Share

Chapter 7: Romansa Asmara

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

Elevator yang dua insan yang tengah dibalut romansa naiki berhenti pada lantai teratas. Eleanore dan pemuda di sebelahnya berjalan keluar sambil saling melemparkan senyuman. Si pemuda menggandeng tangan Ele dan menuntunnya untuk menaiki beberapa anak tangga. Dengan tangan kirinya yang bebas, pemuda itu membuka sebuah pintu di depan mereka.

Semilir angin dingin menerpa tengkuk Ele. Gadis itu merapatkan jaket milik Si Pemuda yang ia kenakan. Gadis itu melirik sosok di sebelahnya yang menyilangkan kedua tangan di dadanya.

“Berjalanlah duluan,” perintah Si Pemuda. Ia memberikan senyuman yang membuat Ele menerka-nerka hal istimewa apa yang tengah disembunyikan. Ele mengerucutkan bibirnya dan berjalan mendahului Si Pemuda dengan patuh.

Sedetik kemudian Ele tercengang dengan apa yang ia lihat. Dua buah kursi dan sebuah meja berukuran sedang dengan makanan yang tertata rapih sudah tersedia beberapa langkah di depannya. Ia melangkah maju lagi guna memastikan. Dua porsi tenderloin berserta dua potong cheesecake dan sepiring penuh buah-buahan sudah tersaji disana. Tak lupa sebotol wine dan dua buah gelasnya tersedia pula.

Ele menelan ludahnya. Tak hanya hidangan saja yang membuatnya tercengang, namun rooftop itu sendiri juga begitu mengagumkan. Beberapa tanaman hias berjejer mengelilingi lokasi ini. Sebuah air mancur berukuran mini yang dihiasi oleh lampu yang berpendar indah juga berdiri di tengah-tengah rooftop itu.

Ele melihat tembok di sekelilingnya yang juga tak kalah indahnya. Tembok-tembok itu dilukis dengan murel berbagai bentuk dengan dominasi warna hijau. Pilihan warna alam tersebut menambah kesan kesejukan dari tempat ini. Rasanya aneh melihat rooftop yang biasanya berbentuk hanya tempat kosong, diisi dengan berbagai jenis keindahan ini. Rasanya seperti berdiri di taman kota.

Pemuda itu mengambil tangan Ele dan menarik gadis itu untuk duduk di salah satu kursi yang telah disediakan. Ia sendiri duduk di seberang Ele dengan senyumannya yang tak menghilang dari wajah tampannya.

“Kau menyiapkan semua ini?” tanya Ele kagum.

Tora mengangguk kalem. “Aku ingin membuatmu terkesan,” jawabnya.

Ele mati-matian menahan senyumannya agar tidak terlalu lebar.

“Umurmu sudah tujuh belas tahun, ‘kan?” tanya Tora.

Yang ditanyai menjawabnya dengan anggukan singkat. “Aku baru saja ulang tahun bulan lalu.”

Great. Berarti kau legal untuk minum ini,” Tora menuangkan wine ke gelas Ele dan juga menuangkannya ke gelasnya sendiri. Pemuda itu mengangkat gelasnya dan menanti Ele untuk melakukan hal yang sama.

Ele yang mengerti maksud dari Tora pun ikut mengangkat gelasnya. Suara dentingan gelas terdengar tak lama setelahnya. Tora mulai mengiris potongan steak-nya. Dengan garpu di tangan kirinya, ia menyodorkan potongan daging itu ke depan mulut Ele.

“Buka mulutmu, Pumpkin. Aaa …” Ia menggoyang-goyangkan garpu itu di depan Ele. Ele yang diperlakukan manis seperti itu tersenyum geli. Belum lagi panggilan baru yang disematkan padanya.  

“Pumpkin? Aku terdengar seperti Halloween.”

Ia mengacuhkan Ele dan menggoyangkan lagi garpu itu. “Ayo lah buka mulutmu. Kau mau tanganku seperti ini terus?” tanya Tora sembari tertawa.

Ele tertawa canggung dan mendekatkan mulutnya untuk melahap potongan daging steak itu. Tekstur daging khas dalam yang juicy dan cita rasa yang terlampau lezat membuat mata Ele membola. Ele mengunyah dengan penuh semangat, mengabaikan rona di wajahnya.

“Kau benar-benar menggemaskan, Pumpkin,” celetuk Tora. Tangan pemuda itu terjulur dan mengusap pelan pipi Ele yang terkena cipratan saus dari steak.

Wajah Ele kembali memanas. Kedua netra keduanya beradu pandang selama beberapa detik sebelum Ele memalingkan mukanya. Jantungnya bertalu-talu keras. Ia merasa sangat gugup ditatap intens oleh pemuda yang malam ini terlihat jauh lebih tampan dari biasanya.

“Apa kau akan terus memanggilku Pumpkin?” tanya Ele terbata.

Tora tersenyum miring. “Anggap saja itu panggilan sayangku.”

Setelah sesi makan malam romantic yang mendebarkan, Tora mengajak Ele untuk berjalan mendekati tepian rooftop. Mata Ele membelalak melihat kelap kelip kota yang terpampang nyata di hadapannya. Jejeran gedung pencakar langit yang berdiri kokoh dengan gemerlap lampu terlihat begitu menakjubkan dari atas sini. Hilir mudik mobil yang mencoba menembus jalanan terlihat bagaikan miniature di mata Ele. Tora benar. Di sini merupakan spot tertinggi dan terbaik untuk melihat pemandangan kota di malam hari.

