Kau yang pertama.”

Jantung Ele terasa akan copot mendengar jawaban Tora. Ele tak sepenuhnya percaya akan jawaban itu namun entah bualan atau tidak, kata-kata manis yang keluar dari bibir Tora mampu membuatnya tersipu malu. Ia terperangkap dalam jerat buaian Si Tampan.

Pemuda yang berhasil membuat hati gadis muda itu berbunga-bunga mendekati Sang Gadis dan menarik tangannya. Ia membawa tangan lembut Ele tepat pada dadanya. Pemuda itu sedikit gugup sebelum berujar dengan kalimat lugas.

“Jadi lah kekasihku, Pumpkin.”

Ele membulatkan kedua bola matanya kaget.

“Jadi lah milikku. Aku menyukaimu,” ulang Tora.

Si Gadis yang kehilangan kemampuannya untuk bernapas merasa dadanya tiba-tiba sesak. Mulutnya terbuka saat tangan yang berada di dada pemuda itu dikecup pelan. Ele menelan ludah menyaksikan perlakuan lembut pemuda itu.

“Tapi kita baru saling kenal,” ujar Ele gamang. Ia tak ingin menyinggung perasaan Tora.

“Aku tak peduli jika kita baru saling mengenal.” Tora meremas kedua tangan Ele perlahan. “Jadi lah kekasihku, Ele, dan kita bisa lebih mengenal satu sama lain lagi.”

Mungkin otak Ele sudah terganggu. Mungkin kesadaran Ele sedikit menghilang. Mungkin wajah Tora yang sangat dekat dengannya begitu menutupi rasionalitasnya. Dengan segala kemungkinan itu, Ele menganggukkan kepalanya pelan.

Tora terlihat terkejut namun wajahnya begitu bersinar dan ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

“Ucapkan lah,” bisik Tora dengan suara sehalus sutera.

Suara itu menghipnotis Ele. Suara serak Tora terasa bagaikan candu baginya. Suara itu membuatnya tanpa sadar menuruti perintah yang diberikan.

“Aku mau jadi kekasihmu.”

Deretan gigi putih Tora terlihat kala senyuman indahnya tercetak lebar di wajah tampannya. Ia terlihat bingung sesaat sebelum menarik Ele kedalam pelukannya. Wajah Ele menubruk dada bidangnya yang terasa hangat. Ele dapat merasakan aroma tubuh Tora yang sangat menenangkan. Tora melingkarkan kedua tangannya di tubuh Ele sementara gadis itu dengan malu-malu meletakkan tangannya di pinggulnya.

Tora menarik tubuh Ele pelan dan terkekeh. “Astaga, Eleanore!” Pemuda itu kehilangan kata-katanya.

Tak lama kemudian Tora menghentikan kekehannya dan memandang Ele intens. Ele yang ditatap dengan pandangan seintim sebenarnya merasa gentar, namun ia berusaha untuk melihat tepat ke arah bola matanya yang berada sedikit lebih tinggi di depannya. Kedua tangan Tora menyentuh lembut pipi kanan dan kiri Ele. Sentuhannya membuat jantung Ele kembali berdentum menggila. Rasanya seperti akan meledak.

Perlahan-lahan Tora mendekatkan wajahnya ke wajah kekasihnya. Saat itu pula Ele yakin bahwa paru-parunya telah berhenti bekerja. Tubuhnya menegang dan kedua kakinya terasa seperti jelly. Hidung Tora kini menyentuh hidungnya. Ele dapat merasakan embusan napasnya yang menggelitik wajahnya. Pemuda yang tengah kasmaran itu mengusap lagi pipi Ele dan memiringkan wajahnya.

Dengan lembut, Tora menyapukan bibirnya di atas bibir Ele. Jantung Ele meledak. Ia rasa kali ini benar-benar meledak. Ele memejamkan kedua matanya dan merasakan kecupan Tora yang menulikan indera pendengarannya, mematikan syarafnya dan membuatnya melupakan segala permasalahan hidup yang ia rasakan.

Tora yang telah menanti-nantikan momen ini pun menikmati setiap detiknya. Ia tak menyangka bahwa bibir Ele akan terasa begitu manis. Lebih manis dari madu dan membuatnya ingin lebih, lagi dan lagi. Pemuda itu menyesap pelan bibir bawah Ele dan menggigitnya. Secara reflek Ele mengalungkan kedua tangannya di leher kekasihnya.

Ciuman Tora terasa begitu hangat. Buaian itu mampu membakar sekujur tubuh Ele dengan adrenalin. Tak lama kemudian, mereka berdua menyudahi kecupan itu. Tubuh Ele bergetar dengan netra yang masih terpejam erat. Tora mengusapkan ibu jarinya di kedua belah bibir Ele yang basah akan saliva.

Usapan itu membuat Ele perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Ciuman pertamanya begitu manis. Ele tak akan melupakannya seumur hidupnya.

Kilas Balik Selesai

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Beautiful Darkness   Chapter 50: Pertanyaan Mendadak dari Nick

    “Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari

  • Beautiful Darkness   Chapter 49: Teh yang Akan Tumpah

    “Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau

  • Beautiful Darkness   Chapter 48: Rencana Pertemuan yang Sulit

    Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka

  • Beautiful Darkness   Chapter 47: Semesta Berpihak Padanya

    Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m

  • Beautiful Darkness   Chapter 46: Perjanjian Reynold dan Agatha

    Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia

  • Beautiful Darkness   Chapter 45: Jawaban yang Dicari Selama Ini

    “Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status