“Bagaimana keadaanmu sekarang, Ayse?”
Pria itu tampak duduk di meja kerjanya setelah sampai di rumah. Ia terlalu khawatir dengan keadaan perempuan itu. Ia berusaha menyetir dengan kecepatan normal meskipun dalam hatinya jantung pria itu berdetak kuat.
Ia terus terngiang suara rintihan dan sesekali napas tersengal Ayse.
Kini, perempuan yang duduk di ruang tengah tampak mengulas senyum manis dan wajahnya tidak menunjukkan raut pucat. Lebih rileks dan mengangguk pada Can. ‘Jemima membantuku. Dia membantuku membelikan obat di apotek sebelum datang ke mari dan membawa makan untukku. Meskipun aku harus menahan rasa sakit sedikit lebih lama,’ jelasnya membuat napas Can terembus lebih lega.
“Syukurlah, Sayang ... Kau nyaris membuatku panik dan ingin terbang ke sana detik itu juga.”
Ayse tersenyum manis dan merasakan letupan dalam hati mendapati Can yang begitu peduli dan sangat perhatian padanya.
Seluruh media dan stasiun televisi mulai dibuat bertanya oleh pernikahan seorang pengusaha muda itu. Akman memajukan tanggal pernikahan—tiga hari—dari undangan yang telah disebar. Isu merebak dan pria itu tidak memedulikan lagi bagaimana media akan mencetak berita dan stasiun televisi menyiarkan isu pernikahannya.Karena pernikahan itu digelar tertutup dan Akman harus menanggung malu dengan menyuruh Asisten pribadi dan Sekretarisnya, mengabarkan pembatalan undangan pernikahan pada rekan kerjanya di luar kota maupun luar negeri.Ya. Ia meminta Asistennya untuk menghubungi Asisten Keluarga Sener untuk memberitahu berita tersebut. Ia hanya mengundang orang terdekat dan tidak sampai lima puluh orang untuk menyaksikan pernikahannya di area taman rumah yang luas bersama Dariga.Seluruh mata memandang keduanya, terutama tidak hentinya tanda tanya besar, memerhatikan Ayse duduk di antara kedua sahabatnya di deretan kursi depan.
Can menutup pintu mobil dengan pandangan kosong. Kakinya lemas dan ia terlalu sulit untuk menapaki kaki, menaiki tangga untuk sampai di pintu utama rumahnya.Pria itu nyaris jatuh jika saja tidak menahan telapak tangan kanannya pada body mobil.“Tuan Can? Anda tidak apa-apa?” tanya pengawal berbalut mantelnya, mendekati Can dengan panik.Can menggeleng lemah tanpa memandangnya. “Tidak, Tuan. Kau bisa kembali bekerja,” cetusnya pelan dan membiarkan lelaki itu berlalu, kembali ke area depan.Tangan Can keringat dingin. Begitupula keningnya dan ia terus merasakan denyutan di kepalanya mendapatkan fakta jika ia telah melepas apa yang dirinya jaga selama dua puluh lima tahun dalam hidupnya untuk Akira.Napas Can sesak. “Ayse ...” lirihnya dengan air mata membumbung tinggi di pelupuk matanya.Can tahu jika ia telah mengkhianati perempuan yang sangat dicintainya. Sakit hatinya tidak akan s
BUGH!“BERENGEK!”Iskander terjatuh saat Can sudah lebih dulu melayangkan pukulannya. Pria itu dengan emosi yang sudah ditahannya sejak kemarin, lalu datang ke kediaman Iskander untuk mengambil ponselnya dan juga mengutuk pria itu.Pria itu menyeka sudut bibirnya yang berdarah dan terkekeh pelan. Ia menatap Can yang berdiri dengan napas tersengal. “Jadi, kau sudah tau apa yang kulakukan kemarin?” tanyanya menantang, tidak menutupi hal tersebut.Ia bisa melihat rahang Can yang mengetat. Sebisa mungkin dirinya langsung berdiri dengan berpegangan pada kepala sofa. Dirinya duduk tenang di ruang keluarga dan mendapati Can sudah lebih dulu memukulnya.Ternyata, Can sangat berbahaya jika sedang marah. Ia bahkan tidak mengenal seorang Yavuz Can Sener yang begitu tenang.“Bagaimana dengan obat perangsang itu? Kau ketagihan untuk memakainya lagi?”“Berengsek!” teriak Can dan