“Menakjubkan. Indah sekali ya pemandangan di sini,” gumam Ele.

Tora berdiri di sebelah Si Gadis dengan pandangan yang menatap ke wajah gadis itu. “Memang indah,” balasnya.

Ele melirik Tora dan mendapati pemuda tampan itu tengah menatapnya lagi dan lagi. “Kau benar-benar tahu cara mengesankan orang.” Ele menghadapkan diri padanya. “Sudah berapa banyak gadis yang kau ajak ke sini?” Dengan lancangnya Ele melemparkan pertanyaan itu padanya.

Tora menyunggingkan senyumnya lagi. “Tak satu pun,” jawabnya. “Kau yang pertama.”

Jantung Ele terasa akan copot mendengar jawaban Tora. Ele tak sepenuhnya percaya akan jawaban itu namun entah bualan atau tidak, kata-kata manis yang keluar dari bibir Tora mampu membuatnya tersipu malu. Ia terperangkap dalam jerat buaian Si Tampan.

Pemuda yang berhasil membuat hati gadis muda itu berbunga-bunga mendekati Sang Gadis dan menarik tangannya. Ia membawa tangan lembut Ele tepat pada dadanya. Pemuda itu sedikit gugup sebelum berujar dengan kalimat lugas.

“Jadi lah kekasihku, Pumpkin.”

Ele membulatkan kedua bola matanya kaget.

“Jadi lah milikku. Aku menyukaimu,” ulang Tora.

Si Gadis yang kehilangan kemampuannya untuk bernapas merasa dadanya tiba-tiba sesak. Mulutnya terbuka saat tangan yang berada di dada pemuda itu dikecup pelan. Ele menelan ludah menyaksikan perlakuan lembut pemuda itu.

“Tapi kita baru saling kenal,” ujar Ele gamang. Ia tak ingin menyinggung perasaan Tora.

“Aku tak peduli jika kita baru saling mengenal.” Tora meremas kedua tangan Ele perlahan. “Jadi lah kekasihku, Ele, dan kita bisa lebih mengenal satu sama lain lagi.”

Mungkin otak Ele sudah terganggu. Mungkin kesadaran Ele sedikit menghilang. Mungkin wajah Tora yang sangat dekat dengannya begitu menutupi rasionalitasnya. Dengan segala kemungkinan itu, Ele menganggukkan kepalanya pelan.

Tora terlihat terkejut namun wajahnya begitu bersinar dan ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

“Ucapkan lah,” bisik Tora dengan suara sehalus sutera.

Suara itu menghipnotis Ele. Suara serak Tora terasa bagaikan candu baginya. Suara itu membuatnya tanpa sadar menuruti perintah yang diberikan.

“Aku mau jadi kekasihmu.”

Deretan gigi putih Tora terlihat kala senyuman indahnya tercetak lebar di wajah tampannya. Ia terlihat bingung sesaat sebelum menarik Ele kedalam pelukannya. Wajah Ele menubruk dada bidangnya yang terasa hangat. Ele dapat merasakan aroma tubuh Tora yang sangat menenangkan. Tora melingkarkan kedua tangannya di tubuh Ele sementara gadis itu dengan malu-malu meletakkan tangannya di pinggulnya.

Tora menarik tubuh Ele pelan dan terkekeh. “Astaga, Eleanore!” Pemuda itu kehilangan kata-katanya.

Tak lama kemudian Tora menghentikan kekehannya dan memandang Ele intens. Ele yang ditatap dengan pandangan seintim sebenarnya merasa gentar, namun ia berusaha untuk melihat tepat ke arah bola matanya yang berada sedikit lebih tinggi di depannya. Kedua tangan Tora menyentuh lembut pipi kanan dan kiri Ele. Sentuhannya membuat jantung Ele kembali berdentum menggila. Rasanya seperti akan meledak.

Perlahan-lahan Tora mendekatkan wajahnya ke wajah kekasihnya. Saat itu pula Ele yakin bahwa paru-parunya telah berhenti bekerja. Tubuhnya menegang dan kedua kakinya terasa seperti jelly. Hidung Tora kini menyentuh hidungnya. Ele dapat merasakan embusan napasnya yang menggelitik wajahnya. Pemuda yang tengah kasmaran itu mengusap lagi pipi Ele dan memiringkan wajahnya.

Dengan lembut, Tora menyapukan bibirnya di atas bibir Ele. Jantung Ele meledak. Ia rasa kali ini benar-benar meledak. Ele memejamkan kedua matanya dan merasakan kecupan Tora yang menulikan indera pendengarannya, mematikan syarafnya dan membuatnya melupakan segala permasalahan hidup yang ia rasakan.

Tora yang telah menanti-nantikan momen ini pun menikmati setiap detiknya. Ia tak menyangka bahwa bibir Ele akan terasa begitu manis. Lebih manis dari madu dan membuatnya ingin lebih, lagi dan lagi. Pemuda itu menyesap pelan bibir bawah Ele dan menggigitnya. Secara reflek Ele mengalungkan kedua tangannya di leher kekasihnya.

Ciuman Tora terasa begitu hangat. Buaian itu mampu membakar sekujur tubuh Ele dengan adrenalin. Tak lama kemudian, mereka berdua menyudahi kecupan itu. Tubuh Ele bergetar dengan netra yang masih terpejam erat. Tora mengusapkan ibu jarinya di kedua belah bibir Ele yang basah akan saliva.

Usapan itu membuat Ele perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Ciuman pertamanya begitu manis. Ele tak akan melupakannya seumur hidupnya.

Kilas Balik Selesai

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status