Ayse merentangkan kedua tangan, menghirup udara segar di Kota Ankara dari atas balkon unit apartemennya. Ia tersenyum manis, memejamkan sejenak kelopak matanya untuk merasakan kebebasan dalam dirinya.“Setelah dua minggu aku pergi dari kota ini, akhirnya aku bisa kembali,” cetusnya menatap keindahan kota dari ketinggian unit.Bibirnya sedikit menipis mengetahui jika sejak ia menghubungi Can dan tidak mengangkatnya. Saat itupula ia sadar jika Can tidak bisa dihubungi. Ia mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri.“Kau harus berpikir positif, Ayse. Can akan tetap menunggumu dan kau hanya perlu mengunjunginya lebih dulu. Mungkin, dia pun sibuk mengurusi pekerjaannya,” ucapnya meyakinkan diri dan berbalik badan, memasuki unit di mana kedua sahabatnya tengah membereskan pakaian di kamar.Mereka baru tiga jam lalu datang ke mari. Sampai di unit untuk istirahat sejenak lalu berbenah sebelum akhirnya
Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dengan terus memandang keluar jalan bersama pilu dan rasa perih dalam hati. Ia menahan isak tangis supaya sopir di depannya tidak mengetahui kerapuhannya.Ayse menahan sikunya di pinggir kaca mobil, memegang sisi kepalanya dan sedikit mencengkeram rambutnya, merasa hentakan kuat rasa pusing di kepalanya.Ia menitikan bulir air mata.Kenapa Tuhan tidak membuatnya bisa merasakan kebahagiaan yang utuh? Sekarang, Ayse semakin hancur. Perasaannya tidak bisa kembali utuh bersama kepingan rasa sakit oleh cintanya yang kandas.Can ... Kenapa sejak dulu aku dipertemukan olehmu, jika pada akhirnya kau akan bersama perempuan lain?Ayse menunduk, membungkam mulutnya meredam isak tangis. Ia memegang tepat di bagian jantung, sakit.Ia benar-benar terluka dengan segala hal yang terjadi hari ini.Aku datang untuk memberikan kejutan atas kehadi
Henna Night begitu membahagiakan untuk Akira. Ia duduk dan ditemani bridesmaid—teman semasa kuliah—sesekali menggoda perempuan yang tangannya sedang dihias. Ukiran khas untuk menyambut hari spesialnya bersama Can besok hari.Khusus malam ini ia ditemani oleh keluarga terdekat dan seluruhnya perempuan. Terutama ketika calon Mama mertuanya menginap, mengikuti prosesi pemakaian Henna.“Kau tampak berseri malam ini, Sayang. Jauh lebih cantik di hari sebelumnya. Tapi, kurasa di saat pernikahanmu datang, itu jauh lebih membuatmu menjadi ratu yang telah mendapatkan pangeran impiannya.”Akira dan kelima temannya tertawa dan sesekali mereka ikut menimpali perempuan yang malam ini mengurai rambutnya.Nyonya Sener tersenyum manis, menangkup sisi wajah Akira. “Besok kau akan menjadi menantuku, Nak,” cetusnya menghadirkan rona merah di pipi Akira.Ia mendongak, menatap kedua wanita yang sangat disayanginya selal
Ayse berdiri di balkon unitnya, memandang ke langit malam yang begitu indah. Ia tersenyum getir, suasana malam ini tidak mencerminkan isi hatinya.Perih menghampiri perasaannya. “Kau sudah resmi menjadi suami dari Akira, Can,” lirihnya.“Perempuan itu resmi menjadi pendamping hidupmu,” lanjutnya.Ayse memegang erat pembatas balkon.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi ia tidak bisa ikut tidur bersama Nur dan Jemima. Ayse tidak merasa kantuk sedikitpun.Ia mengembuskan napas pelan, mengusap sudut matanya yang berair. Ayse tidak ingin terus memperlihatkan wajah sembabnya pada kedua sahabat. Mereka bahkan mengundurkan waktu kepulangan. Setidaknya, Ayse harus bersyukur memiliki sahabat yang sangat menyayanginya.Perempuan itu beranjak dari balkon dan menutupnya, lalu mengambil mantel yang tersampir di sisi pintu unit. “Aku ingin berjalan sekitar gedung apartemen ini,” cetusny
“Biarkan aku yang menghidangkan makanan untuk suamiku, Bibi,” ucap Akira mengambil alih cangkir yang akan diisi air putih untuk Can.“Aku akan menyiapkan sendoknya, Nona.”“Tidak perlu. Kau bisa melayani Mama dan Papaku saja,” sambungnya membuat Nyonya dan Tuan Sener yang baru saja datang dan duduk di kursi mereka, menatap Akira dengan senyum kecilnya.“Kau ingin mengawali statusmu yang baru ini, Sayang?” tanya Nyonya Sener.Akira tertawa kecil seraya menyusun sendok dan garpu di sisi piring Can. Ia masih menunggu suaminya yang gantian membersihkan diri. Pagi ini ia merasa jauh lebih berbeda bisa mendapati suaminya tidur di samping dirinya.Paras tampan Can dan bagaimana pria itu selalu menyayanginya, membuat debaran dalam diri Akira tadi pagi begitu membuncah. Ini luar biasa membahagiakan untuknya.“Aku ingin menjadi istri yang baik dan perhatian untuk Can, Mama,” balasnya tidak me